Share

Bab 3

"Uhuk! Uhuk!" Mawar pelaku pengunggahan video tersedak atas pertanyaan suamiku, membuat mertuaku menoleh padanya dengan tatapan curiga.

Tampaknya, mertuaku tidak tahu jika aksi penggosipan yang dia lakukan di depan keluarga besarnya direkam dan disebarkan Mawar di grup WA keluarga.

"Minum dulu," kataku dengan wajah dan suara dingin saat mengulurkan segelas air putih pada adik iparku.

Mawar tampak terkejut sebelum meraih air dariku, lantas meneguknya TANPA berterima kasih. Bukan hal aneh, orang yang mudah mencela rata-rata diikuti dengan kebiasaan alergi untuk mengucapkan maaf dan terima kasih.

"Kamu sampai tersedak. Apa memang ada sesuatu yang terjadi di rumah Tante Santi? Ada masalah dengan acaranya?"

Buru-buru mertuaku menyahut, "Tidak, tidak, semuanya berjalan lancar. Rasanya Mama sampai iri pada Santi."

"Kenapa, Ma?"

"Kau tahu Aji, si Windi, calon istri Rico itu sangat luar biasa. Dia wanita karier yang sukses, berasal dari keluarga terhormat, sangat cantik, modis, pinter, dan GADIS. Mertuaku tersenyum sesaat sebelum mencebik dan melirik sinis padaku. "Tidak seperti istrimu."

Aku tahu, maksud mertuaku menekankan kata 'gadis' itu. Memang, sejak pertama, Mama tidak setuju Mas Aji memilihku sebagai istrinya. Alasan utamanya ya, karena statusku sebagai seorang janda. Padahal, Mas Aji pun duda. Jadi, mengapa Mama masih saja mempersoalkan hal itu? Lagipula bukan mauku menjadi janda karena suami pertamaku meninggal dalam kecelakaan sebelum genap sebulan kami menikah.

"Mama jangan iri, menantu Mama ini juga nggak kalah hebat." Mas Aji merangkulku dengan senyum bangga.

"Hebat dari mana?! Kerjaannya molor dan males-malesan di kamar. Cantik tidak, pelit iya. Diajak ke acara tunangan Rico saja nggak mau!"

"Ma ... 'kan Mama yang melarangku untuk ikut."

"Nah ini, bantahnya nomor satu. Apa-apa nggak dipikir dulu, langsung ngeyel saja. Lha kamu kira kenapa Mama larang kamu ikut?"

"Ya Mama nggak maulah di-bully semua orang karena bawa menantu seperti Mbak Retno."

"Nah, ini adikmu jauh lebih pinter! Heran Mama, sudah lama jadi menantu di rumah ini nggak pinter-pinter juga. Bikin Mama dongkol saja setiap hari."

Aku hanya mengatakan satu kalimat, mertuaku membalasnya dengan omelan. Ditambah dengan ucapan Mawar yang tidak ada hormat sama sekali pada kakak iparnya.

"Mama, jangan berbicara seperti itu. Tidak perlu membandingkan Retno dengan siapa pun. Aku cinta pada Retno yang seperti ini. Dan kamu Mawar, jaga ucapanmu! Ingat, Retno ini kakak iparmu. Menghinanya sama seperti menghina kakakmu sendiri."

"Aji, kamu tuh kebiasaan belain Retno terus. Jadi ngelunjak dia di rumah ini. Kamu 'kan seharian di kantor. Kamu nggak tahu bagaimana sikap istrimu pada Mama dan Mawar selama kamu nggak ada di rumah. Kadang-kadang Mama tuh berpikir, rasa cintamu pada istrimu itu sudah menghapus rasa sayangmu pada Mama. Sakit rasanya, Aji."

Mulailah mertuaku dengan dramanya, berpura-pura menangis sebagai 'korban' paling menderita. Jelas-jelas ucapannya lebih pantas jika aku yang mengatakannya.

Di depan Mas Aji saja dia memakiku seperti itu, apalagi di belakang suamiku, di belakangku?

Dadaku terasa sesak teringat video itu. Kupejamkan mata sesaat sembari mengatur napas agar lebih tenang.

"Maafkan aku, Ma. Bukan maksudku untuk menyakiti Mama."

Aku menggertakkan gigi mendengar suamiku meminta maaf. Dia tidak bersalah! Memang seorang anak harus hormat dan berbakti kepada orang tuanya, terutama pada ibu, tetapi bukan berarti membenarkan dan memakluminya saat melakukan kesalahan.

Ketika aku membuka mata, terlihat Mas Aji memeluk ibunya dengan wajah penuh penyesalan, sedangkan mertuaku tersenyum miring menatapku.

Hatiku sudah tidak kuat menahan diri untuk menyembunyikan video keji itu. Aku pun berdiri dan meninggalkan meja makan.

"Retno! Retno! Sayang!" Mas Aji memanggilku. Sepertinya dia khawatir aku tersinggung atau sakit hati.

Sementara itu, Mawar memulai peran yang selama ini dilakoni, menjadi KOMPOR. "Lihatlah Mas, nggak sopan banget. Mbak Retno pergi begitu saja tanpa pamit atau minta maaf. Itu dilakukan di depan Mas lho! Padahal Mama 'kan nangis gara-gara dia."

Biarkan saja dia memanas-manasi Mas Aji untuk membenciku. Kita lihat, setelah aku kembali ke ruang makan membawa video itu, apa yang akan dikatakan Mawar? Juga mertuaku tersayang!

Apa mereka masih bisa menjadikanku sebagai 'pendosa' di depan Mas Aji?

Setelah sampai di kamar, aku langsung mengambil ponselku yang ada di atas nakas. Kulihat grup WA keluarga suamiku. Dan persis seperti dugaanku, video itu telah dihapus.

Aku tertawa kecut. Mawar memang telah menghapusnya dari grup, tetapi tidak menghapusnya dari memori ponselku. Dengan video di tanganku didukung komentar-komentar jahat para anggota grup yang tidak dihapus, pembelaan macam apa yang akan dikatakan mertua dan iparku?

Aku bergegas turun ke lantai satu, berjalan cepat menuju ruang makan. Terlihat, suamiku masih berdiri memeluk ibunya selagi Mawar terus mengoceh mengatakan entah.

"Retno ..." panggil Mas Aji tersenyum lega melihatku menuruni tangga.

Aku tersenyum miris menapaki setiap anak tangga. Betapa kasihan suamiku memiliki ibu dan adik yang sangat ....

Sebuah napas kabur dari mulutku. Tampaknya tidak ada lagi kata dalam kamus yang bisa mewakili kelakuan Mama dan Mawar.

"Aku senang kamu kembali, Sayang." Mas Aji memegang tanganku lembut. "Sekarang kamu minta maaf dulu ya pada Mama."

"Padaku juga!" sambar Mawar sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Tunggu dulu, Mas. Tadi kamu tanya, apa ada sesuatu yang terjadi dalam acara pertunangan Rico dan Windi."

"Ya."

"Sebelum aku meminta maaf pada Mama dan Mawar, sebaiknya kamu lihat dulu video dokumentasi acara itu yang diunggah MAWAR di grup WA keluargamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status