Share

Pesan

Oscar bingung harus mencari kemana lagi. Lyla tidak tampak setelah berlari dengan orang asing itu. Pikirannya sudah sangat buruk. Apa sekarang ada orang yang ingin membunuh Lyla? Kemungkinan kecil, tapi bisa saja terjadi.

"Kalau kau mencari majikanmu, dia di tempat Tuan Gogh."

Ada orang memakai tudung muncul begitu saja di hadapannya. Oscar mengambil sikap waspada, hingga akhirnya ia menurunkan tudungnya. Oscar sangat terkejut.

"Kau ... " Oscar tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sebagai anggota badan intelijen, sudah tugasnya untuk mencari informasi, dan yang berdiri di depannya sekarang adalah hal yang mereka bahas sebelum pulang ke kerajaan karena penobatan Pangeran Giovanni.

Elaine.

Pemimpin Wolfsbane.

Poster buronnya tidak pernah dibuat, karena tidak ada yang bisa melukis wajahnya secara jelas. Maka dari itu, hanya sedikit orang yang bisa mengingat bila bertemu langsung dengannya.

Namun saat ini Oscar menanamkan rupa itu ke dalam pikirannya. Tidak boleh ia lupa siapa pemimpin pemberontakan dan melakukan gerakan separatisme yang banyak merugikan kerajaan.

"Apa tujuanmu? Kau ingin membunuh Nona Lyla juga? Selama ini kalian hanya mengambil harta, tapi tidak kusangka kalian juga menginginkan nyawa." Ujarnya dengan tatapan tajam. Tidak akan ia lupa bagaimana kesedihan Lyla ketika Pangeran Giovanni tiada. Mata harus dibalas dengan mata, begitulah prinsipnya.

Elaine menggeleng. "Kematian Pangeran Mahkota bukanlah kesalahan kami, dan jika aku ingin membunuh majikanmu, kenapa aku harus ke sini? Aku bisa membunuhnya sedari tadi."

Oscar terhenyak, yang dikatakannya masuk akal, tetapi ia tetap tidak boleh lengah. Terutama untuk penjahat sepertinya. Mereka semua memang pandai berbicara.

"Kau sedang butuh uang? Katakan."

Elaine tersenyum. "Tidak salah bila kau diangkat sebagai Kepala Pelayan Hviezda meski dulunya kau adalah budak." Elaine mengangkat tangannya. "Cepat atau kau akan melihat majikanmu tiada."

"Beraninya!" Oscar maju tanpa ragu, mengarahkan pedangnya pada Elaine. Perempuan itu tidak menghindar dan menerimanya. Warna merah menyebar kemana-mana, tanpa pola dan tidak beraturan.

"Kenapa kau diam saja?" Tanya Oscar. Bukankah seharusnya Elaine punya kekuatan yang cukup untuk melawannya?

"Tidak ada yang harus aku katakan padamu."

Elaine melompat ke arah lain, meninggalkannya pergi. Oscar tidak jadi mengejar karena teringat Lyla. Sekarang keselamatan majikannya lebih penting daripada mengejar penjahat itu. Ia akan menangkap Elaine di lain waktu.

Ia pergi ke tempat Gogh seperti yang telah diberitahukan. Benar saja, Lyla sedang tertidur pulas. Di meja dekatnya ada sebuah lukisan, yaitu potret dirinya. Oscar terbeliak. Lukisan ini bagus sekali, penuh dengan detail dan sangat mirip dengan Lyla. Siapa pelukisnya? Ia harus mencari tahu.

"Carla, ini rotinya. Eh? Tuan Oscar?"

Seseorang datang membawa nampan dengan roti kering. Ia terkejut dengan kehadiran orang penting di tempat ini. Apa ia sedang mendapat banyak rezeki? Setelah Lyla, lalu kini Oscar. Apa Dewa sedang berbaik hati?

"Kau ... apa kau tahu siapa pelukisnya?" Oscar menunjukkan lukisan Lyla. Orang itu tersipu, agak malu ketika mengatakannya.

"M-maaf atas kelancangan hamba. Nama hamba adalah Josephine, budak pekerja di ladang milik Tuan Gogh. Sa-saya yang menggambarnya?" Ia menggaruk kepalanya, tampak tidak percaya diri.

"M-maaf kalau lukisan hamba tidak begitu bagus."

