Share

Wolfsbane
Wolfsbane
Author: shunkin

Takdir

Rantai besi masih menempel di pergelangan tangan dan kaki. Langkah diseret meski berkali-kali ditancap besi panas di bagian punggung. Rambut depan menjuntai, tidak pernah dipotong barang sekali. Menutupi sebagian pandangan, tidak mau menatap jalan karena semuanya berakhir pada penderitaan.  

Tubuhnya dimasukkan ke dalam sebuah karung, lalu dilempar seperti sampah. Dia menyadari posisinya dan tidak berhak melawan. 

"Antar dia ke rumah bangsawan Hviezda. Seseorang membelinya dengan harga yang cukup tinggi."

Sekujur tubuhnya sudah mati rasa. Merasakan raganya diangkut ke sebuah kendaraan. Sepertinya gerobak usang yang ditarik oleh kuda, karena suaranya terdengar dengan keras. 

Menjadi budak bukanlah inginnya, dia hanya terbiasa diperlakukan seperti ini. Orang tuanya menjualnya kepada seorang saudagar ketika berusia enam tahun dan sejak saat itu dia terus berpindah ke tangan ke majikan yang lain. Kadang dia tak makan sampai tiga hari, kadang bahkan memakan yang tidak layak. 

Tapi dia bisa apa? Ini adalah dunia yang kejam, kenyataan yang harus dihadapi. Dia tidak punya apa-apa, dia bukan siapa-siapa. Masih hidup hari ini saja adalah hal yang patut ia syukuri.

"Berapa yang mereka tawarkan?" 

"Dua ratus keping emas."

Mendengarnya saja membuatnya menggemerutukkan gigi. Di zaman ini, apapun bisa dibeli. Sejak emas ditemukan dan digunakan sebagai nominal penukar barang berharga. 

Ia berusaha melepas tali yang melilit tubuhnya, sementara kusir dan penjualnya sibuk berbincang. Bagaimanapun, ini adalah satu-satunya kesempatan sebelum dirantai majikan baru. Ia tidak mau hidup seperti ini lagi. 

"Mau kemana kau, bocah?"

Sialnya, sebelum rencananya sukses si kusir menyadari gerak-geriknya. Kereta mereka terhenti dan bocah itu diikat lebih kuat daripada sebelumnya. Bahkan segumpal kain kini bersarang di mulutnya agar tak berteriak. Padahal tanpa harus seperti itu, si bocah sama sekali tak berniat berteriak bila berhasil kabur. 

Tidak akan ada yang menolong kecuali dirinya sendiri, bukan?

Namun tak berapa lama setelahnya, bocah itu melihat bagian atas kereta terbakar entah karena apa. Sang kusir dan penjualnya panik, tetapi tak berapa lama kemudian setelah mereka menengok luar, mereka tidak kembali. 

Sayup-sayup mendengar, ada suara langkah kaki di luar sana. Mungkin puluhan orang. Entah karena apa bagai tergesa. 

"Cari barang berharga di dalam kereta ini!" 

Si bocah memberontak lebih keras daripada sebelumnya. Tetapi ia hanya bisa menitikkan air mata, dia tidak cukup kuat untuk melepaskan diri. Raut ketakutan di wajahnya terlihat jelas ketika beberapa orang menyibak kain penutup, lalu menatap padanya dengan membawa belati. 

"Mereka hanya membawa anak kecil! Sialan!"

"Lalu apa yang akan kita lakukan, Bos? Kita harus pergi atau segera tertangkap."

"Tidak apa, bawa dia! Kita tetap bisa menjualnya sebagai budak!"

Apakah takdir memang begitu membencinya? 

Kenapa dia harus lahir ke dunia ini?

***

Bocah itu dilelang bersama banyak anak kecil sepertinya. Mereka berbaris rapi dengan tangan dan kaki yang dirantai besi. Tidak ada celah untuk kabur. Ada singa sejauh sepuluh meter, berada dalam kandang dalam kondisi kelaparan. Auman hewan itu cukup membuat mereka ketakutan. 

Mereka dihadapkan pada banyak orang, duduk menaik di lingkaran. Mereka berlomba dan menuliskan harga di papan yang mereka bawa. Menginginkan budak untuk dipekerjakan semau mereka. 

"Aku mau bocah itu!"

"Seratus keping perak!"

"Lima puluh keping emas!"

"Seratus keping emas dan perak!"

Si bocah itu mendadak teringat memori tak menyenangkan. Ayah Ibunya bertengkar karena tidak punya uang. Kemudian Ayahnya membawa anak semata wayangnya ini ke tempat judi, berharap dapat menang demi melunasi hutang. 

