Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Lilian POV“Sayang, kamu masih belum sehat lho. Kita langsung pulang ke apartment saja ya?” ajak Finn.Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau Finn sangat khawatir dan aku bisa memahaminya.Pasalnya, aku baru saja sembuh dari sakit demam dan pusing selama dua hari kemarin akibat datang bulan. Berhubung hari ini aku sudah merasa jauh lebih baik, aku memaksakan diri untuk ke kampus walaupun masih terasa lemas.Maklum saja, aku memang paling tidak suka berdiam diri di apartment. Aku lebih baik duduk di dalam kelas dan mendengarkan dosen mengajar, daripada harus belajar sendirian di dalam kamar.Oh, iya, perkenalkan, namaku Lilian. Usiaku dua puluh dua tahun. Saat ini aku sedang kuliah desain di Singapura. Sedangkan keluarga besar aku tinggal di Jakarta. Untuk sementara, hanya itu dulu perkenalanku, karena aku harus merayu Finn agar dia mau mengantarku ke toko baju.“Tolonglah mampir ke toko baju yang ada di jalan Orchard, s
Suara sirine ambulans dan mobil polisi terdengar begitu ramai memekakkan telinga.Para polisi sedang sibuk menjauhkan orang-orang yang berkerumun dari posisi kejadian. Terlihat, seorang polisi wanita mendatangiku.“Maaf, Anda harus menjauh dari posisi ini,” ujar seorang polisi wanita itu dalam bahasa Inggris.“S-saya b-bersama s-seorang p-pria yang b-berada di m-mobil i-itu,” tunjukku dengan berurai air mata dan tubuh yang masih gemetaran.Mengerti yang aku maksudkan, seorang polisi wanita itu menuntunku masuk ke dalam mobil ambulans, di mana para perawat sedang berusaha menolong Finn. Entah kapan mereka membawa Finn, mataku yang tertutup air mata ini tidak sempat melihatnya.Aku melihat sekujur tubuh Finn yang penuh dengan darah akhirnya kembali menangis histeris.“Finn, maafkan aku! Maafkan aku!” ucapku tidak bisa berhenti meminta maaf.Beberapa saat kemudian, aku melihat Finn membuka matanya sang
“Erina?” panggilku pelan. Sudah tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata suasana hatiku saat ini.Erina yang sepertinya sudah hampir mencapai titik klimaks kenikmatan membuka matanya dan menoleh ke arahku dengan mata yang terbelalak dan mulut menganga.Sedangkan seorang pria yang tangannya masih berada di ... dalam lubang kenikmatan milik Erina juga ikut menoleh dan perlahan menarik tangannya.“Siapa dia? Apa dia saudara kamu?” tanya seorang pria itu dalam bahasa Inggris.“Bukan,” jawab Erina, tak mengalihkan tatapannya padaku.“Maaf mengganggu. Selesaikan dulu aktivitas kalian. Aku akan menunggu di luar,” ujarku dingin.Kebanyakan orang yang berada di posisiku saat ini pasti akan pergi begitu saja. Namun, berbeda denganku yang masih ingin memberi Erina kesempatan untuk bicara. Aku hanya ingin tahu alasannya berbuat itu di belakangku, bukan ingin kembali dengannya. Statusnya sudah bukan kekasi
“Li, sudah donk nangisnya,” bujuk Cheryl.Entah sudah berapa lama aku menangis dan tidak bisa berhenti. Badanku gemetaran, antara takut dan perasaan kehilangan.Jadi, tadi, begitu Tante Iva memberi tahu kalau Finn sudah ... tiada ... ah, aku benci harus mengatakan hal ini. Yang pasti, tadi aku langsung menangis dan tidak berhenti mengucapkan kata maaf.Aku benar-benar tidak percaya kalau Finn sudah pergi untuk selamanya. Aku merindukan Finn. Kami baru saja bertemu di kampus dan dia ... dia ... dia mengantarkanku ke toko baju. Ah, aku benar-benar menyesal telah mengajak Finn ke toko baju. Tuhan ... aku hanya ingin membelikan baju untuknya sebagai rasa terima kasih atas cinta yang dia berikan untukku.Melihatku menangis, Om Danendra meminta Cheryl mengantarkanku kembali ke kamar. Di sinilah aku sekarang, di ruang perawatan.“Aku harus bagaimana agar Finn kembali, Ryl?” tanyaku sambil menangis.Aku sungguh-sungguh ingin
“Apa yang terjadi?” tanyaku keheranan saat melihat Cheryl sibuk melakukan serangkaian tes dan menanyakan banyak hal padaku.Cheryl hanya diam dan tak memberikan jawaban apa pun.“Ryl, aku baik-baik saja. Kita kembali ke kamar, yuk!” ajakku.“Ayo, sudah waktunya untuk istirahat,” jawab Cheryl.Aku mengangguk lega.Setibanya di kamar ...Cheryl membantuku naik ke atas brankar kemudian dia menatapku lurus, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya.“Aku ingin bicara sesuatu. Apa boleh?”Benar, ‘kan dugaanku?Aku pun mengangguk ragu. Sepertinya ini berkaitan dengan kesehatanku. Apa ada masalah?“Post-traumatic stress disorder atau PTSD adalah sebuah kondisi mental di mana seseorang mengalami serangan panik, yang dipicu oleh trauma.” Cheryl menjelaskan, membuatku mengernyitkan kening.Cheryl menghela napas sejenak sebelum lanjut bicara.&l