Share

Bab 2. Tidak Ada yang Baik

Suara sirine ambulans dan mobil polisi terdengar begitu ramai memekakkan telinga.

Para polisi sedang sibuk menjauhkan orang-orang yang berkerumun dari posisi kejadian. Terlihat, seorang polisi wanita mendatangiku.

“Maaf, Anda harus menjauh dari posisi ini,” ujar seorang polisi wanita itu dalam bahasa Inggris.

“S-saya b-bersama s-seorang p-pria yang b-berada di m-mobil i-itu,” tunjukku dengan berurai air mata dan tubuh yang masih gemetaran.

Mengerti yang aku maksudkan, seorang polisi wanita itu menuntunku masuk ke dalam mobil ambulans, di mana para perawat sedang berusaha menolong Finn. Entah kapan mereka membawa Finn, mataku yang tertutup air mata ini tidak sempat melihatnya.

Aku melihat sekujur tubuh Finn yang penuh dengan darah akhirnya kembali menangis histeris.

“Finn, maafkan aku! Maafkan aku!” ucapku tidak bisa berhenti meminta maaf.

Beberapa saat kemudian, aku melihat Finn membuka matanya sangat lemah dan melihat ke arahku. Aku tahu dia sedang memaksakan diri untuk tersenyum sambil menggerakkan bibirnya tanpa suara. “I love you.”

“I love you, Finn. Aku mohon, jangan tinggalkan aku! Maafkan aku!” Aku terus berkata sambil menangis.

‘Seandainya aku tidak memaksamu untuk mampir ke toko, mungkin kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi. Maafkan aku, Finn.’ Aku melanjutkan perkataanku di dalam hati karena sudah tidak kuasa mengatakan semuanya. Lidahku terlalu kelu untuk berbicara.

Dengan tangan yang gemetaran, aku berusaha meraih tangan Finn. Dan Finn juga membalas genggaman tanganku. Namun, tiba-tiba tangan Finn terkulai lemas melepaskan pegangannya.

Deg!

“Finn! Jangan tinggalkan aku! Aku mohon!” seruku panik.

Salah seorang perawat yang duduk di samping Finn buru-buru melakukan pertolongan Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau CPR, dan seorang perawat yang lain menenangkanku, sambil tetap fokus memeriksa seluruh peralatan yang digunakan.

“Tolong Finn!” pintaku dalam bahasa Inggris sambil menangis tersedu-sedu.

Begitu mobil ambulans tiba di depan rumah sakit, beberapa orang perawat pun bergegas menolong Finn dan membawanya ke ruang operasi.

“Tunggulah di sini, Nona!” perintah seorang perawat.

Aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, jadi aku hanya bisa mengangguk dan terus menangis.

‘Tuhan, tolong Finn! Beri kesempatan untukku meminta maaf padanya saat sudah sadar nanti. Aku mohon,’ doaku dalam hati.

“Permisi.” Seorang perawat yang lain menghampiriku.

“Ya?” sahutku.

“Apa kami boleh meminta data pasien?” tanya seorang perawat itu.

“Ah, i-iya,” jawabku.

Dengan tangan yang masih gemetaran, aku meraih ponsel di dalam tas lalu memberikan nomor ponsel Finn dan orang tua Finn pada seorang perawat itu. “M-maaf, h-hanya i-ni yang a-aku t-tahu. A-aku t-tidak m-menyimpan k-kartu i-identitasnya.”

Mungkin karena melihatku sangat gemetaran, seorang perawat itu mengangguk dan membantuku menulis di sebuah formulir.

“Apa saya boleh tahu, apa hubunganmu dengan korban?” tanya seorang perawat itu.

“S-saya k-kekasihnya,” jawabku tidak bisa kalau tidak terbata-bata.

“Baik, kalau begitu, apa saya boleh membantumu menghubungi orang tua korban?” tanya seorang perawat itu.

Meskipun ragu, namun aku mengangguk. Saat ini, aku sudah siap kalau kedua orang tua Finn akan marah atau menuntutku, yang penting Finn kembali sadar.

Cukup lama aku menunggu para Dokter menolong Finn di dalam ruang operasi hingga kedua orang tua Finn tiba.

Finn dan kedua orang tuanya berasal dari Indonesia. Jadi, mereka bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

“Lilian, apa yang terjadi dengan Finn?” tanya Tante Iva, Mama Finn.

