“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang,” ucap seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.
Aku hanya membungkukkan badan sekali lagi sebagai tanggapan.
Kemudian seorang pria dan seorang wanita paruh baya, serta dua orang gadis itu melanjutkan langkah mereka, meninggalkan aku seorang diri.
Aku pun memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam seseorang yang tidak kukenal, lalu aku kembali ke mobil.
Untuk beberapa saat aku masih diam di dalam mobil untuk mengingat-ingat wajah seorang gadis yang sedari tadi menangis itu. Hm ..., aku tidak ingat pernah bertemu dengan seorang gadis itu tetapi wajahnya tidak asing.
Perlahan aku mulai melajukan kendaraan, keluar dari area pemakaman.
Hatiku sedikit merasa lega setelah menangis tadi.
Jujur, tadinya aku merasa menjadi orang yang paling menyedihkan. Mama kandungku sendiri tidak mau bicara denganku. Ditambah, kekasihku ternyata tidak benar-benar mencintaiku. Tetapi, ternyata selain aku, ada juga orang-orang yang sedih karena ditinggalkan orang yang dicintainya.
Aku tidak sedang mencari teman sepenanggungan. Aku hanya kembali diingatkan bahwa kita hidup di dunia ini tidak akan benar-benar sendirian. Kalau dipikir-pikir lagi, keadaan kita tidak akan pernah menjadi yang paling buruk atau yang paling baik.
Seseorang pernah berkata, kalau kita merasa dunia sedang berada di dalam genggaman tangan, maka kita harus ingat di atas sana masih ada langit yang sewaktu-waktu bisa mengambil alih dunia. Di sisi lain, kalau kita sedang berada di posisi terpuruk, maka di atas sana masih ada langit yang memiliki jalan keluar dan siap memberi petunjuk.
Baiklah ... sekarang aku sudah mulai merasakan lapar. Aku melihat ke sekeliling dan memutuskan untuk berhenti sejenak di depan sebuah tempat makan yang menjual makanan siap saji.
Aku turun dari mobil dan bergegas memesan satu hotdog berisi ikan tuna dengan sayuran segar dan saus mayonnaise, lalu aku membayar pesanan. Setelah menunggu sebentar, aku menerima pesanan hotdog dan membawanya ke mobil. Aku berniat ingin menikmatinya di apartment saja.
“Dua hotdog dengan daging dada kalkun. Kami mau pakai sayur dan saus lengkap.” Terdengar samar-samar seorang wanita memesan hotdog juga.
Sudut mata kiriku melihat, ternyata ada dua orang gadis berpakaian serba hitam juga mampir di tempat makan di mana aku memesan hotdog. Ah, dua orang gadis itu ... mereka yang baru saja dari pemakaman.
Aku menoleh dan menganggukkan kepala satu kali untuk sekadar menyapa karena kebetulan salah satu dari mereka juga menoleh ke arahku. Lalu aku melanjutkan langkahku.
Hanya untuk hari ini saja, aku akan menikmati waktu sendiri di apartment. Dan mulai besok, aku akan mulai menyibukkan diriku dengan bekerja.
***
Keesokan harinya ...
Lilian POV
“Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl, membuatku berjengit kaget.
Kapan dia mengetuk? Tiba-tiba saja kepalanya sudah menyembul di pintu kamar.
“Kampus,” jawabku.
“Tidak boleh! Kamu belum boleh ke kampus,” ujar Cheryl sambil melangkah masuk mendekatiku yang sedang menyisir rambut.
Ah, aku lupa memberi tahu. Kemarin sepulangnya dari pemakaman, aku memohon pada Cheryl untuk langsung pulang ke apartment. Aku tidak betah di rumah sakit. Aku tidak suka mendengar suara sirine yang selalu membuat tubuhku mendadak gemetaran.
Jadi, kemarin, sepulangnya dari pemakaman, Cheryl mengajakku berkeliling untuk membujukku terlebih dahulu, sampai akhirnya dia mengalah dan membeli hotdog untuk kami nikmati di apartment.
“Aku harus sibuk agar tidak mengingat Finn terus menerus,” lirihku.
“Kesehatanmu belum stabil, Li. Sebaiknya kamu istirahat dulu,” ujar Cheryl tegas tetapi tetap terdengar lembut di telinga siapa saja yang mendengarnya.
