Share

Bab 7

Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat.

"Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku.

Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.

Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya.

"Mas ...."

Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu.

"Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.

Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu. Justru aku bahagia, Mas."

"Tapi Mama dan Mawar sudah-"

"Tsuuut ... sudah. Melihatmu tadi berusaha menjaga martabatku di depan keluargamu adalah cinta yang membuatku tidak akan pernah bisa meninggalkanmu, Mas." Aku meraih tangan suamiku dan menciumnya. "Aku berjanji padamu, walau apa pun yang terjadi, aku akan selalu menjadi istri yang baik untukmu."

"Terima kasih banyak, Sayang. Aku beruntung memiliki istri sepertimu." Mas Aji mendekapku lagi. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu."

"Aku juga."

Aku lega, melihat Mas Aji sudah mampu tersenyum ketika melepas pelukannya. Dia lantas mengajakku berkemas agar bisa cepat pergi dari rumah ini.

"Barang-barang lainnya akan aku ambil setelah kita mendapatkan tempat tinggal yang baru. Untuk sementara, kita tidur di hotel dulu. Anggap saja, kita sedang bulan madu, Sayang." Mas Aji tersenyum genit sambil mencubit pelan pipiku.

"Mas, apa kamu serius akan meninggalkan rumah ini? Maksudku ... ada banyak kenangan berhargamu di sini."

Mas Aji memegang kedua pundakku. "Sayang, aku belum pernah seserius ini. Kamu benar, ada banyak kenangan berhargaku di rumah ini, tapi ada banyak juga kenangan burukmu di sini." Mas Aji membelai lembut pipiku. "Jadi, ayo kita bersenang-senang sekarang!" ucapnya lagi terdengar begitu bersemangat.

Namun, sorot mata Mas Aji tidak bisa membohongiku. Pasti sangat berat baginya untuk menjalani keputusan ini.

Sebagaimana saat dia mengajakku masuk ke dalam kamar, kali ini ketika keluar pun tangan kanan Mas Aji menggenggam tanganku erat seperti tidak mau dipisahkan. Sementara itu, tangan kirinya membawa koper berisi pakaian kami berdua.

Begitu kami menuruni tangga, tampak Mama duduk di kursi, sedangkan Mawar berdiri menunggu. Mungkin ketika aku dan Mas Aji berkemas, mertuaku memberitahu pada Mawar bahwa kami akan meninggalkan rumah ini.

Kutatap Mas Aji lagi. Terlihat rahangnya mengeras melihat ibu dan adiknya selagi berbisik, "Jangan lepaskan tanganku, Sayang."

"Mas Aji, mau ke mana?" tanya Mawar ketika kami telah sampai di lantai dasar.

"Pergi," jawab Mas Aji singkat sebelum kembali melangkahkan kaki melewati ibunya.

Mawar menyergap tangan kiri suamiku. Dengan mata berkaca-kaca dia memelas, "Mas Aji, tolong jangan pergi. Jangan tinggalkan kami. Aku mohon. Mama pasti sangat sedih memikirkan Mas Aji."

Entah karena tulus tidak ingin ditinggal kakaknya atau karena tidak mau kehilangan uang jajan dan kuliahnya, yang jelas wajah Mawar terlihat menyedihkan.

"Tidak, Mawar. Selama Mama tidak mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Mbak Retno, aku akan pergi." Mas Aji menarik tangannya dan menoleh padaku. "Ayo Sayang."

"Mas! Mas Aji!" jerit Mawar sambil terisak. "Mama, jangan diam saja. Mas Aji mau pergi, Ma. Aku tidak mau kehilangan Mas Aji, Ma. Mama cepat minta maaf pada Mbak Retno. Jangan sampai semua terlambat, Ma." Terdengar rengekan Mawar pada mertuaku.

Aku menoleh ke belakang, tetapi belum sampai terlihat dua perempuan itu, suamiku sudah mengingatkan, "Lihat ke depan, Sayang."

Dan, saat kami tiba di ambang pintu utama, derap langkah kaki yang berlari membuatku menengok ke belakang lagi.

"Mas Aji!"

"Aji!"

Dua suara itu memanggil suamiku hampir bersamaan.

Mawar telah berdiri di dekat kami menahan tangan Mas Aji, sedangkan mertuaku berjalan mendekat. Tidak seperti sebelumnya, wajah mertuaku tidak sekeras tadi.

"Aji, apa kamu sangat marah pada Mama sampai tidak mau berbalik untuk melihat wajah Mama?"

Memang, suamiku masih menghadap ke luar, memunggungi ibu dan adiknya. Dia pun tidak menjawab pertanyaan ibunya. Mas Aji hanya diam mematung.

"Mas ..." lirihku.

Yang terjadi berikutnya cukup mengejutkanku. Mama meraih kedua tanganku dan berkata lembut. "Maafkan Mama. Mama bersalah padamu Retno. Mama sudah keterlaluan, sering bersikap kasar, memarahimu, dan bahkan sering membentakmu. Mama juga ... telah berkata buruk tentangmu di depan banyak orang. Mama menyesal, tolong maafkan Mama, Retno."

Mertuaku menangis. Dia hendak menempelkan kedua tanganku di keningnya, tetapi buru-buru aku menarik tanganku.

"Jangan, Ma."

"Retno, maafkan Mama. Mama menyesal. Tolong maafkan Mama."

Mertuaku mengulangi ucapannya, tetapi dengan suara yang kian mengiba. Hal itu membuat Mas Aji berbalik dan menatap ibunya.

"I-iya, Ma. Aku maafkan Mama," jawabku.

"Tapi berjanjilah Mama tidak akan pernah bersikap buruk lagi pada istriku!" ujar Mas Aji tegas.

"I-iya, Mama berjanji. Ma-mama akan berubah. Ma-mama akan bersikap baik pada Retno, menantu Mama. Tapi Mama mohon, kalian tetap tinggal di sini. Jangan tinggalkan kami."

"Iya, Mas, tetaplah di rumah ini," sahut Mawar.

Mas Aji menghela napas panjang sebelum berkata, "Baiklah, asalkan kalian mau menerima dan memperlakukan Retno dengan baik, aku akan mencoba untuk tetap tinggal di sini."

Mama dan Mawar mengangguk kompak.

"Terima kasih, Nak." Mertuaku memeluk Mas Aji dengan air mata berlinang. Mungkin, dia begitu ketakutan kehilangan putranya. "Terima kasih, Retno. Terima kasih karena kamu mau memaafkan Mama." Sekarang, giliran Mama memelukku. Membuatku merasa senang sekaligus waspada.

"Sama-sama, Ma."

"Kamu memang menantu yang baik," imbuhnya.

Aku tersenyum tipis. Aku tahu, ini bukanlah akhir dari perang. Sebaliknya, ini adalah awal mula terjadinya peperangan.

Bukan maksudku curiga pada mertuaku. Namun, rasanya terlalu ganjil jika seseorang berubah 180 derajat dalam waktu sekejap saja.

Meski aku belum tahu rencana Mama dan Mawar di balik ini semua, aku telah siap menghadapi perang bahkan hingga berdarah-darah sekalipun. Satu yang pasti, bagaimanapun caranya, aku bersumpah, yang akan memenangkan peperangan di depan mata ini adalah ... AKU.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status