Share

Bab 6. Mari Berusaha Bersama

“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang,” ucap seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.

Aku hanya membungkukkan badan sekali lagi sebagai tanggapan.

Kemudian seorang pria dan seorang wanita paruh baya, serta dua orang gadis itu melanjutkan langkah mereka, meninggalkan aku seorang diri.

Aku pun memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam seseorang yang tidak kukenal, lalu aku kembali ke mobil.

Untuk beberapa saat aku masih diam di dalam mobil untuk mengingat-ingat wajah seorang gadis yang sedari tadi menangis itu. Hm ..., aku tidak ingat pernah bertemu dengan seorang gadis itu tetapi wajahnya tidak asing.

Perlahan aku mulai melajukan kendaraan, keluar dari area pemakaman.

Hatiku sedikit merasa lega setelah menangis tadi.

Jujur, tadinya aku merasa menjadi orang yang paling menyedihkan. Mama kandungku sendiri tidak mau bicara denganku. Ditambah, kekasihku ternyata tidak benar-benar mencintaiku. Tetapi, ternyata selain aku, ada juga orang-orang yang sedih karena ditinggalkan orang yang dicintainya.

Aku tidak sedang mencari teman sepenanggungan. Aku hanya kembali diingatkan bahwa kita hidup di dunia ini tidak akan benar-benar sendirian. Kalau dipikir-pikir lagi, keadaan kita tidak akan pernah menjadi yang paling buruk atau yang paling baik.

Seseorang pernah berkata, kalau kita merasa dunia sedang berada di dalam genggaman tangan, maka kita harus ingat di atas sana masih ada langit yang sewaktu-waktu bisa mengambil alih dunia. Di sisi lain, kalau kita sedang berada di posisi terpuruk, maka di atas sana masih ada langit yang memiliki jalan keluar dan siap memberi petunjuk.

Baiklah ... sekarang aku sudah mulai merasakan lapar. Aku melihat ke sekeliling dan memutuskan untuk berhenti sejenak di depan sebuah tempat makan yang menjual makanan siap saji.

Aku turun dari mobil dan bergegas memesan satu hotdog berisi ikan tuna dengan sayuran segar dan saus mayonnaise, lalu aku membayar pesanan. Setelah menunggu sebentar, aku menerima pesanan hotdog dan membawanya ke mobil. Aku berniat ingin menikmatinya di apartment saja.

“Dua hotdog dengan daging dada kalkun. Kami mau pakai sayur dan saus lengkap.” Terdengar samar-samar seorang wanita memesan hotdog juga.

Sudut mata kiriku melihat, ternyata ada dua orang gadis berpakaian serba hitam juga mampir di tempat makan di mana aku memesan hotdog. Ah, dua orang gadis itu ...  mereka yang baru saja dari pemakaman.

Aku menoleh dan menganggukkan kepala satu kali untuk sekadar menyapa karena kebetulan salah satu dari mereka juga menoleh ke arahku. Lalu aku melanjutkan langkahku.

Hanya untuk hari ini saja, aku akan menikmati waktu sendiri di apartment. Dan mulai besok, aku akan mulai menyibukkan diriku dengan bekerja.

***

Keesokan harinya ...

Lilian POV

“Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl, membuatku berjengit kaget.

Kapan dia mengetuk? Tiba-tiba saja kepalanya sudah menyembul di pintu kamar.

“Kampus,” jawabku.

“Tidak boleh! Kamu belum boleh ke kampus,” ujar Cheryl sambil melangkah masuk mendekatiku yang sedang menyisir rambut.

Ah, aku lupa memberi tahu. Kemarin sepulangnya dari pemakaman, aku memohon pada Cheryl untuk langsung pulang ke apartment. Aku tidak betah di rumah sakit. Aku tidak suka mendengar suara sirine yang selalu membuat tubuhku mendadak gemetaran.

Jadi, kemarin, sepulangnya dari pemakaman, Cheryl mengajakku berkeliling untuk membujukku terlebih dahulu, sampai akhirnya dia mengalah dan membeli hotdog untuk kami nikmati di apartment.

“Aku harus sibuk agar tidak mengingat Finn terus menerus,” lirihku.

“Kesehatanmu belum stabil, Li. Sebaiknya kamu istirahat dulu,” ujar Cheryl tegas tetapi tetap terdengar lembut di telinga siapa saja yang mendengarnya.