Oscar memegang bahunya, menatap lurus. Josephine menunggunya berbicara karena ia sangat gugup. Astaga, mimpi apa dia semalam hingga bertemu mereka berdua dalam satu hari?

"Ikut aku ke kediaman Hviezda. Aku akan membelimu dari Tuan Gogh."

Malam itu, roda kehidupan yang baru menghampiri Josephine. Ia dibebaskan dari Tuan Gogh dan mengikuti Oscar ke kediaman Hviezda yang sangat mewah. Josephine jadi takut sendiri dan merasa tidak pantas berada di sini.

"Kau bisa mulai bekerja besok. Tempat tinggalmu ada di sebelah selatan, di sana juga ada budak lain sepertimu." Oscar memberitahu setelah membawa Lyla ke kamarnya.

Josephine agak heran, kenapa bangsawan itu pingsan tadi? Lalu Carla juga entah ke mana. Ia tak bisa mencari tahu sekarang karena harus mendengar penjelasan Oscar mengenai seluk beluk rumah ini. Ia harus membuat kesan yang bagus, dengan begitu ... Nona Lyla mungkin akan mengapresiasinya, bukan?

Impiannya bekerja di tempat ini tiba-tiba saja terwujud, rasanya ia sendiri jadi tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Semua budak sudah pasti ingin bekerja untuk Hviezda. Josephine bahkan tidak tahu mengapa Oscar membawanya. Apa karena lukisan yang ia buat? Semoga saja lukisannya tidak terlalu buruk.

"Baik, Tuan. Terima kasih telah membawa saya kemari."

Oscar hanya tersenyum dan menepuk bahunya. "Aku berharap banyak padamu. Akan aku panggil jika aku membutuhkanmu. Nona Lyla juga pasti akan memujimu."

Josephine diarahkan menuju tempat tinggal para budak di rumah ini. Sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan milik Tuan Gogh, tetapi karena hatinya sedang senang maka ia tak peduli apa-apa. Membayangkan bahwa ia akan segera melayani Lyla Hviezda rasanya menyenangkan. Seperti, kehidupan barunya akan segera dimulai.

Oscar berlalu pergi setelah itu. Ia lalu menuju kamarnya dan mengambil selembar kertas, kemudian menuliskan sesuatu di atasnya. Usai memberi stempel, ia ikatkan surat itu di kaki burung pengantar pesan yang setia bertengger di tiang dalam kamarnya. Jendela dibuka, kemudian burung itu terbang pergi menuju destinasi yang telah ditentukan.

"Kau tidak akan bisa lari lagi, Elaine."

                                ***

"Apa kau sudah bisa membacanya?"

"Sedikit-sedikit."

Selain berlatih dengan seni pedang, Claus kini diajari cara membaca buku. Ia masih terbata-bata, tapi Fritz selalu memberinya semangat. Sebagai seorang mantan budak, belajar merupakan hal yang dilarang. Bahkan hanya untuk sekadar membaca. Pengetahuan yang harus mereka kuasai hanyalah soal membeli sesuatu. Sisanya, tidak ada sama sekali.

Elaine masih belum pulang padahal ini sudah minggu ketiga. Apakah terjadi sesuatu? Disaat kegundahannya muncul, seseorang datang dari arah lain. Elaine datang dengan luka, Fritz berlari panik dan terlihat hendak menolong, tapi langkahnya terhenti dan hanya bertanya. "Elaine, kau bisa mengobati lukamu sendiri?"

"Ini hanya luka kecil, aku akan ke tendaku."

Elaine berjalan seperti luka itu tidak pernah ada padanya. Claus tidak mengerti, mereka bilang bahwa Elaine adalah orang penting dan pemimpin kelompok ini. Tetapi kenapa saat ia terluka mengapa tidak ada seorang pun yang menolongnya?

"Claus, lanjutkan belajarmu."

"Baik."

Sepertinya masih banyak yang belum ia tahu soal dunia orang dewasa. Claus ingin cepat-cepat menjadi berguna bagi kelompok ini. Juga mengapa Elaine selalu menyembunyikan segala sesuatunya. Claus meyakini bahwa itu karena dia belum cukup kuat. Masih banyak yang harus ia pelajari sebelum benar-benar menjadi bagian dari kelompok ini.

Ia meninggalkan bukunya dan berlari menuju tenda Elaine meski Fritz mencegahnya. Claus mungkin tidak banyak membantu, tapi ia juga tidak bisa diam saja. Elaine tampak sedang mengobati lukanya sendiri.

