Krek!
Aku yang saat ini sedang duduk di dekat jendela kamar, menoleh begitu mendengar pintu dibuka.
Cheryl membawa nampan dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur, di sebelahku, sambil meletakkan nampan di atas tempat tidur.
“Aku sudah masak susah-susah, tidak boleh tidak di makan ya,” ujar Cheryl.
“Aku belum lapar,” sahutku, kembali melihat ke arah luar jendela.
Saat ini gorden memang sedang aku buka. Sedari tadi aku terus menatap ke arah langit biru, seakan sedang mencari sosok Finn di sana.
“Enggak silau apa, Li, lihat langit terus?” tanya Cheryl sambil menengadah ke arah langit.
“Hm,” gumamku, tak berniat memberikan jawaban.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Cheryl memerhatikanku.
“Li, dari kemarin hanya hotdog yang masuk di dalam perutmu—“
“Sudah keluar sih tadi pagi,” potongku dengan pandangan masih terarah pada langit.
“Nah, apalagi sudah ada pembuangan, itu artinya perutmu sudah kosong. Kamu harus makan sekarang,” bujuk Cheryl.
“Tadi sudah minum susu,” sahutku.
“Memangnya bayi, hanya perlu susu,” gumam Cheryl.
Aku menoleh ke arah Cheryl dan melihat ke nampan yang diatasnya terdapat dua mangkuk bubur ayam. Kelihatannya lezat. Finn biasanya suka banget makan bubur ayam.
“Yah, nangis lagi ....” Cheryl menghela napas pelan.
Aku buru-buru mengusap air mata yang mengalir di pipiku.
Ini bukan pertama kalinya Cheryl memasak bubur ayam untukku. Cheryl sering membawakan bubur ayam untukku dan Finn karena kami berdua memang sangat menyukai bubur ayam buatan Cheryl. Citarasa dan tekstur-nya sangat lezat, berbeda dari kebanyakan yang ada di restaurant di Singapura.
Tanpa banyak bicara, perlahan aku mengambil satu mangkuk berisi bubur ayam itu dan memberikannya pada Cheryl. Lalu aku mengambil satu mangkuk lagi dan mulai menikmatinya.
Sesekali air mataku mengalir di pipi karena masih jelas di dalam ingatanku, bagaimana respons Finn saat pertama kali mencicipi bubur ayam buatan Cheryl.
“Kamu dan Finn memandangku dengan tatapan ragu, khawatir bubur ayam buatanku tidak enak. Eh, ternyata kalian ketagihan.” Ternyata Cheryl juga sedang mengingat masa-masa itu.
“Sekarang citarasanya sudah tidak seenak dulu,” sahutku asal. Tentu saja aku sedang berbohong, berharap air mataku bisa berhenti mengalir.
“Dih, tidak enak tapi makannya cepat amat. Lapar ya, Mbak?” cibir Cheryl.
Aku berhenti menyuapkan bubur ke dalam mulut dan melihat ke arah Cheryl.
“Iya, aku tahu aku memang cantik,” ujar Cheryl, tak menghentikan makannya.
“Jangan masak bubur lagi!” kataku.
Kini Cheryl berhenti makan dan juga melihat ke arahku dari balik kacamata beningnya.
“Kalau kamu tidak mau aku masak bubur, maka kamu harus rutin makan. Aku masak bubur karena perutmu kosong.” Cheryl menjawab lalu kembali menikmati bubur ayam miliknya yang sudah tinggal setengah.
“Sup jagung buatanmu juga enak—“
“Enggak ada jagung di kulkas,” potong Cheryl.
“Sup ayam, sup asparagus, dan makanan berkuah lainnya masih bisa menjadi ide menu makanan kita. Tolong, jangan masak makanan yang disukai oleh Finn!” Aku berkata dengan nada suara yang penuh dengan emosi. Air mataku bahkan sudah tidak bisa dibendung lagi sekarang.
Aku meletakkan mangkuk di atas nampan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sungguh aku sangat merindukan Finn dan ingin memeluknya sekarang.
Cheryl tidak menanggapiku, dan sepertinya dia masih menikmati makanannya karena aku mendengar suara sendok yang bertubrukan dengan mangkuk.
Tak lama kemudian ...
“Li,” panggil Cheryl pelan.
Masih sesenggukan, aku mengusap air mataku dan menurunkan kedua tanganku.
