Bodo amat dikira stress sama mereka.
Toh, aku memang sudah hampir gila gara-gara dosen sialan itu.Pak Ezar benar-benar tak punya hati. Padahal, dia sendiri yang janji hari ini. Tapi, malah membatalkan dengan alasan urusan pribadinya. Sepenting apa memang urusannya? Dipikir aku juga tidak punya urusan apa?Aku sampai mengambil libur lebih awal demi bertemu dengannya. Tapi, nyatanya apa? Dosen PHP. Omongannya pedas dan lurus, tapi tidak bisa dipercaya.Tak habis thinking dengan Pak Ezar yang menentukan dan membatalkan janji seenak udelnya.“Gue sumpahin, dosen sialan itu jodohnya jauh,” ucapku kesal.Sadar tak ada yang bisa dilakukan, kupilih tetap keluar dari kos dan menuju rumah saja.*****“Assalamualaikum,” ucapku yang langsung masuk rumah karena pintunya tak tertutup.Hanya saja, tak ada satu pun yang menjawab.‘Ke mana perginya orang rumah?’ batinku bingung.Biasanya, mereka akan menyambut di teras kalau tahu aku akan datang.Apa mungkin mereka sedang sibuk berkutat di dapur karena besok lebaran?Kulangkahkan kaki masuk. Namun, begitu tiba di ruang tamu, aku terpana dan sedikit terkejut melihat tampilan rumah yang sudah didekorasi warna putih campur ungu dengan tambahan bunga-bunga.Walaupun terlihat belum selesai, tapi bisa kutebak kalau dekorasinya persis dekorasi kawinan.Jujur ... perasaanku mulai tak enak.“Ibu, Bapak, aku pulang!” teriakku berharap mereka keluar. Namun, masih juga tak tampak batang hidungnya.“Pada ke mana sih siang-siang begini?” Aku mengerucutkan bibir kesal, kemudian duduk dan meletakkan barang bawaan di meja.Beberapa saat kemudian, pintu kamar adikku terbuka. Naila yang berusia 16 tahun itu keluar dengan daster melekat di tubuhnya yang bongsor. Dari raut wajah, sepertinya dia baru bangun tidur.“Eh, udah datang, Teh Asha?” tanyanya sembari menghampiri dan mencium tanganku dengan takzim.“Bapak sama Ibu ke mana, dek?”“Bapak sama Ibu lagi ke pasar. Ada keperluan yang belum kebeli katanya.”Aku manggut-manggut mendengar pernyataannya yang tanpa kutanya sudah menjawab rasa penasaran sedari tadi.Tak lama, kuberikan paper bag warna pink bergambar princes yang kubawa tadi padanya. “Buat kamu.”“Apa ini, Teh?”“Liat aja. Kalau gak mau, bisa dibalikin,” jawabku kemudian bangkit menenteng tas hendak menuju kamar.“Mau, dong. Itu paper bag yang dua buat Naila juga, Teh?” tanyanya saat aku sudah membuka kamar.“Dih, maruk. Punya Agam yang warna biru, warna kuning punya Ibu sama Bapak.”Setelah meletakkan tas di kasur dan membuka sepatu. Aku keluar lagi karena mengingat sesuatu.Ada keganjalan batin yang harus kutanyakan pada Naila.Sayangnya, anak itu sudah tak ada di ruang tamu! Jadi, aku gegas masuk ke kamarnya tanpa izin.“Suka gak bajunya?” tanyaku mengutas senyum melihat dia tengah mencoba baju pemberianku di depan cermin.“Suka. Teteh mah paling tau yang pas buat Naila. Terima kasih ya, Tetehku tersayang.” Naila spontan memelukku, membuat tubuh ini terasa terhimpit. Nyaris susah bernapas.“Iya, gak usah lebay.”Naila mengerucutkan bibir kesal. Tentu, membuat tanganku tak bisa tinggal diam untuk mencubit pipinya yang gemoy.“Oh, iya. Dek, rumah kenapa banyak dekor-dekor macam mau kawinan segala, ya?”Kulihat Naila mengangkat alis. “Loh, emang Teteh gak tau? Bukannya, Ibu ada bilang sesuatu ke Teteh?”Aku mengernyit. “Ada. Soal perjodohan dan pertunangan H+3 lebaran kan? Tapi kan cuma pertunangan, ngapain itu sampe dekor-dekor begitu?”“Lah? Teh ... pekan lalu keluarganya calon suami Teteh datang ke rumah. Dia minta pertunangan Teteh nanti sudah sekaligus dengan akad, mumpung mereka sedang cuti lebaran barengan. Ibu dan Bapak setuju, karena Teteh juga liburnya susah diprediksi.”“Bahkan, dekorasi dan segala macam mereka yang urus, Teh.”“HAH?!” pekikku melotot tajam. Nyaris saja bola mata loncat keluar.Cobaan apa lagi ini?Mengapa alur hidupku benar-benar tak bisa ditebak? Semesta agaknya doyan sekali bercanda dengan mentalku yang sangat rapuh ini.Setelahnya, aku langsung memilih menuju kamarku.Cukup lama, aku terpaku dalam keheningan.“Bukan lamaran, tapi nikahan?” lirihku tak percaya.Tok tok tok!“Makan dulu, Neng. Kata Naila, kamu belum makan semenjak pulang tadi,” ujar Ibu lembut setelah mengetuk pintu kamarku.Seketika, aku sadar dari lamunan. “Belum pengen, Bu. Dalam kondisi seperti ini rasanya sudah gak punya semangat hidup lagi.”