Share

Bab 5. Memilih Menjadi Janda

Bab 5. Memilih Menjadi Janda

“Nah, itu yang seharusnya kita bicarakan. Kita tentuin tanggal nikahnya, bukan membahas si Bening! Gak penting!”  sergah Mbak Sekar lagi lagi melirik sinis ke arahku.

“Gimana mau ngomongin tanggal pernikahan,  Mas. Sedangkan Mas  Sigit saja  belum memberikan jawaban,” tutur Yosa dengan suara lembutnya.

“Iya, Git, jawab!” Mbak Ambar langsung menyambar.

“Hem, sepertinya Sigit masih ragu karena Bening belum setuju, Mas!” Mas Bayu ikut berbicara.

“Dek Ning, kamu harus bisa menerima! Ini untuk kebaikan kalian semua. Dek Yosa udah berjanji akan menyediakan satu rumahnya untuk kalian huni. Dia bersedia menanggung biaya hidup kalian satu keluarga. Kalian tak akan menumpang hidup lagi di sini! Bukan aku dan Bayu enggak ihklas menanggung biaya hidup kalian selama menumpang di sini. Tapi, kalau kalian hidup berkecukupan, kami akan ikut senang, Dek, Ning!” tutur Mas Wisnu.

Aku bergeming. Jujur aku ingin membantah semua ucapannya. Tapi, aku tak melakukannya. Sebab akan percuma. Mereka semua akan langsung menyerang, meski aku belum selesai bicara. Lebih baik aku lakukan saja apa yang paling baik untukku, terutama untuk anak-anakku.

“Jawab, Bening! Mas Wisnu ngomong sama kamu! Kamu budek apa bisu!” teriak Mbak Ambar melotot lagi kepadaku. Aku tetap membisu.

“Nah, dengar itu apa kata Masmu, Git!  Masmu Wisnu itu adalah orang yang kita tuakan di dalam  keluarga besar kita.  Dia adalah pengganti ayahmu!  Dengerin apa katanya!  Sekarang kowe jawab! Kowe bersedia, toh, nikahi Yosa?!” tanya Ibu mulai menekan Mas Sigit.

Pria itu mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk, lalu menoleh ke arahku. Hanya sedetik, pria itu lalu menunduk lagi.

“Kok, kowe malah ngeliat Bening? Apa kowe takut menjawab karena ada Bening? Kowe takut sama Bening, ha?”  hardik Ibu mulai tak sabar.

Mas Sigit tetap membisu. Kepalanya kian menunduk. Aku ragu, bisunya itu karena menolak atau karena segan sebab ada aku.  Aku harus pastikan itu. Entah mengapa, hati kecilku mengatakan kalau sebenarnya Mas Sigitpun menyukai Yosa.

Bukankah mereka pernah menjalin hubungan? Jangan-jangan cintanya padaku selama ini hanyalah pelarian. Saat Yosa sudah menjadi janda, cinta itu tumbuh subur kembali. Ya, bisa jadi. Apalagi dengan iming-iming harta. Baik, aku akan cari tau sekarang juga.

Pelan aku melangkah, kudekati suamiku yang tiba-tiba sangat pendiam itu.

“Mas, mereka semua sedang menunggu jawabanmu! Tolong kau jawab saja sekarang!” titahku kepadanya.

Pria itu kembali mengangkat wajah, menatap sekilas lalu menunduk lagi.

“Jawab, Mas! Kau harus jemtelmen. Sudah satu bulan perempuan itu menunggu jawabanmu! Kenapa sampai sebulan, itu karena kau memberinya harapan, bukan?”

“Ning?” sergahnya pelan, seolah ingin membantah ucapanku.

“Jangan kau bantah, Mas! Dia bersedia menunggu selama itu, karena kau memberinya harapan. Andai kau  langsung tegas mengatakan tidak mau di awal dulu, pasti dia tak akan menunggu. Tapi, karena kau memberinya harapan, maka dia menuntutmu malam ini. Dan kau tak boleh menunda lagi! Jawab malam ini juga! Sekarang, Mas! Jawab!”

“Ning?”

“Jawab, Mas!”

“Tapi, bagaimana dengan kamu?”

“Lho, kok, aku? Kamu yang ingin menikahi dia, kan? Kenapa  malah mendalihkan aku?”

“Aku enggak mau kamu kecewa, Ning?” ucap Mas Sigit kini menatapku dengan begitu sendu.

“Kalau begitu tolak! Katakan bahwa kau tidak bersedia menikahi dia meski hanya nikah siri!” tuntutku.

“Bening! Jangan kau paksa anakku mengikuti kemauanmu!” Ibu mendekatiku, lalu menghentak lenganku dengan kasar. “Jangan kau pengaruhi dia! Biarkan Sigit menjawab sesuai dengan keinginannya!” teriaknya lagi.

“Jawab, Mas! Jawab sesuai dengan hati nuranimu! Bukan karena  aku, seperti keinginan ibumu!” ujarku menatap lekat manik-manik mata Mas Sigit.

“Pria itu segera berpaling, kini tatapannya tertuju kepada Yosa. Kuikuti arah tatapannya. mata bereka beradu, saling mengunci.

Astaga, sakit kurasakan di dalam sini. Sakit dan perih. Aku bukan perempuan bodoh. Aku sangat paham apa makna tatapan mereka. Sorot cinta yang begitu mendamba kulihat di mata suamiku. Dan itu untuk Yosa.

Baik, aku sudah tahu jawabannya.

“Tak perlu kalian menunggu jawaban dari mulut Mas Sigit. Kalian tentu sudah tahu jawabannya meski mulutnya diam. Dia bersedia menikahi Yosa,” ucapku lalu berjalan ke belakang.

“Nah, kamu tahu! Baguslah kalau kamu sadar,” celetuk Ibu tanpa memahami sedikitpun hancurnya  perasaanku.

“Kalau begitu, sekarang kita rundingkan kapan bagusnya tanggal pernikahannya.”

“Iya iya, kita bicara di ruang tamu saja, ayo kita pindah ke ruang tamu!”

“Sekar, kamu buatkan minum, gih! Jangan suruh Bening lagi, bisa habis semua persediaan gelas di dapur dibuatnya!”

“Iya, sekalian bersihkan dulu  pecahan beling ini, nanti kena kaki anak-anak!”

Tak kuhiraukan lagi  percakapan mereka selanjutnya. Suasana yang tadi tegang kini berubah penuh suka cita. Mereka terdengar  sangat bahagia.

Aku melangkah gontai menuju kamar. Mengeluarkan satu-satunya  koper yang aku punya dari bawah kolong dipan.  Memasukkan pakaian anak-anakku  ke dalamnya.

“Ma,  kenapa baju-baju kita di masukkan ke dalam koper, apa kita pindah lagi?” tanya Rara yang belum paham apa-apa.

Sementara Nada, sulungku yang terpaksa lebih dewasa dari usianya, hanya menatap dengan linangan air mata. Bima masih ada di dalam gendongannya. Aku tahu, Nada  menguping  pembicaraan kami sejak tadi. Dia paham apa yang sedang terjadi.

“Ning, apa ini?” Tiba-tiba Mas Sigit mencekal lenganku.

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
keluarga gila suami juga kurang tegas tinggalkan dan pulang ke org tuamu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status