Share

Part 4 - Galak!

Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku.

Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya.

Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman.

Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah.

Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi.

Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit.

“Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.”

Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik.

Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak.

Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami akan lepas kontrol.

“Pak lepasin.” Aku mencoba melepaskan tangan dari cekalan Pak Ezar, tapi ia seakan enggan untuk melepaskan.

Entah sedang panik dengan kehadiran ibunya sehingga dia lupa melepaskanku atau mungkin tangan ini punya pelet yang membuatnya betah menggenggam?

“Ada apa, La?” Kudengar suara Ibu bertanya pada Tante Ola. Seketika membuatku semakin panik.

Tidak lucu, kalau Ibu juga sampai melihatku seperti ini. Dia akan mem-bully siang malam. Barangkali dikatain gak tahan lihat body dosen galak ini yang perkasa.

Tadi saja sudah mulai menggodaku.

Perkasa dari mana? Malah yang ada kaku persis kanebo kering.

Segera saja kuinjak kaki Pak Ezar dengan keras.

“Aw!” Dia sontak merintih kesakitan, tapi tak kupedulikan.

Setelahnya, aku berlari menghampiri Tante Ola dan Ibu yang saling berpandangan sembari bergelung dengan pikiran masing-masing.

*****

“Saya terima nikah dan kawinnya Asha Fredella binti Jian Prasaya dengan mas kawin tersebut tunai.”

Dengan satu tarikan napas, Pak Ezar mengucapkan kalimat sakral di depan keluarga dan tamu undangan yang hadir. Ucapannya begitu lugas seolah tak terbebani sedikit pun.

Padahal, sebelum sampai pada hari ini kami sempat melakukan tawar menawar dengan keluarga untuk membatalkan perjodohan atau minimal menunda pernikahan.

Kami mengaku belum cocok dan akan melakukan pendekatan lebih lama, tapi Tante Ola langsung menolak.

Bagi Tante Ola, maksudku Bunda Ola—aku dan putranya sudah sama-sama tak bisa menahan naluri orang dewasa dan harus segera untuk ditunaikan sebelum terjadi hal-hal tak diinginkan.

Tak terasa, kami berlanjut pada prosesi selanjutnya.

Pak Ezar menyematkan cincin di jari manisku. Lantas, mencium kening dengan perasaan yang kutahu sangat berat untuk dilakukan.

Namun, karena menghormati orang tua, jadi ia terpaksa melakukannya.

Sepanjang duduk di singgasana pelaminan, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Pak Ezar. Tersenyum pun jika hanya ada tamu yang menegurnya dengan sebuah candaan.

Aku sangat mengerti posisinya yang tak mengharapkan pernikahan ini, tapi aku pun demikian sungguh tak menginginkan pernikahan ini terjadi.

****

‘Ini benaran gue udah jadi istri?’

Saat malam tiba, Pak Ezar masuk ke kamar dengan wajah kusut bak kebanyakan tekanan. Aku yang duduk di kasur hanya bisa melirik sesekali menghela napas berat.

Masih tak bisa kubayangkan, jika dosen paling ngeselin yang membuat mentalku diaduk-aduk selama menjadi mahasiswa akhir benar-benar sudah bergelar suamiku.

Entah bagaimana tanggapan anak-anak di kampus kalau tau hal ini?

“Sha, saya mau mandi. Ada handuk gak?” tanyanya cuek.

Aku yang semula mengutak-atik ponsel melihatnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Aku selalu tak bisa menatap mata orang lama-lama.

“Sebentar.” Aku bangkit menuju lemari dan mengambilkan handuk baru yang sudah disiapkan Ibu di sana. “Ini, Pak.“

Pak Ezar melongos pergi ketika sudah mengambil handuk dariku.

Oh my Allah. Selain galak dan kejam, rupanya dia benar-benar titisan kanebo.

Beberapa saat kemudian, dia sudah keluar kamar mandi. Sialnya, karena penampilannya yang tak biasa membuatku terperangah. Ia keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Hal itu pun membuat perut kotaknya yang tak berbentuk-bentuk amat terekspos sempurna.

Aku memalingkan pandangan dan pura-pura sibuk pada ponsel seraya menetralkan detakan jantung melihat pemandangan asing itu.

Astaga, tidak bisakah dia untuk mengenakan baju di kamar mandi saja?

“Kamu libur berapa hari?” tanyanya mulai mengenakan baju yang diambil dari kopernya.

“Tinggal dua hari lagi,” jawabku.

“Oh, baguslah. Artinya kamu gak keberatan kalau besok sore kita pulang ke Jakarta.”

Aku bergeming sesaat. Mencerna kalimatnya. Maksudnya, dia akan membawaku bersamanya begitu?

Haih, Asha ... Asha, dia sekarang suamimu, jadi semestinya memang kamu ikut bersamanya.

“Bapak kalau ada urusan bisa pulang duluan aja, saya pulang besoknya lagi.”

“Hei, kau masih muda, apakah otakmu sudah bergeser gara-gara skripsi? Apa perlu pengobatan ke psikiater? Gak lucu kalau kita pulang terpisah, yang ada dapat ceramah sampai 7 purnama dari orang tua, kau tau?”

Aku membuang napas berat, memandang punggung Pak Ezar yang tengah menjemur handuknya.

Memang yang dikatakan itu ada benarnya. Tapi?

“Tapi, kalau saya ikut Bapak, motor saya gimana? Emang bagasi mobil muat nyimpan motor?”

‘Kok, gue ngerasa kolot banget ya?’

“Astaga Asha. Benar-benar, ya. Motornya gak usah dibawa.”

“Kalau gak dibawa, saya ke kampus dan ke tempat kerja pake apa, Pak?”

Pak Ezar menghela napas panjang. Dia agaknya tengah frustrasi menghadapiku yang rada-rada geser. Udahlah, setidaknya aku pun sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tim mager keluar rumah kalau jalan kaki, memang kudunya naik motor.

“Odong-odong,” cibirnya. “Di rumah ada motor. Mobil juga ada. Tinggal pilih mau pake yang mana.”

Eh, eh. Difasilitasi ceritanya?

Pak Ezar berjalan ke arahku, membuat jantung ini semakin berpacu. Astotog, dia mau ngapain? Dia tak berniat untuk me-unboxing diriku yang unyu-unyu ini, kan?

‘Aduh, otak mungil gue ternodai.’

Jikapun iya, sungguh aku belum menyiapkan diri secara lahir dan batin.

“Geser dikit, saya mau tidur,” katanya.

“Maksudnya, tidur di kasur saya begitu? Mana boleh, Pak. Ini sempit kalau berdua. Bapak tidur aja di lantai.”

“Ogah banget, kamu aja yang tidur di lantai.”

“Tapi, ini kamar saya, Pak.”

“Di mana-mana tuan rumah harus ngalah sama tamu. Minggir sana, saya ngantuk dan capek. Mau istirahat.”

“Mimpi apa harus nikah sama sang duta dosen galak gak punya perasaan macam dia?” gerutuku.

“Apa kamu bilang?”

Pak Ezar berkacak pinggang di hadapanku. Detik kemudian, dia menarik lenganku agar pindah dari kasur, tetapi aku memilih bertahan meskipun susah payah karena tenaganya lebih kuat dariku.

Srak! Srak!

Di saat kami meributkan perkara kasur, malah terdengar suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar.

Pak Ezar yang juga menyadarinya lantas menoleh ke arah pintu, lalu menatapku. Kami saling melempar pandang seolah bertanya ‘ada apa?’.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status