Share

Part 8 - Tiga Serangkai

Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya.

“Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”

‘Ponakan?’

Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya?

Aku mengernyit tanpa kata.

Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.

‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’

Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu?

“Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.”

Deg!

Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar.

Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu.

Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah.

Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda.

Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.

Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati.

“Manda, pacarnya Aezar,” katanya.

“Asha, Mbak,” balaska tersenyum tipis, sedikit tercekat.

“Kayaknya kita pernah bertemu ya sebelumnya?” tanya Manda.

Sama sepertiku, agaknya dia juga mengingat tentang kami yang kuakui memang cukup sering bertemu.

Aku terkekeh pelan. “Iya, Mbak. Di Aina Fashion.”

“Ah, ya. Kamu kasir di sana, kan?” Manda berusaha menebak.

Detik kemudian, aku mengangguk membenarkan.

“Zar, kenapa gak pernah bilang kalau Asha ini ponakan kamu? Aku sering banget tau belanja di Aina Fashion.”

Benar, Manda adalah salah satu pelanggan prioritas di Aina Fashion—tempat kerjaku. Satu yang kutahu, dia adalah seorang Presenter kondang di sebuah stasiun televisi.

Wajar saja Pak Ezar mencintainya. Dia cantik, baik, ramah, pintar, body-nya juga bagus, jangan lupakan kalau ia wanita karir yang sukses.

Aku semakin tak berdaya jika disuruh bersaing dengan wanita sekelas Amanda Zhafirah.

Lagi, aku menghela napas panjang, mengingat takdirku yang penuh teka-teki.

“Kamu juga kenapa gak bilang sih kalau ponakannya Aezar?”

Aku mengulum senyum sembari melirik Pak Ezar di sofa. Ia hanya diam, tetapi delikan judesnya seolah berbicara padaku.

“Aku gak tau kalau Mbak Manda pacarnya Om Ezar.”

‘Om? Hahaha.’

“Oh, iya. Tadi katanya kamu lagi nyari kos-kosan. Emang kenapa dengan kos lamamu?”

“Ee ... itu, Mbak. Kalau musim hujan sering banjir,” dustaku.

Pak Ezar terlihat bangkit dari duduknya dan menyambar kunci mobil di atas meja.

“Manda, ini udah malam. Aku antar pulang, ya. Besok kamu kerja kan?”

Aku tebak, dia pasti sengaja menyela pembicaraan kami karena tak ingin kekasihnya bertanya lebih banyak lagi tentangku.

Setakut itu ya hubungan kami terbongkar?

Tenang saja, Pak! Aku sangat bisa diandalkan dalam menjaga rahasia negara.

“Ya udah, deh. Asha, duluan ya,” pamitnya yang hanya kubalas dengan anggukan.

*****

Pukul 07 lebih 15 menit, aku baru selesai meracik nasi goreng dan telur dadar sebagai menu sarapan kami.

Semoga saja rasanya tak aneh.

Tidak lucu kalau pertama kali memasak untuk suami malah meninggalkan kesan buruk.

Dan untuk selanjutnya, aku harus membiasakan diri melayani suami, meskipun nyatanya rada tak dianggap.

“Hmm, bikin nasi goreng?” tanya Pak Ezar sembari menarik kursi dan langsung duduk.

“Iya, Pak. Sarapan nasi goreng sama telur dadar gak apa-apa, ya? Di kulkas gak ada bahan makanan selain telur. Kemarin, belum sempat belanja.”

Pak Ezar tak merespons. Melainkan mulai menuang nasi goreng ke piringnya.

Setelah mencicipi suapan pertama, ia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

Aku menggigit bibir bawah sedikit keras dan mulai meragukan rasa masakan sendiri.

“Lumayan enak. Kamu bisa masak juga ternyata.”

Ludahku yang sempat tercekat, akhirnya terbebas jua. Berganti dengan Senyuman salah tingkah.

Jauh di dalam sana hatiku juga sedang sujud syukur. Begini rasanya dipuji sama suami?

Entah pujiannya itu tulus atau hanya menjaga perasaanku saja?

Seingatku ketika memasak di rumah, selalu saja ada yang kurang di lidah Ibu.

“Bisa dikit-dikit saja sih, Pak.”

Tak ada lagi pembicaraan setelahnya. Kami menikmati sarapan dalam diam.

Diam-diam mencuri pandang di setiap kesempatan.

“Oh, iya. Mbak Manda itu sering ke sini, Pak?” tanyaku memecah keheningan.

“Gak juga. Kenapa memang?”

Aku menggeleng pelan.

“Mau melarang?”

“Tentu tidak, Pak. Saya gak akan lupa sama aturan pernikahan kita,“ ucapku tersenyum getir.

Aku tidak akan lupa aturan pernikahan yang dibuat olehnya, tapi rasanya tidak etis saja kalau dia membawa perempuan lain ke rumah, sedang aku masih istri sahnya.

“Baguslah, jadi biasakan jangan banyak tanya.” Pak Ezar berlalu begitu saja setelah meneguk air minumnya.

Aku mengembuskan napas berat menyaksikan punggung Pak Ezar yang semakin jauh.

Salah lagi? Ah, nyesal bertanya. Tadinya, aku memang ingin tahu sejauh apa hubungannya dengan Manda?

Dari yang kulihat kemarin, sepertinya hubungan mereka memang sudah cukup jauh ya.

