Share

Bab 5. Menghadiri Pemakaman

“Apa yang terjadi?” tanyaku keheranan saat melihat Cheryl sibuk melakukan serangkaian tes dan menanyakan banyak hal padaku.

Cheryl hanya diam dan tak memberikan jawaban apa pun.

“Ryl, aku baik-baik saja. Kita kembali ke kamar, yuk!” ajakku.

“Ayo, sudah waktunya untuk istirahat,” jawab Cheryl.

Aku mengangguk lega.

Setibanya di kamar ...

Cheryl membantuku naik ke atas brankar kemudian dia menatapku lurus, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya.

“Aku ingin bicara sesuatu. Apa boleh?”

Benar, ‘kan dugaanku?

Aku pun mengangguk ragu. Sepertinya ini berkaitan dengan kesehatanku. Apa ada masalah?

“Post-traumatic stress disorder atau PTSD adalah sebuah kondisi mental di mana seseorang mengalami serangan panik, yang dipicu oleh trauma.” Cheryl menjelaskan, membuatku mengernyitkan kening.

Cheryl menghela napas sejenak sebelum lanjut bicara.

“Begini, hasil tes memang belum keluar semua. Tapi, menurut pengalaman dan pengamatanku, sepertinya kamu mengalami gejala PTSD,” ujar Cheryl.

“A-apa itu berbahaya?” tanyaku tidak mengerti.

“Iya, cukup berbahaya kalau serangan panik itu datang tiba-tiba,” jawab Cheryl. Tatapannya kini berubah menjadi lebih lembut.

Aku mengerjap bingung. Hati dan pikiranku sedang tidak pada tempatnya. Bisa dibilang, aku tidak paham dengan penyakitku sekarang.

“Aku pasti akan melakukan terapi dan memberikan obat yang bisa kamu konsumsi, serta memberi tahu detail-nya nanti secara bertahap. Aku pun akan pindah ke tempat tinggalmu.” Cheryl melanjutkan.

Kali ini aku terbelalak. Sudah berapa kali aku merayu Cheryl untuk pindah ke tempat tinggalku dan dia selalu saja menolak? Sekarang Cheryl dengan sukarela mau pindah ke tempat tinggalku. Apa aku tidak salah dengar?

“Masih ada tempat untukku, ‘kan?” tanya Cheryl lagi, membuatku terkesiap.

“M-masih,” jawabku.

Cheryl mengangguk sambil tersenyum.

“Istirahatlah!” titah Cheryl sambil memegangi selimut, menunggu aku berbaring.

Tiba-tiba air mataku mengalir dan aku buru-buru mengusapnya. Aku sangat merindukan Finn. Andai ada Finn saat ini, dia pasti akan menjelaskan maksud perkataan Cheryl dengan kata-kata yang lebih mudah kumengerti.

“Kamu pasti memikirkan Finn lagi,” tebak Cheryl.

Aku mengangguk sambil terisak. “Aku sangat merindukannya.”

Cheryl melepaskan selimut dan duduk di sampingku, untuk memelukku.

“Mungkin Tuhan tidak memberikan aku kekasih hingga saat ini karena Tuhan tahu hari ini akan datang dan aku harus menemanimu,” bisik Cheryl.

Aku melepaskan pelukan Cheryl dan menatapnya lurus.

“Kamu menyesal sudah berteman denganku?” tanyaku hati-hati.

“Iya. Tapi, bercanda “ jawab Cheryl sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum tipis untuk menanggapi sambil berbaring. Candaan Cheryl tidak lucu. Tapi, aku tahu dia sedang berusaha menghibur.

Tok tok tok!

Aku dan Cheryl serempak menoleh ke arah pintu. Terlihat Tante Iva masuk ke dalam kamar, membuatku kembali duduk.

“Istirahat saja, Li! Tante hanya mau memberi tahu kalau Finn akan dimakamkan besok pagi. Sekarang Tante dan Om mau pulang dulu ya,” ujar Tante Iva. Matanya terlihat sangat bengkak.

Aku mengangguk lemah.

Sesudah memelukku, Tante Iva dan Om Danendra bergegas pamit.

***

Keesokan harinya ...

Keenan POV

Kemarin, sepulangnya dari tempat tinggal Erina, aku memutuskan untuk pulang ke apartment-ku sendiri dan tidak melakukan apa pun sampai pagi ini.

Dulu aku berpikir, sikap teman-temanku yang baru putus cinta itu sungguh sangat berlebihan. Tidak berselera makan, dan tidak ingin melakukan apa pun. Bukankah mereka bisa mencari gadis lain yang jauh lebih baik?

