Ah, rasanya sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan. Sejujurnya aku sedikit berdebar-debar jalan sendiri seperti sekarang ini. Namun, aku juga bersemangat.“Finn, aku ada di Pulau Sentosa,” gumamku sangat pelan, sambil menengadahkan kepala ke langit yang tampak sangat cerah. Benar-benar cuaca yang cocok untuk bersenang-senang.Aku melanjutkan langkah dengan mantap dan tangan yang masih memegang ponsel. Rencananya aku ingin mengambil gambar, dan mengirimkannya pada Cheryl.“Whoaaa …,” gumamku sambil memperhatikan sekitar.Tanpa sadar kakiku sedikit berlari, lalu aku membalikkan badan dan foto selfie dengan berbagai sudut pengambilan gambar.Pulau Sentosa terlihat tidak terlalu ramai di posisi aku berdiri sekarang. Tapi, aku bisa menjamin, di area Universal Studio pasti ada begitu banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya bermain.Aku tidak berminat ke area bermain, karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan foto-foto saja.Tunggu dulu!Aku menghentikan langkah dan
“Maaf, apa aku boleh tahu namamu?” tanyaku sopan.Seorang gadis itu menatapku sejenak, hingga akhirnya dia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya.“Lilian.”“Keenan.”“M-maaf, tadi aku—““Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku serius.“Iya, sekarang aku sudah baik-baik saja,” jawab Lilian. Ah, nama yang bagus dan manis menurutku. Semanis orangnya.Ya, Lilian seorang gadis yang cantik, sederhana, dan anggun. Ukuran tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya saja, menurutku dia terlalu kurus. Maaf, tidak berniat menilai seseorang secara fisik. Ini hanya pendapatku saja, sekadar untuk memberikan gambaran.“Syukurlah,” sahutku.Kemudian gadis itu … maksudku, Lilian, melanjutkan langkahnya. Kami pun berjalan beriringan. Aku di sisi kiri, dan Lilian di sisi kanan.“Sampai mana pembicaraan kita tadi?” tanya Lilian.“Hm ….” Aku berusaha mengingat-ingat.“Ah, Finn … apa kamu mengenalnya?” Seketika Lilian bertanya.“Tidak, aku tidak mengenal Finn,” jawabku jujur, membuat Lilian kembali menghentikan langka
Mendengar pertanyaanku, seketika Lilian menatapku lurus dan berhenti mengunyah. “Jangan salah sangka! Aku hanya senang bisa memiliki seorang teman,” ujarku santai. Tetapi, aku serius dengan perkataanku.Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta dan ingin melakukan pendekatan. Aku hanya murni ingin berteman.“Apa di Singapura kamu tidak memiliki teman?” tanya Lilian.“Teman kuliahku banyak. Aku pun memiliki tim yang bekerja di kantor. Hanya saja, mereka semua sibuk, dan aku merasa seperti tidak memiliki teman,” jawabku jujur sambil terkekeh.Aku lihat, Lilian kembali menikmati makanannya dan tidak memberikan respons. Baik, aku tidak akan memaksanya.“Kamu tadi mengatakan kalau sudah lama mengurung di apartment. Apa kamu sakit?” tanya Lilian.Ah, rupanya Lilian ini sangat teliti. Bisa-bisanya dia masih ingat perkataanku yang sudah lewat.“Seperti yang aku ceritakan tadi, waktu itu aku putus dengan kekasihku dan mendadak aku jadi tidak suka bepergian,” jawabku.“Apa kamu selingkuh?” tanya Lil
Lilian POV“Kapan kita bisa bertemu lagi?” Pertanyaan Keenan ini membuatku sedikit kesal karena kedengarannya seperti memaksa. Pun tadi sebelum Cheryl datang, Keenan sudah menanyakan hal yang sama.Aku tidak memiliki firasat buruk tentang Keenan. Dia terlihat seperti seorang pria baik-baik, dan sejujurnya aku merasa nyaman bicara dengannya. Hanya saja, aku masih merasa sedikit curiga. Apa mungkin pertemuan kita ini kebetulan? Mana ada pertemuan yang berkali-kali bisa kebetulan?Cheryl melihatku dan Keenan bergantian, lalu tiba-tiba dia menjawab. “Apa kalian sudah punya nomor telepon masing-masing?”“Ah, kamu benar! Aku sampai lupa menanyakan nomor telepon Lilian.” Keenan buru-buru meraih ponselnya dari dalam kantong celana, lalu menoleh ke arahku.“Berapa nomor teleponmu?” tanya Keenan.Dengan malas aku menyebutkan nomor teleponku.“Aku akan mengirimkan pesan agar kamu bisa menyimpan nomor teleponku,” ujar Keenan.Aku hanya mengangguk untuk menanggapi.“Apa aku juga boleh minta nomor
