Bab 9. Minggat Di Tengah MalamEmosiku sudah naik ke ubun-ubun rasanya, tetapi aku harus tetap bersabar. “Nad, tadi sore mama sudah masak sayur sama ikan sambal. Kok, enggak ada di meja, ya?” tanyaku menoleh ke arah Nada.“Itu, Ma! Ada, kok. Di dalam lemari piring,” tunjuk Nada ke sudut dapur. Lemari yang terbuat kaca itu memilik rak bertutup di bagian atas. Itu sering kami gunakan untuk menyimpan persediaan makanan.“Kenapa kalian hanya makan garam? Sebentar mama ambilkan,” ucapku gegas berjalan ke sudut dapur. Kutarik pegangan rak, tak bisa bergerak. Kuulang hingga tiga kali, tetap tak bisa.“Dikunci, Ma,” lirih Rara dengan mata berkaca-kaca.“Enggak apa-apa, kok, Ma! Makan pakai garam juga enak, cobain, deh! Iya, kan, Ra, Enak, kan?” kata Nada berdusta. Aku tahu dia hanya berusaha menghibur hatiku. Agar aku tidak sedih dan kecewa.Begini selalu bila ibu dan ipar-iparku marah padaku. Pasti mereka menyembunyikan makanan, meskipun aku yang memasaknya.Kuseka air mata di kedua pipi.“
Bab 10. Tawaran Mesum Suami Kakak Ipar“Om?” lirih Nada dan Rara hampir bersamaan. Mereka sama ketakutannya seperti aku. Apalagi selama ini pun, Mas Wisnu memang tak pernah ramah terhadap mereka.“Ya, ini, Om. Ayo masuk mobil, cepat, sebelum satpam komplek menlihat dan menemukan kalian di sini. Cepat, Ning! Sini kopernya!”Pria itu mendekatiku, meraih koper di atas kepalaku, membawanya masuk ke dalam mobil.“Tidak, Om, Kami enggak mau balik ke rumah nenek! Kau mau minggat!” sergah Nada mencoba merebut koper dari tangan Mas Wisnu.“Siapa yang mau mengembalikan kalian ke rumah nenek? Justru Om mau mmebantu kalian minggat, makanya ayo, cepat naik!” Nada melepas koper, lalu menoleh ke arahku.“Coba pikir, apa mungkin kalian bisa melewati pos jaga di depan, ha? Apa kata satpam komplek itu nanti? Dia pasti akan segera menelepon ke rumah nenek, iya, kan? Tapi, kalau kalian smebunyi di dalam mobil Om, mereka enggak akan liat. Ayo cepat, sebelum warga lain ada yang meintas!” bujuk Mas Wisnu
Bab 11. Menolak Menjadi Wanita Penghibur“Kau! Kau menolakku? Kau tau apa resikonya jika kau menolakku?” Pria itu kembali mencekal lenganku.“Jangan pernah kau sentuh aku!” sergahku, kukibaskan cekalan tangan Mas Wisnu dengan kasar. “Silahkan kau beritahu kepada semua keluarga gilamu itu kalau aku bersembunyi di sini!” lanjutku lalu melangkah masuk ke teras kos-kosan Kak Runi.Kukira, dia akan tersinggung dan marah karena umpatan kasarku, nyatanya pria itu malah berubah lembut.“Ya, maaf, aku mungkin terlalu buru-buru. Kamu tentu masih sedikit trauma karena baru saja diduakan oleh Sigit. Baiklah, tidak usah besok! Aku akan sabar menunggu sampai kau siap. Kapan kira-kira aku boleh menjemputmu, Ning?” tanyanya mengikutiku hingga ke teras.“Tolong kau pergi, Mas! Jangan sampai aku berteriak dan kau bakal di masa warga!” sergahku terus berjalan ke depan kamar kos-an Kak Runi. Nada dan Rara yang sejak tadi menunggu di sudut teras terlihat mulai ketakutan lagi.“Jangan jual mahal, Ni
Bab 12. Berjuang Mencari Pekerjaan“Sekarang, kamu pikirin dulu matang-matang! Ingat Paklek sama Bulek itu sudah tua, udah sering sakit-sakitan. Selama ini mereka sangat bangga sama kamu, karena kamu nikah sama orang kota. Kamu adalah harga diri mereka. Kamu juga dijadikan contoh di kampung kita bagi anak-anak gadis yang mau merantau ke kota. Karena kamu dibilang sukses, berhasil, bukan kerja yang enggak-enggak seperti yang dikhawatirkan sebagian penduduk desa. Iya, toh?”Aku hanya membisu.“Coba kamu bayangkan apa yang akan terjadi dengan Paklek dan Bulek, jika tiba-tiba kamu pulang kampung sambil menenteng anak-anak yang masih kecil-kecil ini, dengan menyandang status calon janda!? Pikir, Ning! Lihat dirimu! Lihat penmapilan dirimu dan anak-anakmu! Persis kayak gembel yang udah sebulan gak makan! Ini yang mau kutunjukkan kepada orang kampung? Biar Paklek dan Bulek mati berdiri karena kaget dan malu! Terus, aku juga bakal kena imbasnya, soalnya aku yang mengajak kau dulu ke kota, iy
