Share

Part 3 - Tak Mau

Buru-buru aku bangkit dari posisi tengkurap. Berlari cepat ke luar kamar dengan niat menemui Ibu.

“Ibu!” teriakku.

“Apa, Neng?” tanyanya dari arah dapur.

Aku menghampirinya dan menggenggam lengannya erat-erat seakan butuh pertolongan.

“Bu, aku ... Neng gak mau nikah sama orang itu,” ucapku cepat. “Ibu boleh deh cari calon lain, Neng bakal terima. Asal tidak dengan dia.”

“Pliss, Bu. Neng gak mau.”

“Kenapa, Neng? Kemarin bilang mau?” Ibu bertanya dengan santainya.

“Iya, tapi kemarin Neng belum tau orangnya. Bu, batalkan aja, ya.” Sengaja, aku menyipitkan mata penuh permohonan. Berharap empati dan sedikit iba dari Ibu.

“Oh sekarang udah lihat? Tampan kan orangnya? Dari foto aja keliatan perkasa begitu, apalagi aslinya. Percaya sama Ibu, Neng akan bahagia bersamanya.”

“Ibu apa-apaan sih, ah.” Aku menggerutu sebal.

Ini bagaimana konsepnya? Apa hubungannya foto sama perkasa?

“Gak ada pembatalan,” pungkas Ibu. “Pernikahan bukan barang orderan.”

Detik kemudian, suara deru kendaraan berhenti tepat di depan rumah. Diiringi dengan senyum manis yang terpancar di bibir Ibu.

“Bu, tamunya sudah datang!” teriak Bapak dari arah ruang tamu.

“Nah, mereka udah datang. Sana berpakaian yang baik. Tampilan seperti itu terlalu seksi untuk pertemuan pertama. Beda cerita kalau udah nikah dan berdua dengan suami. Boleh lepas semua,” kilah Ibu sembari menjawil perutku diikuti dengan senyum-senyum yang tampaknya sengaja menggodaku.

Seketika itu, aku menunduk melihat penampilan yang hanya celana sepaha dan baju putih ketat membuat lekuk-lekuk tubuh berbentuk sempurna.

“Ah, Ibu!” sungutku menghentak-hentakkan kaki ke lantai memandangi kepergian Ibu bak tak punya beban.

Dengan terpaksa, aku keluar setelah mengenakan pakaian yang lebih pantas untuk menyambut calon suami dan mertua.

Kulemparkan senyum sedikit terpaksa begitu tiba di teras rumah.

Namun, pandanganku terhenti manakala menangkap wujud seorang pria yang tentu kukenali.

Pak Ezar tengah menunduk di kursi panjang dekat pot bunga!

Meski sudah tahu, tentu hati ini tetap syok berhadapan langsung dengan wujud aslinya.

Tak lama, Pak Ezar pun mendongak. Begitu melihatku, ekspresinya sangat terkejut!

Bedanya … walau dalam keterkejutan, tatapannya tetap bengis–mengintimidasi laksana sedang melihat seorang buronan.

Padahal, seharusnya aku yang menganggapnya buronan karena dia seenaknya membatalkan janji demi urusan keluarga.

Oh, wait! Inikah urusan yang katanya mendadak itu?

“Eh, Neng. Kenalkan ini Om Deon dan Tante Ola.” Ibu memperkenalkan wanita dan pria paruh baya yang bisa kupastikan adalah calon mertuaku.

“Tante Ola ini temannya Ibu semasa sekolah dulu. Sebelumnya, Ibu pernah menceritakannya padamu,” tambahnya yang kurespons hanya dengan anggukan.

Aku langsung menyodorkan tangan untuk salim pada mereka sebagai salam perkenalan dan penyambutan. Tak lupa menebarkan senyuman manis semanis janji mantan saat awal berjumpa.

“Wah, cantik sekali Neng Asha.”

Tentu saja aku tersipu mendengar pujian Tante Ola yang konon kata Ibu adalah seorang dokter bedah. Sungguh, masih tak kusangka jika bakal jadi menantu seorang dokter.

Siapalah Asha Fredella ini yang tampaknya sangat beruntung mendapatkan calon suami dari golongan bangsawan nan rupawan?

Dulu, aku juga pernah bercita-cita jadi dokter, tapi urung karena diriku takut jarum suntik. Ditambah dengan ketakutan mumpuni untuk meminum obat.

“Bun, kayaknya ada yang gak sabaran mau ngobrol dengan calon istrinya,” ucap Om Deon sekilas melihat sang putra yang menatap lurus ke arahku tanpa kata.

“Ya udah, silakan masuk dulu aja, Pak, Bu. Beri waktu anak-anak untuk mengobrol berdua. Barangkali memang ada yang mau diobrolin, tapi malu-malu,” cetus Bapak.

Mereka semua tertawa pelan, sedangkan aku hanya mengutas senyum hambar sehambar hubungan.