“Aku minta maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mengingatkanmu pada Finn. Aku hanya memikirkan kesehatanmu.” Cheryl menjelaskan.
“Aku tahu. Maaf, aku terbawa emosi,” sahutku sambil menunduk.
“Ini dihabiskan ya.” Cheryl sudah memegang mangkuk berisi bubur ayam milikku, hendak menyuapi.
Aku mengangguk. “Aku bisa sendiri.”
Cheryl menyerahkan mangkuk ke tanganku.
“Boleh aku minta tolong sesuatu?” tanyaku.
Cheryl mengangguk.
“PTSD ... tolong rahasiakan hal ini dari keluargaku,” pintaku.
Lagi-lagi Cheryl mengangguk.
Cheryl jelas tahu karakter papa, mama, dan kakakku. Aku tidak ingin mereka minta aku pulang ke Indonesia. Aku masih ingin berada di Singapura, setidaknya sampai kuliahku selesai.
***
Keenan POV
Sejak pukul delapan pagi, waktu di Singapura, aku sudah menyibukkan diri di sebuah ruangan berukuran kecil yang masih ada di satu gedung yang sama dengan unit apartment milikku.
Ruangan ini berada di lantai paling dasar, dan memang semua ruangan yang ada di lantai satu sampai lantai tiga ini untuk mereka yang ingin membuka usaha. Sedangkan unit apartment di mulai dari lantai lima ke atas.
Sekadar info saja, di gedung apartment tempat aku tinggal ini tidak ada lantai empat. Hm, alasannya karena ada semacam mitos atau kepercayaan yang mana katanya angka empat itu artinya kurang baik.
Sejak aku kuliah bisnis di Singapura, aku sudah mulai melihat peluang bisnis yang bisa aku kembangkan. Uang saku yang sengaja aku sisihkan untuk modal kerja, aku investasikan di reksadana, dan sejak itu aku banyak mempelajari tentang dunia perbankan.
Selama satu tahun ini, aku bahkan sudah bekerja sama dengan seorang teman baik di Indonesia untuk membuka bisnis investasi dan sudah balik modal.
Baru-baru ini, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku tertarik dengan dunia anak, khususnya permainan berbahan kayu.
Permainan dengan bahan kayu ini, selain ramah lingkungan, modelnya lucu-lucu, tahan lama, bisa dimainkan dari generasi ke generasi, juga memiliki banyak manfaat untuk tumbuh kembang anak.
Ide bisnis inilah yang membuatku akhirnya menyewa satu kantor khusus untuk mengerjakannya.
Aku bersyukur dengan bisnis yang aku miliki, yang akhirnya bisa membuatku sibuk seharian ini.
“Kami permisi mau makan siang dulu, Pak.” Seorang pegawai bernama Yoan, yang bertugas untuk memproses pesanan tiba-tiba pamit dengan menggunakan bahasa Inggris.
Aku melirik ke arah jam dinding di sisi kananku lalu mengangguk.
Yoan, Lie, dan Zoe membungkukkan tubuh mereka sedikit, sebelum beranjak meninggalkan kantor untuk makan siang sebentar.
Sepi.
Ketika aku hendak kembali fokus bekerja, aku tiba-tiba merasa kesepian. Biasanya aku selalu bergegas mengajak Erina makan siang bersama-sama. Tetapi, hari ini, untuk pertama kalinya aku bahkan tidak memiliki selera makan.
Bagaimana kabar anggota keluarga yang ditinggalkan seseorang yang dicintainya, yang aku hadiri pemakamannya itu? Bagaimana kabar gadis yang terus menerus menangis itu? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia juga tidak berselera makan sepertiku?
Ah, kenapa aku memikirkan mereka?
Ting!
Aku yang memang hendak meraih ponsel untuk memesan makanan, memilih untuk membaca pesan yang masuk terlebih dahulu.
“Maaf kalau aku tidak tahu diri. Tetapi, ijinkan aku untuk meminta maaf dengan cara yang lebih baik. Mari kita bertemu.”
