Share

Part 7 - Nge-date?

Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku.

Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal.

Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya.

Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi?

Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang.

Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh.

Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak?

Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus menghantui seakan menakuti. Aku pernah dengar orang yang tak kukenal di toko ngobrol sama temannya tentang malam pertamanya yang menyakitkan. Hal itu cukup membuat batin bergidik.

Bayang-bayang anak menjadi korban pertengkaran orang tua pun tak kalah gencarnya meliuk-liuk dalam pikiran.

Aku tak mau anakku nanti menjadi korban keegoisan orang tuanya. Aku tak sudi ada Asha kedua yang lahir dari rahimku sendiri.

Mengingat arah pernikahan yang tak jelas, aku semakin bertekad untuk tak memberikan hak paling utama pada suami tanpa cinta.

Setelah salat isya, aku keluar kamar untuk menyiapkan makan malam. Aku melihat Pak Ezar juga keluar kamar, tetapi dengan setelan yang sudah rapi. Mau ke mana malam-malam begini?

“Mau ke mana, Pak?” tanyaku saat Pak Ezar sudah menginjak anak tangga terakhir

“Nge-date.”

Aku mengernyit. Nge-date? Artinya, dia mau ketemuan sama pacarnya? Begitukah?

“Sama pacar?”

Pak Ezar mengangguk.

Aku hanya membulatkan mulut hingga membentuk O. Bersikap biasa saja, tapi jauh di lubuk hati aku sebenarnya terusik. Aku ‘kan istrinya?

‘Sadar diri, Asha!’ peringat otakku.

“Kenapa, mau melarang?”

“Gak! Hanya mau ingatkan kalau Bapak malam ini kan bilang mau temani saya ambil barang di kos.”

“Bisa pergi sendiri, kan? Saya banyak kerjaan.”

“Oh. Ya udah, gak apa-apa, Pak.”

Pak Ezar berlalu begitu saja, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi di hadapanku.

“Jangan pernah campuri urusan saya. Kamu tak berhak untuk mengatur segala hal yang saya lakukan!” ucap Pak Ezar penuh penekanan.

Aku meneguk ludah dalam-dalam. Pelan tapi pasti, jantung ini berkecamuk seakan sengaja diremukkan.

“Pernikahan kita terjadi karena terpaksa. Saya tak akan mencari keuntungan untuk menyentuh kamu. Saya masih mencintai kekasih saya, Asha. Sampai kapan pun. Saya sudah berjanji untuk tidak meninggalkannya demi perempuan lain.”

Aku tersentak mendengar kalimat-kalimatnya yang seolah meremas-remas hati. Aliran darahku pun seakan terhenti. Aku membeku tanpa tahu harus mengatakan apa.

“Pernikahan ini jangan sampai bocor keluar, apalagi di area kampus. Saya tidak mau menyakiti kekasih saya kalau sampai tau tentang kita,” imbuhnya.

“Satu lagi, jangan pernah mengatakan apa pun pada orang tua. Paham?”

Kuanggukkan kepala pelan. Saat ini, aku sudah persis bocah kecil yang dimarahi karena melakukan kesalahan.

“Bagus.” Pak Ezar mengacak rambutku sebentar, lalu pergi.

“Pak,” panggilku saat dia akan membuka pintu.

“Ada apa?”

“Peraturan yang Bapak buat untuk saya, juga berlaku untuk yang bikin aturan. Artinya, masing-masing kita bebas untuk kehidupan sendiri.”

“Kalau begitu, kenapa kita tak berpisah saja, Pak?” Aku kembali meneguk ludah susah payah. Dengan entengnya menyinggung perpisahan yang kutahu sendiri prosesnya tak akan mudah.

“Saya akan cari caranya supaya kita terbebas dari pernikahan ini.”

Aku mengangguk. Setidaknya, aku juga akan mencari cara disertai dengan alasan releven agar bisa berpisah dengan Pak Ezar suatu hari nanti.

Jujur, aku merasa bersalah pada kekasih Pak Ezar. Sepertinya dosen yang terkenal seenaknya itu sangat sayang pada kekasih. Sampai-sampai tak tega menyakitinya.

Kalau memang sayang, kenapa tak menikahinya? Malah menerima perjodohan konyol yang membuat hidupnya jadi ribet.

“Kamu tidak usah memikirkan itu. Jalani saja hidupmu seperti biasa dan fokus sama skripsimu,” ujarnya lembut, kemudian berlalu.

