“Apa proposalmu sudah dicek dengan teliti sebelum diserahkan ke saya, Asha?” ucap pria di depanku dingin sembari mencoret-coret lembaran-lembaran proposal yang kukerjakan setengah mati.
Oh, Tuhan!Ini sudah kesekian kali bimbingan proposal untuk revisi, tapi tampaknya masih juga aku harus bertempur dengan revisian yang tiada habisnya.Bermula dari penyusunan, isi materi, sampai tanda baca titik koma–tak luput dari perhatian dosen pembimbing yang tidak pernah salah ini.Kalau penyusunan proposal saja bebannya sudah seberat dosa, bakalan seperti apa nanti di tahap olah datanya?“Kau ini niat kuliah tidak?” ucap Pak Ezar lagi yang menyadarkanku dari lamunan.“I—ya, Pak,” jawabku ragu, tak berani menatap wajah dosen muda itu.Brak!Pak Ezar tiba-tiba menghempaskan tumpukan kertas itu tepat di hadapanku.“Tapi, kenapa untuk menyelesaikan proposal seperti ini saja sulit?! Saya ‘kan sudah bilang cantumkan sumber teori, tapi ini masih ada yang belum dicantumkan. Saya juga cek kamu tidak menjelaskan teori yang seharusnya terjadi dan fakta yang sebenarnya terjadi. Apa susahnya, Asha?”Suaranya terdengar frustasi. “Proposalmu ini paling hancur selama saya membimbing mahasiswa.”Kalimatnya bagaikan bom yang seakan sengaja dikirim untuk menumpas pertahanan.Sejatinya aku juga sudah bekerja keras untuk hasil terbaik.Pulang kerja, aku begadang sampai dini hari untuk proposal ini. Tapi, ternyata tak ada artinya sama sekali.‘Tenang, Sha. Tenang!’ ucapku menenangkan diri.Aku tak ingin menumpahkan air mata di depan dosen muda paling ngeselin di UNNUS ini.Wajahnya memang tampan, tubuhnya tinggi kekar, pesonanya nyaris sempurna, tapi galak dan kejamnya minta ampun!Tak salah kalau dia dijuluki ‘Duta Dosen Galak’ oleh mahasiswa di lingkup Manajemen.Apalagi ia sering ganti jadwal seenak jidatnya tanpa minta maaf! Mungkin, karena yayasan kampus ini punya buyutnya yang sekarang dikelola oleh ayahnya Pak Ezar yang juga dosen di gedung pascasarjana?Anehnya, masih ada aja mahasiswa yang menyanjung sampai menghalu mau jadi istrinya Pak Ezar. Ampun, dah….“Saya mungkin digaji untuk membimbing mahasiswa, tapi membimbing mahasiswa modelan kamu–bikin rugi waktu dan tenaga saya,” ucapnya lagi.Kali ini, air mataku benar-benar lolos mendengar kalimat-kalimatnya yang menyakitkan.“Maaf, Pak. Saya ….“ Suaraku bergetar, tapi ia tampak tak peduli.“Saya tidak butuh permintaan maafmu. Saya butuh hasil kerjamu yang tak bikin saya tambah pusing,” tegasnya, lalu mengejekku lagi, “dasar cengeng! Baru gitu aja nangis.”Deg!Baru gitu aja katanya?Dia tak merasakan saja berada di posisiku yang harus menghadapi dirinya sebagai dosen pembimbing.Padahal, sejak semester lalu diberi nilai C olehnya perkara sekali telat 3 menit di kelasnya, aku sudah trauma dengan pria ini.Saat diprotes, bukannya untung, aku malah buntung. Pak Ezar mengganti nilaiku dari C ke E-ror!“Revisi kembali. Cantumkan sumber teori-teori yang kamu pake, kosa katanya juga diperhatikan. Saya tidak tau ini taipo atau bukan, tapi pesan saya kalau ngetik jangan mimpi kebayang orgasme sampe-sampe ikut diketik ke naskah.”Tangisku terhenti.Kini mataku membola mendengar ucapannya. “Hah? Apa, Pak?”“Orgasme,” katanya memperjelas.What, apa-apaan lagi ini?Cepat, aku menghapus sisa air mata lantas membuka naskah di hadapan Pak Ezar. Seketika, aku melihat kosa kata yang telah ditandai tinta merah, dan itu benar-benar kata “orgasme”!Ya ampun!Kenapa bisa ada kata itu?Sejak kapan aku menulisnya?Padahal, nyaris puluhan kali aku menggulir file sebelum print out.“Ma—maaf, Pak. Kayaknya ini taipo. Mungkin, maksudnya organisme.”“Tidak ada kayaknya dan kemungkinan dalam penelitian. Semua harus jelas dan nyata.”