Share

Bab 2. Suamiku Dilamar Mantan Pacar

Bab 2. Suamiku Dilamar Mantan Pacar

“Enggak bisa! Kamu itu, ya, baru segini saja gaji suami sudah bertingkah! Sejak Sigit nikahi kamu hidup anakku jadi sial! Kamu  pembawa sial! Noh, anak-anakmu semua bawa sial! Sebelum menikahi kamu, Sigit itu sukses! Calon manager! Banyak perempuan yang tergila-gila sama dia!  Bodohnya Sigit malah milih kamu yang hanya seorang pelayan restoran! Lihat hidupnya sekarang! Melarat!” maki Ibu menunjuk wajahku.

Betapa aku ingin menangis sejadinya saat ini. Sakit sekali hatiku. Saat Mas Sigit menganggur karena belum dapat kerja setelah di PHK, aku masih bisa terima perlakuan mereka  karena nyatanya kami memang hanya menumpang hidup di sini.

Kukira, setelah Mas Sigit bekerja meski dengan gaji yang tak seberapa, ibu tak akan menghinaku lagi. Nyatanya tetap saja  tak berubah.  Sepertinya, rasa benci di hatinya padaku sudah mendarah daging. Tak akan pernah berubah menjadi kasih, meski Mas Sigit mendapat gaji miliran sekalipun. Baik, aku kini sadar seperti apa posisiku. Jangan harap aku akan menyerah!

“Maaf, Bu! Tolong jangan bilang anak-anakku bawa sial! Mereka darah daging Mas Sigit, cucu Ibu!” sergahku mendongah, menatap tepat di bola mata perempuan itu. Untuk pertama kalinya, aku berani menatap tepat di bola mata wanita paruh baya itu.

“Kamu? Kamu berani bicara kasar sama ibu?” sergahnya dengan mata membola. Badannya yang besar di perut itu dia tegakkan. Seolah bersiap menghajarku bila masih menantang. Tapi, aku tak takut.

“Saya enggak bermaksud kasar sama Ibu. Saya bicara yang sebenarnya. Tolong ibu jangan lupa kalau Nada, Rara dan Bima adalah cucu ibu juga! Dia lahir ke dunia ini karena Mas Sigit, anak Ibuk! Bukan hasil hubungan gelap saya dengan pria lain! Dan satu lagi, tidak ada seorang anakpun yang  dilahirkan ke dunia  ini dengan membawa sial kepada keluarganya! Apalagi kepada neneknya!” ucapku panjang lebar.

“Gak usah punya cucu kalau cuma nyusahin hidup anakku! Ngapain kau ngelahirin anak-anak yang  cuma bisa bawa sial! Kau buat hidup anakku makin susah saja dengan beban sial itu! Sekarang malah nyusahin aku juga! Aku ini udah tua! Malah kau nambahi beban hidupku! Stres aku kau  buat, Bening …!” teriaknya semakin kaget melihat reaksiku.

“Cukup Bening! Berhenti melawan Ibu!”  teriak kedua kakak iparku   tiba-tiba datang dari ruang depan. “Jangan sampai  ibu kenapa-napa karena kamu, ya!” ancam Mbak Ambar menunjuk tepat di wajahku.

“Aku enggak ngelawan, Mbak! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya!” balasku  sembari menangkap ujung jarinya yang menunjuk wajahku. Kuremas, lalu kuturunkan dengan kasar. Sungguh aku tak mau mengalah lagi seperti biasanya.

“Aaauww …! Kamu!” teriaknya kesakitan.

Kulepas cengkraman tanganku. Mungkin jemarinya agak tertusuk oleh kukuku. Atau dia merasa sakit karena kasarnya telapak tanganku.

“Bening! Kamu makin ngelunjak, ya!” Mbak Sekar ikut membentakku.

“Gara-gara perempuan kampung ini! Rumah ini terasa panas! Aku gak betah kalau begini!” Ibu mertuaku histeris.

“Sabar, dong, Bu! Jangan  emosi  lagi!! Jangan sampai gara-gara Bening dan anak-anaknya numpang di sini, Ibu jatuh  sakit pula! Ingat kami, anak dan cucu Ibu yang lain masih banyak! Jangan sampai kami kehilangan Ibu gara-gara mereka!” Mbak Sekar menenangkan perempuan yang tiba-tiba lemas itu. Entah lemas beneran atau pura-pura, aku tak percaya lagi. Mereka memapah ibu ke ruang depan.

“Sabar, Ning! Maafkan sikap Ibu! Tidak apa-apa Ibu yang pegang gajiku! Toh kamu dan anak-anak tidak kelaparan di rumah ini,” ucap Mas Sigit seraya mengusap bahuku. Seperti biasa, dia tak pernah berani membelaku di depan ibu dan kakak-kakaknya.

“Aku mau kita pindah dari sini, Mas! Kita cari kontrakan saja. Hidup susah enggak apa-apa. Makan hanya pakai nasi dan garam, juga tak apa. Bila perlu aku makan sekali aja sehari, anak-anak aku buatkan bubur biar irit, asalkan kita pindah dari sini, Mas! Kumohon!” pintaku memelas.

“Baiklah, Sayang! Aku akan bekerja lebih giat lagi. Pulang kerja bangunan aku cari objekan lagi, untuk modal kita ngontrak rumah, ya!” jawab Mas Sigit sembari mengelus kepalaku.