Namun, sekarang aku mengalami sendiri, dan aku sama sekali tidak berselera makan, juga tidak sanggup melakukan apa pun.

Aku sadar Erina tidak berjodoh denganku dan aku juga sudah melepaskannya. Hanya saja, rasa sakit yang ada di hatiku ini seakan berhasil melumpuhkan seluruh tubuhku, hingga tak mampu beraktivitas seperti biasa.

Rasa sakit yang ada di hatiku kembali mengingatkanku pada sikap mama, yang sampai saat ini masih mendiamkan aku.

Ya, wanita yang melahirkan aku, sudah tidak pernah lagi menghubungiku semenjak aku berangkat kuliah ke Singapura. Walaupun papa dan Kei, adikku, tidak mengatakannya, namun aku tahu itu semua karena aku tidak kuliah di bidang kedokteran, sesuai yang diinginkan oleh mama.

Berkat papa, aku berhasil mengambil jurusan bisnis di salah satu universitas terbaik di Singapura. Seandainya waktu itu papa tidak mau membantuku, maka sudah dapat dipastikan, aku harus kuliah di jurusan kedokteran. Jurusan yang tidak sesuai dengan minatku.

Bukan, bukan berarti aku tidak pandai. Mungkin kalau dipaksakan, aku pasti bisa berhasil menjadi seorang Dokter. Namun, menjadi Dokter bukanlah cita-citaku. Sementara menurut aku, pekerjaan apa pun yang kita lakukan itu sebaiknya dimulai dari hati.

Ah, ngomong-ngomong, apa yang harus aku lakukan hari ini?

Dengan enggan aku bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka.

Tiba-tiba saja aku berpikir, menghadiri acara pemakaman mungkin bisa membuatku lebih mudah menangis dan meluapkan semua isi hatiku.

Usai mencuci muka, aku memutuskan untuk membersihkan tubuhku juga, dan segera memakai satu setel pakaian berwarna hitam. Kemudian, tanganku meraih kunci mobil yang semalam aku letakkan di atas nakas. Tanpa berpikir dua kali, aku melangkah ke tempat parkir mobil, dengan harapan hari ini akan ada upacara pemakaman.

Setibanya di satu area tempat pemakaman, aku memarkirkan kendaraan lalu aku turun dari mobil dengan mengenakan kacamata hitam dan melangkah menuju ke kerumunan orang berpakaian hitam yang kebetulan sedang menghadiri acara pemakaman.

Aku berdiri begitu saja sambil memandangi orang-orang yang menangis, berharap bisa ikut menangis bersama mereka.

Di barisan paling depan, terlihat seorang gadis yang sedang menangis sambil berlutut, didampingi seseorang. Samar-samar aku mendengar dia memanggil, “Finn.”

Aku terus memerhatikan seorang gadis yang sedang berlutut itu dan tanpa sadar ikut meneteskan air mata. Siapa pun yang mendengarkan isakannya yang memilukan pasti akan ikut menangis, sama sepertiku sekarang.

Seorang gadis itu dan aku mengalami hal yang serupa. Sama-sama kehilangan orang yang kita cintai.

Tak lama kemudian, upacara pemakaman selesai, dan satu per satu orang pamit pergi meninggalkan tempat itu. Hanya seorang gadis dengan seseorang, serta dua orang tua yang masih tinggal di sana.

“Mulai sekarang, Om dan Tante akan mulai belajar merelakan Finn, agar dia tenang di sana. Tetapi, Finn akan selalu memiliki ruang di hati kita, juga di hati kamu.” Seorang pria paruh baya bicara sambil menepuk-nepuk bahu seorang gadis yang tampaknya belum bisa berhenti menangis itu.

Ah, rupanya mereka keluarga dari Indonesia.

Seorang gadis itu mengangkat kepalanya dengan beruraian air mata lalu mengangguk dan perlahan dia bangkit berdiri, memeluk seorang wanita paruh baya di hadapannya.

Kemudian mereka berempat jalan bersama-sama, semakin mendekat ke arahku.

Tunggu dulu! Sepertinya aku pernah bertemu dengan seorang gadis itu.

“Hai!” Sapa seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.

“Turut berduka,” sahutku sambil membungkuk sedikit, juga dalam bahasa Inggris.

Sekilas aku melirik ke arah gadis yang terus memerhatikanku. Sepertinya dia juga mengenaliku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status