Share

Tujuan Baru

Fritz terheran-heran karena hari ini Claus tidak perlu dipanggil untuk berlatih. Ia pikir Claus masih agak takut, tapi kini sepertinya tidak lagi. Yah, bukankah itu hal yang bagus?

"Kau tampak lebih bersemangat hari ini, Claus." Katanya takjub. "Aku yakin jika kau terus berlatih, tidak ada yang tidak mungkin."

Claus tidak merespon, ia hanya fokus pada pedang di tangannya. Ucapan Elaine kemarin begitu menamparnya. Jika ia tidak mau berusaha, maka selamanya julukan anak kecil akan terus melekat. Bila kekuatan bisa membuat Elaine berbicara, maka ia hanya harus melakukannya.

"Tolong, Tuan Fritz."

Fritz segera meladeninya. Bakat memang penting, tapi ambisi bisa membuat segalanya terjadi. Hari ini, ia melihat ada ambisi di mata anak kecil itu. Jadi dia pun juga sudah mulai memiliki perasaan terhadap kelompok ini? Fritz tidak pernah merasa lebih bahagia dari ini.

Claus mulai mengambil sikap kuda-kuda, bersiap menyerang Fritz. Lelaki dewasa juga tidak boleh lengah. Lawannya mungkin hanya anak kecil, tapi meremehkan seseorang tidak boleh dilakukan. Tidak pernah ada yang tahu bagaimana hasil akhir sebelum semuanya dilakukan, bukan?

Sementara Elaine yang baru keluar dari tenda pagi itu melihat Claus sedang berlatih tanding bersama Fritz merasa agak terkejut. Ia masih memikirkan ucapan Claus kemarin. Apakah dirinya telah melakukan sebuah kesalahan? 

Ia tidak bermaksud membuat Claus berada di sini, atau membantu mereka. Bagaimana pun, dia masih anak-anak. Tubuhnya juga belum siap untuk menerima pelatihan semacam ini. Apa yang sudah ia lakukan?

"Hei, Elaine. Kau tidak dapat informasi lain?"

Daris, entah darimana munculnya tiba-tiba saja bertanya. Elaine melirik, menggeleng pelan. "Tidak ada."

"Aku tidak berpikir Lian punya musuh selain kita." Aku Daris.

Elaine menghela napas. "Tentu saja mereka ada."

"Kau tahu siapa mereka?"

Elaine menggeleng. Tidak terlintas bahwa akan ada orang lain yang juga mengincar Lian sekarang. Jika itu benar, maka kelompok ini juga sedang dalam bahaya. Melakukan kejahatan tepat di tengah keramaian, mereka punya kekuatan lebih untuk itu, bukan? Elaine juga penasaran.

"Di mana target kita selanjutnya?" Tanya Daris. 

Nada penuh kebencian terdengar dari mulut perempuan itu. "Hviezda."

"Kau bilang kita tidak akan kembali ke sana ini." Daris menggelengkan kepalanya. Biasanya Elaine tidak seperti ini. Apa yang menyebabkannya demikian? Lalu jawaban Elaine sungguh membuatnya terkejut.

"Aku harus mengembalikan luka yang kuterima."

"Dinginkan kepalamu. Berikutnya akan ada penjualan budak di Pali. Kita akan membebaskan mereka dulu, oke?" Daris melangkah pergi, meninggalkan Elaine seorang diri. 

Sementara perempuan itu menepuk kepalanya sendiri, apa yang barusan dia pikirkan? Egois, tidak seperti dirinya saja. Tampaknya perkataan Claus masih mempengaruhi alam bawah sadarnya.

Kenapa dia bisa terpengaruh oleh seorang anak kecil? Ini hanya perasaannya saja, tapi Claus mungkin akan membawa perubahan pada Wolfsbane di masa depan. Semoga saja memang demikian.

Hari ini mereka akan bergerak lagi, menuju Pali. 

                                  ***

"Oscar!"

Oscar melihat Lyla berjalan ke arahnya. Ia menatap heran, kenapa majikannya terlihat terburu-buru? Maka Oscar berhenti dan menunggu. Kemudian Lyla menanyakan sesuatu ketika telah tiba di hadapannya. 

"Jelaskan."

Oscar tidak mengerti. "Apa yang harus aku jelaskan?"

"Semalam—"

"Semalam Anda tidur nyenyak, Nona. Jangan khawatirkan itu. Anda sudah sarapan?"

Lyla menarik kerah pakaiannya. "Kau tidak menjawab pertanyaanku."