“Mas Sigit serius?” seruku begitu lega. Akhirnya, apa yang aku impikan akan jadi kenyataan. Tak mengapa meski kami akan tinggal di kontrakan sempit, berlantai tanah berdinding tepas, pun tak apa. Asalkan tidak hidup serumah dengan mertua. Apalagi ditambah dengan kedua keluarga ipar-iparku.

“Iya! Aku janji!”  Mas Sigit mengangguk pasti.

“Terima kasih ya, Mas! Mendengar janji Mas aja aku sudah sangat senang!” lirihku semakin terharu.

“Iya, Ning!”

Mas Sigit meraih bahuku, menarik tubuhku ke dalam dekapannya. “Terima kasih atas pengertian kamu, Ning!” ucapnya sendu. 

**

“Masuk kamar semua! Jangan ada yang keluar, apalagi main di halaman atau di teras!”

Aku tersentak, itu suara Mbak Ambar. Nada dan Rara setengah berlari masuk dan  menghampiriku. Tak lama Mbak Ambar melongokkan kepalanya ke dalam kamar sempit  kami.

“Ning, bilang sama  anak-anakmu! Jangan dibolehin keluar! Ada tamu istimewa! Terus buatkan minum, empat gelas. Antarkan ke depan!” perintahnya kepadaku.

“Bentar! Bima masih nenen!” jawabku sambil mengelus kepala Nada dan Rara yang terlihat begitu sedih karena harus dikurung.

“Letakin dulu anakmu!  Suruh dijaga sama Nada! Cepetan! Bawel!” ketusnya, lalu pergi setelah mendengus kesal.

“Jaga adek bentar, ya, Nad! Mama bikinkan minum dulu! Kalian jangan keluar, ya, Sayang!” titahku seraya melepas mulut Bima dari dadaku. 

Bayiku  mengoar karena  merasa terganggu. Sepertinya perutnya belum kenyang. Tapi Nada, putri sulungku   yang berusia delapan tahun  itu segera menenangkannya.  Dia sudah terbiasa menggendong Bima.  Saat aku sedang sibuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah ini, dialah yang bertugas menjaga adiknya.  Sementara Rara memainkan kerincing dari tutup botol, itu membuat Bima lupa sejenak akan rasa laparnya.

Buru-buru aku menyiapkan minuman untuk para tamu. Empat gelas  teh manis panas aku letakkan di atas nampan, lalu kuantarkan ke ruang tamu. Dari jauh aku sudah bisa mulai mendengar obrolan di ruang tamu itu.

Bukan maksudku ingin tahu. Bukan pula aku bermaksud lancang menguping pembicaraan orang. Aku hanya penasaran karena nama suamiku disebut berulang-ulang.

“Jadi bagaimana Mas Sigit! Mas sudah kenal saya sejak lama, toh?  Semua tentang saya, Mas Sigit sudah paham! Apa pekerjaan saya, usaha saya,  status saya, juga  semua masa lalu saya.  Mas juga sudah saya beri waktu sebulan, kan, untuk mempertimbangkan? Malam ini saya sengaja datang untuk menagih jawaban!”

Deg!

Jantungku tiba-tiba  berdegup tidak normal. Kadang cepat bagai dipompa kencang, kadang lambat seperti keran air yang  sumbat.  Itu membuatku merasa sedak.  Langkahku terhenti.  Apa yang mereka bicarakan? Siapa perempuan itu  yang sedang  menagih jawaban? Jawaban apa yang dia tagih dari Mas Sigit?

Aku belum bisa melihat mereka karena  terhalang tembok pemisah antara ruang tengah dengan ruang tamu.

“Sepertinya Sigit masih ragu dengan status pernikahan yang kamu inginkan, Yosa! Ibu sudah menjelaskan, tapi dia tetap ragu kalau bukan kamu sendiri yang bicara!”

Yosa? Itu suara ibu mertuaku. Dia menyebut nama Yosa. Jadi perempuan itu yang bernama Yosa? Status pernikahan, apa maksudnya? Tadi pagi saat ibu dan suamiku membicarakan tentang lamaran, ibu juga menyebut nama itu.  Lalu sekarang mereka membicarakan  pernikahan,  apakah itu ada kaitannya?

Kutajamkan pendengaran.  Seiring dengan dentuman di dalam dada. Hatiku gelisah, Entah kenapa tiba-tiba pikiran buruk melintas di benak.  Perasaan ini sungguh tidak enak.

“Oh, tentang itu, kan aku udah jelasin! Aku enggak nuntut nikah secara hukum. Nikah secara siri aja, enggak apa-apa! Mas sigit enggak perlu menceraikan Bening!”

Prang!

Nampan di tangaku tiba-tiba terlepas. Gelas-gelas yang berisi teh manis panas  pecah menghantam lantai yang kupijak. Airnya bahkan sebagian menciprati kakiku. Tapi, aku tak merasakan panas sama sekali di kulit kakiku.

Suara lemah lembut perempuan itu seperti gelegar petir di telingaku. Kalimat Yosa yang belum sempat kulihat wujudnya itu teramat mengagetkanku. Kalimat yang mampu membuatku mati rasa.

“Bening!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status