Share

Bab 4. Aku Yang  Menjawab Lamaran Yosa

Bab 4. Aku Yang  Menjawab Lamaran Yosa

“Bening! Apa yag kau lakukan?” teriakan tiga orang perempuan terdengar menggelegar, saat dua tamparan dari tangan kasarku mendarat di  pipi  Yosa yang halus mulus bak pualam itu.

“Aku hanya memberinya hadiah, karena telah berhasil mendapatkan tempat di hati ibu mertua dan kedua iparku. Tentu saja di hati Mas Sigit juga,” jawabku menatap tajam ke arah suamiku.

Pria itu salah tingkah. Dia bergeming di tempatnya. Tak menyalahkanku, juga tak membela calon istri barunya. Sementara Yosa masih mengaduh keganjenan. Tangan mulusnya meraba pipi yang berubah warna bekas telapak tanganku.

“Ibu, sakit … perih … wajahku lecet …,” adunya kepada ibu.

Betapa aku ingin dia membalas perbuatanku. Andai dia mau melawan, aku tentu punya kesempatan untuk menjambak rambutnya, atau menggores pipinya dengan kukuku. Nyatanya dia hanya mengaduh dengan gaya ganjen yang membuatku makin muak.

Sepertinya dia benar-benar menjaga image, agar dia dianggap penyabar, baik hati dan tidak bar-bar sepertiku. Tentu saja untuk mencari simpati semua orang di rumah ini. Terutama suamiku.

“Sudah, ya, Nduk! Maafkan perbuatan Bening, ya! Dia hanya kaget dan cemburu. Percayalah, dia pasti akan melunak juga. Karena dia tak punya pilihan selain menerima kamu sebagai madunya.  Jika dia tidak mau terima, ibu pastikan, Sigit akan menceraikannya.  Kita duduk  di sana saja. Kita lanjutkan prmbicaraan kita tadi, ayo!”

Aku terpana. Ibu mertuaku telah mengatakan semuanya. Mereka belum bertanya apa pendapatku, tapi dia sudah punya jawabannya.  Jadi ini sebenarnya yang mereka inginkan dariku. Menyingkirkanku. Baik. mereka pikir aku diam selama ini karena aku takut tersingkir, begitu? Mereka pikir aku bucin habis pada anaknya yang memang kuakui tampan ini, lalu aku akan diam saja meski akan dimadu dan dijadikan babu?

Cukup! Aku tidak gentar apapun! Tak bersuami, apakah itu aib? Menyandang status janda  di usiaku yang masih dua puluh tujuh tahun, apakah itu aib? Pulang ke rumah Ibu di kampung sana dengan membawa tiga orang anak yang masih kecil-kecil, apakah itu juga aib? Apakah keluargaku akan malu?

Tidak!  Bapak dan ibu akan bisa menerimaku. Meskipun beberapa hari mereka mungkin tak berani keluar rumah, karena malu dicibir tetangga dan orang kampung. Tapi di hari berikutnya semua akan baik-baik saja. Aku yakin itu.

Kubulatkan tekat, kukumpulkan keberanian untuk mulai bicara.

“Mas, aku ingin bicara!” sergahku menoleh kepada Mas Sigit lalu berjalan ke belakang, menuju kamar sempit kami.

“Bicara di sini saja, di hadapan kami semua!” senggak ibu menghentikan langkahku.

“Mas Sigit suami saya! Saya ingin bicara dengannya empat mata!” ucapku tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkah.

“Sombong kowe!” sungutnya. Aku tak peduli.

“Sigit, kau jawab dulu pertanyaan Yosa tadi, baru kau bicarakan dengan  perempuan kampung itu!” perintahnya kepada suamiku.

Sontak kuhentikan langkah. Ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh mas Sigit. Benarkah dia bisa memberikan kawaban atas lamaran Yosa di saat situasi sudah sangat genting begini? Kenapa mereka tidak menunda saja, toh aku sudah mengamuk seperti ini?

“Jawab, Git! Kamu bersedia enggak menikahi Yosa? Nikah siri doang, kok?” Mbak Sekar bersuara.