“Iya, Pak. Maaf,” ucapku menahan lidahku kelu.Entah semerah apa wajahku menahan malu saat ini akibat typo yang di luar prediksi BMKG!Mungkin, malunya akan terbawa sampai lebaran tahun depan.Dari sudut mata, kulihat Pak Ezar masih menggeleng berulang kali.“Oke, temui saya lagi pekan depan. Saya tidak mau tau, kamu harus sudah selesai revisi.”“Baik, Pak,” ucapku kemudian bangkit. Ingin buru-buru enyah dari hadapan Pak Ezar.Aku menghembuskan napas berat, lantas keluar dari ruangan dengan perasaan yang tak menentu.Dimaki-maki dosen pembimbing lebih capek daripada kerja lembur di toko.Oh my Allah!****“Aman, Sha?” tanya Vina saat melihatku sudah keluar dari ruangan Pak Ezar.Gadis berhijab itu memang sengaja menungguku bimbingan karena sudah tak ada kelas lagi.Ya, aku dan Vina sejatinya beda tingkatan. Meskipun, segi umur dia lebih tua satu tahun dariku, tapi di kampus justru satu tahun di bawahku.Kami bertemu di tempat kerja dan pada saat itu dia statusnya masih karyawan baru. Ia lagi cari-cari kampus yang kuliahnya Sabtu-Minggu. Jadi, aku merekomendasikan kampus kami.“Biasa. Harus revisi,” jawabku singkat, lalu aku mendaratkan bokong di kursi berbahan aluminium di sebelah Vina.“Lagi?”Aku mengangguk sembari menunduk hingga tanpa sadar rambut menutupi setengah wajah.“Demi apa? Amit-amit kalau dosen pembimbingku nanti modelan Pak Ezar.”“Gue malah berharap lu dapatnya dia ya, Ukhti. Supaya kita senasib sepenanggungan.” Aku terkekeh.“Astagfirullah, ada ya teman modelan kamu, Sha.” Vina mengerucutkan bibirnya.“Berat banget tau sama dia tuh. Gak ada benarnya kita jadi mahasiswa. Bimbingan sebelumnya disuruh ganti, bimbingan lagi malah disuruh balikin ke setelan lama. Maunya apa ya?”“Saking gak punya hati nurani, orang nangis malah dituduh nyari empati. Apa sih?Vina tertawa. “Lagian, kamu kenapa nangis? Dia malah makin seneng maki-maki kamu, kan?”Aku menghela napas berat. “Gak kuat aku tuh, omongannya pedas-pedas. Lebih pedas dari ayam geprek level 10 yang bikin keluar masuk WC.”Vina mengangguk. “Apa Pak Ezar punya dendam pribadi sama kamu, Sha?”Tak lama, ia pun tertawa–membuatku hanya pasrah memikirkan bagaimana masa depanku nanti.Sayangnya, selama kita hidup, masalah memang akan selalu ada.Kalau tak bisa menghindar, ya kita harus hadapi.Setelah kejadian memalukan itu di minggu lalu, aku harus kembali bimbingan dengan Pak Ezar.Kuutak-atik ponsel menghubungi pria itu sebelum ke kampus.Berharap ketika sampai di kampus, bisa langsung ditemui. Meski belum disetujui seminar, setidaknya aku tak dicapnya pemalas.Setelah pesanku terkirim, Pak Ezar langsung membacanya. Namun, yang mengejutkan adalah dia tiba-tiba menelepon!‘Haa, ini benaran ditelepon? Bukan salah orang ini kan, ya?’ panikku.Pak Ezar itu tipikal dosen yang enggan untuk menelepon ataupun menerima telepon dari mahasiswa.Jadi, dengan tangan gemetar, aku menjawab telepon Pak Ezar sambil merapal mantra pelet dalam hati agar dosen galak bin kejam itu berubah jadi baik, minimal hari ini saja.Semoga peletku bekerja dengan baik!“Asha, jadwal bimbinganmu hari ini, kan?” tanyanya to the point.“Iya, Pak. Bapak ke kampus jam berapa?”“Ditunda dulu aja, ya. Saya lagi di jalan mau ke luar kota karena ada urusan mendadak. Kemungkinan sampai pekan depan. Jadi untuk diskusi proposalmu nanti saat saya sudah kembali ke Jakarta.”Aku melongo tanpa kata mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Pak Ezar di seberang sana.Tak tahu harus mengatakan apa, sehingga tanpa sadar aku meremas ujung skripsi bersama emosi yang membuncah di dada.Tut ... tut ... tut.Sambungan pun terputus.Segera saja aku melempar tumpukan kertas ke tembok, disusul pulpen hingga penutup dan badannya terpisah.