Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku.
Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal.Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya.Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi?Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang.Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh.Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak?Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus menghantui seakan menakuti. Aku pernah dengar orang yang tak kukenal di toko ngobrol sama temannya tentang malam pertamanya yang menyakitkan. Hal itu cukup membuat batin bergidik.Bayang-bayang anak menjadi korban pertengkaran orang tua pun tak kalah gencarnya meliuk-liuk dalam pikiran.Aku tak mau anakku nanti menjadi korban keegoisan orang tuanya. Aku tak sudi ada Asha kedua yang lahir dari rahimku sendiri.Mengingat arah pernikahan yang tak jelas, aku semakin bertekad untuk tak memberikan hak paling utama pada suami tanpa cinta.Setelah salat isya, aku keluar kamar untuk menyiapkan makan malam. Aku melihat Pak Ezar juga keluar kamar, tetapi dengan setelan yang sudah rapi. Mau ke mana malam-malam begini?“Mau ke mana, Pak?” tanyaku saat Pak Ezar sudah menginjak anak tangga terakhir“Nge-date.”Aku mengernyit. Nge-date? Artinya, dia mau ketemuan sama pacarnya? Begitukah?“Sama pacar?”Pak Ezar mengangguk.Aku hanya membulatkan mulut hingga membentuk O. Bersikap biasa saja, tapi jauh di lubuk hati aku sebenarnya terusik. Aku ‘kan istrinya?‘Sadar diri, Asha!’ peringat otakku.“Kenapa, mau melarang?”“Gak! Hanya mau ingatkan kalau Bapak malam ini kan bilang mau temani saya ambil barang di kos.”“Bisa pergi sendiri, kan? Saya banyak kerjaan.”“Oh. Ya udah, gak apa-apa, Pak.”Pak Ezar berlalu begitu saja, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi di hadapanku.“Jangan pernah campuri urusan saya. Kamu tak berhak untuk mengatur segala hal yang saya lakukan!” ucap Pak Ezar penuh penekanan.Aku meneguk ludah dalam-dalam. Pelan tapi pasti, jantung ini berkecamuk seakan sengaja diremukkan.“Pernikahan kita terjadi karena terpaksa. Saya tak akan mencari keuntungan untuk menyentuh kamu. Saya masih mencintai kekasih saya, Asha. Sampai kapan pun. Saya sudah berjanji untuk tidak meninggalkannya demi perempuan lain.”Aku tersentak mendengar kalimat-kalimatnya yang seolah meremas-remas hati. Aliran darahku pun seakan terhenti. Aku membeku tanpa tahu harus mengatakan apa.“Pernikahan ini jangan sampai bocor keluar, apalagi di area kampus. Saya tidak mau menyakiti kekasih saya kalau sampai tau tentang kita,” imbuhnya.“Satu lagi, jangan pernah mengatakan apa pun pada orang tua. Paham?”Kuanggukkan kepala pelan. Saat ini, aku sudah persis bocah kecil yang dimarahi karena melakukan kesalahan.“Bagus.” Pak Ezar mengacak rambutku sebentar, lalu pergi.“Pak,” panggilku saat dia akan membuka pintu.“Ada apa?”“Peraturan yang Bapak buat untuk saya, juga berlaku untuk yang bikin aturan. Artinya, masing-masing kita bebas untuk kehidupan sendiri.”“Kalau begitu, kenapa kita tak berpisah saja, Pak?” Aku kembali meneguk ludah susah payah. Dengan entengnya menyinggung perpisahan yang kutahu sendiri prosesnya tak akan mudah.“Saya akan cari caranya supaya kita terbebas dari pernikahan ini.”Aku mengangguk. Setidaknya, aku juga akan mencari cara disertai dengan alasan releven agar bisa berpisah dengan Pak Ezar suatu hari nanti.Jujur, aku merasa bersalah pada kekasih Pak Ezar. Sepertinya dosen yang terkenal seenaknya itu sangat sayang pada kekasih. Sampai-sampai tak tega menyakitinya.Kalau memang sayang, kenapa tak menikahinya? Malah menerima perjodohan konyol yang membuat hidupnya jadi ribet.“Kamu tidak usah memikirkan itu. Jalani saja hidupmu seperti biasa dan fokus sama skripsimu,” ujarnya lembut, kemudian berlalu.Selepas kepergiannya, aku kembali ke ruang tamu dan terduduk lemas di sofa.Pernikahan ini sebatas hubungan di atas kertas. Tidak ada tangan yang saling menggenggam, pun tak ada hati yang saling bertaut.Menerawang jauh ke belakang bahwa siapalah seorang Asha ini? Bahkan, semenjak hari itu aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak berharap apa pun pada sebuah hubungan seperti apa pun jenis dan bentuknya.Luka-luka itu jelas masih menancap sempurna seakan enggan untuk reda dan lalu membiarkan sepercik kebahagiaan menghampiri.