Keesokan harinya …Baru saja keluar dari kamar mandi, aku mendengar ponselku bergetar.Aku buru-buru memeriksanya, khawatir ada sesuatu yang mendesak.“Tante Iva?” gumamku.Pasalnya, sangat jarang tante Iva meneleponku. Kalau penting, dia pasti mengirimkan pesan.Ting!Ketika aku hendak mengetikkan pesan, tante Iva sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu.“Selamat pagi, Lilian. Maaf, Tante mengganggu sepagi ini. Apa Lilian masih suka mie ayam? Hari ini Tante rencana mau masak”Deg!Mendadak hatiku merasa sangat sedih, mengingat mie ayam buatan tante Iva itu salah satu menu makanan kesukaan Finn. Sepertinya aku tidak akan bisa menikmatinya karena itu akan membuatku menangis. Tetapi, aku tidak mungkin menolak tante Iva, bukan?Dengan tangan yang gemetar, aku berusaha membalas pesan. “Mie ayam, kesukaan Finn.”“Tante mengerti. Seandainya itu akan membuatmu sedih, kamu bisa makan menu yang lain, yang tak kalah enaknya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah ya!” balas tante Iva dengan mengirimk
“Sambil menunggu masakan semuanya matang, cobain ini … risoles ala Tante Iva.” Tante Iva datang menghampiri kami sambil membawa satu piring berukuran besar, berisi risoles.“Wah, saya sudah lama tidak makan risoles,” ujar Cheryl dengan mata berbinar.“Lilian suka risoles?” Tatapan Tante Iva beralih padaku.“Ini cemilan kesukaan Lilian, Tante,” celetuk Cheryl.“Oya? Kok Finn tidak pernah cerita ya,” sahut Tante Iva.“Berhubung di sini tidak pernah lihat risoles dan saya tidak bisa membuatnya, saya memilih untuk melupakan risoles,” jawabku sambil tertawa.Om Danendra, Tante Iva, dan Cheryl pun ikut tertawa.“Cobain dulu ya … kalau cocok, lain kali Tante bagi seandainya kebetulan buat,” ujar Tante Iva.Aku mengangguk, lalu mengambil satu risoles dan mulai menikmatinya.“Bagaimana?” tanya Tante Iva.“Saya suka, Tante! Ini enak,” jawabku kegirangan. Terlalu senang akhirnya bisa menikmati risoles lagi, rasanya aku ingin melompat-lompat sambil bertepuk tangan.“Benarkah?” tanya Tante Iva rag
“Cheryl sudah ada pria yang disukai atau belum nih?” tanya Om Danendra dengan senyum khasnya yang mirip dengan Finn.“Pasti banyak donk, Pa. Cheryl itu gadis yang cantik dan pandai,” sahut Tante Iva.“Bisa saja, Tante. Buktinya sampai sekarang saya masih jomblo,” canda Cheryl.“Itu karena kamu belum membuka hati saja,” ujar Tante Iva tepat sasaran.Sementara Om Danendra dan Tante Iva sibuk berbincang dan bercanda dengan Cheryl, aku yang mendadak teringat akan Finn hanya bisa sesekali tersenyum untuk menanggapi.“Ayo, tambah lagi, Li! Makan yang banyak ya,” ujar Tante Iva, membuatku yang sedang melamun ini terkesiap.“Iya, Tante,” sahutku tersenyum.“Lilian dan Cheryl boleh anggap Om dan Tante seperti orang tua kalian sendiri ya. Begitu ada pria yang mendekati, kalian bisa cerita,” ujar Om Danendra.“Cerita apa pun … kami siap mendengarnya,” tambah Tante Iva.“Iya, Om, Tante,” sahut Cheryl.Sementara aku melihat ke arah piring, pura-pura sibuk makan. Hatiku benar-benar terasa campur ad
“Siapa?” tanya Om Danendra dan Tante Iva kompak. Rupanya mereka benar-benar ingin tahu.Aku menghela napas pelan sambil melirik ke arah Cheryl, yang kebetulan juga melirik ke arahku dengan senyum iseng khasnya.Kenapa sahabatku ini selalu saja membicarakan hal yang tidak penting?“Cheryl, sepertinya harus kamu yang cerita deh,” paksa Tante Iva.Aku masih menatap Cheryl dengan pandangan yang aku sendiri tidak mengerti.“Kalau kalian tidak mau cerita, itu artinya hanya Om dan Tante yang menganggap kalian anak sendiri. Sedangkan kalian hanya sekadar bersikap baik dengan kami.” Perkataan Om Danendra menyiratkan rasa kecewa dan itu membuatku praktis merasa bersalah.Lagi-lagi aku menghela napas pelan, memikirkan cara untuk bercerita.“Akan lebih baik kalau Lilian yang cerita, Tanta,” ujar Cheryl, masih menatapku.“Jadi, begini … kemarin saya mendadak pergi ke Pulau Sentosa sendirian. Rencana saya, setibanya di sana mau mengirimkan foto, sekaligus memberi tahu Cheryl, agar dia menyusul saya