“Kamu juga harus praktik, ‘kan?” tanyaku.

“Tidak, aku sedang ada pasien yang harus diurus,” jawab Cheryl membuatku mengernyitkan dahi samar.

“Kalau begitu, kamu tetap harus keluar, ‘kan? Aku bosan di apartment sendirian,” ujarku.

“Pasienku itu kamu, Lilian.” Kini Cheryl membungkukkan badannya, sambil menyentuh kedua bahuku. Sementara posisiku sedang duduk di depan meja rias.

“Aku tidak akan membayarmu. Jadi, bekerjalah! Cari uang yang banyak biar kamu bisa membayar uang sewamu di sini,” ujarku sambil mengerucutkan bibir.

Bukannya marah, Cheryl malah tertawa terbahak-bahak.

“Ekspresimu menggemaskan! Pantas saja Finn cinta mati sama kamu,” sahut Cheryl sambil menegakkan tubuhnya kembali. Namun, perkataannya membuat mataku praktis berkaca-kaca.

“Dengar dulu, Nona Lilian! Aku tidak minta kamu membayar. Aku hanya ingin kamu sembuh dan bertemu dengan pangeran tampan—“

“Tidak akan pernah ada pengganti Finn di hatiku,” isakku.

Cheryl berlutut di hadapanku sambil mendongak untuk melihat ke arah wajahku.

“Kamu benar. Finn akan selalu memiliki satu ruang di hatimu. Mengenai pangeran yang aku katakan, dia tidak perlu kita bahas lagi,” ujar Cheryl sambil mengibaskan tangannya, seakan sedang mengusir bayangan seorang pangeran yang dia katakan itu.

“Tapi, aku tetap mau kamu sembuh. Tolong bekerja sama denganku, Li! Aku ini sahabatmu,” lanjut Cheryl.

Aku pun berhambur memeluk Cheryl, menumpahkan seluruh kesedihanku. Meskipun berhari-hari aku menangis, namun aku masih belum merasa puas. Seperti ada beban berat yang enggan keluar dari dadaku ini.

“Lalu, bagaimana dengan kuliahku?” tanyaku sambil melepaskan pelukanku.

“Kalau kamu tidak mau mengambil cuti, maka ambillah libur selama satu minggu ini! Minggu depan aku akan mengatur jadwal untuk ikut kamu ke kampus,” jawab Cheryl membuatku terbelalak.

Apa katanya? Mau ikut ke kampus? Kenapa aku mendadak seperti anak kecil yang diantar orang tuanya ke sekolah ya?

“B-buat apa ikut ke kampus?” tanyaku bingung.

“Buat temani kamu, donk!” jawab Cheryl sambil tersenyum.

“Tidak perlu, ih! Apaan sih?!” gerutuku.

“Kamu itu perlu ada yang menemani, Li. Kalau sampai traumamu kambuh, itu bahaya banget. Percaya deh sama aku!” ujar Cheryl dengan raut wajah serius. Dia juga bangkit berdiri dan duduk di tepi tempat tidurku.

Aku hanya diam karena aku percaya, Cheryl tidak akan berbuat sejauh ini kalau perkataannya tidak serius.

“Baiklah. Aku akan bekerja sama,” sahutku. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

Aku merindukan Finn, dan akan selalu merindukan dirinya. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Kalau boleh memilih, aku akan merasa lebih nyaman bersama Finn.

Bukan ... aku bukan merasa tidak nyaman dengan kehadiran Cheryl. Tapi, posisi Cheryl itu sebagai sahabat. Sedangkan Finn itu kekasihku. Perasaan nyaman yang aku rasakan saat bersama Finn, dibanding saat bersama Cheryl itu berbeda.

“Lakukan apa pun yang membuatmu nyaman, seperti saat kamu bersama Finn! Itu akan membantumu lebih cepat sembuh,” ujar Cheryl.

“Apa kamu cenayang?” tanyaku.

Cheryl terkekeh. “Air matamu mengatakan betapa kamu merindukan Finn. Aku pun pernah memiliki kekasih. Aku tahu bedanya kehadiranku dengan kehadiran Finn. Asal kamu tahu saja, aku ada di sini untuk kamu. Mari kita berjuang bersama-sama agar kamu sembuh. Ok?”

Sambil mengusap air mata, aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status