Bab 16. Malaikat Penolong Itu Adalah Bu Ajeng“Aaaaw …!”Pria itu mengaduh memegangi senjatanya, Sodokan dasyat dengkulku telak menghantam bagian itu. Seketika tubuhku lepas dari sergapannya. Segera kubersihkan mulutku dengan kedua telapak tangan. Tetap saja aku merasa jijik. Lidahnya tadi sempat mengaduk rongga mulutku. Pasti air liurnya ada yang tersisa di sana.“Puah!”Replek kusemburkan ke wajahnya.“Jangan pernah menyentuhku! Atau kau kehilangan senjatamu!” ancamku lalu berlalu.“Kau …! Awas kau Bening! Ibumu akan sekarat! Aku pastikan, aku tidak akan mau membayar biaya rumah sakit ini seklaipun kau dan Bapakmu yang renta itu mengemis di kakiku!” teriaknya penuh emosi.Aku tak peduli. Kupercepat langkah, kembali ke depan IGD. Dari jauh aku melihat Bapak telungkup di atas kursi panjang. Tangannya memukul-mukul badan kursi. Nada dan Rara mengusap-ngusap punggungnya. Mulut mereka terlihat mewek, meski tak terdengar ada tangis. Kak Runi berjalan hilir mudik sambil menggendong B
Bab 17. Mas Sigit Merebut Anak-anakTidak, Bapak tidak boleh tau yang sebenarnya.“Nduk, coba kowe jujur karo Bapak. Sebetulnya Ibumu itu pingsan itu karena apa, apa kowe paham, Nduk?”Aku terkesiap. Benar kata Bapak. Kenapa aku tidak menyelidiki, apa penyebab Ibu tiba-tiba drop saat di depan restorang tadi. Kucoba mengingat ulangan kejadian di sana tadi. Mas Sigit memaksaku pulang, Bapak tiba-tiba masuk ke dalam, Nada dan Rara langsung memeluknya, lalu Bapak bilang Ibu ada di depan.Astaga! Jangan-jangan si bawel Rara sudah menceritakan perangai ayahnya kepada Ibu. Ibu kaget, lalu hendak menanyakan langsung padaku, dia turun dari mobil lalu jatuh dan pingsan. Itu artinya ….“Bapak?” lirihku menoleh ke arah bapak. Pria sepuh itu menatapku dengan tatapan yang sulit kupahami. Yang jelas kulihat adalah banyak kristal bening di mata tuanya. Ayahku sedang berusaha menahan air mata.“Kita pulang ke kampung kalau ibumu sudah selesai operasinya, ya, Nduk!” ungkapnya dengan suara serak.
Bab 18. Utang Uang Buat Ongkos Bapak Pulang Kampung========“Kamu yakin membawa ibumu pulang kampung, Ning?”Bu Ajeng menatapku lembut. Aku menunduk, sungguh perasaanku tak enak. Bagaimana aku akan mengungkapkan niat hatiku ini. Aku ingin meminjam uang darinya. Buat ongkos pulang kampung, buat beli susu formula bayi untuk Bima, juga untuk beli vitamin buat Bapak.Aku memutuskan akan menyapih Bima. Bayiku memang belum genap setahun, tapi aku harus tega demi kebaikan kami semua. Atas usul Ibu, Bima akan ikut Ibu di kampung, sementara aku akan tetap bekerja di rumah makan Bu Ajeng. Selain untuk membayar utang kepada Bu Ajeng dengan gajiku, juga untuk memantau kedua putriku yang sudah lima hari ini tinggal bersama Mas Sigit. Aku akan merebut mereka kembali entah bagaimanapun caranya nanti.Aku harus menyediakan susu formula untuk Bima sebagai pengganti ASI-ku. Tapi, aku tidak punya uang untuk itu. Aku harus nekat meminjam lagi kepada Bu Ajeng. Setelah aku hitung-hitung, beli susu pe
Bab 19. Bisikan Bening Kepada Elang Putra Bu Ajeng“Sebenarnya biar kamu enggak repot, aku bisa menjemputmu besok ke kampung. Aku akan minta izin kepada Bu Ajeng, kamu mau?” usulnya menoleh ke arahku sesaat. Kulihat binar di matanya. Hatiku berdegup gundah.“Tidak usah, Mas! Tolong enggak usah repot karena saya. Eeeh, maaf, bisa agak dipercepat sedikit laju mobilnya! Saya khawatir, Bapak sudha celas menunggu saya,” pintaku sedikit tegas.“Oh, iya. Kita balap, ya, Ning!”“Terima kasih, Mas!”Kulihat rona kecewa di wajahnya. Semoga dengan ketegasanku, mampu memupuskan harapan di hatinya.**Air mataku tak henti luruh. Kupeluk bayiku dengan erat. Bahkan wajahnya sudah basah karena ketetesan air mataku. Bayi montokku malah tertawa-tawaa karena ulahku. Mungkin dikiranya aku sedang mengajaknya bermain dengan pelukan dan ciumanku. Dia tak tahu kalau sesat lagi, dia tak akan lagi melihatku. Mungkin seminggu, dua minggu, bahkan mungkin juga sebulan.Di awal kerja, aku tak akan bisa beb
