Share

Teman?

"Lukisanmu payah!"

Begitulah yang sering didengarnya sedari dulu. Karena itu pula, Josephine berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa perkataan orang-orang itu salah. Melukis adalah nyawa, seni, juga representasi pemikiran serta hati. Orang-orang yang tidak menghargainya hanyalah sampah.

Ia bermimpi menjadi pelukis istana, karena itu ia berlatih setiap hari. Objek lukis yang paling umum di Lian adalah Nona Lyla Hviezda. Kecantikannya tersohor hingga negeri tetangga, membuat Lian bangga memilikinya.

Setiap hari, ada lukisan baru untuknya dari para seniman. Kemudian para budak itu disuruh memajangnya di setiap sudut kota. Tidak sedikit pula yang menghadiahkan budak mereka untuknya. Meski kebanyakan berakhir ditolak karena ia sangat sibuk. Tetapi tidak ada orang yang membencinya, bahkan para budak sekali pun. Mereka bahkan dengan senang hati menghormatinya.

Disaat semua bangsawan suka sekali menyiksa budak, Lyla Hviezda bukanlah orang seperti itu. Salah satu budaknya sejak kecil, Oscar, yang kini menjabat sebagai Kepala Pelayan Hviezda adalah contohnya. Memang sudah pasti ada perbedaan perlakuan di antara mereka, tetapi Lyla Hviezda seperti bunga yang mekar di tengah musim kemarau. Para budak terkadang bermimpi mereka bisa bekerja untuknya.

"Kau itu hanya budak, jangan pernah berani melukis Nona Lyla!"

Lukisannya dirobek oleh majikannya lagi hari ini. Ia hanya bisa menghela napas. Apakah melukis itu merugikan orang lain? Ia selalu bertanya-tanya. Tidak heran bila semua budak di Lian ingin bekerja di kediaman Hviezda.

Andai saja dia juga punya kesempatan seperti itu. Meski ia tahu bahwa budak tidak akan pernah memiliki kebebasan untuk apa pun.

"Apelnya, tiga riht!"

Josephine berhenti di sebuah kios apel atas perintah majikannya. Ia menggerutu kesal, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain jadi pesuruh. Beberapa orang di sekitarnya berbincang mengenai insiden Wolfsbane beberapa hari lalu hingga menyebabkan pengiriman budak terlambat. Mereka adalah pemberontak negeri ini. Identitas pemimpin mereka belum diketahui, hanya Fritz, salah satu pemburu yang terungkap ketika hampir tertangkap enam bulan lalu.

Josephine berkali-kali berpikir ingin bergabung dengan mereka, namun ia mengurungkan niatnya saat itu juga. Banyak bahaya, selain itu bila Lian masih memiliki Lyla, ia bisa menganggap semua baik-baik saja. Setidaknya kehidupannya akan tetap tenang.

"Cepat sedikit, dasar budak! Percuma aku membelimu kalau kau tidak bisa melakukan apapun!"

Tidak semua orang seberuntung dirinya mendapat majikan yang ... sedikit baik? Majikan Josephine adalah seorang petani kaya dan punya banyak budak selain dirinya. Ia hanya akan dimarahi bila melakukan kesalahan yang fatal. Terkadang bahkan majikannya tidak terlihat peduli dengan apa yang dilakukannya—oh, pengecualian untuk lukisan Nona Lyla. Cih.

Di tengah jalan, seorang budak tengah diinjak-injak karena tidak bisa melakukan apa yang diperintahkan majikannya. Memang begitulah kondisi mereka; tidak punya kebebasan. Meski Josephine berkali-kali membeli kanvas dan cat air secara diam-diam, semua itu tetap sia-sia.

Lalu untuk apa ia harus melawan arus dan mengorbankan dirinya sendiri untuk menolong budak lain?

Tidak ada yang tahu siapa yang tiba-tiba datang di antara kerumunan. Ia menghajar bangsawan itu dan menyuruh budak itu untuk lari sesegera mungkin. Beberapa pengawal bangsawan berusaha mengejar, lalu mereka semua sudah tidak ada di lokasi kejadian. Semua terjadi begitu singkat.

Josephine bertanya, siapa gerangan dirinya? Darimana keberanian itu ia dapatkan? Sedikit, hanya sedikit, Josephine berharap bisa memilikinya juga. Orang asing itu tiba-tiba saja memberi secercah asa. Josephine mengepal tangannya erat, ia tidak tahu mengapa hatinya merasa senang.