“Eh, bicara apa sih kamu ini? Jangan ngomong gitu, pamali tau ah.”Aku menghela napas berat. Pandanganku masih fokus keluar jendela.“Kemarin waktu nelepon, Ibu bilang hanya lamaran, tapi kenapa jadinya akad juga, Bu? Ibu ngedekor rumah, padahal Neng sendiri gak tau mau nikah. Neng syok saat lihat semuanya, Ibu tau?”Aku mengeluarkan unek-unek pada Ibu.Sepekan yang lalu, Ibu memang sempat menelepon dan menagih janjiku untuk bertemu dengan calon mantu idamannya. Tapi, aku tak bisa menepatinya. Sibuk menjadi alasan paling utama agar tak didesak. Aku merasa, ide mereka menjodohkanku sangat konyol.Walaupun begitu, aku yang males didesak, akhirnya menerima perjodohan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Toh, Ibu bilang kami akan tunangan.Taunya, malah sekalian dengan akad?!“Ibu hanya ingin kamu bahagia, Neng. Maafkan Ibu karena tak memberitahu lebih awal,” ujar Ibu mengusap lembut rambutku.“Bersama Ibu, Bapak, Naila, dan Agam sudah cukup membuat Neng bahagia. Ibu tau kan, Neng selalu tak bisa untuk terlalu percaya pada orang baru, apalagi sama laki-laki,” tuturku sesekali masih terisak pilu. “Apa Ibu sudah gak mau merawat Neng?”Ibu tak langsung menjawab. Ia melepaskan pelukan di antara kami, lalu menangkup wajahku. “Kenapa Neng berpikiran seperti itu? Ibu sudah anggap Neng anak sendiri. Ibu benar-benar tidak ada maksud apa-apa dari perjodohan ini. Ibu hanya ingin Neng bahagia dan gak takut lagi dengan kehidupan pernikahan,” jelas Ibu. “Cepat atau lambat, Neng juga akan menikah. Mau sampai kapan tak mau buka hati sama laki-laki?”Tatapan wanita yang sebenarnya istri pamanku itu begitu dalam dan penuh kasih.Aku sampai tak bisa berkata-kata pada wanita yang sudah membesarkanku di saat ayah dan ibu kandungku memilih berpisah dengan cara yang menyakitkan.“Cinta bisa tumbuh setelah pernikahan, Neng,” tambahnya lagi.Aku memilih diam.Mau menolak pun, tak akan ada gunanya.Keputusan ini sudah final.Tentu, aku tak akan pernah bisa membantah perkataan Ibu, maupun Bapak.“Baiklah,” ucapku pada akhirnya, “hanya saja, jika Neng memilih menyerah, pintu rumah ini selalu terbuka ‘kan untuk Neng?”Ibu mengangguk cepat. “Pasti, Neng. Ini rumahmu dan akan tetap jadi rumahmu. Ibu dan Bapak juga akan terus berdoa untuk kebahagiaan Neng.”Aku memejamkan mata sebentar, merasakan punggung diusap pelan oleh Ibu.Sejatinya, aku bisa saja membatalkan pernikahan tanpa rencana ini jika mau.Maksudku, kabur dari rumah mungkin bisa dijadikan sebuah solusi.Namun, aku tak mau membuat Ibu dan Bapak kecewa.Aku juga tidak mau mengorbankan Naila. Takut jika kabur, gadis itu malah nekat menjadi pengantin pengganti seperti di novel-novel yang pernah kubaca.“Ayah tau kalau Neng akan menikah, Bu?” tanyaku memecah keheningan.“Iya, Neng. kemarin Bapak menghubunginya.”Keningku berkerut. “Berarti Ayah datang?”Tak biasanya, pria itu peduli dengan kehidupanku.Seketika Ibu menggeleng pelan. Raut wajahnya berubah datar. “Dia tak bisa datang, Neng. Ayahmu sekarang kerja di Kalimantan. Dia baru saja bekerja, jadi belum bisa ambil cuti. Tapi, nanti dia bakal Video Call saat akad untuk menyerahkan wali nikah ke Bapak, kok.”Aku mengangguk dan menyeringai tipis. Sudah kuduga kejadiannya akan seperti itu.“Oh, Neng juga tak berharap dia datang, Bu.”“Hus. Jangan ngomong gitu. Gak baik. Mau bagaimanapun juga, dia ayahnya Neng.”“Iya, Bu, iya. Neng selalu tak bisa membantah kalau sudah Ibu yang ngomong.”Ibu mencubit pipiku gemas. “Ayo makan dulu, Neng.”“Nanti dulu, Bu. Masih kenyang,” kataku berbohong. Padahal, hanya tak mood.“Kenyang dari mana? Dari tadi belum makan. Lihat Neng makin kurus, itu efek makan gak teratur. Lama-lama tubuh Neng persis cacing kelaparan. Sudah kalah gede sama Naila.”“Beban mikirin skripsi yang gak ada habisnya. Bikin mumet, Bu.”“Nanti abis nikah, minta bantuan sama suami. Dia juga dosen. Mestinya bisa bantu Neng selesai cepat.”Aku berdehem panjang. Sebelumnya Ibu memang pernah bilang kalau calon mantu idamannya itu seorang dosen.Jadi ingat Pak Ezar—dosen sialan yang lebih rumit dari cewek PMS.“Semoga aja gak kayak dospem Neng di kampus, Bu. Punya hati, tapi kayaknya gak dipake.”“Haih, kebiasaan ngatain orang. Jangan gitu, ah.”“Maaf, Bu. Lidah Neng suka keseleo.” Aku terkekeh pelan. “Bu, emang pria yang dijodohin dengan Neng namanya siapa?”Aku mengernyit penasaran. Lucu aja, sudah mau nikah tapi sampai sekarang tak tahu nama calon suami sendiri. Ah, jangankan namanya. Rupanya saja belum tahu.