Pesan yang baru saja aku baca datang dari Erina. Dua kali aku membaca pesannya hingga aku menghela napas panjang dan mengusap kasar wajahku.Bagaimana bisa tiba-tiba Erina mengirimkan pesan, ketika aku sempat mengingatnya sekilas, seakan kami masih punya ikatan batin?“Aku harus bagaimana?” gumamku bingung.Di satu sisi, tidak ada gunanya kami bertemu. Di sisi lain, aku tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah dan harapan untuk bisa mendapatkan pengampunan.Sering kali orang lebih suka menghukum dengan membiarkan seseorang hidup dengan perasaan bersalah tanpa memberikan maaf. Padahal memaafkan itu bukan menghapus kesalahan. Dan sekalipun kita sudah memaafkan, tidak semua orang bisa dengan mudah melepaskan perasaan bersalah.Bagiku, memaafkan itu sebuah langkah maju. Hidup kita dan orang lain harus terus berjalan.Ha! Lagi-lagi aku menghembuskan napas kasar.Setelah berpikir sejenak, aku bergerak merapikan barang-b
Lilian POVBeberapa saat yang lalu, usai menghabiskan bubur ayam buatan Cheryl, aku mengajak sahabatku itu jalan-jalan keluar sebentar.Meskipun Cheryl tak berhenti menggangguku agar aku berhenti melamun, tetapi aku tetap merasa sepi.Di Singapura, selalu ada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, dan aku ingin merasakan kehadiran banyak orang. Dengan demikian, aku berharap, bisa melupakan Finn walau hanya sebentar saja.Pikiranku benar-benar penuh hingga membuat kepalaku terasa sangat sakit. Dadaku sesak menahan rindu. Hatiku teramat sedih. Aku hanya perlu sebentar saja keluar dari unit apartment ini.Beruntung Cheryl menyetujui keinginanku. Kebetulan dia ingin makan nasi lemak. Jadi, kami bergegas bersiap dan berjalan keluar dari unit apartment.Ketika kami sudah dekat dengan tempat makan yang menjual nasi lemak, tiba-tiba ada suara sirine yang begitu nyaring, memekakkan telinga.Suara sirine itu mengingatkanku pada kejadian di mana aku melihat mobil Finn ditabrak dan … dan … da
Demi bisa mengunjungi Finn, aku menikmati makan malamku dengan semangat, walau aku sebenarnya belum berselera makan. Dan itu sukses membuat Cheryl terus menampilkan raut wajah bahagia.“Sudah ya, aku menepati janjiku,” kataku pada Cheryl yang hanya mengangguk-angguk.“Istirahatlah! Biar aku yang mencuci piring,” ujar Cheryl usai menelan suapan terakhir.“Terima kasih, Dokter Cheryl kesayangan,” ucapku riang.Rencana untuk mengunjungi makam Finn besok, sungguh membuatku lebih bersemangat. Mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa hatiku tertinggal di sana bersama Finn.Setelah membantu Cheryl meletakkan peralatan makan di tempat cucian, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan beristirahat. Ah, aku tidak sabar menunggu besok.Tok tok tok!Aku mendengar suara pintu kamar diketuk namun terlalu banyak menangis membuatku sulit membuka mata.Hingga tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil membuka mata dan melihat seseorang datang menghampiriku.Tunggu dulu!“Finn
“Kenapa bangun? Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl.“Apa kamu bertemu Finn di luar?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.“Finn datang?” Cheryl pun kembali bertanya dengan raut wajah keheranan.Aku mengangguk cepat. Saat ini posisiku sudah duduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir.“Aku hanya mendengar kamu menangis dan berteriak. Jadi, aku tidak memperhatikan. Maaf,” ujar Cheryl.“Biar aku memeriksanya,” sahutku sambil bergegas keluar kamar, diikuti oleh Cheryl.Dengan gerakan sedikit berlari, aku ke dapur dan terus mencari di setiap sudut ruangan, sampai aku membuka pintu unit apartment. Barangkali saja aku bisa bertemu Finn di luar sana.“Li,” panggil Cheryl lembut.Aku menoleh ke arah Cheryl. “Ya?”“Masuk, yuk!” ajak Cheryl.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, dengan harapan bisa melihat sosok Finn. Tapi, nihil. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengikuti Cheryl kembali masuk ke dalam unit apartment.“Kamu tadi lupa minum obatnya,” ujar Cheryl. Dia menun