“Kamu juga harus praktik, ‘kan?” tanyaku.
“Tidak, aku sedang ada pasien yang harus diurus,” jawab Cheryl membuatku mengernyitkan dahi samar.
“Kalau begitu, kamu tetap harus keluar, ‘kan? Aku bosan di apartment sendirian,” ujarku.
“Pasienku itu kamu, Lilian.” Kini Cheryl membungkukkan badannya, sambil menyentuh kedua bahuku. Sementara posisiku sedang duduk di depan meja rias.
“Aku tidak akan membayarmu. Jadi, bekerjalah! Cari uang yang banyak biar kamu bisa membayar uang sewamu di sini,” ujarku sambil mengerucutkan bibir.
Bukannya marah, Cheryl malah tertawa terbahak-bahak.
“Ekspresimu menggemaskan! Pantas saja Finn cinta mati sama kamu,” sahut Cheryl sambil menegakkan tubuhnya kembali. Namun, perkataannya membuat mataku praktis berkaca-kaca.
“Dengar dulu, Nona Lilian! Aku tidak minta kamu membayar. Aku hanya ingin kamu sembuh dan bertemu dengan pangeran tampan—“
“Tidak akan pernah ada pengganti Finn di hatiku,” isakku.
Cheryl berlutut di hadapanku sambil mendongak untuk melihat ke arah wajahku.
“Kamu benar. Finn akan selalu memiliki satu ruang di hatimu. Mengenai pangeran yang aku katakan, dia tidak perlu kita bahas lagi,” ujar Cheryl sambil mengibaskan tangannya, seakan sedang mengusir bayangan seorang pangeran yang dia katakan itu.
“Tapi, aku tetap mau kamu sembuh. Tolong bekerja sama denganku, Li! Aku ini sahabatmu,” lanjut Cheryl.
Aku pun berhambur memeluk Cheryl, menumpahkan seluruh kesedihanku. Meskipun berhari-hari aku menangis, namun aku masih belum merasa puas. Seperti ada beban berat yang enggan keluar dari dadaku ini.
“Lalu, bagaimana dengan kuliahku?” tanyaku sambil melepaskan pelukanku.
“Kalau kamu tidak mau mengambil cuti, maka ambillah libur selama satu minggu ini! Minggu depan aku akan mengatur jadwal untuk ikut kamu ke kampus,” jawab Cheryl membuatku terbelalak.
Apa katanya? Mau ikut ke kampus? Kenapa aku mendadak seperti anak kecil yang diantar orang tuanya ke sekolah ya?
“B-buat apa ikut ke kampus?” tanyaku bingung.
“Buat temani kamu, donk!” jawab Cheryl sambil tersenyum.
“Tidak perlu, ih! Apaan sih?!” gerutuku.
“Kamu itu perlu ada yang menemani, Li. Kalau sampai traumamu kambuh, itu bahaya banget. Percaya deh sama aku!” ujar Cheryl dengan raut wajah serius. Dia juga bangkit berdiri dan duduk di tepi tempat tidurku.
Aku hanya diam karena aku percaya, Cheryl tidak akan berbuat sejauh ini kalau perkataannya tidak serius.
“Baiklah. Aku akan bekerja sama,” sahutku. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
Aku merindukan Finn, dan akan selalu merindukan dirinya. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Kalau boleh memilih, aku akan merasa lebih nyaman bersama Finn.
Bukan ... aku bukan merasa tidak nyaman dengan kehadiran Cheryl. Tapi, posisi Cheryl itu sebagai sahabat. Sedangkan Finn itu kekasihku. Perasaan nyaman yang aku rasakan saat bersama Finn, dibanding saat bersama Cheryl itu berbeda.
“Lakukan apa pun yang membuatmu nyaman, seperti saat kamu bersama Finn! Itu akan membantumu lebih cepat sembuh,” ujar Cheryl.
“Apa kamu cenayang?” tanyaku.
Cheryl terkekeh. “Air matamu mengatakan betapa kamu merindukan Finn. Aku pun pernah memiliki kekasih. Aku tahu bedanya kehadiranku dengan kehadiran Finn. Asal kamu tahu saja, aku ada di sini untuk kamu. Mari kita berjuang bersama-sama agar kamu sembuh. Ok?”
Sambil mengusap air mata, aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum.