Dia kalah. 

Karena uangnya habis, maka bocah itu menjadi pengganti. Ia mulai berada di lingkaran ini sejak enam bulan lalu, sering berganti majikan. Tentu saja atas nama uang. 

Dia bersikap baik dan tidak membangkang meski semua mantan majikan memperlakukannya dengan kasar. Kian lama harga jualnya meninggi, berpindah tangan dengan cepat ke tangan orang lain. Bahkan sebelum ia berdiri di sini, dirinya hendak dijual kepada keluarga bangsawan. 

"Seribu lima ratus keping emas!"

Penawaran tertinggi jatuh kepada bocah itu. Dia mengerti manusia di depannya hanya akan memperbudak dirinya lagi. Dia mengerti semua ini terjadi karena uang. 

Mereka memamerkan harta seolah itu bukan apa-apa, sedangkan ia di sini karena kekurangan ekonomi keluarganya. Jika ia sedikit berpikir, sebenarnya itu sangat tidak adil. Bahkan acara kaburnya juga gagal. Mungkin takdirnya berkata demikian. 

Takdir, ya? 

"Ada penyusup! Wolfsbane!" suara dari ujung memecah perhatian massa. Sebagian terkejut dan langsung melarikan diri mendengar nama itu. 

"Sialan! Bawa bocah-bocah ini!"

Bocah itu juga hanya diam ketika ia diseret paksa oleh orang dewasa. Dia tidak punya pilihan, dia harus bertahan hidup bagaimanapun caranya. Dengan harapan suatu hari nanti bisa kembali berjumpa dengan kedua orang tuanya. 

Singa yang sejak tadi bersuara mendadak diam ketika jeruji itu turut dipindahkan bersamanya. Bocah itu merasakan tarikan di kerahnya terlepas, lalu cipratan darah mengenainya dari arah belakang. 

Ia tak berani menoleh. 

Meski ia hanyalah seorang anak kecil, tetapi ia tahu bahwa orang dewasa itu tidak akan takut pada sesuatu bila mereka mampu melakukannya. Mencuri kereta di tengah jalan, misalnya. Mereka tidak merasa takut karena mereka bisa mengatasinya. 

Lalu perasaan apa ini? Ketakutan yang luar biasa berkumpul. Ia tidak pernah takut pada apa pun, tetapi sesuatu yang buruk pada orang dewasa berarti akan buruk juga baginya, bukan? 

"Kenapa ada anak kecil di sini?"

Bocah itu mendengar sebuah suara asing. 

"Apa kita akan membunuhnya sekarang?" tanya seseorang yang lain.

"Tugas kita hanyalah mencuri."

"Lebih baik kita bawa dia dulu."

Meskipun budak, bukan berarti ia tak pernah mendengar julukan itu.

Wolfsbane. 

Mereka adalah komplotan pencuri terkenal di negara ini. Majikan-majikannya terkadang membicarakannya ketika tidak sengaja lewat. Nama itu begitu populer karena dikabarkan tidak pernah gagal dalam aksinya. Lagi, salah satu dari mereka terkena kutukan. Entah rumor itu benar atau tidak, bocah itu juga tak bisa memastikan. 

Raganya sekarang dibawa oleh orang asing. Kepalanya ditutup oleh tas kulit dan kedua tangannya dililit ke belakang dengan tali. 

"Kita harus bergegas pergi."

***

Bocah itu tersadar setelah mencium aroma menyengat. Pelan-pelan ia membuka mata, melihat ada orang selain dirinya di area yang sama. 

"Kau sudah bangun?"

Bocah itu tidak menjawab. Ia tidak tahu sekarang di mana. Selain itu, ia tidak mengenal orang yang baru saja bertanya. Mungkin saja dia adalah agen budak yang lain, bukan? 

"Kau tidak perlu takut. Namaku Fritz. Anggota Wolfsbane."

Mendengar kata Wolfsbane seketika membuat bocah itu terduduk. Wolfsbane adalah masalah serius di negara ini. Kenapa ia sekarang justru berada di sarang mereka?

"Jangan khawatir. Yang punya racun hanya Elaine."

"Apa maksudmu, Fritz?"

Seseorang datang. Seorang wanita berambut panjang. Ada mahkota yang tersusun dari bunga kecil di kepalanya. Matanya bulat namun bersinar indah. Pula perawakannya yang cukup tinggi. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih. 

Kedua tangannya hendak menyentuh pipi putih itu, namun Fritz segera menahannya dengan deheman pelan. 