Bab 13. Tukang Masak Di Restoran Bu Ajeng “Kamu, Bening …?” Wanita itu sudah berdiri di hadapanku. Kak Runi ada di sampingnya. Hanya sedetik aku berani menatap wajah Bu Ajeng. Selanjutnya aku langsung menunduk menahan perasaan yang tidak karuan di dalam dadaku. Kedua mata teduhnya yang dulu selalu menatapku lembut itu sempat kulihat membulat sempurna. Mungkin dia tak percaya apa yang tengah disaksikan olehnya, atau karena emosi padaku dan menahan murka. Matilah aku! Sepertinya dia sedang sangat marah. Aku merasa seperti itu. Bagaimana mungkin aku telah begitu nekat mengikuti bujukan Kak Runi, coba? Bumbu rendang yang kuracik tadi, mungkin sangat mengecewakannya. Bumbu gulai ayam kampung yang kuolah tadi mungkin jauh dari rasa khas di restoran ini. Lalu bumbu gulai ikan nila tawar tadi, ya, Tuhan, kenapa aku begitu berani? Bagaimana kalau aku dia suruh mengganti rugi? “Ka-kamu … Kamu Bening, kan?” Wanita paruh baya menyentuh bahuku. Aku semakin menunduk. “I-iya, Bu, maaf. Sa
Bab 14. Senjata Andalan Mas Sigit“Perempuan mana yang mau dimadu, Git! Aku hingga detik ini hidup menjanda, itu karena aku tidak mau di madu! Lebih bak kami jadi janda seumur hidup daripada sakit hati!”“Maaf, Kak! Jangan pengaruhi Bening! Kakak memilih jadi janda itu urusan Kakak! Dalam syariat Islam, tak ada salahnya seorang suami menikah lagi, boleh kok, seorang suami mempunyai istri dua, tiga, bahkan sampai empat! Istilahnya poligami, buka wawasan Kakak! Jangan tularkan tulalit Kakak sama Bening!”“Enak saja kau mau poligami, sementara adikku kau buat menderita selama ini? Ngaca, kau dulu Sigit! Siapa dirimu berani poligami? Poligami itu ada aturannya, bukan asal nikah saja! Kau boleh poligami kalau istri pertamamu setuju dan kalau kamu memang mampu. Untuk ngasih makan satu istri saja kau enggak bisa, mau istri dua pula!”“Maaf, Kak! Sepertinya Kakak sudah terlalu jauh ikut campur! Ayo, Ning! Pulang!” Mas Sigit menghampiri kami, lalu menarik tanganku secara paksa. “Nada, Rara,
Bab 15. Kutolak Bantuan Suami Durjanaku“Iya, Sayang! Aku pakai, ya, kartu kreditnya?”Aku dan Kak Runi tersentak. Mas Sigit sedang menelepon seseorang. Tanpa rasa sungkan sedikitpun dia memanggil ‘Sayang’ kepada lawan bicaranya. Pasti dia sedang menelepon Yosa. Segera kutoleh ke arah Bapak. Jangan sampai dia mendengar Mas Sigit memanggil seseorang yang jelas bukan diriku dengan sebutan ‘Sayang’.Bapak memalingkan wajah, sengaja menghindari tatapanku. Wajahnya terlihat makin muram. Apakah dia mendengar? Lalu, kenapa dia diam?“Iya, terima kasih, ya, kamu memang wanita paaaa … ling baik yang pernah kukenal, udah, ya, nanti aku telpon lagi!”Mas Sigit menyudahi panggilannya, mengembalikan benda pipih itu ke saku celana panjangnya, lalu menoleh ke arahku.“Aku ke bagian administrasi dulu, ya! Kamu jangan risaukan biaya rumah sakit ini! Aku akan urus administrasinya. Yosa bilang pakai ruang VIP saja. Dia tidak keberatan aku pakai kartu kreditnya,” ujarnya memuji-muji calon istri ba
Bab 16. Malaikat Penolong Itu Adalah Bu Ajeng“Aaaaw …!”Pria itu mengaduh memegangi senjatanya, Sodokan dasyat dengkulku telak menghantam bagian itu. Seketika tubuhku lepas dari sergapannya. Segera kubersihkan mulutku dengan kedua telapak tangan. Tetap saja aku merasa jijik. Lidahnya tadi sempat mengaduk rongga mulutku. Pasti air liurnya ada yang tersisa di sana.“Puah!”Replek kusemburkan ke wajahnya.“Jangan pernah menyentuhku! Atau kau kehilangan senjatamu!” ancamku lalu berlalu.“Kau …! Awas kau Bening! Ibumu akan sekarat! Aku pastikan, aku tidak akan mau membayar biaya rumah sakit ini seklaipun kau dan Bapakmu yang renta itu mengemis di kakiku!” teriaknya penuh emosi.Aku tak peduli. Kupercepat langkah, kembali ke depan IGD. Dari jauh aku melihat Bapak telungkup di atas kursi panjang. Tangannya memukul-mukul badan kursi. Nada dan Rara mengusap-ngusap punggungnya. Mulut mereka terlihat mewek, meski tak terdengar ada tangis. Kak Runi berjalan hilir mudik sambil menggendong B