*******“Sha, itu gimana ceritanya lu bisa nikah sama Pak Ezar?” tanya Mika sambil tertawa.Pagi ini, aku memintanya untuk membantuku pindahan. Untungnya, dia juga sudah pulang dari Bogor—rumah neneknya kemarin.Aku memang sudah menceritakan tentang pernikahan dengan Pak Ezar di grup yang isinya hanya ada aku, Mika, dan Vina. Kami sudah terbiasa untuk saling share masalah. Paling tidak, kalau tak bisa memberi solusi, menjadi pendengar yang baik untuk siapa pun yang membutuhkan di antara kami.Berbeda dengan Vina yang lebih suka pakai ‘aku kamu’ ketika berbicara, Mika justru lebih senang menggunakan ’lu gue.’ Aku sendiri hanya menyesuaikan, lebih banyak pakai ‘lu gue’ sebenarnya.“Tau itu keluarga. Ngasih taunya tunangan, tapi malah akad. Kaget gue juga.”“Wah, lu ngebet kali mau skidipapap?”“Najis!”“Oh, Pak Ezar berarti yang gak tahan.”“Dia punya pacar. Semalam aja nge-date sama pacarnya,” ucapku jujur.“Uwah. Cemburu gak lu?”“Gue lebih cemburu liat Yang Yang ciuman sama cewek lain. Meskipun hanya drama, tapi rasanya sakit.”Mika terus saja tertawa, sedang aku sibuk menata pakaian ke dalam koper.“Belum unboxing dong ya?”Aku menatap Mika seperti singa yang membidik mangsa.“Kalau Vina di sini, gue yakin lu bakal diceramahi nanya-nanya urusan ranjang.”“Penasaran gue tuh gimana-gimananya seorang Asha yang introvert parah tiba-tiba nikah sama orang yang kayaknya paling dibenci Se-UNNUS?”Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Vina.“Gak tau lagi gue. Mentok banget jalan keluarnya.”“Lu gak kejang-kejang kan dekatan sama Pak Ezar? Lu kan kalau dekat-dekat laki keringat dingin. Eh, gak mesti laki, sih. Dekat sama cewek asal orang baru juga keringat dingin lu.”“Pak Ezar bukan orang baru.”“Iya in deh, manten baru.”Setelah selesai pindahan, aku dan Mika jalan-jalan ke mall, lalu melipir ke bioskop. Untungnya, karena jarak dari kos ke rumahnya Pak Ezar tak jauh, jadi punya banyak waktu untuk pergi bersama Mika. Tentunya, sudah mendapatkan izin resmi juga dari suami, meski tak bersertifikat, tapi tetap original.Sayangnya, kali ini kami nonton hanya berdua karena Vina masih di Makassar. Dia akan kembali ke Jakarta esok hari.Pukul 8 malam, aku baru pulang ke rumah diantar oleh Mika. Setelah mobilnya keluar dari gerbang, aku langsung masuk ke rumah.Pintunya tak terkunci, artinya Pak Ezar sudah pulang. Aku lupa memperhatikan mobilnya di garasi.“Assa—”Baru saja ingin mengucapkan salam, tetapi pandanganku tak sengaja menangkap seorang wanita berjarak begitu dekat dengan Pak Ezar. Mereka tertawa-tawa seakan tak punya beban.“Assalamualaikum,” ucapku akhirnya.Pandangan mereka sontak tertuju ke arahku. Tawa cekikikan yang terdengar perlahan memudar.Sepasang insan itu menatap tak suka dan penuh tanya padaku. Mungkin, karena aku telah menganggu waktu bersenang-senang mereka.“Dia siapa?” tanya perempuan di samping Pak Ezar dengan pandangan curiga.Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat
‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap
Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban
“Eh, ada si Ukhti juga,” ucapnya tersenyum ke arah Vina. “Sha, lu kenapa sih gak pernah ngerespons deem gue?” tanyanya padaku. “Jangankan direspons, kayaknya itu deem gue di ig betah banget nangkring di fitur permintaan.”“Gue lagi gak ada waktu buat buka-buka deem,” ucapku dengan nada judes. “Sha, tau gak? Lu kalo judes-judes gitu makin bikin hati gue ketar-ketir berasa pengen langsung seret ke KUA.”‘Dasar playboy cap kadal!’ makiku dalam batin.“Astagfirullah. Kak Fadly, Asha udah—” Belum sempat Vina melanjutkan ucapannya, aku sigap mencubit pinggangnya disertai dengan delikan judes. Untungnya, dia langsung sadar dan paham sehingga mengunci mulut.“Udah apa, Vin?”“Udah gak usah bucin mulu. Kelarin itu kuliah lu yang gak kelar-kelar.”“Gue masih betah di kampus, selagi masih ada Asha yang menenangkan hati.”“Stress!” cibirku. “Lu yang bikin gue stress sampe segininya,