“Dosen sialan!” teriakku frustasi sampai tetangga kosku membuka pintunya kaget.Bodo amat dikira stress sama mereka. Toh, aku memang sudah hampir gila gara-gara dosen sialan itu. Pak Ezar benar-benar tak punya hati. Padahal, dia sendiri yang janji hari ini. Tapi, malah membatalkan dengan alasan urusan pribadinya. Sepenting apa memang urusannya? Dipikir aku juga tidak punya urusan apa? Aku sampai mengambil libur lebih awal demi bertemu dengannya. Tapi, nyatanya apa? Dosen PHP. Omongannya pedas dan lurus, tapi tidak bisa dipercaya. Tak habis thinking dengan Pak Ezar yang menentukan dan membatalkan janji seenak udelnya. “Gue sumpahin, dosen sialan itu jodohnya jauh,” ucapku kesal. Sadar tak ada yang bisa dilakukan, kupilih tetap keluar dari kos dan menuju rumah saja. ***** “Assalamualaikum,” ucapku yang langsung masuk rumah karena pintunya tak tertutup. Hanya saja, tak ada satu pun yang menjawab. ‘Ke mana perginya orang rumah?’ batinku bingung. Biasanya, mereka akan menyambut di teras kalau tahu aku akan datang. Apa mungkin mereka sedang sibuk berkutat d
Buru-buru aku bangkit dari posisi tengkurap. Berlari cepat ke luar kamar dengan niat menemui Ibu. “Ibu!” teriakku. “Apa, Neng?” tanyanya dari arah dapur. Aku menghampirinya dan menggenggam lengannya erat-erat seakan butuh pertolongan. “Bu, aku ... Neng gak mau nikah sama orang itu,” ucapku cepat. “Ibu boleh deh cari calon lain, Neng bakal terima. Asal tidak dengan dia.” “Pliss, Bu. Neng gak mau.” “Kenapa, Neng? Kemarin bilang mau?” Ibu bertanya dengan santainya. “Iya, tapi kemarin Neng belum tau orangnya. Bu, batalkan aja, ya.” Sengaja, aku menyipitkan mata penuh permohonan. Berharap empati dan sedikit iba dari Ibu. “Oh sekarang udah lihat? Tampan kan orangnya? Dari foto aja keliatan perkasa begitu, apalagi aslinya. Percaya sama Ibu, Neng akan bahagia bersamanya.” “Ibu apa-apaan sih, ah.” Aku menggerutu sebal. Ini bagaimana konsepnya? Apa hubungannya foto sama perkasa? “Gak ada pembatalan,” pungkas Ibu. “Pernikahan bukan barang orderan.” Detik kemudian, suara deru kendaraa
Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku. Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya. Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman. Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah. Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi. Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit. “Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.” Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik. Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak. Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami a
Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka. Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk. Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang. “Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan. “Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya. ‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’ “Cepetan buka!” “Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa. Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya. Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan
Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan. Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus. ‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’ Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget. Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak. Menyangkut pri
Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku. Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal. Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya. Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi? Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang. Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh. Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak? Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus me
Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat
‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap