Share

Wanita Yang Melamar Suamiku
Wanita Yang Melamar Suamiku
Author: Helminawati Pandia

Bab 1. Rahasia Ibu Mertua Dan Suamiku

Bab 1. Rahasia Ibu Mertua Dan Suamiku

“Nanti malam Yosa datang! Kamu sudah punya jawaban, toh, untuk lamarannya?”

Aku tersentak.  Suara Ibu terdengar jelas di telinga. Namun, aku tak paham apa maksudnya.  Apa yang dia bicarakan. Lamaran apa maksudnya? Nama Yosa memang tak asing di telingaku, meski aku tak kenal siapa dia.

Seisi rumah ini sering sekali menyebut nama itu. Memuji dan memuja bagaikan seorang ratu. Kecuali suamiku. Pernah aku bertanya siapa Yosa Namun, Mas Sigit tak mau menjelaskan. Salah seorang keluarga jauh Ibu, itu saja jawabannya.

“Ibu enggak mau kamu ngecewakan ibu untuk kedua kalinya, paham, kowe!”  ucap Ibu lagi.

Penasaran, aku berdiri sambil menggendong bayiku. Kutempelkan kedua mata di sela-sela dinding kamar yang terbuat dari anyaman tepas bambu. Kamar ini terletak persis di samping dapur. Kulihat Mas sigit  dan ibunya  tengah berdiri di dekat  meja makan. 

“Kok, diem, Le?”  tanya ibu lagi.

Mas Sigit menarik napas panjang. Sepertinya hatinya sedang sangat gundah. Mulutnya masih terkunci rapat.  Wajah tampan itu terlihat  kusut. Kenapa? Ada apa sebenarnya ini? Aku makin penasaran.

“Pokoknya kamu harus iyakan lamaran si Yosa!  Jangan kecewakan Ibu lagi! Ingat, doa restu ibu itu penting bagi seorang anak! Kamu sudah membuktikan sendiri! Aku tidak pernah merestui kowe nikah sama si Bening. Liat hasilnya!  Melarat, toh, hidupmu! Sumpah seorang Ibu itu makbul, ngerti kowe! Kali ini kamu kecewakan ibu lagi, sumpah ibu tak akan pernah ibu cabut! Kowe akan menderita sak anak  cucu bahkan cicitmu! Camkan itu!” ancam Ibu panjang lebar.

Kalimat ancaman itu sangat  mengegetkanku. Mas Sigit harus mengiyakan lamaran Yosa? Lamaran apa maksudnya? Yosa melamar Mas Sigit? Masa dia  yang melamar seorang lelaki? Sudah  beristri lagi?

Kuletakkan pelan-pelan bayiku di dalam ayunan, lalu  menghampiri tanpa mereka sadari. Mas Sigit tetap hanya membisu. Dia raih sebuah kursi, lalu duduk perlahan. Kulihat dia kembali menghela napas panjang.

“Ngomong, Le! Kok meneng! Kowe udah punya jawaban, toh, buat Yosa?” cecar ibu mertuaku lagi.

“Iya, Bu, nanti malam akan kujawab.” Mas Sigit bersuara juga akhirnya.

“Opo jawabanmu? Kamu setuju, toh?” Ibu terlihat sangat antusias.

“Semoga Bening bisa menerima hal ini,” sahut Mas Sigit.

“Menerima apa, Mas?!” seruku mengagetkan keduanya.

Keduanya tersentak kaget. Wajah Mas Sigit  memucat, dia  terlihat salah tingkah. Membuka tudung saji dan mulai menyantap sarapannya.

“Tadi aku dengar kalian sedang bicara tentang Yosa. Sebenarnya siapa Yos—“

“Ning, tolong bungkuskan nasi bekal buat siangku!” titah Mas Sigit langsung memotong ucapanku.

Aku terperangah. Aku tahu dia  sengaja memotong ucapanku untuk  mengalihkan pembicaraan. Namun, aku tak mau menyerah.

“Iya, akan aku siapkan. Tapi aku penasaran tentang lamaran yang tadi kalian bica–“

“Ini hari Sabtu, nanti kamu terima gaji, kan, Le?”  Kali ini  Ibu yang memotong ucapanku. Wanita itu menarik sebuah kursi, lalu duduk tepat di seberang  Mas Sigit. 

Aku menyerah. Tak ingin memaksa untuk mencari tahu sekarang. Mas Sigit hendak berangkat bekerja. Nanti saja sepulang kerja, aku akan menggali sampai dia berkata jujur. Segera kusiapkan bekal makan siangnya.

“Jangan lupa nanti kalau udah gajian  langsung serahkan sama ibu!” Kalian  menumpang hidup  di sini. Belum pernah nanggung apa-apa. Kasihan mbak-mbakmu yang harus urunan menanggung semua kebutuhan hidup kita. Gak enak sama suami-suami mereka! Kowe, paham, toh,  Le?”  sambung ibu.

“Paham, Buk. Tapi, aku belum tahu,  bakal terima gaji atau belum nanti. Aku kan, baru kerja seminggu. Aku juga belum mahir dalam bekerja.  Kalau enggak disuruh dan diajari dulu, malah enggak paham,” sahut Mas Sigit.

“Ibu udah nanya sama si Tono, suaminya si Mumun, tetangga sebelah. Katanya kalau kerja bangunan itu, digaji seminggu sekali, setiap hari sabtu, ya hari ini! Kowe juga pasti digaji! Tono bilang begitu, kok!”

Aku terkesiap. Ternyata ibu mertuaku sudah tak sabar menerima setoran. Sampai-sampai dia menanyakan gaji suamiku  kepada suami tetangga. Miris.