Selepas kepergiannya, aku kembali ke ruang tamu dan terduduk lemas di sofa.

Pernikahan ini sebatas hubungan di atas kertas. Tidak ada tangan yang saling menggenggam, pun tak ada hati yang saling bertaut.

Menerawang jauh ke belakang bahwa siapalah seorang Asha ini? Bahkan, semenjak hari itu aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak berharap apa pun pada sebuah hubungan seperti apa pun jenis dan bentuknya.

Luka-luka itu jelas masih menancap sempurna seakan enggan untuk reda dan lalu membiarkan sepercik kebahagiaan menghampiri.

*******

“Sha, itu gimana ceritanya lu bisa nikah sama Pak Ezar?” tanya Mika sambil tertawa.

Pagi ini, aku memintanya untuk membantuku pindahan. Untungnya, dia juga sudah pulang dari Bogor—rumah neneknya kemarin.

Aku memang sudah menceritakan tentang pernikahan dengan Pak Ezar di grup yang isinya hanya ada aku, Mika, dan Vina. Kami sudah terbiasa untuk saling share masalah. Paling tidak, kalau tak bisa memberi solusi, menjadi pendengar yang baik untuk siapa pun yang membutuhkan di antara kami.

Berbeda dengan Vina yang lebih suka pakai ‘aku kamu’ ketika berbicara, Mika justru lebih senang menggunakan ’lu gue.’ Aku sendiri hanya menyesuaikan, lebih banyak pakai ‘lu gue’ sebenarnya.

“Tau itu keluarga. Ngasih taunya tunangan, tapi malah akad. Kaget gue juga.”

“Wah, lu ngebet kali mau skidipapap?”

“Najis!”

“Oh, Pak Ezar berarti yang gak tahan.”

“Dia punya pacar. Semalam aja nge-date sama pacarnya,” ucapku jujur.

“Uwah. Cemburu gak lu?”

“Gue lebih cemburu liat Yang Yang ciuman sama cewek lain. Meskipun hanya drama, tapi rasanya sakit.”

Mika terus saja tertawa, sedang aku sibuk menata pakaian ke dalam koper.

“Belum unboxing dong ya?”

Aku menatap Mika seperti singa yang membidik mangsa.

“Kalau Vina di sini, gue yakin lu bakal diceramahi nanya-nanya urusan ranjang.”

“Penasaran gue tuh gimana-gimananya seorang Asha yang introvert parah tiba-tiba nikah sama orang yang kayaknya paling dibenci Se-UNNUS?”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Vina.

“Gak tau lagi gue. Mentok banget jalan keluarnya.”

“Lu gak kejang-kejang kan dekatan sama Pak Ezar? Lu kan kalau dekat-dekat laki keringat dingin. Eh, gak mesti laki, sih. Dekat sama cewek asal orang baru juga keringat dingin lu.”

“Pak Ezar bukan orang baru.”

“Iya in deh, manten baru.”

Setelah selesai pindahan, aku dan Mika jalan-jalan ke mall, lalu melipir ke bioskop. Untungnya, karena jarak dari kos ke rumahnya Pak Ezar tak jauh, jadi punya banyak waktu untuk pergi bersama Mika. Tentunya, sudah mendapatkan izin resmi juga dari suami, meski tak bersertifikat, tapi tetap original.

Sayangnya, kali ini kami nonton hanya berdua karena Vina masih di Makassar. Dia akan kembali ke Jakarta esok hari.

Pukul 8 malam, aku baru pulang ke rumah diantar oleh Mika. Setelah mobilnya keluar dari gerbang, aku langsung masuk ke rumah.

Pintunya tak terkunci, artinya Pak Ezar sudah pulang. Aku lupa memperhatikan mobilnya di garasi.

“Assa—”

Baru saja ingin mengucapkan salam, tetapi pandanganku tak sengaja menangkap seorang wanita berjarak begitu dekat dengan Pak Ezar. Mereka tertawa-tawa seakan tak punya beban.

“Assalamualaikum,” ucapku akhirnya.

Pandangan mereka sontak tertuju ke arahku. Tawa cekikikan yang terdengar perlahan memudar.

Sepasang insan itu menatap tak suka dan penuh tanya padaku. Mungkin, karena aku telah menganggu waktu bersenang-senang mereka.

“Dia siapa?” tanya perempuan di samping Pak Ezar dengan pandangan curiga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status