Agaknya mereka memang doyan sekali menggoda yang polos-polos macam aku ini.

“Nah, iya. Paling tidak kenalan dulu,” timpal Ibu terkekeh.

Aku menunduk kikuk. Ingin sekali menampik kenyataan yang ada, tapi tak bisa. Sudahlah, biarkan aku berpura-pura tak mengenalinya saja di hadapan keluarga. Bukankah dari dulu hidup seorang Asha isinya manipulatif?

Mereka semua bangkit dan berjalan melewatiku.

Aku hanya berdiri di tempat tanpa sepatah kata.

Tiba-tiba saja, lengan ini ditarik paksa oleh seseorang.

Spontan, aku mendongak dan mendapati wajah kaku Pak Ezar. Dia menyeretku hingga ke samping rumah–tempat yang sekiranya jauh dari jangkauan mata-mata netizen.

“Apa-apan sih, Pak? Main seret aja. Tidak bisakah Bapak bersikap lembut sedikit? Ini di luar kampus, Bapak tidak bisa berbuat seenaknya sama saya,” ujarku tak mampu membendung rasa kesal.

“Kamu yang apa-apaan, kenapa kamu terima perjodohan ini? Hah?!” Matanya melotot tajam ke arahku. “Apa kamu pikir dengan menikah, masalahmu dengan skripsi bisa kelar?”

‘What? Apa maksudnya?’

Dipikir aku menerima perjodohan karena ingin menghindari beban skripsi?

Oh, tentu tidak. Aku hanya menghindari tekanan keluarga yang ngebet banget memintaku menikah.

Padahal, aku tak perlu-perlu amat sebuah hubungan pernikahan. Maksudku, belum memerlukannya. Entah nanti. Lebih ke malas menjalin hubungan dengan pria. Sudah mati rasa.

“Bukannya belajar dengan baik, fokus ke skripsi, malah milih nikah. Saya curiga, jangan-jangan kamu emang udah kebelet nikah sampai-sampai di proposalmu juga isinya edukasi seks.”

‘Njir, masih diingat.’

Aku melebarkan mata. Melihat Pak Ezar menyeringai. Malu, tapi sepertinya pria ini memang sengaja mencari celah untuk memojokkanku.

“Pak, bisa tidak usah dibahas soal itu? Namanya juga kesalahan pengetikan,” gerutuku, “Bapak pikir perjodohan ini kemauan saya? Saya juga dijebak, Pak.”

“Dijebak apaan? Kamu sendiri yang menerimanya.”

“Mana saya tau kalau yang dijodohkan dengan saya malah Bapak.” Aku membuang napas kasar sebagai bentuk respons kalau sebenarnya aku juga terpaksa menerimanya. “Saya juga ogah kali nikah seburu-buru ini.”

Tidak sudi dianggap kebelet menikah oleh dosen galak ini. Apalagi, sampai terus menerus membahas persoalan kosa kata laknat di proposal kemarin.

“Bapak juga ngapain mau-mau aja datang ke sini? Sampe-sampe janji dengan saya dibatalkan seenaknya dengan alasan ada acara keluarga yang mendadak. Oh, mendadak banget ya, Pak?” Aku membalas seringainya.

“Seandainya tau Bapak ke sini, saya pasti bawa skripsi dan memaksa bimbingan. Dospem seperti Bapak kudunya memang dikejar sampai lubang semut kalau perlu,” tuturku penuh penekanan.

Berharap ke depannya, dia tak seenaknya pada mahasiswa. Apalagi mahasiswa sepertiku yang susah cari waktu libur untuk bertemu dengannya. Sekali dapat libur, malah seperti sengaja dipermainkan.

“Pak Ezar tau kalau yang dijodohkan dengan Bapak itu saya?” Aku memicing.

Pak Ezar menggeleng pelan.

“Jadi, jangan salahin saya kalau perjodohan konyol ini tetap terjadi. Bapak juga salah karena mau aja datang. Seandainya kemarin gak batalin janji dengan saya, masih mungkin perjodohan batal kalau salah satu di antara kita gak datang.”

“Udah ah, Pak. Ngobrol sama Bapak bawaannya emosi,” ujarku jujur.

Aku hendak melangkah meninggalkannya yang sudah menegang dan mengeras. Maksudku, wajahnya menegang dengan rahang yang tampak mengeras.

Namun, belum sempat melangkah jauh, tangan ini dicekal keras, sedikit ditarik hingga aku terpaksa mundur dan menabrak dadanya.

Setelahnya, Pak Ezar mendorong tubuhku hingga terpojok ke tembok.

Posisi kami kini sangat dekat.

Tangannya menggenggam kuat tanganku di depan dada.

Embusan napasnya yang hangat sudah bisa kurasakan meniup wajah. “Batalkan pernikahan ini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status