Krek!Aku yang saat ini sedang duduk di dekat jendela kamar, menoleh begitu mendengar pintu dibuka.Cheryl membawa nampan dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur, di sebelahku, sambil meletakkan nampan di atas tempat tidur.“Aku sudah masak susah-susah, tidak boleh tidak di makan ya,” ujar Cheryl.“Aku belum lapar,” sahutku, kembali melihat ke arah luar jendela.Saat ini gorden memang sedang aku buka. Sedari tadi aku terus menatap ke arah langit biru, seakan sedang mencari sosok Finn di sana.“Enggak silau apa, Li, lihat langit terus?” tanya Cheryl sambil menengadah ke arah langit.“Hm,” gumamku, tak berniat memberikan jawaban.Dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Cheryl memerhatikanku.“Li, dari kemarin hanya hotdog yang masuk di dalam perutmu—““Sudah keluar sih tadi pagi,” potongku dengan pandangan ma
Pesan yang baru saja aku baca datang dari Erina. Dua kali aku membaca pesannya hingga aku menghela napas panjang dan mengusap kasar wajahku.Bagaimana bisa tiba-tiba Erina mengirimkan pesan, ketika aku sempat mengingatnya sekilas, seakan kami masih punya ikatan batin?“Aku harus bagaimana?” gumamku bingung.Di satu sisi, tidak ada gunanya kami bertemu. Di sisi lain, aku tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah dan harapan untuk bisa mendapatkan pengampunan.Sering kali orang lebih suka menghukum dengan membiarkan seseorang hidup dengan perasaan bersalah tanpa memberikan maaf. Padahal memaafkan itu bukan menghapus kesalahan. Dan sekalipun kita sudah memaafkan, tidak semua orang bisa dengan mudah melepaskan perasaan bersalah.Bagiku, memaafkan itu sebuah langkah maju. Hidup kita dan orang lain harus terus berjalan.Ha! Lagi-lagi aku menghembuskan napas kasar.Setelah berpikir sejenak, aku bergerak merapikan barang-b
Lilian POVBeberapa saat yang lalu, usai menghabiskan bubur ayam buatan Cheryl, aku mengajak sahabatku itu jalan-jalan keluar sebentar.Meskipun Cheryl tak berhenti menggangguku agar aku berhenti melamun, tetapi aku tetap merasa sepi.Di Singapura, selalu ada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, dan aku ingin merasakan kehadiran banyak orang. Dengan demikian, aku berharap, bisa melupakan Finn walau hanya sebentar saja.Pikiranku benar-benar penuh hingga membuat kepalaku terasa sangat sakit. Dadaku sesak menahan rindu. Hatiku teramat sedih. Aku hanya perlu sebentar saja keluar dari unit apartment ini.Beruntung Cheryl menyetujui keinginanku. Kebetulan dia ingin makan nasi lemak. Jadi, kami bergegas bersiap dan berjalan keluar dari unit apartment.Ketika kami sudah dekat dengan tempat makan yang menjual nasi lemak, tiba-tiba ada suara sirine yang begitu nyaring, memekakkan telinga.Suara sirine itu mengingatkanku pada kejadian di mana aku melihat mobil Finn ditabrak dan … dan … da
Demi bisa mengunjungi Finn, aku menikmati makan malamku dengan semangat, walau aku sebenarnya belum berselera makan. Dan itu sukses membuat Cheryl terus menampilkan raut wajah bahagia.“Sudah ya, aku menepati janjiku,” kataku pada Cheryl yang hanya mengangguk-angguk.“Istirahatlah! Biar aku yang mencuci piring,” ujar Cheryl usai menelan suapan terakhir.“Terima kasih, Dokter Cheryl kesayangan,” ucapku riang.Rencana untuk mengunjungi makam Finn besok, sungguh membuatku lebih bersemangat. Mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa hatiku tertinggal di sana bersama Finn.Setelah membantu Cheryl meletakkan peralatan makan di tempat cucian, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan beristirahat. Ah, aku tidak sabar menunggu besok.Tok tok tok!Aku mendengar suara pintu kamar diketuk namun terlalu banyak menangis membuatku sulit membuka mata.Hingga tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil membuka mata dan melihat seseorang datang menghampiriku.Tunggu dulu!“Finn