“Alhamdulillah kalau digaji! Aku berangkat dulu, ya, Buk! Ning, mana bekalku?” Mas Sigit bangkit dan memanggilku.

“Iya, Mas,  ini,” sahutku menyerah sebungkus nasi.

“Yo, wes, Le! Berangkat sana! Hati-hati kalau kerja!” Ibu meninggalkan kami. Ini kesempatan untukku. Aku akan tanyakan Mas Sigit tentang lamaran tadi.

“Mas, maaf, tadi aku sempat mendengar kalau Ibu dan Mas membicarakan tentang lamara –“

“Aku berangkat, ya, Ning! Takut ditinggal Mas Tono!” kata Mas Sigit seolah tak mendengar kalimat yang aku lontarkan. 

Aku melongo, tak punya kesempatan untuk bertanya. Apakah dia benar-benar tak mendengar ucapanku, atau hanya pura-pura tak mendengar?

“Baik-baik di rumah, ya, Sayang! Sabar-sabar menghadapi Ibu, Mbak Ambar dan Mbak Sekar!” ucapnya lagi, lalu mencium kening dan mengecup sekilas bibirku.

Kutatap punggungnya yang  kian menjauh, lalu hilang di balik pintu samping.

*

Seharian  pikiranku kacau. Bisik-bisik Ibu dengan Mas Sigit  tadi pagi sangat menggangguku. Aku tak sabar menunggu Mas Sigit pulang kerja. Akan kuselidiki masalah lamaran itu hingga jelas. Malam ini, tak akan ada yang mereka sembunyikan lagi dariku.

Pukul setengah enam, terdengar suara motor suami Mbak Mumun. Yang kunanti akhirnya pulang. Mas Sigit tidak punya motor sendiri. Terpaksa  selalu nebeng suami Mbak Mumun. Segera kuletakkan Bima di dalam ayunan, lalu berdiri di ambang pintu samping menanti Mas Sigit datang.

“Papa pulang, hore …!”

Kulihat Nada dan Rara sudah mengiring langkah Mas Sigit. Wajah kedua putriku terlihat sangat gembira. Tadi siang aku menjanjikan sesuatu kepada mereka.  Saat anak-anak Mbak Ambar dan Mbak Sekar memanggil Kang Somay yang lewat di depan rumah. Mbak Ambar membelikan  anak-anak itu somay porsi dua ribu rupiah seorang. Kecuali anak-anakku. Nada dan Rara  masuk ke dalam kamar kami dengan wajah ditekuk.

“Jangan pernah sedih hanya karena orang lain memiliki  sesuatu yang belum kita miliki! Nanti sore, insyaallah Papa gajian! Kalian boleh jajan!” ucapku pura-pura tegas. Padahal hatiku teramat sakit melihat kesedihan mereka.

Itu sebab mereka tak sabar menunggu Mas Sigit pulang sore ini. Semoga benar Mas Sigit pulang membawa uang.

“Mas!” sapaku seraya meraih dan mencium punggung tangannya. Bau keringat menguar dari tubuhnya. Wajah tampan yang kian menghitam karena dipanggang sinar matahari itu terlihat bahagia. Mungkin karena istri dan anak-anak yang begitu gembira menyambutnya.

“Nada, bawa adek main dulu, Sayang, biar papa mandi dulu, ya!” kataku mengusir halus mereka.

“Nanti, ya, Ma, janji Mama tadi siang?” celutuk Rara tak sabar.

“Iya, Dek, Papa masih capek! Hayuk, kita main dulu!” Nada menarik tangan adiknya.

“Kamu janjikan apa buat mereka, Ning?” tanya Mas Sigit seraya melanjutkan langkah ke dalam kamar. Aku mengikutinya dari belakang.

“Aku janjiin mereka jajan sepulang Mas kerja. Maaf, aku gak tega, udah lama banget anak-anak gak pernah lagi jajan,” ucapku tak menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin dia membenci kakak-kakaknya.

“Iya, Sayang. Maafkan aku yang tak bisa membahagiakan kalian. Ini, gaji pertamaku setelah sekian lama menganggur.”

Mataku berlinang, saat menerima sebuah amplop dari tangan Mas Sigit. Tiga bulan sudah tak pernah lagi Mas Sigit memberiku nafkah. Ini rasanya luar biasa.

“Maaf, isinya hanya sedikit, Ning! Enggak sampai setengah juta. Aku dibayari delapan puluh ribu sehari. Beda dengan yang lain, enggak apa-apa, ya! Kata Mandor, nanti kalau aku udah mahir kerja, gajiku juga bakal ditambah."

“Tetap bersyukur, dong, Mas! Mas, kan memang belum paham kerja bangunan. Sabar, ya!” ucapku membesarkan  hatinya.

“Mana, gajinya, Git? Sini serahkan sama Ibu!” Tiba-tiba Ibu sudah berdiri didepan kami sambil menjulurkan tangan.

“Kasihkan, Ning! Sisihkan sedikit buat pegangan kamu!” titah Mas Sigit.

“Enggak usah pegang-pegangan, toh, semua keperluan istri dan anakmu sudah terpenuhi, sini!” Ibu merebut amplop dari tanganku dan langsung berlalu.

“Tunggu, Bu!” sergahku menghentikan langkahnya. “Tolong sisakan sedikit buat saya, buat jajan anak-anak,” pintaku menghiba.

*****

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nurul Asyqin Binti Anuar
allahuakbar
goodnovel comment avatar
Isabella
kq ada mertua kayak gitu
goodnovel comment avatar
Adha Novita
Aq mampir, Kka Ceritanya menarik, semangat terus update bab barunya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status