                                  ***

Hari ini sangat terik. Beberapa hari setelah kejadian itu, Josephine kian bersemangat melanjutkan hobinya. Tak peduli bila majikannya mencaci berkali-kali, atau pun selalu merobek hasil karyanya dengan keji. Semua itu tidak lagi berarti, karena ia hanya ingin melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Hari ini ada pesta besar di istana, penobatan gelar Pangeran Mahkota kepada Pangeran Giovanni. Josephine tidak terlalu menyukainya, tetapi ia rela berdesakan hari ini hanya untuk melihat Lyla Hviezda melewati jalan dekat tempat tinggalnya.

Josephine hafal bagaimana rupa kereta kuda Lyla, maka ia langsung menemukannya di antara barisan bangsawan yang sedang menuju ke istana. Nona Lyla sesekali membuka tirai jendela untuk mencari angin, kemudian menutupnya kembali. Dia benar-benar definisi dari keindahan, Josephine tak pernah lelah melihatnya setiap waktu. Meski ia tak bisa mengabadikannya pada guratan kanvas, namun potretnya tidak akan pernah bisa ia lupa. Sempurna, hanya itu kata yang tempat untuk menggambarkannya.

Sebuah peristiwa tak mengenakkan terjadi di siang itu. Kabar beredar dengan cepat, mengatakan bahwa Pangeran Giovanni telah tiada. Pelakunya masih diselidiki, tapi itu tak mungkin usai hari ini, bukan?

Acara menggembirakan—bukan untuk Josephine, tentunya— mendadak jadi kelam. Suasana begitu berat, dan Josephine hanya mampu melihat Lyla dari kejauhan. Selama ini keindahan Lyla selalu terpatri dengan sempurna, tetapi sekarang yang ia lihat adalah duka.

Gadis bangsawan itu memang tidak menangis, tapi ia pikir sudah berapa lama Josephine melihatnya? Dia tahu apa yang dipikirkannya; bahwa Lyla juga tidak bisa memaafkan pelaku kejadian ini. Waktu tidak bisa lagi diputarbalikkan.

Keesokan hari, tempatnya kedatangan budak baru bernama Carla. Dia tidak terlalu mencolok, hanya mendapat tugas mengurus ladang bersamanya. Carla adalah perempuan yang baik, dan pengetahuannya soal ladang nembuat Josephine sedikit kagum. Jarang sekali ia menemukan budak yang memiliki wawasan seperti itu.

Tidak butuh waktu lama bagi Carla untuk dipercaya majikan mereka. Ia tidak pernah membantah sepertinya, selain itu hasil kerjanya sangat memuaskan. Ia bahkan diberi kesempatan berjalan-jalan bila telah menyelesaikan pekerjaannya.

Bohong bila Josephine tidak iri. Meski demikian, apa yang bisa ia lakukan?

Suatu hari Carla pulang dengan membawa seseorang. Betapa terkejutnya Josephine ketika mengetahui bahwa itu adalah Lyla Hviezda.

"Carla? Kenapa Nona Lyla ada di sini?"

                                 ***

Oscar sudah tidak lagi terlihat setelah beberapa waktu mereka berlari. Merasa tidak akan lagi terkejar, mereka memutuskan untuk duduk di pinggir sungai yang kebetulan berada di dekat sana. Karena hari sudah malam, banyak kunang-kunang beterbangan di udara. Mereka kesana kemari dengan cahaya kecil mereka.

Lyla menoleh pada Elaine, menanyakan sesuatu,

"Namamu siapa?"

"Carla." Jawab Elaine. Itu adalah nama samarannya selama berada di Lien sementara ini.

Semua orang tahu Elaine adalah seorang buronan, karena itu ia juga mengubah penampilan dan namanya. Ia datang hanya untuk mengumpulkan informasi, tidak lebih. Setelah ini ia akan kembali menyusul rombongan Wolfsbane. Bagaimana kabar semua orang? Ia harap Claus juga mulai terbiasa di sana.

"Benar, Nona Hviezda. Kalau boleh tahu, mengapa Anda lari?"

"Oscar sedang mengejarku."

Elaine tidak yakin apa yang terjadi di antara mereka, tapi sepertinya tidak mungkin Lyla berselisih dengan pelayanannya sendiri tanpa alasan yang kuat. Lyla terlihat sedih dan Elaine sendiri tahu apa penyebabnya. Ia tak bisa banyak bicara untuk saat ini. Selain itu, ia sedang menyamar sebagai budak untuk melihat kembali kerajaan ini.