“Kenapa bangun? Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl.“Apa kamu bertemu Finn di luar?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.“Finn datang?” Cheryl pun kembali bertanya dengan raut wajah keheranan.Aku mengangguk cepat. Saat ini posisiku sudah duduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir.“Aku hanya mendengar kamu menangis dan berteriak. Jadi, aku tidak memperhatikan. Maaf,” ujar Cheryl.“Biar aku memeriksanya,” sahutku sambil bergegas keluar kamar, diikuti oleh Cheryl.Dengan gerakan sedikit berlari, aku ke dapur dan terus mencari di setiap sudut ruangan, sampai aku membuka pintu unit apartment. Barangkali saja aku bisa bertemu Finn di luar sana.“Li,” panggil Cheryl lembut.Aku menoleh ke arah Cheryl. “Ya?”“Masuk, yuk!” ajak Cheryl.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, dengan harapan bisa melihat sosok Finn. Tapi, nihil. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengikuti Cheryl kembali masuk ke dalam unit apartment.“Kamu tadi lupa minum obatnya,” ujar Cheryl. Dia menun
Aku tidak sekadar berjanji untuk hidup dengan baik, tetapi aku juga bertekad untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.Setidaknya saat ini aku melakukannya untuk Finn dan Cheryl karena sejujurnya aku sendiri tidak memiliki semangat untuk hidup lagi.Percayalah, membuat janji dan memiliki tekad tidak cukup membuat praktiknya berjalan dengan lancar.Sudah satu minggu ini, setiap hari aku masih saja menangis karena rasa rindu ini tak dapat dihindari. Hanya saja, aku berusaha untuk mulai beraktivitas, sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian.Sementara aku belum boleh ikut kuliah, aku memilih untuk membantu Cheryl memasak dan membersihkan apartment. Sesekali aku juga mengajak Cheryl keluar untuk belanja bahan makanan, daripada terus melamun di kamar.“Bukannya membantuku, kamu malah membuatku semakin repot, Li,” tegur Cheryl membuatku terkesiap.“Eee, maaf maaf ….” Aku baru saja menuang garam hampir separuh wadah.Cheryl buru-buru mengambil alih mangkuk berisi telur, lalu me
Tak ada nama pengirim dan penerima. Jadi, aku letakkan begitu saja di atas meja. Barangkali Cheryl pemilik paket ini, karena sudah lama aku tidak belanja online.Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah dikunci, aku melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.Sebelum aku naik ke atas tempat tidur, aku membuka gorden karena di luar sana masih terang.“Sepi,” gumamku sambil memeluk guling.Perlahan aku mengedarkan pandangan ke arah luar jendela, lebih tepatnya melihat ke arah langit.“Finn, apa kamu di sana? Aku sedang sendirian di sini. Cheryl menemui pasiennya.” Aku bicara sendiri dengan nada suara sangat pelan.“Biasanya … pulang dari kampus, kamu akan mengajakku makan siang, lalu kamu mengantarku pulang, dan kembali ke kantor. Bagaimana kantor tanpamu? Bagaimana kabar om Danendra dan tante Iva? Aku rasa mereka semua merasa kesepian, sama sepertiku sekarang,” lirihku.Walaupun Finn bukan tipe pria yang suka bicara, namun kehadirannya sela
Ah, rasanya sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan. Sejujurnya aku sedikit berdebar-debar jalan sendiri seperti sekarang ini. Namun, aku juga bersemangat.“Finn, aku ada di Pulau Sentosa,” gumamku sangat pelan, sambil menengadahkan kepala ke langit yang tampak sangat cerah. Benar-benar cuaca yang cocok untuk bersenang-senang.Aku melanjutkan langkah dengan mantap dan tangan yang masih memegang ponsel. Rencananya aku ingin mengambil gambar, dan mengirimkannya pada Cheryl.“Whoaaa …,” gumamku sambil memperhatikan sekitar.Tanpa sadar kakiku sedikit berlari, lalu aku membalikkan badan dan foto selfie dengan berbagai sudut pengambilan gambar.Pulau Sentosa terlihat tidak terlalu ramai di posisi aku berdiri sekarang. Tapi, aku bisa menjamin, di area Universal Studio pasti ada begitu banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya bermain.Aku tidak berminat ke area bermain, karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan foto-foto saja.Tunggu dulu!Aku menghentikan langkah dan