Aku menceritakan semua kejadiannya pada orang tua Finn, tanpa menutupi apa pun, dengan tubuh yang masih gemetaran.

Om Danendra, Papa Finn, hanya menghela napas ketika aku selesai menceritakan semuanya. Demikian juga Tante Iva, hanya bisa ikut menangis bersamaku.

“Tenang ya, Lilian, kami orang tua Finn akan melakukan apa pun untuk menolong Finn,” kata Tante Iva. Padahal dirinya juga pasti sangat khawatir.

Tepat ketika Tante Iva selesai bicara, seorang Dokter keluar dari ruang operasi.

“Apa saya bisa bicara dengan keluarga pasien bernama Finn?” tanya seorang Dokter itu dengan menggunakan bahasa Inggris.

Om Danendra, Tante Iva, dan aku praktis bangkit berdiri dan menghampiri Dokter itu.

“Ya, kami orang tuanya. Bagaimana kondisi Finn, anak kami?” tanya Om Danendra.

“Hm, ketika tiba di sini tadi, Finn sudah tidak sadarkan diri dan pendarahannya tidak bisa dihentikan lagi. Kami sudah melakukan semua yang terbaik tetapi—“

Belum selesai mendengar perkataan Dokter, aku merasa sekelilingku mendadak gelap, dan sudah tidak sadarkan diri.

*****

Keenan POV

Saat ini aku sedang berkeliling mengitari jalan-jalan di Singapura dengan mobil sedan berwarna biru kesayanganku. Aku tidak berniat ingin jalan-jalan, tetapi hanya sekadar menghabiskan waktu sambil menunggu Erina yang katanya sedang pergi bersama temannya.

Setelah merasa cukup lama berjalan-jalan, akhirnya aku memutuskan untuk ke apartment Erina dan menunggunya di sana saja. Aku tahu password-nya untuk masuk. Jadi, aku bisa menunggu sambil menonton televisi.

Baru saja mobilku berhenti dengan sempurna di tempat parkir gedung apartment yang menjadi tempat tinggal Erina, entah mengapa, mendadak perasaanku tidak enak.

Aku pun segera meraih ponsel dan menghubungi Erina, khawatir terjadi sesuatu dengannya. Erina tidak menjawab panggilanku namun dia mengirimiku pesan yang mengatakan agar aku sabar menunggu.

“Ha!” Aku menghela napas lega. Tapi, aku tetap saja berdebar-debar seakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Kini pikiranku tertuju pada keluarga yang tinggal di Bali.

Aku bergegas mengirimkan pesan pada Papa Mario, dan Kei, adikku, untuk menanyakan kabar mereka.

Cukup lama aku menunggu hingga ponselku kembali berbunyi tanda pesan balasan masuk.

“Kami baik-baik saja di sini. Bagaimana denganmu, Nak?” balas Papa.

“Kabar baik, Pa. Syukurlah kalau begitu. Aku hanya ingin menanyakan kabar saja,” jawabku tak ingin membuat Papa kepikiran.

Tak lama kemudian, ada pesan lain yang masuk.

“Kabar baik, Kak. Mama juga baik-baik saja. Ada apa?” balas Kei.

“Tidak ada apa-apa. Kebetulan aku sedang menunggu Erina dan ingat kalian di Bali. Jadi, aku menanyakan kabar saja,” jawabku.

“Titip salam buat kak Erina ya,” balas Kei lagi, membuatku tersenyum senang. Adik kesayanganku itu selalu mampu membuatku merasa lebih tenang.

“Terima kasih,” ucapku.

Setelah memastikan pesanku terkirim, aku turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lift, menuju ke lantai sepuluh. Unit apartment Erina nomor B1003.

Setibanya di lantai sepuluh, aku berjalan sambil berdebar-debar. Hanya saja, aku terus berusaha mengabaikannya.

Begitu masuk di dalam ruang apartment, aku melangkah mendekati sofa hendak duduk. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari kamar Erina.

Aku segera meraih botol yang kebetulan ada di atas meja lalu perlahan melangkah menuju ke kamar Erina.

“Ahh ... sshhh ... ahh ... iya, di sana enak banget! Lebih cepat! Ahh ...!” Mendengar suara seorang wanita yang sedang mendesah sambil berbicara dalam bahasa Inggris membuatku sedikit ragu. Namun, tanganku tetap saja membuka pintu kamar.

Deg!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status