Share

Bab 3. Sungguh Menyakitkan

“Erina?” panggilku pelan. Sudah tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata suasana hatiku saat ini.

Erina yang sepertinya sudah hampir mencapai titik klimaks kenikmatan membuka matanya dan menoleh ke arahku dengan mata yang terbelalak dan mulut menganga.

Sedangkan seorang pria yang tangannya masih berada di ... dalam lubang kenikmatan milik Erina juga ikut menoleh dan perlahan menarik tangannya.

“Siapa dia? Apa dia saudara kamu?” tanya seorang pria itu dalam bahasa Inggris.

“Bukan,” jawab Erina, tak mengalihkan tatapannya padaku.

“Maaf mengganggu. Selesaikan dulu aktivitas kalian. Aku akan menunggu di luar,” ujarku dingin.

Kebanyakan orang yang berada di posisiku saat ini pasti akan pergi begitu saja. Namun, berbeda denganku yang masih ingin memberi Erina kesempatan untuk bicara. Aku hanya ingin tahu alasannya berbuat itu di belakangku, bukan ingin kembali dengannya. Statusnya sudah bukan kekasihku semenjak dia memutuskan untuk tidur bersama laki-laki lain.

“Hei, kamu mau ke mana?” Samar-samar aku mendengar suara laki-laki itu bertanya. Tetapi, aku tidak mendengar jawaban Erina.

Cukup lama aku menunggu, hingga akhirnya Erina keluar dari kamar dengan kepala menunduk, dan dia tampak berantakan. Sangat berantakan.

“Kita bicara di sini saja ya?” ujar Erina, tak berani menatap ke arahku.

“Hm,” gumamku.

Erina duduk sambil menjaga jarak denganku. Sedangkan aku masih terus menatapnya lurus.

“Maafkan aku, sudah selingkuh di belakangmu,” ucap Erina membuka pembicaraan.

“Kenapa?” tanyaku datar.

“Bisnis papaku bangkrut. Sudah beberapa hari ini setiap hari keluargaku terus berpikir, besok akan makan apa? Karena mereka tidak punya uang sama sekali. Sementara aku tidak ingin meninggalkan Singapura. Di sini aku merasa nyaman bersamamu. Setidaknya aku tidak akan kesulitan makan dan membayar sewa karena aku bisa minta tolong kamu. Ya, aku sangat egois. Tapi, terbiasa hidup dengan harta yang berlimpah, akan sulit kalau tidak memiliki uang sama sekali.” Cerita Erina mengalir begitu saja.

Namun, ceritanya belum sampai menjawab pertanyaanku.

“Di tengah-tengah tekanan dari keluarga, aku membutuhkan pelepasan. Aku tidak mau terlibat dengan obat-obatan terlarang atau minuman keras. Jadi, aku memilih untuk hidup bebas dengan mengorbankan tubuhku. Kamu pria yang sangat baik, Keenan. Kamu bahkan tidak pernah menciumku. Bagaimana aku bisa mendapatkan kenikmatan darimu? Itu sebabnya aku selingkuh walaupun aku tahu itu salah.” Erina melanjutkan.

“Maafkan aku,” ucap Erina sambil menunduk semakin dalam.

“Jadi, selama ini kamu tidak mencintaiku?” tanyaku sekadar memastikan.

“Aku tidak pernah mencintaimu. Aku mencintai Bernard, laki-laki yang ada di dalam kamarku sekarang. Hanya saja, dia terlalu perhitungan,” jawab Erina jujur.

Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi selain menghela napas panjang.

“Maafkan aku.” Lagi-lagi Erina minta maaf.

“Terima kasih sudah memberiku pelajaran untuk satu tahun kebersamaan kita. Maaf, aku tidak bisa memberimu kepuasan yang belum waktunya karena aku tidak ingin merusak wanita yang aku cintai,” lirihku.

Sepertinya aku melihat Erina menangis tapi aku bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah gontai menuju ke mobil.

Pikiranku kini berjalan mundur, mengingat baru saja aku hendak membeli kemeja lengan panjang, warna putih, bergaris hitam di bagian dada ... ukuran L yang hanya tinggal satu saja.

Aku sudah bisa membayangkan, pasti bagus kalau dipakai untuk makan malam bersama Erina, merayakan satu tahun kebersamaan kita.

