Share

Part 2 - Tak Disangka-Sangka

Bodo amat dikira stress sama mereka.

Toh, aku memang sudah hampir gila gara-gara dosen sialan itu.

Pak Ezar benar-benar tak punya hati. Padahal, dia sendiri yang janji hari ini. Tapi, malah membatalkan dengan alasan urusan pribadinya. Sepenting apa memang urusannya? Dipikir aku juga tidak punya urusan apa?

Aku sampai mengambil libur lebih awal demi bertemu dengannya. Tapi, nyatanya apa? Dosen PHP. Omongannya pedas dan lurus, tapi tidak bisa dipercaya.

Tak habis thinking dengan Pak Ezar yang menentukan dan membatalkan janji seenak udelnya.

“Gue sumpahin, dosen sialan itu jodohnya jauh,” ucapku kesal.

Sadar tak ada yang bisa dilakukan, kupilih tetap keluar dari kos dan menuju rumah saja.

*****

“Assalamualaikum,” ucapku yang langsung masuk rumah karena pintunya tak tertutup.

Hanya saja, tak ada satu pun yang menjawab.

‘Ke mana perginya orang rumah?’ batinku bingung.

Biasanya, mereka akan menyambut di teras kalau tahu aku akan datang.

Apa mungkin mereka sedang sibuk berkutat di dapur karena besok lebaran?

Kulangkahkan kaki masuk. Namun, begitu tiba di ruang tamu, aku terpana dan sedikit terkejut melihat tampilan rumah yang sudah didekorasi warna putih campur ungu dengan tambahan bunga-bunga.

Walaupun terlihat belum selesai, tapi bisa kutebak kalau dekorasinya persis dekorasi kawinan.

Jujur ... perasaanku mulai tak enak.

“Ibu, Bapak, aku pulang!” teriakku berharap mereka keluar. Namun, masih juga tak tampak batang hidungnya.

“Pada ke mana sih siang-siang begini?” Aku mengerucutkan bibir kesal, kemudian duduk dan meletakkan barang bawaan di meja.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar adikku terbuka. Naila yang berusia 16 tahun itu keluar dengan daster melekat di tubuhnya yang bongsor. Dari raut wajah, sepertinya dia baru bangun tidur.

“Eh, udah datang, Teh Asha?” tanyanya sembari menghampiri dan mencium tanganku dengan takzim.

“Bapak sama Ibu ke mana, dek?”

“Bapak sama Ibu lagi ke pasar. Ada keperluan yang belum kebeli katanya.”

Aku manggut-manggut mendengar pernyataannya yang tanpa kutanya sudah menjawab rasa penasaran sedari tadi.

Tak lama, kuberikan paper bag warna pink bergambar princes yang kubawa tadi padanya. “Buat kamu.”

“Apa ini, Teh?”

“Liat aja. Kalau gak mau, bisa dibalikin,” jawabku kemudian bangkit menenteng tas hendak menuju kamar.

“Mau, dong. Itu paper bag yang dua buat Naila juga, Teh?” tanyanya saat aku sudah membuka kamar.

“Dih, maruk. Punya Agam yang warna biru, warna kuning punya Ibu sama Bapak.”

Setelah meletakkan tas di kasur dan membuka sepatu. Aku keluar lagi karena mengingat sesuatu.

Ada keganjalan batin yang harus kutanyakan pada Naila.

Sayangnya, anak itu sudah tak ada di ruang tamu! Jadi, aku gegas masuk ke kamarnya tanpa izin.

“Suka gak bajunya?” tanyaku mengutas senyum melihat dia tengah mencoba baju pemberianku di depan cermin.

“Suka. Teteh mah paling tau yang pas buat Naila. Terima kasih ya, Tetehku tersayang.” Naila spontan memelukku, membuat tubuh ini terasa terhimpit. Nyaris susah bernapas.

“Iya, gak usah lebay.”

Naila mengerucutkan bibir kesal. Tentu, membuat tanganku tak bisa tinggal diam untuk mencubit pipinya yang gemoy.

“Oh, iya. Dek, rumah kenapa banyak dekor-dekor macam mau kawinan segala, ya?”

Kulihat Naila mengangkat alis. “Loh, emang Teteh gak tau? Bukannya, Ibu ada bilang sesuatu ke Teteh?”

Aku mengernyit. “Ada. Soal perjodohan dan pertunangan H+3 lebaran kan? Tapi kan cuma pertunangan, ngapain itu sampe dekor-dekor begitu?”