“Kemarin Ibu suruh Neng ketemu sama orangnya buat kenalan, tapi Neng gak temuin. Sekarang baru penasaran. Pokoknya, lihat nanti aja, ya”Mendengar godaan ibu, aku tercengang.Tapi, apalagi yang bisa kulakukan?Jadi, di sinilah aku mengikuti alur.Setelah mengikuti perayaan Idul Adha, aku memilih di kamar seorang diri dan menenangkan pikiran yang tengah perang.Ibu dan Bapak sendiri masih silaturahmi dengan tetangga. Naila dan Agam entahlah ke mana mereka batang hidungnya tak nampak.Namun, aku tiba-tiba merasa penasaran dengan model calon suami yang sampai saat ini belum kuketahui seperti apa rupanya.Tidak mau munafik, aku berharap wujudnya tak burik-burik amat.Paling tidak, nanti kalau disakiti cukup hati yang sakit, mata tak perlu ikutan sakit.‘Ah, kenapa gak gue buka aja foto yang dikirim Ibu waktu itu?’Aku meraih ponsel dan membuka room chat Ibu.Sebelum menerima perjodohan konyol ini, sebenarnya Ibu sudah mengirimkan foto beserta kontaknya. Namun, aku enggan untuk membuka ataupun menghubungi.Gegas aku menggulir sedikit demi sedikit layar ponsel.Sampai pada sebuah foto yang membuat mata ini seketika melebar.‘Tidak, aku pasti salah lihat. Tadi, aku sedang berhalusinasi kan? Iya kan?’Segera kupperhatikan baik-baik foto pria yang konon adalah calon suamiku.Hanya saja …fotonya tak berubah.“Astaga! Pak Ezar?!” pekikku terkejut.Buru-buru aku bangkit dari posisi tengkurap. Berlari cepat ke luar kamar dengan niat menemui Ibu. “Ibu!” teriakku. “Apa, Neng?” tanyanya dari arah dapur. Aku menghampirinya dan menggenggam lengannya erat-erat seakan butuh pertolongan. “Bu, aku ... Neng gak mau nikah sama orang itu,” ucapku cepat. “Ibu boleh deh cari calon lain, Neng bakal terima. Asal tidak dengan dia.” “Pliss, Bu. Neng gak mau.” “Kenapa, Neng? Kemarin bilang mau?” Ibu bertanya dengan santainya. “Iya, tapi kemarin Neng belum tau orangnya. Bu, batalkan aja, ya.” Sengaja, aku menyipitkan mata penuh permohonan. Berharap empati dan sedikit iba dari Ibu. “Oh sekarang udah lihat? Tampan kan orangnya? Dari foto aja keliatan perkasa begitu, apalagi aslinya. Percaya sama Ibu, Neng akan bahagia bersamanya.” “Ibu apa-apaan sih, ah.” Aku menggerutu sebal. Ini bagaimana konsepnya? Apa hubungannya foto sama perkasa? “Gak ada pembatalan,” pungkas Ibu. “Pernikahan bukan barang orderan.” Detik kemudian, suara deru kendaraa
Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku. Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya. Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman. Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah. Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi. Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit. “Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.” Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik. Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak. Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami a
Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka. Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk. Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang. “Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan. “Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya. ‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’ “Cepetan buka!” “Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa. Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya. Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan
Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan. Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus. ‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’ Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget. Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak. Menyangkut pri
Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku. Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal. Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya. Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi? Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang. Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh. Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak? Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus me
Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat
‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap
Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban