Share

Istri Dadakan si Dosen Tampan
Istri Dadakan si Dosen Tampan
Penulis: Kharamiza

Part 1 - Kata Keramat

“Apa proposalmu sudah dicek dengan teliti sebelum diserahkan ke saya, Asha?” ucap pria di depanku dingin sembari mencoret-coret lembaran-lembaran proposal yang kukerjakan setengah mati.

Oh, Tuhan!

Ini sudah kesekian kali bimbingan proposal untuk revisi, tapi tampaknya masih juga aku harus bertempur dengan revisian yang tiada habisnya.

Bermula dari penyusunan, isi materi, sampai tanda baca titik koma–tak luput dari perhatian dosen pembimbing yang tidak pernah salah ini.

Kalau penyusunan proposal saja bebannya sudah seberat dosa, bakalan seperti apa nanti di tahap olah datanya?

“Kau ini niat kuliah tidak?” ucap Pak Ezar lagi yang menyadarkanku dari lamunan.

“I—ya, Pak,” jawabku ragu, tak berani menatap wajah dosen muda itu.

Brak!

Pak Ezar tiba-tiba menghempaskan tumpukan kertas itu tepat di hadapanku.

“Tapi, kenapa untuk menyelesaikan proposal seperti ini saja sulit?! Saya ‘kan sudah bilang cantumkan sumber teori, tapi ini masih ada yang belum dicantumkan. Saya juga cek kamu tidak menjelaskan teori yang seharusnya terjadi dan fakta yang sebenarnya terjadi. Apa susahnya, Asha?”

Suaranya terdengar frustasi. “Proposalmu ini paling hancur selama saya membimbing mahasiswa.”

Kalimatnya bagaikan bom yang seakan sengaja dikirim untuk menumpas pertahanan.

Sejatinya aku juga sudah bekerja keras untuk hasil terbaik.

Pulang kerja, aku begadang sampai dini hari untuk proposal ini. Tapi, ternyata tak ada artinya sama sekali.

‘Tenang, Sha. Tenang!’ ucapku menenangkan diri.

Aku tak ingin menumpahkan air mata di depan dosen muda paling ngeselin di UNNUS ini.

Wajahnya memang tampan, tubuhnya tinggi kekar, pesonanya nyaris sempurna, tapi galak dan kejamnya minta ampun!

Tak salah kalau dia dijuluki ‘Duta Dosen Galak’ oleh mahasiswa di lingkup Manajemen.

Apalagi ia sering ganti jadwal seenak jidatnya tanpa minta maaf! Mungkin, karena yayasan kampus ini punya buyutnya yang sekarang dikelola oleh ayahnya Pak Ezar yang juga dosen di gedung pascasarjana?

Anehnya, masih ada aja mahasiswa yang menyanjung sampai menghalu mau jadi istrinya Pak Ezar. Ampun, dah….

“Saya mungkin digaji untuk membimbing mahasiswa, tapi membimbing mahasiswa modelan kamu–bikin rugi waktu dan tenaga saya,” ucapnya lagi.

Kali ini, air mataku benar-benar lolos mendengar kalimat-kalimatnya yang menyakitkan.

“Maaf, Pak. Saya ….“ Suaraku bergetar, tapi ia tampak tak peduli.

“Saya tidak butuh permintaan maafmu. Saya butuh hasil kerjamu yang tak bikin saya tambah pusing,” tegasnya, lalu mengejekku lagi, “dasar cengeng! Baru gitu aja nangis.”

Deg!

Baru gitu aja katanya?

Dia tak merasakan saja berada di posisiku yang harus menghadapi dirinya sebagai dosen pembimbing.

Padahal, sejak semester lalu diberi nilai C olehnya perkara sekali telat 3 menit di kelasnya, aku sudah trauma dengan pria ini.

Saat diprotes, bukannya untung, aku malah buntung. Pak Ezar mengganti nilaiku dari C ke E-ror!

“Revisi kembali. Cantumkan sumber teori-teori yang kamu pake, kosa katanya juga diperhatikan. Saya tidak tau ini taipo atau bukan, tapi pesan saya kalau ngetik jangan mimpi kebayang orgasme sampe-sampe ikut diketik ke naskah.”

Tangisku terhenti.

Kini mataku membola mendengar ucapannya. “Hah? Apa, Pak?”

“Orgasme,” katanya memperjelas.

What, apa-apaan lagi ini?

Cepat, aku menghapus sisa air mata lantas membuka naskah di hadapan Pak Ezar. Seketika, aku melihat kosa kata yang telah ditandai tinta merah, dan itu benar-benar kata “orgasme”!

Ya ampun!

Kenapa bisa ada kata itu?

Sejak kapan aku menulisnya?

Padahal, nyaris puluhan kali aku menggulir file sebelum print out.

“Ma—maaf, Pak. Kayaknya ini taipo. Mungkin, maksudnya organisme.”

“Tidak ada kayaknya dan kemungkinan dalam penelitian. Semua harus jelas dan nyata.”

“Iya, Pak. Maaf,” ucapku menahan lidahku kelu.

Entah semerah apa wajahku menahan malu saat ini akibat typo yang di luar prediksi BMKG!

Mungkin, malunya akan terbawa sampai lebaran tahun depan.

Dari sudut mata, kulihat Pak Ezar masih menggeleng berulang kali.

“Oke, temui saya lagi pekan depan. Saya tidak mau tau, kamu harus sudah selesai revisi.”

“Baik, Pak,” ucapku kemudian bangkit. Ingin buru-buru enyah dari hadapan Pak Ezar.

Aku menghembuskan napas berat, lantas keluar dari ruangan dengan perasaan yang tak menentu.

Dimaki-maki dosen pembimbing lebih capek daripada kerja lembur di toko.

Oh my Allah!

****

“Aman, Sha?” tanya Vina saat melihatku sudah keluar dari ruangan Pak Ezar.

Gadis berhijab itu memang sengaja menungguku bimbingan karena sudah tak ada kelas lagi.

Ya, aku dan Vina sejatinya beda tingkatan. Meskipun, segi umur dia lebih tua satu tahun dariku, tapi di kampus justru satu tahun di bawahku.

Kami bertemu di tempat kerja dan pada saat itu dia statusnya masih karyawan baru. Ia lagi cari-cari kampus yang kuliahnya Sabtu-Minggu. Jadi, aku merekomendasikan kampus kami.

“Biasa. Harus revisi,” jawabku singkat, lalu aku mendaratkan bokong di kursi berbahan aluminium di sebelah Vina.

“Lagi?”

Aku mengangguk sembari menunduk hingga tanpa sadar rambut menutupi setengah wajah.

“Demi apa? Amit-amit kalau dosen pembimbingku nanti modelan Pak Ezar.”

“Gue malah berharap lu dapatnya dia ya, Ukhti. Supaya kita senasib sepenanggungan.” Aku terkekeh.

“Astagfirullah, ada ya teman modelan kamu, Sha.” Vina mengerucutkan bibirnya.

“Berat banget tau sama dia tuh. Gak ada benarnya kita jadi mahasiswa. Bimbingan sebelumnya disuruh ganti, bimbingan lagi malah disuruh balikin ke setelan lama. Maunya apa ya?”

“Saking gak punya hati nurani, orang nangis malah dituduh nyari empati. Apa sih?

Vina tertawa. “Lagian, kamu kenapa nangis? Dia malah makin seneng maki-maki kamu, kan?”

Aku menghela napas berat. “Gak kuat aku tuh, omongannya pedas-pedas. Lebih pedas dari ayam geprek level 10 yang bikin keluar masuk WC.”

Vina mengangguk. “Apa Pak Ezar punya dendam pribadi sama kamu, Sha?”

Tak lama, ia pun tertawa–membuatku hanya pasrah memikirkan bagaimana masa depanku nanti.

Sayangnya, selama kita hidup, masalah memang akan selalu ada.

Kalau tak bisa menghindar, ya kita harus hadapi.

Setelah kejadian memalukan itu di minggu lalu, aku harus kembali bimbingan dengan Pak Ezar.

Kuutak-atik ponsel menghubungi pria itu sebelum ke kampus.

Berharap ketika sampai di kampus, bisa langsung ditemui. Meski belum disetujui seminar, setidaknya aku tak dicapnya pemalas.

Setelah pesanku terkirim, Pak Ezar langsung membacanya. Namun, yang mengejutkan adalah dia tiba-tiba menelepon!

‘Haa, ini benaran ditelepon? Bukan salah orang ini kan, ya?’ panikku.

Pak Ezar itu tipikal dosen yang enggan untuk menelepon ataupun menerima telepon dari mahasiswa.

Jadi, dengan tangan gemetar, aku menjawab telepon Pak Ezar sambil merapal mantra pelet dalam hati agar dosen galak bin kejam itu berubah jadi baik, minimal hari ini saja.

Semoga peletku bekerja dengan baik!

“Asha, jadwal bimbinganmu hari ini, kan?” tanyanya to the point.

“Iya, Pak. Bapak ke kampus jam berapa?”

“Ditunda dulu aja, ya. Saya lagi di jalan mau ke luar kota karena ada urusan mendadak. Kemungkinan sampai pekan depan. Jadi untuk diskusi proposalmu nanti saat saya sudah kembali ke Jakarta.”

Aku melongo tanpa kata mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Pak Ezar di seberang sana.

Tak tahu harus mengatakan apa, sehingga tanpa sadar aku meremas ujung skripsi bersama emosi yang membuncah di dada.

Tut ... tut ... tut.

Sambungan pun terputus.

Segera saja aku melempar tumpukan kertas ke tembok, disusul pulpen hingga penutup dan badannya terpisah.

“Dosen sialan!” teriakku frustasi sampai tetangga kosku membuka pintunya kaget.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Azizah Bounty
Baca ini siap-siap ter Ear-Ezar gess. Mangat terus Kak Author
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status