Share

Persimpangan

"Fritz, aku akan pergi."

Fritz baru saja menyalakan lampu minyak di tendanya ketika Elaine datang. Lelaki berambut hitam itu menatap aneh. "Jam segini? Bagaimana aku harus menjawab mereka? Perjalanan kita masih jauh."

"Itulah mengapa. Kita harus mundur dulu sementara setelah penyerangan pelelangan besar budak beberapa hari lalu." Ujarnya.

Penyerangan pelelangan budak manusia dalam skala besar sudah jelas membuat para bangsawan merasa takut dan mengirimkan pasukan mereka untuk melakukan investigasi menyeluruh. Setidaknya saat ini, mereka harus menyembunyikan diri terlebih dahulu agar tidak ditemukan.

"Bukankah terlalu berbahaya jika kau pergi sendirian, Elaine?" Fritz tidak mengerti jalan pikirannya. Baru saja Elaine bilang berbahaya, tapi sekarang ia mau pergi seorang diri.

Elaine seperti membaca apa yang terlintas di benaknya. "Kau tidak perlu mencemaskanku, kau tahu."

Fritz menghela napas. "Tetap saja, aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Aku akan ikut bersamamu."

"Lalu siapa yang akan menjaga kelompok ini? Fritz, tolong."

Melihat Elaine sampai memohon, akhirnya membuat Fritz luluh juga. "Baiklah, mau ke mana kau?"

"Lian."

"Kepalamu terbentur sesuatu? Mereka punya banyak pasukan tangguh. Kenapa kau kembali ke sana?"

"Hanya mengumpulkan informasi dan mencari senjata seperti biasa. Kita akan bertemu lagi, aku kirimkan pesan nanti."

Selain terkenal dengan pasukannya yang kuat, Lian juga memiliki persenjataan yang lumayan lengkap. Namun sistem buruk birokrasi dan diskriminasi di sana tidak pernah berhenti. Karena itulah kelompok ini bisa terbentuk, mereka mengumpulkan senjata sendiri dari tanah kelahiran mereka.

Perjalanan ini dimaksudkan agar mereka menjauh sementara dari Lian, karena itu Fritz keberatan bila Elaine memutuskan kembali. Pada akhirnya, ia tetap menghormati keinginan Elaine meski tak rela.

"Percuma saja aku mencegahmu pergi, bukan?" Fritz mengenalnya sejak beberapa tahun ini, Elaine merupakan orang yang cukup keras kepala. Bila ia telah memutuskan sesuatu, maka tidak akan ada kata mundur dalam kamusnya.

"Aku ingin menitipkan sesuatu." Elaine menyerahkan sebuah syal rajut pada Fritz. "Berikan pada Claus. Aku takut dia demam karena udara dingin. Tenang, aku memakai sarung tangan tadi."

Fritz ganti mengasah pedangnya. "Dia masih anak-anak, biarkan ia pergi."

"Claus sendiri yang meminta bergabung, kau tidak dengar?" Elaine membalik pernyataannya dengan mudah, sebab itu adalah fakta. Memang benar Claus yang memutuskan sendiri, dia tidak memaksa; tidak ada seorang pun yang memaksanya.

Berdebat dengan Elaine tidak akan berujung, maka Fritz menyudahi topik. "Hati-hati. Jangan sampai kau ditemukan mereka."

"Baik. Aku pergi dulu." Pamitnya untuk terakhir kali.

Sebenarnya, Elaine cukup peduli pada Claus  meski bersikap dingin begitu. Fritz hanya berharap bahwa semua akan baik-baik saja hingga Elaine kembali.

***

"Apa? Dia pergi?"

"Elaine memang suka pergi sendiri. Hanya dia yang bisa melakukannya. Kita harus tetap menjaga kelompok."

Pagi hari ketika mereka membereskan tenda dan perapian, Fritz memberitahu Daris mengenai kepergian Elaine. Jelas saja Daris terkejut mendengarnya. "Kenapa dia tak pamit juga padaku? Apa aku ini orang lain baginya?"

"Mana kutahu." Balas Fritz tidak minat. Mereka harus segera berjalan lagi. Claus juga tampak semangat membantu yang lain meski ia masih anak-anak. Fritz merasa sedih bila mengingat Claus memutuskan bergabung ke kelompok mereka. Apa yang sebenarnya dipikirkan Elaine?

Anak-anak harusnya berada di tempat yang aman. Makan, minum dan bermain tanpa harus memikirkan apa-apa. Menurut informasi yang didapat, Claus juga bukan budak baru. Dia telah lama berada di roda kehidupan menyedihkan itu.