Di dalam hatiku bahkan sempat terbersit keinginan untuk membayarnya dengan harga yang lebih mahal dari wanita muda itu tapi beruntung gengsi membuatku hanya diam di tempat.

Ya, aku beruntung sudah mengikuti kata hatiku untuk memberikan kemeja itu pada wanita muda itu. Karena kalau aku membelinya, mungkin aku sudah merobeknya sekarang.

Bukan, aku bukan merasa beruntung karena akhirnya tidak mengeluarkan uang untuk membeli baju baru, melainkan ... aaarrrggghhh! Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang.

Kenapa dengan wanita di sekitarku ini? Kenapa semua wanita yang aku sayangi justru membenciku? Mama yang melahirkan aku sudah lama tidak bicara denganku. Sekarang Erina, wanita yang sangat aku cintai juga membenciku. Kenapa?!

Aku terus memukul-mukul setir mobil dan menangis, meluapkan kekecewaan hatiku.

***

Lilian POV

“Bagaimana Finn? Aku ingin melihat Finn,” ujarku pada Cheryl, satu-satunya sahabat yang sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri.

Saat ini aku sedang berbaring di brankar rumah sakit dan diinfus. Menurut Cheryl, tadi aku sempat pingsan dan untungnya, Cheryl baru saja selesai praktik, jadi dia bisa menemaniku.

Ya, di Singapura aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Cheryl. Dia lahir di Jakarta. Tetapi, bekerja sebagai Dokter di Singapura. Mungkin lain kali aku akan cerita lebih detail tentangnya.

“Kamu masih perlu istirahat, Li. Nanti aku pasti antar kamu untuk melihat Finn kok,” jawab Cheryl sabar.

Entah mengapa, aku merasa Cheryl seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

“Apa Finn sudah sadar? Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku sambil memicingkan mata.

Cheryl meraih ponselnya dan tidak menjawabku.

“Aku lapar, kamu mau makan apa? Aku belikan ya?” tanya Cheryl.

“Ryl, jawab aku dulu deh, bagaimana keadaan Finn? Aku enggak bakalan bisa makan dengan tenang kalau enggak tahu kondisi Finn,” jawabku kembali menangis.

“Li, kamu harus kuat dulu, ok?” ujar Cheryl. Sekarang dia sudah menatapku lurus.

“Ryl, kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, ‘kan? Finn kenapa? Aku mohon, beri tahu aku!” pintaku tak bisa berhenti menangis.

Cheryl menghela napas dan menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti.

“Baik, aku akan bertanya pada Dokter yang menanganimu. Kalau beliau tidak keberatan, maka aku akan mengantarmu untuk melihat Finn,” jawab Cheryl. Dia pasti tahu kalau aku belum mendapatkan jawaban, aku tidak akan menyerah.

Aku mengangguk.

Aku lihat Cheryl mengirimkan pesan, kemungkinan pada Dokter yang menanganiku, dan menunggu balasannya.

Saat ini, satu menit rasanya seperti satu jam. Benar-benar sangat lama.

“Ok, kita tunggu seorang perawat mengantarkan kursi roda untukmu ya,” ujar Cheryl membuatku senang.

Aku duduk dan turun dari tempat tidur, dibantu oleh Cheryl. Lalu kami pun keluar dari kamar dan melalui lorong yang sangat panjang.

“Di mana kamar Finn?” tanyaku.

Cheryl terus mendorong kursi roda dan tidak menjawabku.

Hingga aku membaca tulisan ... ruang jenazah. Tunggu dulu!

“Ryl, kita tidak salah jalan, ‘kan?” tanyaku.

Namun, dari posisi kami saat ini, aku bisa melihat Om Danendra dan Tante Iva sedang duduk di kursi yang ada di paling ujung. Sedangkan Cheryl terus mendorong kursi roda, mendekati orang tua Finn.

“Om, Tante,” panggilku ketika kami sudah dekat.

Mendengarku memanggil, Om Danendra dan Tante Iva serempak menoleh ke arah kami. Mata mereka sembab. Ada apa ini?

“Lilian.” Tante Iva bangkit berdiri dan berhambur memelukku.

“Tante, bagaimana keadaan Finn?” tanyaku.

Bukannya menjawab, Tante Iva malah menangis.

“Finn sudah pergi mendahului kita, Li.”

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status