“Iya, Git. Ingat, Yosa itu eggak nuntut macam-macam! Dia cuma butuh pendamping, agar masyarakat tau dia  sudah bersuami. Dia capek menghadapi rayuan para lelaki di luar sana. Para lelaki itu berlomba-lomba ingin menikahinya. Tapi, Yosa cintanya cuma sama kamu. Secara kalian itu memang masih saling cinta, kan?” Mbak Ambar mulai membujuk dan merayu.

“Ho oh. Kalau Yosa udah bersuami, maka para lelaki akan berhenti mengejarnya. Hartanya juga ada yang menangung jawapi. Kasihan, Yosa selalu sendirian mengontrol pabrik batu batanya. Dia butuh  pendamping. Udah, kamu terima aja! Toh, Bening juga tetap akan jadi istrimu, kok. Yosa enggak nuntut dinikahi secara hukum.” Mbak Sekar menyambung lagi.

Panas hatiku mendengar hasutan mereka. Gemuruh di dadaku kembali menggelegar.  Kedua iparku, benar-benar tak punya hati. Bukankah mereka juga seorang istri? Tidakkah mereka berpikir kalau mereka yang ada di posisiku saat ini?

“Assalamualaikum …!”

Percakapan menegangkan itu sejenak terhenti. Mas Wisnu dan Mas Bayu baru pulang entah dari mana. Ini hari Sabtu, mereka tak ke kantor. Tetapi keduanya selalu keluar pagi dan pulang malam.  Keduanya juga terlihat begitu akur, meski mereka tak satu kantor.

Jujur, aku tak simpati sedikitpun kepada kedua pria itu. Sebisa mungkin aku selalu menghindar bila harus berdekatan dengan keduanya. Tatapan mata mereka kepadaku tak pernah mengenakkan. Jika tatapan istri-istri mereka adalah tatapan merendahkan, maka tatapan para suami mereka adalah tatapan menjijikkan. Itu yang aku rasakan? Apakah aku terlalu berlebihan? Entahlah.

“Eh, ada tamu rupanya? Lho, kok pada berdiri di sini? Kenapa tidak duduk di ruang tamu?” tanya Mas Wisnu  saat Mbak Ambar menyalam dan mencium tangan suaminya dengan takzim.

Mbak Sekar juga berbuat yang sama kepada Mas Bayu. Dua pasang suami istri yang terlihat begitu akur dan sempurna. Semoga saja kalian akan baik-baik saja!

“Eh, ini banyak pecahan beling? Ada apa ini sebenarnya? Dek, Yosa, kamu kok kelihatannya baru nangis? Ada apa ini?” Mas Wisnu, yang selalu dituakan di dalam keluarga ini menatap kami satu persatu. Tatapan yang kurasakan sangat menjijikkan itu berhenti di wajahku.

“Kenapa istri kamu, Git? Sepertinya di rumah ini baru saja terjadi perang besar, benar begitu?” tanyanya tan lepas menatapku.

“Bening udah tahu kalau Sigit akan menikahi Yosa, Mas. Eh, dia mengamuk, mecahin gelas, lalu menampar Yosa. Biasa, perempuan enggak pernah makan bangku sekolahan memang begitu. Enggak tau tata karma. Emosi aja bawaannya! Untung rumah ini enggak dibakarnya,”  celetuk Mbak Ambar melirikku sinis.

“Oh, jadi Dek Bening udah tahu. Baguslah, jadi enggak perlu ada yang dirahasiakan lagi. Kalau Bening marah, itu wajar. Namanya  juga kaget. Dek Yosa enggak usah tersinggung. Dimaklumi saja, ya! Jadi … kapan rencana pernikahannya?”

Aku tersentak. Memang sudah kuduga mereka semua mendukung Yosa.  Tak terkecuali suami dari ipar-iparku. Tetapi saat mendengar langsung seperti ini, tak ayal hatiku nyelekit juga. Aku merasa begitu malang. Aku benar-benar sendirian.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status