Share

Bab 7. Menyibukkan Diri

Krek!

Aku yang saat ini sedang duduk di dekat jendela kamar, menoleh begitu mendengar pintu dibuka.

Cheryl membawa nampan dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur, di sebelahku, sambil meletakkan nampan di atas tempat tidur.

“Aku sudah masak susah-susah, tidak boleh tidak di makan ya,” ujar Cheryl.

“Aku belum lapar,” sahutku, kembali melihat ke arah luar jendela.

Saat ini gorden memang sedang aku buka. Sedari tadi aku terus menatap ke arah langit biru, seakan sedang mencari sosok Finn di sana.

“Enggak silau apa, Li, lihat langit terus?” tanya Cheryl sambil menengadah ke arah langit.

“Hm,” gumamku, tak berniat memberikan jawaban.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Cheryl memerhatikanku.

“Li, dari kemarin hanya hotdog yang masuk di dalam perutmu—“

“Sudah keluar sih tadi pagi,” potongku dengan pandangan masih terarah pada langit.

“Nah, apalagi sudah ada pembuangan, itu artinya perutmu sudah kosong. Kamu harus makan sekarang,” bujuk Cheryl.

“Tadi sudah minum susu,” sahutku.

“Memangnya bayi, hanya perlu susu,” gumam Cheryl.

Aku menoleh ke arah Cheryl dan melihat ke nampan yang diatasnya terdapat dua mangkuk bubur ayam. Kelihatannya lezat. Finn biasanya suka banget makan bubur ayam.

“Yah, nangis lagi ....” Cheryl menghela napas pelan.

Aku buru-buru mengusap air mata yang mengalir di pipiku.

Ini bukan pertama kalinya Cheryl memasak bubur ayam untukku. Cheryl sering membawakan bubur ayam untukku dan Finn karena kami berdua memang sangat menyukai bubur ayam buatan Cheryl. Citarasa dan tekstur-nya sangat lezat, berbeda dari kebanyakan yang ada di restaurant di Singapura.

Tanpa banyak bicara, perlahan aku mengambil satu mangkuk berisi bubur ayam itu dan memberikannya pada Cheryl. Lalu aku mengambil satu mangkuk lagi dan mulai menikmatinya.

Sesekali air mataku mengalir di pipi karena masih jelas di dalam ingatanku, bagaimana respons Finn saat pertama kali mencicipi bubur ayam buatan Cheryl.

“Kamu dan Finn memandangku dengan tatapan ragu, khawatir bubur ayam buatanku tidak enak. Eh, ternyata kalian ketagihan.” Ternyata Cheryl juga sedang mengingat masa-masa itu.

“Sekarang citarasanya sudah tidak seenak dulu,” sahutku asal. Tentu saja aku sedang berbohong, berharap air mataku bisa berhenti mengalir.

“Dih, tidak enak tapi makannya cepat amat. Lapar ya, Mbak?” cibir Cheryl.

Aku berhenti menyuapkan bubur ke dalam mulut dan melihat ke arah Cheryl.

“Iya, aku tahu aku memang cantik,” ujar Cheryl, tak menghentikan makannya.

“Jangan masak bubur lagi!” kataku.

Kini Cheryl berhenti makan dan juga melihat ke arahku dari balik kacamata beningnya.

“Kalau kamu tidak mau aku masak bubur, maka kamu harus rutin makan. Aku masak bubur karena perutmu kosong.” Cheryl menjawab lalu kembali menikmati bubur ayam miliknya yang sudah tinggal setengah.

“Sup jagung buatanmu juga enak—“

“Enggak ada jagung di kulkas,” potong Cheryl.

“Sup ayam, sup asparagus, dan makanan berkuah lainnya masih bisa menjadi ide menu makanan kita. Tolong, jangan masak makanan yang disukai oleh Finn!” Aku berkata dengan nada suara yang penuh dengan emosi. Air mataku bahkan sudah tidak bisa dibendung lagi sekarang.

Aku meletakkan mangkuk di atas nampan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sungguh aku sangat merindukan Finn dan ingin memeluknya sekarang.

Cheryl tidak menanggapiku, dan sepertinya dia masih menikmati makanannya karena aku mendengar suara sendok yang bertubrukan dengan mangkuk.