"Elaine, ada yang bisa aku bantu?'

Elaine menoleh, menemukan sosok anak kecil yang masuk tendanya tanpa izin. "Pergi, aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Aku mohon, aku juga ingin melakukannya."

"Claus, kau tidak mengerti."

"Kalau begitu, kenapa kau tidak pernah mengatakan apapun padaku? Bagaimana aku bisa mengerti?!" Claus bertanya. Elaine sedikit terkejut mendengar ia meninggikan nada bicara. Lantas ia memikirkan bahwa perkataan Claus ada benarnya.

"Lihat ini baik-baik, Claus." Ia melepas sarung tangannya. Bocah itu melihat tidak ada yang berbeda, karenanya ia tidak paham.

Elaine menyentuh rerumputan dekat kakinya dan mereka langsung layu lalu menghitam. Claus menelan ludah, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Apakah Elaine adalah seorang penyihir?

Penyihir, begitu orang-orang menyebut manusia yang memiliki kekuatan tertentu. Banyak sekali orang membicarakannya hingga seorang budak sepertinya bisa mendengar kabar itu. Claus tidak pernah bertemu dengan salah satu dari mereka sebelumnya. Tapi ia kini mulai percaya bahwa, mungkin keberadaan penyihir memang sebuah kebenaran.

"Aku telah dikutuk, di dalam tubuhku hanya ada racun. Jika kau menyentuhku secara langsung, kau juga akan bernasib sama seperti rumput ini."

"Siapa yang mengutukmu ... dan karena apa?" Claus tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Elaine memakai kembali sarung tangannya dan melanjutkan mengobati luka di tubuhnya. Sial, tebasan pedang milik pelayan itu benar-benar sakit. Memang tidak begitu kentara pada epidermis, tapi rupanya sangat dalam. Selesai membalut perban untuk menghentikan darah yang mengalir, Elaine menjawab pertanyaan itu.

"Untuk apa aku beritahu? Memangnya kau mau apa dengan itu, bocah?" Sinisnya.

"Apa orang dewasa selalu terbiasa menyembunyikan segala sesuatu?"

Claus teringat kedua orang tuanya, yang kini entah di mana. Hidup atau tidak, Claus bahkan tidak tahu lagi mengenai kabar mereka. Orang dewasa selalu saja merasa benar, egois dan tidak mendengar pendapat lain.

Awalnya, Claus pikir Elaine berbeda dari kebanyakan orang dewasa yang pernah ditemuinya; manipulatif dan jahat. Ternyata ia juga sama saja. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak kecil seperti dia? Memang begitulah pemikiran orang dewasa terhadap anak-anak; bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

"Aku akan membuatmu bicara, mau itu sepuluh, dua puluh, atau seratus tahun lagi."

Elaine tidak menyangka Claus akan mengatakan kalimat seperti itu. Selama ini ia hanya melihat bahwa Claus merupakan anak yang penurut. Bocah itu lalu keluar dari tendanya dengan wajah masam. Elaine hanya menggeleng pelan dan meneruskan aktivitasnya.

"Dasar anak-anak."

                                ***

Ketika Lyla membuka mata, bukan rumah lusuh yang ia lihat. Ia langsung terduduk dengan terkejut. Ini bukan ruangan Carla, tapi kamarnya di kediaman Hviezda. Sarapan pagi sudah disiapkan di meja dekat kasurnya. Perabotan mewahnya terlihat sejauh ia memandang.

Bukankah semalam ia menginap di tempat Carla? Lalu bagaimana bisa ia ada di sini tanpa tahu apa-apa? Hal terakhir yang bisa diingat, ketika ia minum susu lalu merasa mengantuk. Tidak ada yang aneh.

Apakah ini mimpi?

"Nona, Anda harus bersiap-siap." Oscar masuk ke ruangannya dan mengingatkan bahwa skedulnya tidak kosong hari ini. Lantas ia berlalu pergi, mengurus hal lain seperti biasanya. Lyla mencubit pipinya sendiri, rupanya bukan mimpi.

Tapi mengapa Oscar bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Kemarin mereka sedikit berselisih, karena Lyla tidak mau makan selama beberapa hari sejak kepergian Giovanni.

Ia menemukan lukisan Josephine telah dipajang di dalam kamarnya, membuat Lyla percaya bahwa semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Lantas ia berlari keluar, mencari Oscar untuk segera mendapatkan jawabannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status