"Namamu Claus, bukan?"

Sang bocah menelan ludah. 

" ... darimana Anda tahu?"

Wanita itu tersenyum manis. "Tentu saja aku tahu. Tidak ada hal yang tak diketahui oleh Wolfsbane. Sekarang kau berada di tempat kami."

Claus berkeringat dingin. Benar dugaan awalnya. 

"Bisakah kalian membiarkanku pergi?"

Elaine menatap aneh. Firasat Claus buruk soal ini. 

"Memangnya kau mau pulang ke mana?"

Claus terjengit. Ia lupa bahwa kini tidak punya tempat kembali. Tidak ke rumah orang tua atau majikan barunya. Mereka semua bukanlah opsi yang harus dipilih. Tersadar bahwa selama ini hidupnya hanyalah rotasi menyedihkan. 

Berada di tempat yang tidak diketahui juga membuatnya takut. Ia tidak tahu mereka semua. Bisa saja mereka menipunya. Mengetahui banyak orang dewasa yang licik, mau tak mau menjadikannya berpikir demikian. 

"Aku tidak masalah kau pergi dari sini. Tapi jika kau benar hendak bergabung, ini adalah waktu yang tepat. Kami akan segera berpindah lagi. Kami sedang menunggu yang lain kembali." Fritz berbicara. 

"Aku permisi sebentar." Elaine pamit pergi entah kemana. Ia menghilang begitu saja di pintu tenda. 

***

Claus menghitung mereka setelah empat hari berada di sini. Semua luka di tubuhnya turut diobati. Wolfsbane punya jaringan di mana-mana, tetapi yang ia tahu beberapa orang yang ditunggu telah kembali. 

Mereka datang mengendarai kuda, kemudian menyerahkan beberapa bungkus kain, sebenarnya ada banyak. Ada sekitar sepuluh. 

"Elaine, kami membawa sesuai inginmu."

Ikatan atas dibuka, pendar emas terlihat benderang. Elaine yang ditemui oleh Claus waktu itu turut membantu menghitung hasil yang entah darimana. 

"Claus," ia menoleh pada Claus yang bersembunyi di balik kotak kayu. "Kemarilah." katanya. 

Claus sedikit ragu mulanya. Tetapi berhubung kawanan ini telah mengobati lukanya, ia mendekat karena menumbuhkan rasa percaya. Memerlukan sedikit waktu sebelum sampai. 

"Ini uang untukmu. Jika kau memang tak ingin mengikuti kami."

Claus diberi satu kantung berisi emas. Jelas saja ia terkejut, sampai menjatuhkannya tanpa sengaja. Claus hanya tidak menyangka akan diberi harta sebanyak itu. Apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. 

Wanita itu mengambil kantung dan membereskan koin emas yang tercecer. Tanpa banyak bicara ia serahkan kembali pada bocah itu. 

"Kenapa kau memberiku?" Tanya Claus.

"Aku hanya bisa melakukan ini. Ambillah." 

Kantung diletakkan di tanah. Claus diberi pilihan untuk mengambilnya atau tidak. Bocah itu menelan ludah, ia sedang ditatap banyak orang. 

"Aku ... memikirkannya semalam. Kau benar, aku sudah tidak punya tempat untuk pulang. Jadi aku ... "

" ... ingin ikut bersama kami?"

Claus mengangguk. Lagipula ia juga tak tahu hendak kemana bila memang benar pergi dari sini. Mereka sudah mengatakan itu kemarin, dan kenyataan tersebut harus diterima Claus cepat atau lambat; dia hanya sendirian di dunia ini. 

"Aku tidak keberatan." Anggota lain berbicara. Sebelum ia mengarahkan tatapan kepada Elaine di sebelahnya. 

"Ikut denganku sebentar, bocah."

Claus mengikuti langkah kaki wanita berambut hijau. Mereka menepi ke arah pepohonan. 

"Dengar, perjalanan kami selalu penuh dengan bahaya. Kau yakin?"

Claus mengangguk. Ia pikir ini lebih baik daripada tidak punya siapa-siapa. Pola pikir sederhana seorang anak-anak. 

"Kami selalu dekat dengan kematian, kau tahu kelompok kami menentang pemerintahan."

Claus tahu itu sedari awal, jadi ia pikir tidak ada masalah ketika memutuskan tujuan baru hidupnya.

"Aku tahu." 

"Jangan salahkan aku bila kau mati." 

"I-iya!" 

[ Mulai hari ini Claus resmi bergabung dengan Wolfsbane ] 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status