Aku tidak sekadar berjanji untuk hidup dengan baik, tetapi aku juga bertekad untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.Setidaknya saat ini aku melakukannya untuk Finn dan Cheryl karena sejujurnya aku sendiri tidak memiliki semangat untuk hidup lagi.Percayalah, membuat janji dan memiliki tekad tidak cukup membuat praktiknya berjalan dengan lancar.Sudah satu minggu ini, setiap hari aku masih saja menangis karena rasa rindu ini tak dapat dihindari. Hanya saja, aku berusaha untuk mulai beraktivitas, sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian.Sementara aku belum boleh ikut kuliah, aku memilih untuk membantu Cheryl memasak dan membersihkan apartment. Sesekali aku juga mengajak Cheryl keluar untuk belanja bahan makanan, daripada terus melamun di kamar.“Bukannya membantuku, kamu malah membuatku semakin repot, Li,” tegur Cheryl membuatku terkesiap.“Eee, maaf maaf ….” Aku baru saja menuang garam hampir separuh wadah.Cheryl buru-buru mengambil alih mangkuk berisi telur, lalu me
Tak ada nama pengirim dan penerima. Jadi, aku letakkan begitu saja di atas meja. Barangkali Cheryl pemilik paket ini, karena sudah lama aku tidak belanja online.Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah dikunci, aku melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.Sebelum aku naik ke atas tempat tidur, aku membuka gorden karena di luar sana masih terang.“Sepi,” gumamku sambil memeluk guling.Perlahan aku mengedarkan pandangan ke arah luar jendela, lebih tepatnya melihat ke arah langit.“Finn, apa kamu di sana? Aku sedang sendirian di sini. Cheryl menemui pasiennya.” Aku bicara sendiri dengan nada suara sangat pelan.“Biasanya … pulang dari kampus, kamu akan mengajakku makan siang, lalu kamu mengantarku pulang, dan kembali ke kantor. Bagaimana kantor tanpamu? Bagaimana kabar om Danendra dan tante Iva? Aku rasa mereka semua merasa kesepian, sama sepertiku sekarang,” lirihku.Walaupun Finn bukan tipe pria yang suka bicara, namun kehadirannya sela
Ah, rasanya sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan. Sejujurnya aku sedikit berdebar-debar jalan sendiri seperti sekarang ini. Namun, aku juga bersemangat.“Finn, aku ada di Pulau Sentosa,” gumamku sangat pelan, sambil menengadahkan kepala ke langit yang tampak sangat cerah. Benar-benar cuaca yang cocok untuk bersenang-senang.Aku melanjutkan langkah dengan mantap dan tangan yang masih memegang ponsel. Rencananya aku ingin mengambil gambar, dan mengirimkannya pada Cheryl.“Whoaaa …,” gumamku sambil memperhatikan sekitar.Tanpa sadar kakiku sedikit berlari, lalu aku membalikkan badan dan foto selfie dengan berbagai sudut pengambilan gambar.Pulau Sentosa terlihat tidak terlalu ramai di posisi aku berdiri sekarang. Tapi, aku bisa menjamin, di area Universal Studio pasti ada begitu banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya bermain.Aku tidak berminat ke area bermain, karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan foto-foto saja.Tunggu dulu!Aku menghentikan langkah dan
“Maaf, apa aku boleh tahu namamu?” tanyaku sopan.Seorang gadis itu menatapku sejenak, hingga akhirnya dia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya.“Lilian.”“Keenan.”“M-maaf, tadi aku—““Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku serius.“Iya, sekarang aku sudah baik-baik saja,” jawab Lilian. Ah, nama yang bagus dan manis menurutku. Semanis orangnya.Ya, Lilian seorang gadis yang cantik, sederhana, dan anggun. Ukuran tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya saja, menurutku dia terlalu kurus. Maaf, tidak berniat menilai seseorang secara fisik. Ini hanya pendapatku saja, sekadar untuk memberikan gambaran.“Syukurlah,” sahutku.Kemudian gadis itu … maksudku, Lilian, melanjutkan langkahnya. Kami pun berjalan beriringan. Aku di sisi kiri, dan Lilian di sisi kanan.“Sampai mana pembicaraan kita tadi?” tanya Lilian.“Hm ….” Aku berusaha mengingat-ingat.“Ah, Finn … apa kamu mengenalnya?” Seketika Lilian bertanya.“Tidak, aku tidak mengenal Finn,” jawabku jujur, membuat Lilian kembali menghentikan langka