Pantas saja kalau Pak Ezar sangat menyayanginya.

Sekitar pukul 8 lebih 25 menit, aku sampai di toko diantar Pak Ezar. Tadinya aku menolak, takutnya ngerepotin, tapi dia juga kekeh mau antarin.

Entahlah!

Aku juga bingung dengan sikapnya yang kadang galak banget, kadang menghangat, dikit-dikit judes, dan bisa berubah manis.

Dia seperti memiliki dua kepribadian yang beberapa hari ini membuatku bingung menentukan warna aslinya.

Begitu turun dari mobil, aku melihat Mika menahan senyum di dekat pintu masuk. Di sudut lain, Vina juga baru melepas helm di parkiran.

“Duh, manten baru sudah datang diantar ayang,” ceplos Mika tatkala aku sudah sampai di depannya.

“Belum pernah liat bidadari kejedot pintu gak, Ka?” sinisku.

“Uuh, atut!” Mika tertawa melihatku yang sedang misuh-misuh tidak jelas.

“Alamat langsung ujian tutup, nih,” sahut Vina menambahkan.

“Uwah, iya dong! Kerangka proposalnya dikhususkan untuk memikat hati dosen pembimbing,” ucap Mika sambil tertawa. “Lu harus bisa sehebat George R. Terry, biar bisa mengubah fungsi manajemen dari POAC ke LOVE karena Asha selalu teringat wajah Ayang Ezar.”

“Cuaks! Skripsi pemikat hati sang duta dosen galak.” Vina ikutan tertawa.

Aku mendelik judes ke arah mereka tanpa sepatah kata.

Oh Tuhan! Seandainya menjual teman tak akan tergolong perdagangan orang yang sekaligus melecehkan hak asasi manusia, akan kujual mereka pakai metode pengiriman cepat gratis ongkir, pengiriman cepat gratis ongkir ... hanya di La****

“Jadi kapan jadwal sidangnya Kakak Senior?” Vina menaikturunkan alisnya.

Aku menghela napas kasar dan mulai melangkah masuk ke toko. “Boro-boro sidang. Belom bimbingan gue ama dosen sialan itu.”

“Astagfirullah. Gak boleh ngatain suami seperti itu. Dosa, Ukhti.”

“Dengarin tuh KW-nya Mamah Dedeh ngomong.” Mika tertawa puas yang lantas kulempar dengan pulpen yang sedari tadi kupegang.

Detik demi detik berjalan begitu saja. Hingga hari beranjak sore.

Setelah pergantian shift dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terpending, aku memutuskan untuk pulang.

Begitu keluar toko, nyatanya aku baru menyadari kalau tadi ke sini diantar.

Aku memijat kening sembari terus menghubungi Pak Ezar, tapi tak satu pun pesan dan panggilanku direspons olehnya.

‘Astaga, minimal jangan nganggap gue mahasiswa lu di saat seperti ini, njir!’

‘Ini gimana pulangnya kalau gak dijemput? Mana gue lupa ngecek alamat lengkap rumah lagi.’

‘Ah, Pak Ezar apa-apaan sih? Katanya tadi mau antar belanja keperluan dapur, tapi ini kesannya malah mengabaikan.’

“Jemputan lu belum datang?” tanya Mika yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.

“Tau tuh. Ditelepon gak diangkat, dichat gak dibalas,” ujarku sambil mengerucutkan bibir kesal.

“Utututut. Kasian manten baru.” Mika mengusap-usap kepalaku.

Ini si Mika mengasihani tapi nada bicaranya rada mengejek. Malah ekspresi juga tampak menahan tawa.

“Gue antar, mau?” tawar Mika.

“Gak usah deh kayaknya. Gue mau sekalian belanja bahan masakan soalnya.”

“Uwaw. Yang udah punya suami mah beda,” cicit Mika.

“Gue temani belanja deh kalo gitu. Sekalian mau beli snack buat bocil-bocil gue di rumah.”

“Ponakan lu?”

“Yoi, kemarin baru datang dari Surabaya.”

“Tapi, gak ngerepotin nih?”

“Ah, kebiasaan. Lu kayak orang lain aja, herman gue. Ayo, mumpung gue bawa mobil,” ujar Mika. “Vin, lu mau ikut ke supermarket gak?”

Vina yang baru keluar dari toko hendak memasang helm mengurungkan niatnya.

“Siapa yang mau ke supermarket.”

“Gue sama Asha, lu kalau mau ikut mobil gue aja. Motor lu simpan sini dulu.”

“Iya deh, aku ikut.”

Ah ... benar-benar teman yang paket komplit. Wajar saja Bu Aina menjuluki kami sebagai “tiga serangkai” karena ke mana-mana kudu sepaket.

Kami bertiga pun menuju supermarket.

Begitu sampai, kami langsung menyusuri lorong demi lorong, Vina yang berada sedikit di depan kami seketika berhenti dan mundur selangkah.

Mika bahkan sampai menabraknya.

“Astagfirullah!” pekik Vina sembari mengusap-usap dada.

“Ada apa, Vin?” tanyaku.

“Anu itu ... aku.” Vina menggaruk tengkuk yang agaknya tak gatal.

“Anu apa?” desak Mika.

“Pak Ezar ada di sebelah,” lirihnya kemudian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status