“Lah? Teh ... pekan lalu keluarganya calon suami Teteh datang ke rumah. Dia minta pertunangan Teteh nanti sudah sekaligus dengan akad, mumpung mereka sedang cuti lebaran barengan. Ibu dan Bapak setuju, karena Teteh juga liburnya susah diprediksi.”

“Bahkan, dekorasi dan segala macam mereka yang urus, Teh.”

“HAH?!” pekikku melotot tajam. Nyaris saja bola mata loncat keluar.

Cobaan apa lagi ini?

Mengapa alur hidupku benar-benar tak bisa ditebak? Semesta agaknya doyan sekali bercanda dengan mentalku yang sangat rapuh ini.

Setelahnya, aku langsung memilih menuju kamarku.

Cukup lama, aku terpaku dalam keheningan.

“Bukan lamaran, tapi nikahan?” lirihku tak percaya.

Tok tok tok!

“Makan dulu, Neng. Kata Naila, kamu belum makan semenjak pulang tadi,” ujar Ibu lembut setelah mengetuk pintu kamarku.

Seketika, aku sadar dari lamunan. “Belum pengen, Bu. Dalam kondisi seperti ini rasanya sudah gak punya semangat hidup lagi.”

“Eh, bicara apa sih kamu ini? Jangan ngomong gitu, pamali tau ah.”

Aku menghela napas berat. Pandanganku masih fokus keluar jendela.

“Kemarin waktu nelepon, Ibu bilang hanya lamaran, tapi kenapa jadinya akad juga, Bu? Ibu ngedekor rumah, padahal Neng sendiri gak tau mau nikah. Neng syok saat lihat semuanya, Ibu tau?”

Aku mengeluarkan unek-unek pada Ibu.

Sepekan yang lalu, Ibu memang sempat menelepon dan menagih janjiku untuk bertemu dengan calon mantu idamannya. Tapi, aku tak bisa menepatinya. Sibuk menjadi alasan paling utama agar tak didesak. Aku merasa, ide mereka menjodohkanku sangat konyol.

Walaupun begitu, aku yang males didesak, akhirnya menerima perjodohan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Toh, Ibu bilang kami akan tunangan.

Taunya, malah sekalian dengan akad?!

“Ibu hanya ingin kamu bahagia, Neng. Maafkan Ibu karena tak memberitahu lebih awal,” ujar Ibu mengusap lembut rambutku.

“Bersama Ibu, Bapak, Naila, dan Agam sudah cukup membuat Neng bahagia. Ibu tau kan, Neng selalu tak bisa untuk terlalu percaya pada orang baru, apalagi sama laki-laki,” tuturku sesekali masih terisak pilu. “Apa Ibu sudah gak mau merawat Neng?”

Ibu tak langsung menjawab. Ia melepaskan pelukan di antara kami, lalu menangkup wajahku. “Kenapa Neng berpikiran seperti itu? Ibu sudah anggap Neng anak sendiri. Ibu benar-benar tidak ada maksud apa-apa dari perjodohan ini. Ibu hanya ingin Neng bahagia dan gak takut lagi dengan kehidupan pernikahan,” jelas Ibu. “Cepat atau lambat, Neng juga akan menikah. Mau sampai kapan tak mau buka hati sama laki-laki?”

Tatapan wanita yang sebenarnya istri pamanku itu begitu dalam dan penuh kasih.

Aku sampai tak bisa berkata-kata pada wanita yang sudah membesarkanku di saat ayah dan ibu kandungku memilih berpisah dengan cara yang menyakitkan.

“Cinta bisa tumbuh setelah pernikahan, Neng,” tambahnya lagi.

Aku memilih diam.

Mau menolak pun, tak akan ada gunanya.

Keputusan ini sudah final.

Tentu, aku tak akan pernah bisa membantah perkataan Ibu, maupun Bapak.

“Baiklah,” ucapku pada akhirnya, “hanya saja, jika Neng memilih menyerah, pintu rumah ini selalu terbuka ‘kan untuk Neng?”

Ibu mengangguk cepat. “Pasti, Neng. Ini rumahmu dan akan tetap jadi rumahmu. Ibu dan Bapak juga akan terus berdoa untuk kebahagiaan Neng.”

Aku memejamkan mata sebentar, merasakan punggung diusap pelan oleh Ibu.

Sejatinya, aku bisa saja membatalkan pernikahan tanpa rencana ini jika mau.

Maksudku, kabur dari rumah mungkin bisa dijadikan sebuah solusi.