Fritz pikir, yang dilakukan Elaine bukanlah menyelamatkannya. Ia hanya menyeretnya ke dalam lubang yang lain. Fritz khawatir mengenai masa depannya. Akan jadi seperti apa dirinya sepuluh tahun lagi? Tidak ada yang tahu, bukan?

Wolfsbane berhenti di pertengahan lembah setelah seminggu berjalan kaki. Mereka menetapkan sebuah lokasi di dekat hutan sebagai tempat tinggal sementara. Claus tidak menemukan Elaine sejak mereka berangkat, tapi ia juga tidak tahu harus mencari kemana. Jadilah ia membantu sebisanya di kelompok ini.

Hari ini sedikit istimewa. Fritz akan membuka kelas bertarungnya, menantang anggota lain agar menyerangnya dan ia akan menangkisnya dengan pedang. Claus tidak tahu banyak soal seni pedang, tapi itu adalah benda tajam ... jadi sangat beresiko bila menggunakannya sembarangan.

"Hari ini aku tidak akan kalah, Fritz!" Seru Daris, menjadi partisipan pertama di hari itu. Fritz menyanggupi dan mereka memulai latihan mereka.

Claus hanya melihat saja. Bagaimana Daris aktif menyerang, Fritz selalu berhasil menghindar dan melancarkan balasan. Pedang mereka bertumbukan, saling mendorong satu sama lain. Claus jadi sedikit takut, meski ia tahu ini hanya latihan. Beginikah cara mereka meningkatkan kekuatan selama ini? Lalu darimana mereka mendapat pasokan senjata?

Claus memang budak, tapi ia tahu bahwa senjata bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Mengenyampingkan pemikiran itu, ia lebih ingin mencari Elaine. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?

"Claus, apa kau tidak ingin mencoba berlatih pedang?"

Claus terperanjat. Fritz melemparkan sebilah pedang padanya, Claus menangkapnya dengan sekuat tenaga.

"Kau juga harus belajar melindungi dirimu sendiri."

Benar. Claus bergabung dengan mereka bukan hanya untuk menjadi beban dalam kelompok. Dia juga harus berusaha melakukan sesuatu demi mereka. Selain itu, ia akan merasa berguna bila dapat melindungi anggota kelompok ini.

"Baiklah. Tolong ajari aku, Kak Fritz."

"Pegang pedangmu dengan benar terlebih dahulu." Fritz memberi saran sembari membetulkan cara Claus memegang pedang.

Anak kecil itu sangat gugup, tapi ia berusaha memberanikan dirinya. Bila bukan sekarang, kapan lagi? Musuh bisa datang kapan saja, mereka harus selalu dalam keadaan siap.

"Ketika kau melangkah, perhatikan sekitarmu. Pastikan kau tidak salah menginjak."

Claus mengangguk. Penjelasan dari Fritz sangat mudah dimengerti olehnya. Lelaki itu membenahi apa yang kurang dari sikap kuda-kuda, mengayunkan, hingga menebas dengan benar. Anggota lain pun bergantian berlatih untuk meningkatkan kemampuan mereka selama dua minggu berada di sini.

Claus lebih dari paham, hanya mereka yang mampu melindungi diri mereka sendiri.

Berlatih terlalu lama akhirnya membuat semua orang menyelesaikan latihan. Claus masih menengok kanan kiri, mencari Elaine. Ia masih belum terlihat. Sudah dua minggu tidak ada kabar darinya, kemana gerangan perginya?

Ketika Daris lewat di dekatnya, maka ia bertanya. "Daris, di mana Elaine? Mengapa dia masih—"

"Nanti juga dia akan kembali." Pada dasarnya, ia tidak menjawab pertanyaan Claus sejak hari pertama kepergian Elaine. Bocah itu merasa ada sesuatu yang mereka tutupi. Meski demikian, ia tidak berani bertanya lebih jauh lagi.

Seekor burung datang membawa surat kabar saat sore, diterima oleh Daris. Lantas ia segera mengumpulkan para anggota dan menyampaikan isi surat kabar tersebut.

"Pangeran Mahkota Lian, Giovanni dinyatakan telah tiada."

Hening.

Fritz memecahkan suasana sunyi. "Ini di luar dugaan kita. Sekarang Lian pasti akan mengincar kita habis-habisan. Kita harus berpencar."

Dalam setiap kasus, selalu saja Wolfsbane yang disalahkan. Meski mereka membantah, itu tidak akan mengubah pemikiran bangsawan yang selalu mengincar mereka karena selalu membebaskan para budak dan mencuri uang milik para aristokrat.