Tak lama kemudian ...

“Li,” panggil Cheryl pelan.

Masih sesenggukan, aku mengusap air mataku dan menurunkan kedua tanganku.

“Aku minta maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mengingatkanmu pada Finn. Aku hanya memikirkan kesehatanmu.” Cheryl menjelaskan.

“Aku tahu. Maaf, aku terbawa emosi,” sahutku sambil menunduk.

“Ini dihabiskan ya.” Cheryl sudah memegang mangkuk berisi bubur ayam milikku, hendak menyuapi.

Aku mengangguk. “Aku bisa sendiri.”

Cheryl menyerahkan mangkuk ke tanganku.

“Boleh aku minta tolong sesuatu?” tanyaku.

Cheryl mengangguk.

“PTSD ... tolong rahasiakan hal ini dari keluargaku,” pintaku.

Lagi-lagi Cheryl mengangguk.

Cheryl jelas tahu karakter papa, mama, dan kakakku. Aku tidak ingin mereka minta aku pulang ke Indonesia. Aku masih ingin berada di Singapura, setidaknya sampai kuliahku selesai.

***

Keenan POV

Sejak pukul delapan pagi, waktu di Singapura, aku sudah menyibukkan diri di sebuah ruangan berukuran kecil yang masih ada di satu gedung yang sama dengan unit apartment milikku.

Ruangan ini berada di lantai paling dasar, dan memang semua ruangan yang ada di lantai satu sampai lantai tiga ini untuk mereka yang ingin membuka usaha. Sedangkan unit apartment di mulai dari lantai lima ke atas.

Sekadar info saja, di gedung apartment tempat aku tinggal ini tidak ada lantai empat. Hm, alasannya karena ada semacam mitos atau kepercayaan yang mana katanya angka empat itu artinya kurang baik.

Sejak aku kuliah bisnis di Singapura, aku sudah mulai melihat peluang bisnis yang bisa aku kembangkan. Uang saku yang sengaja aku sisihkan untuk modal kerja, aku investasikan di reksadana, dan sejak itu aku banyak mempelajari tentang dunia perbankan.

Selama satu tahun ini, aku bahkan sudah bekerja sama dengan seorang teman baik di Indonesia untuk membuka bisnis investasi dan sudah balik modal.

Baru-baru ini, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku tertarik dengan dunia anak, khususnya permainan berbahan kayu.

Permainan dengan bahan kayu ini, selain ramah lingkungan, modelnya lucu-lucu, tahan lama, bisa dimainkan dari generasi ke generasi, juga memiliki banyak manfaat untuk tumbuh kembang anak.

Ide bisnis inilah yang membuatku akhirnya menyewa satu kantor khusus untuk mengerjakannya.

Aku bersyukur dengan bisnis yang aku miliki, yang akhirnya bisa membuatku sibuk seharian ini.

“Kami permisi mau makan siang dulu, Pak.” Seorang pegawai bernama Yoan, yang bertugas untuk memproses pesanan tiba-tiba pamit dengan menggunakan bahasa Inggris.

Aku melirik ke arah jam dinding di sisi kananku lalu mengangguk.

Yoan, Lie, dan Zoe membungkukkan tubuh mereka sedikit, sebelum beranjak meninggalkan kantor untuk makan siang sebentar.

Sepi.

Ketika aku hendak kembali fokus bekerja, aku tiba-tiba merasa kesepian. Biasanya aku selalu bergegas mengajak Erina makan siang bersama-sama. Tetapi, hari ini, untuk pertama kalinya aku bahkan tidak memiliki selera makan.

Bagaimana kabar anggota keluarga yang ditinggalkan seseorang yang dicintainya, yang aku hadiri pemakamannya itu? Bagaimana kabar gadis yang terus menerus menangis itu? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia juga tidak berselera makan sepertiku?

Ah, kenapa aku memikirkan mereka?

Ting!

Aku yang memang hendak meraih ponsel untuk memesan makanan, memilih untuk membaca pesan yang masuk terlebih dahulu.

“Maaf kalau aku tidak tahu diri. Tetapi, ijinkan aku untuk meminta maaf dengan cara yang lebih baik. Mari kita bertemu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status