Namun, aku tak mau membuat Ibu dan Bapak kecewa.

Aku juga tidak mau mengorbankan Naila. Takut jika kabur, gadis itu malah nekat menjadi pengantin pengganti seperti di novel-novel yang pernah kubaca.

“Ayah tau kalau Neng akan menikah, Bu?” tanyaku memecah keheningan.

“Iya, Neng. kemarin Bapak menghubunginya.”

Keningku berkerut. “Berarti Ayah datang?”

Tak biasanya, pria itu peduli dengan kehidupanku.

Seketika Ibu menggeleng pelan. Raut wajahnya berubah datar. “Dia tak bisa datang, Neng. Ayahmu sekarang kerja di Kalimantan. Dia baru saja bekerja, jadi belum bisa ambil cuti. Tapi, nanti dia bakal Video Call saat akad untuk menyerahkan wali nikah ke Bapak, kok.”

Aku mengangguk dan menyeringai tipis. Sudah kuduga kejadiannya akan seperti itu.“Oh, Neng juga tak berharap dia datang, Bu.”

“Hus. Jangan ngomong gitu. Gak baik. Mau bagaimanapun juga, dia ayahnya Neng.”

“Iya, Bu, iya. Neng selalu tak bisa membantah kalau sudah Ibu yang ngomong.”

Ibu mencubit pipiku gemas. “Ayo makan dulu, Neng.”

“Nanti dulu, Bu. Masih kenyang,” kataku berbohong. Padahal, hanya tak mood.

“Kenyang dari mana? Dari tadi belum makan. Lihat Neng makin kurus, itu efek makan gak teratur. Lama-lama tubuh Neng persis cacing kelaparan. Sudah kalah gede sama Naila.”

“Beban mikirin skripsi yang gak ada habisnya. Bikin mumet, Bu.”

“Nanti abis nikah, minta bantuan sama suami. Dia juga dosen. Mestinya bisa bantu Neng selesai cepat.”

Aku berdehem panjang. Sebelumnya Ibu memang pernah bilang kalau calon mantu idamannya itu seorang dosen.

Jadi ingat Pak Ezar—dosen sialan yang lebih rumit dari cewek PMS.

“Semoga aja gak kayak dospem Neng di kampus, Bu. Punya hati, tapi kayaknya gak dipake.”

“Haih, kebiasaan ngatain orang. Jangan gitu, ah.”

“Maaf, Bu. Lidah Neng suka keseleo.” Aku terkekeh pelan. “Bu, emang pria yang dijodohin dengan Neng namanya siapa?”

Aku mengernyit penasaran. Lucu aja, sudah mau nikah tapi sampai sekarang tak tahu nama calon suami sendiri. Ah, jangankan namanya. Rupanya saja belum tahu.

“Kemarin Ibu suruh Neng ketemu sama orangnya buat kenalan, tapi Neng gak temuin. Sekarang baru penasaran. Pokoknya, lihat nanti aja, ya”

Mendengar godaan ibu, aku tercengang.

Tapi, apalagi yang bisa kulakukan?

Jadi, di sinilah aku mengikuti alur.

Setelah mengikuti perayaan Idul Adha, aku memilih di kamar seorang diri dan menenangkan pikiran yang tengah perang.

Ibu dan Bapak sendiri masih silaturahmi dengan tetangga. Naila dan Agam entahlah ke mana mereka batang hidungnya tak nampak.

Namun, aku tiba-tiba merasa penasaran dengan model calon suami yang sampai saat ini belum kuketahui seperti apa rupanya.

Tidak mau munafik, aku berharap wujudnya tak burik-burik amat.

Paling tidak, nanti kalau disakiti cukup hati yang sakit, mata tak perlu ikutan sakit.

‘Ah, kenapa gak gue buka aja foto yang dikirim Ibu waktu itu?’

Aku meraih ponsel dan membuka room chat Ibu.

Sebelum menerima perjodohan konyol ini, sebenarnya Ibu sudah mengirimkan foto beserta kontaknya. Namun, aku enggan untuk membuka ataupun menghubungi.

Gegas aku menggulir sedikit demi sedikit layar ponsel.

Sampai pada sebuah foto yang membuat mata ini seketika melebar.

‘Tidak, aku pasti salah lihat. Tadi, aku sedang berhalusinasi kan? Iya kan?’

Segera kupperhatikan baik-baik foto pria yang konon adalah calon suamiku.

Hanya saja …fotonya tak berubah.

“Astaga! Pak Ezar?!” pekikku terkejut.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status