"Fritz, tapi Elaine tidak ada di sini. Kemana dia?" Tanya anggota yang lain. Claus juga ingin tahu di mana Elaine saat ini. Dia selalu menyendiri, lalu sekarang menghilang tiba-tiba. Bukankah itu agak aneh?

"Ia sedang mengerjakan hal lain, aku harap kalian mengerti."

***

"Kuharap surat kabarnya sudah sampai."

Elaine memandang alam yang sedang berganti tayang. Hari sebentar lagi malam, hanya ada gelap di semua tempat. Ia harus mencari tempat persembunyian.

Kerajaan Lian masih berduka atas kematian Pangeran Giovanni. Ia diam-diam pergi ke Lian untuk mengumpulkan informasi. Bila kelompok bergerak dalam jumlah banyak ke tempat ini akan terlalu beresiko, lebih baik bila ia pergi seorang diri dalam senyap.

Membenahi tudungnya, ia memutuskan mencari tempat persembunyian malam itu. Jalanan sedikit ramai, ia harus berhati-hati agar tidak terlihat mencurigakan. Melangkah perlahan ke tempat sepi di sebuah taman, ia merasa agak lega.

Ternyata, sudah ada orang lain yang datang mengenakan tudung sama sepertinya. Ia duduk di bangku taman dan terdengar sesenggukan. Elaine harus tetap waspada, maka ia diam saja, walau sepertinya orang itu telah menyadari kehadirannya

"Maaf, kau ingin duduk di sini?" Suara lembut terdengar oleh Elaine. Rupanya dia seorang perempuan. Apa yang dia lakukan di pada jam seperti ini?

" ... "

Sebenernya, Elaine tidak ingin ... namun ia jadi tidak tega membiarkannya sendirian. Ini sudah malam, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Bisa saja ada penjahat yang muncul secara tiba-tiba, maka ia memutuskan untuk menemaninya hingga pulang.

"Aku tidak akan duduk di sebelahmu, jadi aku berdiri di sini." Kata Elaine.

"Tidak apa."

Perempuan asing itu menunduk. Meski Elaine tak bisa melihat wajahnya, ia tahu bahwa ada kesedihan yang ia sembunyikan.

"Aku baru saja kehilangan seseorang." ujarnya pelan. "Aku tidak pernah menyangka akan sesedih ini setelah kematian orang tuaku."

Elaine mendengarkannya dengan seksama. Ia juga tahu rasanya kehilangan, jadi ia tak akan berkomentar banyak. Setiap orang hanya butuh waktu untuk melaluinya. Sebentar, mau pun lama itu sama saja.

"Kematian akan datang pada semua orang. Hal paling penting adalah apa yang telah mereka lakukan untuk orang banyak. Bukankah begitu?" Elaine memberikan sedikit dorongan padanya. "Kalau kau percaya dia orang baik, maka itu pasti benar."

Perempuan itu mengangguk perlahan, kedua tangannya terangkat untuk mengusap—mungkin, mungkin saja air matanya karena ia tadi sesenggukan. Kini suara itu telah sirna, entah kemana.

"Terima kasih. Maaf, aku belum bertanya, siapa namamu?"

"Namaku E—" Elaine hampir lupa tidak boleh menyebutkan namanya. "Namaku Carla."

"Terima kasih sudah menghiburku. Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"

"Tidak. Aku harus pergi."

"Ah, tunggu!" Orang asing itu menahannya, hingga tidak sengaja membuat tudung Elaine terbuka. Elaine berusaha menaikkannya kembali, tapi perempuan itu tidak mau melepaskannya.

"Aku benar-benar punya urusan penting sekarang."

"Tidak, aku harus berterimakasih padamu dengan benar."

Kain yang menutupi wajahnya turun. Elaine terbeliak melihat siapa yang ia ajak bicara dari tadi.

Lyla Hviezda.

Kecantikannya terkenal kemana-mana, hingga membuat banyak pelukis dari negeri seberang ingin mengabadikan potretnya dalam goresan tinta berwarna. Karena itu, merupakan hal yang wajar bila berasumsi bahwa semua orang pasti mengetahui wajahnya.

"Nona! Saya mencari Anda!"

Dari kejauhan, ada seseorang yang berlari kencang ke arah mereka. Lyla menarik tangan Elaine yang tertutupi sarung tangan, lalu berlari ke arah berlawanan.

"Kita pergi dulu, Carla!"

Elaine terpaksa mengikuti langkahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status