"Aku harus bilang apa? Carla, orang yang kau temui itu merupakan pemimpin Wolfsbane. Dia juga yang bertanggungjawab atas menghilangnya budak yang kau inginkan."

Lyla terdiam. Oscar tidak mungkin berbohong padanya, tapi mengapa ini bisa terjadi? Ia bahkan tidak mencurigai Carla sama sekali.

"Terima kasih, Oscar."

Melihat wajah Lyla, Oscar memutuskan memberitahunya sesuatu. "Kabar baiknya, aku membawa Josephine kemari. Ia bisa melukismu."

Lyla tidak begitu mengingat eksistensi Josephine, kalau tidak salah dia temannya Carla, bukan? Apa dia juga harus mewaspadainya?

Seakan bisa membaca isi hatinya, Oscar berujar. "Tenang, dia hanya budak biasa, aku membelinya dari majikannya. Tidak ada hubungannya dengan Wolfsbane."

Menghela napas lega, Lyla tampak lebih rileks sekarang. "Syukurlah kalau begitu. Tapi ... apa kau tidak salah, Oscar? Apa benar Carla adalah .... "

Lyla tidak berani melanjutkan kalimatnya. Wajah Oscar terlihat tidak bersahabat ketika mendengar nama itu.

"Saya tidak perlu mengatakannya lagi. Lebih baik Anda bersiap-siap. Hari ini ada pertemuan darurat di istana."

Oscar pergi, menyisakan Lyla sendirian di sana. Ia ingin mengejar, tapi niat itu segera diurungkan. Kemarahan Oscar bisa dimengerti, tetapi bukankah ini agak berlebihan?

"Nona!" Josephine muncul entah darimana. "Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, tidak ada, Josephine. Maaf, aku harus pergi dulu."

"E-eh? Tunggu—"

Percuma saja, Lyla sudah berjalan pergi. Josephine hanya bisa menghela napas pasrah. Hari ini nasibnya buruk sekali. Oscar bilang, mereka akan pergi untuk pertemuan darurat di istana. Josephine menari kecil untuk merayakan kebahagiaan hatinya. Akhirnya, ia bisa pergi ke istana!

                                    ***

Istana Kerajaan Lian sangatlah mewah. Gerbang depan terlihat begitu besar ketika Josephine melihatnya. Kayu sebagai bahan dasarnya tampak kokoh dan tidak tergoyahkan. Oscar dan Lyla berjalan di depannya sambil membawa lukisan potret gadis bangsawan itu, menuju ke dalam bangunan itu melalui jalan setapak ke sana. Josephine tampak tidak percaya dengan semua ini hingga mencubit pipinya sendiri.

"Sebelah sini, Nona."

Seorang pelayan memberi arahan pada mereka. Josephine masa bodoh dengan materi pertemuan mereka, dia akhirnya bisa mewujudkan impiannya untuk menginjakkan kakinya di sini!

"Josephine, kau tetap ikut dengan kami." Pesan Oscar.

Josephine menurut saja. Ia mengikuti tanpa rasa curiga. Mereka berjalan cukup lama di lorong hingga tiba di sebuah ruangan. Rupanya di dalam sana telah hadir banyak orang. Josephine hampir mengenali mereka semua, tentu saja karena para hadirin di tempat ini adalah bangsawan terpandang.

"Akhirnya kau membawanya, Oscar?"

"Benar. Kemampuannya dibutuhkan untuk memberantas kelompok pemberontak itu. Josephine, dia bisa melukis dengan detail. Lihat, ini adalah hasil lukisannya dengan Nona Lyla sebagai objeknya."

Semua yang ada di sana menatap kagum pada hasil lukisan Josephine yang disejajarkan dengan Lyla tepat di sebelahnya. Sangat mirip dengan aslinya hingga sulit untuk dicari perbedaannya. Josephine tidak mengerti kenapa lukisannya ditunjukkan, tapi ia harap orang-orang tidak membencinya karena itu.

"Darimana kau temukan dia?" Tanya salah satu bangsawan yang hadir di sana. Oscar berdehem sebentar sebelum menjawab,

"Itu tidak penting. Sekarang, kita bisa mulai membuat poster buron untuk pemimpin Wolfsbane."