Bab 20. Mas Elang Tak Lagi Mengenalku“Mas Elang, apa kabar? Saya Bening, ingat, kan, Mas? Pegawai restoran yang dulu sering masakin Mas Elang bubur ayam. Mas Elang bilang bubur ayam buatan saya lebih enak daripada bubur ayam buatan Bu Ajeng,” bisikku di dekat telinga Mas Elang.Hening, tak ada jawaban dari bibirnya. Bibir pucat seolah tak berdarah itu tertutup rapat. Wajah seputih kapas seolah beku. Kutatap lekat, entah hilang ke mana wajah tampannya dulu. Mas Elang sekarang terlihat persis seperti tengkorak. Pipi kurus dengan tulang menonjol, bibir tegasnya terkelupas dan pecah-pecah. Mata yang dulu selalu bersinar setajam mata Elang kini terkatup rapat. Kalau bukan karena garis-garis yang bergerak naik turun di layar monitor yang terpasang di dekat kepalanya, semua orang pasti mengira dia sudah tiada.“Yo, wess, kamu pulang saja, Ning! Tolong urus restoran saja, ya, Nduk! Ibu akan menjagai Elang di sini. Restoran ibu serahkan sama kamu saja.“ Bu Ajeng terlihat sangat pasr
Bab 21. Nirmala Istri Mas ElangBenar saja, pria itu tak lagi mengenalku. Dia menggeleng pelan lalu menatap mata ibunya.“Kalau tidak ingat siapa dia, endak usah diingat, Le! Dia ini orang yang kerja di restoran ibu.” Bu Ajeng menyela. “Iya, saya tukang masak di restoran, ini saya mau mengembalikan hape Mas Elang. Oh … iya, Mas. Tadi Mbak Nirmala nelpon, katanya dia mau datang,” ucapku seraya mengulurkan ponsel milik pria itu.“A-apa? Nirmala nelpon? Dia mau datang?” Bu Ajeng tergagap tak percaya. Terlihat jelas wajahnya berubah semringah. Begitupun pak Gondo. Dan yang paling terlihat bahagia adalah mas Elang.“Mala, mau … datang?” tanyanya menatapku sendu.“Iyaa, Mas! Semangat, ya! Saya ijin ke restoran ya, Bu, Pak, Mas!” Aku langsung pamit. Aku adalah orang luar di sini. Tugasku adalah mengurus restoran mereka. Jadi aku harus tau diri. Apalagi kulihat sikap Bu Ajeng sepertinya agak berubah padaku setelah anaknya siuman. Atau ini hanya perasaanku saja?“Iya, Ning! Titip restora
Bab 22. Jebakan Mas Sigit“Benar ini rumah mertua kamu, Ning?” tanya Mas Dayat saat aku memintanya menepikan mobil di seberang rumah mantan mertuaku. Ya, mantan. Meski Mas Sigit belum menjatuhkan talak padaku, bagiku dia sudah mantan suami.“Iya, Mas. Tunggu di sini saja, ya!” Buru-buru aku turun dari mobil lalu setengah berlari masuk ke dalam rumah. Sepi, tak terdengar suara apa-apa. Tak seorangpun yang kutemukan. Entah ke mana semua penghuni rumah ini. Kalau mereka semua pergi, kenapa pintu rumah tak dikunci? Bukankah anakku sedang demam katanya?Astaga! Jangan-jangan anakku tiba-tiba gawat lalu buru-buru dilarikan ke rumah sakit. Karena panik mereka tak sempat mengunci pintu. Iya, benar, tadi kulihat mobil Mas Wisnu tak ada di garasi. Hanya ada sebuah sepeda motor di sana. Entah punya siapa.Berarti benar mereka ke rumah sakit. Rara! Rara anakku! Aku segera membalikkan badan, aku harus ke rumah sakit terdekat.“Itu kamukah, Ning!” Langkahku terhenti, seseorang memanggil namaku. S
Bab 23. Kuhajar Istri Baru SuamikuNanar kutatap pria yang di samping mereka. Mas Sigit dengan balutan jas, di samping kanannya duduk dengan anggun seorang wanita berkebaya modern. Riasan make up mewah menghiasi wajah. Cantik sekali.Keempatnya duduk menghadap seorang pria berpakaian koko. Aku yakin dia adaalah seorang penghulu. Mulut pria itu sedang komat-kamit mengucapkan doa, semua hadirin mengucapakn kata ‘aamiin’ di setiap akhir kalimatnya.Nyes ….Perih. Hatiku sangat perih. Raraku ternyata baik-baik saja. Dia tidak sakit seperti yng mereka katakan. Bahkan kedua putriku terlihat begitu sehat, bersih dan terawat. Apalagi dengan gaun kembang yang begitu indah yang menempel di tubuh mereka. Wajah keduanya terlihat begitu berseri-seri.Sakit hatiku. Aku harus menyaksikan pernikahan suamiku. Aku juga harus menyaksikan bagaimana bahagianya kedua anakku mendapat mama baru. Ya, Tuhan …. bagaimana mungkin anak-anakku bahagia dengan pernikahan ayahnya? Apa yang telah terjadi? Kenapa Na