Sayangnya, kejadian tak terduga membuatnya terkejut. Tak pernah ia sangka Pangeran Giovanni akan tewas. Siapa yang telah membunuhnya? Terlebih di acara besar seperti itu, sekadar masuk saja bukanlah hal yang mudah. Apakah ada musuh lain yang mengincar Lien selain Wolfsbane?

"Ini sudah malam, Nona. Mari saya antar pulang." Elaine menawarkan bantuan padanya. Lagipula, Lyla seorang bangsawan. Terlalu lama bersamanya juga tidak mungkin, 'kan?

"Tidak." Lyla menjawab. "Aku tidak mau kembali ke sana sekarang."

Elaine tidak bisa membiarkan ini. "Saya juga tidak bisa berlama-lama, Nona. Majikan saya akan mencari—"

"Bisa bawa aku ke tempatmu?"

Elaine menatap tidak percaya. Ia memang tidak begitu tahu soal Lyla, terlebih dia berasal dari keluarga Hviezda yang secara turun temurun memang selalu membeli budak untuk dipekerjakan dan membuat pasar budak tetap ada hingga saat ini.

Namun dari apa yang ia lihat hari ini, Lyla tampak tidak keberatan berbincang dengan seorang budak—walau hanya pura-pura— sepertinya. Baru kali ini ia menemukan bangsawan yang bersikap tidak peduli akan status dan kasta terhadap orang lain.

"Baiklah, tapi besok Anda harus kembali. Tolong berjanjilah padaku."

"Terima kasih, Carla."

                                  ***

Lyla dibawa ke tempat tinggal budak milik seseorang bernama Gogh. Rumah mereka kecil dan tidak cukup luas untuk berdua. Namun Carla berhasil meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Ketika membuka pintu, mereka berjumpa dengan seseorang lain.

"Carla, kenapa Nona Lyla ada di sini?"

"Dia—"

Lyla menyela pembicaraan. "Aku hanya sebentar berada di sini karena tadi tersesat. Besok aku kembali."

"Kenalkan, ini Josephine, temanku. Dia sangat mengagumi Anda, Nona Lyla."

"Eh? Ya ampun, Carla!" Pipi Josephine berubah menjadi merah. Sepertinya yang dikatakan Carla benar, pikir Lyla. Ia sama sekali tidak menaruh curiga. Josephine berlari entah ke mana, lalu ia kembali dengan membawa sebuah lukisan.

"Nona, saya harap Anda menerima hadiah kecil ini. Saya sangat ..  umm ... "

Lyla melihat hadiah dari budak itu. Sebuah lukisan dengan potret dirinya sedang duduk dan tersenyum dengan mengenakan gaun. Rambut pirang panjangnya dilukis dengan begitu indah dan elegan. Bubuhan warnanya juga tidak terlihat berlebihan. Lyla tersenyum sembari menepuk kepalanya.

"Terima kasih, Josephine. Akan aku bawa besok bersamaku dan kupajang di kediaman Hviezda. Lukisanmu sangat bagus, omong-omong." Puji Lyla. Josephine kembali tersipu dan itu membuatnya tertawa pelan. Lyla pikir ia benar-benar sangat lucu.

Kemudian Josephine pergi, barulah ia dan seseorang yang ia percayai bernama Carla masuk ke ruangan kecil mereka. Agak gelap, lampunya remang-remang dan tidak mendukung penglihatan. Selain itu, debunya banyak sekali hingga membuatnya terbatuk-batuk.

Apa semua budak mendapat tempat tinggal seperti ini? Budak keluarga Hviezda setidaknya mendapat tempat yang lebih layak dari ini. Ia tidak pernah tahu bahwa kehidupan budak lain tidak pernah bisa dibayangkan. Carla berbaik hati meminjamkan kasurnya untuk semalam, sementara ia akan tidur di luar. Ia bahkan menyiapkan susu hangat untuknya.

"Nanti kau sakit, Carla."

Carla tersenyum. "Tidak, Nona. Jangan khawatirkan saya. Jangan lupa minum susunya. Anda harus mendapat gizi yang cukup, dan itu satu-satunya yang layak dikonsumsi. Maaf. Saya hanya punya ini."

Lyla meminum susunya tanpa ragu. Beberapa saat kemudian ia merasakan kantuk. Carla melangkah ke luar dan menutup pintu, sementara Lyla terlelap dengan cepat. Tidurnya terlihat nyenyak. Sedetik kemudian, pintu terbuka dan sebuah suara terdengar.

"Maaf."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status