Wolfsbane? Josephine hanya beberapa kali mendengar nama itu. Mereka adalah sekumpulan orang yang kerjanya merampok harta para bangsawan. Ia sendiri tidak terlalu mengerti, tapi mengganti sistem pemerintahan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Mereka harus punya senjata, taktik, dan sumber daya manusia yang mumpuni. Sejauh ini, mereka hanya merugikan secara materi. Namun baru-baru ini mereka dicurigai sebagai dalang dari rencana pembunuhan Pangeran Giovanni. 

"Kau benar. Tapi kita tidak ada yang bisa mengingat wajahnya dengan jelas."

Oscar tersenyum, "Josephine, tolong lukiskan wajah Carla."

Josephine terlihat bingung. "Kenapa Carla, Tuan Oscar?"

"Lukis saja dalam jumlah banyak, aku meminta tolong padamu. Kami akan menyediakan apa pun yang kau butuhkan."

Josephine mengangguk semangat. Tapi ia masih belum paham apa relasi antara Wolfsbane dan Carla. Dalam hidupnya ia hanya tahu bagaimana cara melukis. Selama ia masih menggoreskan tinta pada kanvas, hal lain tidaklah lagi berarti. Terlebih lagi, kali ini Oscar yang memintanya. Bagaimana bisa Josephine menolaknya?

"Tentu!"

                                 ***

Elaine menatap wajahnya pada permukaan air sungai. Terlihat begitu masam, seperti orang yang tengah memiliki dendam. Ia ingin menenangkan diri di sini, menikmati gemericik suara air dan juga embusan angin yang sejuk.

Sudah lama sekali ia tidak mendapatkan ketenangan. Ia mengangkat salah satu tangannya, memandang pada bagian telapak. Alasan ia menjadi seperti ini adalah karena sebuah kutukan dari seorang penyihir bertahun-tahun lalu. Elaine tidak bisa kembali menjadi manusia biasa dan berteman dengan semua orang.

Itu adalah sebuah hari ketika orang tuanya dituduh mencuri, kemudian dihukum mati begitu saja tanpa adanya investigasi. Mereka berdua digantung di alun-alun kota, disaksikan semua orang. Tidak akan ada yang percaya perkataan budak, 'kan? Bahkan hingga saat ini. 

Mereka hanyalah manusia kelas bawah yang selalu diinjak-injak dan tidak boleh melawan. Siapa yang berkuasa, maka dia yang menang. Begitulah cara dunia ini bekerja sedari dulu.

"Elaine? Astaga, aku mencarimu kemana-mana." Fritz muncul dari balik semak-semak dan menghela napas lega. Lantas ia duduk di sebelah Elaine, bermaksud menemaninya.

"Aku hanya mencari udara segar. Lagipula, kau yang membimbing anak itu."

Fritz tersenyum, "Dia akan menjadi pilar kita di masa depan."

"Jangan terlalu yakin. Manusia bisa berubah kapan pun mereka mau."

"Kalau kau tidak berusaha untuk percaya, maka tidak akan ada yang berubah."

Elaine menunduk, menatap refleksi wajahnya lagi pada tirta yang mengalir. Menyedihkan. Apa dia selalu seperti ini?

"Apa air sungai lebih menarik perhatianmu?" Tanya Fritz dengan setengah bercanda. 

"Aku ingin percaya bahwa aku bisa menjadi manusia biasa kembali. Bukan seperti ini." Ujarnya. Dia tidak akan hidup sampai sekarang bila bukan karena mengingat nasib orang tuanya dahulu kala.

"Karena itu, cobalah untuk percaya, Elaine. Suatu saat kau akan mendapatkan jawaban yang kau inginkan." Fritz berusaha menenangkannya. Ia tidak tahu mengapa Elaine seperti ini lagi, hanya berharap bahwa tidak ada sesuatu buruk yang terjadi.

"Aku tidak bisa mempercayai siapapun, bahkan diriku sendiri."

"Waktunya hanya belum tiba, Elaine." Fritz berdiri, membersihkan debu dan pasir yang menempel di pakaiannya.

"Ayo kembali. Hari ini kita harus ke Pali, bukan? Apa kau akan melupakan tujuan kita membentuk kelompok ini?"

Elaine turut beranjak. Lantas keduanya berjalan kembali menuju teritori tenda. Orang-orang sudah membereskan semuanya, bersiap untuk berangkat.

"Ayo, Elaine. Kau pemimpin kami."

Elaine menoleh padanya. "Fritz, aku tidak tahu nasib kita ke depannya, tapi aku berjanji akan melakukan yang terbaik."

"Itu adalah Elaine yang aku kenal." Puji Fritz.

Misi baru akan dimulai sebentar lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status