Share

Bab 2

Sore sebelum magrib Mas Aji sudah pulang dari kantor. Mengerti jika suamiku lelah selepas bekerja, aku menahan diri untuk menceritakan tindakan keterlaluan ibu dan keluarganya. Kubiarkan Mas Aji membersihkan diri dan bersantai sejenak di kamar.

"Mau kupijat, Mas?"

"Tidak usah, Sayang. Kamu pasti lelah juga ngurus rumah seharian. Sini, duduk saja di sampingku."

Selalu, tidak seperti keluarganya, sikap Mas Aji sangat lembut dan hangat padaku. Aku kadang heran, mengapa ada malaikat yang lahir dari wanita ....

Aku menghela napas panjang, nyaris saja keceplosan dalam hati memaki dengan keras mertuaku sendiri.

"Kenapa, Sayang? Ada masalah?" tanya Mas Aji tanpa melepaskan kedua tangannya yang melingkar di perutku. Sepertinya dia mendengar embusan napasku yang berat.

Aku terpaksa tersenyum dan menggeleng, tidak ingin merusak suasana manis ini dengan video lakn*t ini. "Makan yuk, Mas. Rasanya sudah lapar."

Mas Aji mengusap lembut perutku. Dia menatapku lembut saat berkata, "Semoga kita bisa segera punya anak ya, Sayang." Dia mempererat pelukannya sebelum menyandarkan kepalanya di pundakku. "Firasatku, tidak lama lagi aku akan menjadi seorang ayah."

Tuhan, apa aku tega menunjukkan video itu pada Mas Aji? Sungguh, aku tidak pernah ingin suamiku bertengkar dengan ibu atau keluarganya, tapi ... ucapan mereka di grup itu sangat menyakitiku.

Jika bukan karena Mas Aji, mungkin sudah sejak lama aku meninggalkan keluarga julid ini.

"Mas, kamu sudah lihat grup WA keluargamu belum?"

Mas Aji menegakkan kepalanya, lantas menggeleng. "Belum, ada banyak persentasi hari ini. Aku hanya membuka pesan darimu dan klien saja. Kenapa? Apa ada sesuatu?"

Sudah kuduga. Mas Aji memang tidak terlalu aktif dalam grup WA keluarganya. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah muncul dalam obrolan. Hanya sesekali dia membuka grup itu. Itu pun dilakukan saat bersamaku pada malam sebelum tidur.

Mas Aji selalu fokus bekerja. Aku sangat bersyukur karena dia selalu menyempatkan diri untuk mengirim atau membalas pesan padaku.

"Kita makan saja, yuk! Rasanya hampir mati karena lapar."

Mas Aji tertawa karena kelakar garingku. Aku memang sengaja mengalihkan pembicaraan. Pikirku, sebaiknya kami makan dulu. Aku tidak ingin Mas Aji sampai tidak nafsu makan karena melihat seluruh keluarganya ternyata 'bukan manusia'.

"Kalau begitu, biar aku gendong ya."

"Jangan Mas. Malu."

"Sama siapa? Mama dan Mawar 'kan masih belum pulang dari rumah Tante Santi. Ayo, naik sini." Mas Aji menepuk punggungnya sendiri.

Tanpa ragu, aku pun menuruti ajakan Mas Aji. Detik itu aku sampai membatin, 'Tidak peduli seperti apa mereka memakiku, yang terpenting, Mas Aji sangat mencintaiku.'

Beberapa saat kemudian kami telah sampai di ruang makan. Saat Mas Aji tadi mandi, aku telah menghangatkan hidangan yang sudah kumasak. Jadi, kini kami tinggal menyantapnya bersama, makan malam romantis melebihi 'kemewahan' di restoran ternama, tanpa mertua dan ipar yang selama ini selalu menyebalkan.

Sayangnya, keromantisan itu tidak bertahan lama. Terdengar deru mobil memasuki halaman. Sudah jelas, duo julid telah pulang dan seperti biasanya, segala kedamaian ini akan sirna tergeser oleh keluhan dan rengekan, juga hinaan.

"Aji ...!"

"Mas Aji ...!"

Mertua dan adik iparku langsung berlari menghampiri suamiku dengan wajah berseri. Mereka terlihat sangat bahagia melihat Mas Aji. Tentu saja, sebab suamiku adalah mesin ATM hidup bagi mereka.

Lantas, saat mereka menggeser pandangan ke arahku, senyum itu lenyap tanpa sisa. Hanya ada wajah masam dengan tatapan merendahkan.

"Masak apa kamu?!" Ucapan mertuaku lebih pantas disebut membentak daripada bertanya.

"Yah Mbak Retno, masaknya ini mulu. Nggak kreatif banget. Lihat Ma, tumis kangkung lagi, sayur-sayur nggak jelas lagi, ayam goreng lagi. Sesekali daging kek. Membosankan! Pasti itu ayamnya asin." Giliran adik iparku mengungkapkan segala kekufurannya.

"Mawar jaga sikapmu. Ini enak kok. Mas saja suka tumis kangkung. Lihat ini, yam, yam, yam!"

Aku menahan tawa melihat Mas Aji mempromosikan masakanku di depan adik sialannya.

"Retno, kamu kok nggak ngerti-ngerti juga, Mawar itu nggak suka sayur. Kamu masak sayur sebanyak ini lauknya cuma itu, lama-lama kami sudah seperti kambing!"

Sejujurnya, masak untuk kambing sepertinya lebih ringan. Mereka tidak akan mengomel di meja makan.

Sementara itu, Mas Aji tertawa keras mendengar ucapan ibunya. Sontak saja hal itu membuat hidung mertuaku langsung kembang-kempis.

"Aji, kamu kok malah ketawa?!"

"Ma-maafkan aku, Ma. Habis Mama lucu, bawa-bawa kambing. Mama dan Mawar duduk saja dulu, kita makan seadanya. Biar besok Retno masak daging yang banyak," kata Mas Aji persis seorang ayah yang berbicara pada dua putri kecilnya.

Mama dan Mawar pun duduk. Dan ... seperti biasa, mereka makan makanan yang tadi dicaci maki dengan LAHAP. Apa sekarang mereka sudah jadi kambing?

"Bagaimana acara tunangan Rico dan Windi tadi? Sepertinya grup WA ramai sekali. Aku tidak sempat membukanya. Apa sesuatu yang menarik terjadi, Ma, Mawar?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status