Share

Bab 6

Mama berbalik dan menuruni tangga. Dia menghampiri Mas Aji masih dengan wajah merah padam. Dia pasti tidak terima atas ancaman suamiku. Terlihat sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan penuh dengan kebencian.

"Jadi ... kamu tega meninggalkan Mama dan Mawar demi janda ini?" Mama menunjuk diriku.

Aku tahu, mertuaku tidak akan pernah merasa kalau semua kekacauan ini terjadi karena apa yang dia lakukan. Sebaliknya, dia pasti berpikir akulah biang masalahnya.

"Dia bukan janda, Ma. Aku suami sah Retno."

"Terserah apa katamu. Bagi Mama dia tetap sama, wanita tidak tahu diri yang telah mengubahmu menjadi seperti ini! Kamu berani melawan bahkan berbicara dengan nada tinggi pada Mama karena wanita s*alan ini."

Mas Aji tersenyum kecut. "Aku sangat menyesal. Dua tahun sudah aku meminta istriku bertahan di rumah ini, rumah di mana dia sama sekali tidak dihargai sebagai seorang menantu, sebagai kakak ipar, dan sebagai manusia."

Kini Mas Aji menatap ibunya dengan mata menahan air. Jika seseorang yang tidak sanggup melihat wajah orang yang membuatnya marah, lantas kini menatapnya lekat-lekat, artinya ... murka dan kecewa bahkan tidak cukup untuk mewakili apa yang dirasakan suamiku sekarang.

"Aji, jangan berlebihan! Dia mendapatkan kehidupan yang layak di rumah ini. Mendapatkan tempat tinggal yang mewah beserta segala fasilitasnya, mendapatkan banyak hal yang dimimpikan oleh banyak wanita. Ada banyak wanita yang jauh lebih baik darinya di luar sana. Tetapi dia mendapatkan semua ini tanpa melakukan apa pun dengan benar. Tidak becus sebagai istri juga menantu. Semua ini terlalu berharga untuknya. Sangat tidak sepadan!"

Mas Aji berdiri, tidak menggeser sedikit pun pandangannya dari Mama. "Sekarang aku semakin mengerti, seperti apa Mama dan Mawar memperlakukan istriku." Suamiku mengusap kasar air mata yang menetes dari pelupuknya.

Ini kali pertama aku melihat Mas Aji menangis.

Mas Aji menggeleng pelan sambil berkata lirih hampir-hampir tidak terdengar. "Sudah tidak ada alasan bagi kami untuk tinggal di rumah ini."

Kedua tanganku refleks berpindah ke depan mulut. Tampaknya Mas Aji tidak hanya menggertak. Dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya untuk pergi dari tempat yang telah dia tinggali sejak kecil hingga sekarang.

Aku semakin terkejut ketika tiba-tiba tangan Mas Aji meraih tanganku. "Kita pergi sekarang, Sayang. Ada banyak tempat yang lebih pantas untuk kita huni."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya terlalu mengejutkan. Akhirnya yang keluar dari mulutku hanyalah, "Mas ...."

Tepat saat kaki kami hendak menapak di tangga, suara dingin Mama terdengar memanggil, "Aji!"

Mas Aji berhenti dan berbalik. Aku mengikutinya dan mendapati mertuaku menatap suamiku dengan mata membulat hampir tanpa berkedip.

Mertuaku berjalan mendekat. "Kau sudah berjanji pada papamu untuk menjaga Mama dan adikmu sampai akhir hayat. Apa kau sudah lupa?"

Mas Aji menggeleng. "Tidak, aku masih ingat Ma, sangat ingat."

"Lalu mengapa kamu mau pergi meninggalkan kami? Kamu sengaja mengingkari janjimu. Jika Papa masih hidup, dia pasti sedih melihatmu seperti ini."

Mertuaku mulai membawa-bawa mendiang suaminya karena tidak kunjung berhasil menggoyahkan tekad Mas Aji untuk pergi. Aku menatap suamiku lekat, semua masih sama.

Wajah Mas Aji tetap dingin. Tanpa sesal atau rasa bersalah pada ibunya.

"Mama salah besar. Justru Papa akan malu melihatku membiarkan harga diri istriku diinjak-injak oleh Mama dan Mawar, bahkan mungkin oleh anggota keluarga besar kita. Harus Mama tahu, selain berjanji pada Papa, aku juga telah bersumpah di depan nisan kedua orang tua Retno. Aku bersumpah akan menjaga dan membahagiakan Retno dengan sepenuh hatiku."

Mas Aji, ternyata dia masih ... mengingat semuanya. Aku kira selama ini suamiku telah lupa pada sumpahnya yang dilakukan di depan makam kedua orang tuaku saat kami sama-sama masih mengenakan busana pengantin.

Detik ini juga aku bertekad dalam hati, tidak akan pernah meninggalkan suamiku, tidak akan membiarkan siapa pun merusak pernikahan kami!

"Dua tahun aku berusaha menjalankan janjiku pada Papa dengan sebaik mungkin. Dan dua tahun pula aku telah mengingkari sumpahku pada kedua mertuaku." Mas Aji mengusap air matanya lagi.

Tuhan ... sungguh, aku ingin sekali memeluk suamiku saat ini. Aku ingin mengatakan padanya, meski selama ini aku merasa sangat menderita atas perlakuan Mama dan Mawar, aku tidak pernah menyesal menikah dengannya. Justru, aku merasa sangat beruntung memiliki suami sepertinya.

Tanpa sadar, perasaan haru, sedih, bangga, dan bahagia yang bercampur aduk di hatiku sampai membuat air mata yang sejak tadi aku tahan, akhirnya jatuh juga.

"Jadi kamu tetap memilih membela wanita itu dan pergi dari sini?!"

"Semua bergantung pada Mama. Jika Mama mau mengakui kesalahan Mama dan meminta maaf pada Retno, juga berjanji tidak akan pernah mengulangi perbuatan buruk Mama, aku bisa mencoba untuk bertahan di rumah ini."

"TIDAK SUDI!" sambar Mama dengan suara sangat lantang.

Mas Aji menarik salah satu ujung bibirnya. "Baik, semua sudah diputuskan." Dia tersenyum lembut padaku. "Sayang, ayo kita berkemas sekarang."

Mas Aji menggandengku menaiki tangga menuju kamar kami. Sayup-sayup terdengar suara mertuaku yang terus memanggil-manggil nama putranya, juga tidak berhenti memaki diriku.

"Mas," lirihku dengan kening penuh dengan kerutan sambil sesekali menoleh ke belakang melihat mertuaku.

Mas Aji menggeleng sebelum tersenyum dan berkata, "Jangan hiraukan Mama."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanie Abdullah
suami hebat 10 jempol untuk laki laki model kayak gini .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status