Aku masih melongo tanpa kata, berusaha menerawang jauh ke belakang sembari mencari letak tanda-tanda yang menunjukkan kalau Bu Aina dan suamiku punya hubungan darah. Astaga, apakah dunia benar-benar hanya selebar daun kelor?Sejauh mata memandang dan sepanjang perjalananku meniti karir di Aina Fashion, aku betul-betul tak tahu menahu hubungan Bu Aina dan Pak Ezar.“Kenapa pada kaget gitu?” Bu Aina melihatku dan Vina bergantian. Aku menggeleng pelan, seolah kehabisan kata-kata menerima kenyataan. Padahal, sebenarnya ada banyak tanya yang terbesit dalam hati. Untung saja, kami tak pernah mereview perilaku dosen galak itu di hadapan Bu Aina.“Bu, Asha doang yang dikasi kado? Kami berdua nggak?” protes Mika. “Nikah dulu, baru Ibu kasih juga.”“Nikah, Vin.”“Dih, kamu aja yang duluan. Kamu kan lebih tua sebulan dari aku,” sanggah Vina. “Si Asha aja lebih muda setahun dari kita udah nikung duluan.”“Ya kan udah jodohnya.”Aku memijat kening mendengar dua cewek cantik itu sedang adu mu
Keesokan harinya, aku dan Pak Ezar mengunjungi rumah orang tuanya.Ini kali pertama aku bertandang ke rumah mertua. Jujur saja, rasanya cukup gugup. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, mobil Pak Ezar memasuki halaman rumah yang sangat luas. Bisa kutebak ini adalah rumah mertuaku. Hamparan rumput hijau terawat dan air mancur di halaman depan menambah keindahan rumah yang tak kalah besar dari rumahnya Pak Ezar. ‘Mimpi apa gue nikah sama sultan?’Aku turun dari mobil lebih dulu dan mendapati Bunda Ola sudah berdiri di teras sambil tersenyum ke arah kami. Dengan takzim, aku mencium tangannya memberi penghormatan. Dia juga menarikku ke dalam pelukannya seakan baru saja bertemu dengan putrinya yang pulang dari rantauan. Entah mengapa, perlakuan Bunda Ola yang sangat manis membuatku seperti tengah melihat Mama yang kembali.Seandainya, Pak Ezar juga begitu. Ah, memangnya apa yang kau harapan darinya, Asha? Jangan terlalu banyak berkhayal. Perbanyaklah sadar diri. “Bag
Upaya pendekatanku dengan Pak Ezar tampaknya memang agak butuh perjuangan. Hatinya barangkali benar-benar sudah terkunci untuk satu orang wanita yang sangat dicintainya. Setidaknya, aku merasa kesulitan mendapat kesempatan untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami. Apalagi, semenjak kejadian di rumah orang tuanya, ia bahkan tak banyak berbicara padaku.Entahlah, padahal aku sendiri hanya mengikuti permainannya yang ingin kami terlihat baik-baik saja di depan keluarga.Lagian, aku tak terlalu berlebihan, kok? Hanya sebatas memanggil ’sayang’, apa salahnya?Akan tetapi, bukan Asha namanya kalau menyerah. Walaupun mungkin suatu hari nanti aku mengalah, tetapi saat ini entah dorongan dari mana sehingga aku seakan tak rela melepas pernikahan ini begitu saja.Jujur, aku dapat merasakan kehangatan di keluarga suamiku. ‘Kalau memang tak dapat hatinya Pak Ezar, minimal bisa menjungkirbalikkan jantungnya. H
Pandangan kami bertemu cukup lama menciptakan getaran aneh dalam tubuh ini. Jantung berpacu dengan kecepatan maksimal. Tetapi napasku justru seperti terhenti di saat tubuh kian membeku.Aku meneguk ludah susah payah, memandangi wajah dosen yang meskipun galak tetap menjadi pemegang tahta tertinggi idola cewek-cewek di kampus.Alisnya yang tebal, mata yang sedikit sipit tapi sekali menatap bikin nyali menciut. Hidungnya, bibirnya, dagunya ... paras yang sempurna.Ah, jadi membayangkan kalau ... Tidak-tidak!Rambut basahnya tiba-tiba menitikkan air tepat di pipiku, tetapi yang dingin malah hatiku. Menyadari kami sudah tak berjarak, aku mendorong dadanya yang telanjang agar berpindah dari atasku. Jujur, aku kesusahan bernapas.“Aduh!” ringisku merasakan bokong yang sakit begitu berhasil duduk. Untungnya, karena tadi Pak Ezar melindungi kepala ini dengan tangannya saat kami terjatuh. Seenggaknya terhindar dari geger otak.Aku melihat Pak Ezar gelagapan tampak salah tingkah. Kini ia me