Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari.
"Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.
Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas."
"Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum.
"Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."
Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."
Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti jika dia juga merasa berat meninggalkan rumah ini. Maka, yang keluar dari mulutku adalah ...
"Mas tenang saja. Jika dipikir-pikir, kita juga memiliki kewajiban untuk menyadarkan Mama dan Mawar. Jika kita pergi begitu saja, aku pasti akan mencemaskan mereka juga." Aku menghela napas panjang. Dengan kepala tertunduk aku melanjutkan, "Meski tidak dipungkiri aku marah dan kesal pada mereka, bahkan sangat-sangat marah, mereka adalah ibu dan adikmu, ibu dan adikku juga."
Mas Aji memegang kedua pipiku sebelum menatapku lekat-lekat dengan binar matanya yang penuh keresahan. "Sayang, jika kamu mau, kita masih bisa pergi sekarang. Jika kamu memang merasa sudah tidak nyaman di sini, aku akan mengemasi barang-barang kita lagi. Untuk Mama dan Mawar ...." Mas Aji mengambil jeda.
Lantas melanjutkan dengan tatapan menerawang. "Kita pasrahkan pada Tuhan saja." Suara Mas Aji terdengar frustrasi. Dia pasti dilema.
Memilih tinggal atau pergi sama-sama diikuti konsekuensi masing-masing.
Tapi aku sudah membulatkan niat. Melihat bagaimana Mas Aji bersikeras membelaku tadi, menyadarkanku akan sesuatu, bahwa aku harus berusaha lebih keras untuk menyadarkan mertua dan iparku dengan cara yang BERBEDA.
Orang-orang julid seperti mereka tidak akan mempan jika dinasihati baik-baik secara langsung, juga tidak akan iba atau peduli jika disuguhi air mata. Sebaliknya, air mataku pasti akan membuat mereka semakin ingin berbuat buruk lagi dan lagi.
Jadi, dengan senyum lebar aku berkata, "Tidak Mas, kita di sini saja. Aku akan membantumu membuat Mama dan Mawar bertaubat."
Mas Aji tersenyum geli melihat ekspresi wajahku. "Caranya?"
"Kita pikirkan bersama. Pokoknya, kita harus terus berusaha untuk menyadarkan mereka, hingga kita mencapai titik lelah. Semoga saja sebelum kelelahan itu datang, Mama dan Mawar sudah benar-benar berubah."
"Kamu tahu, Sayang? Aku sangat mencintaimu." Mas Aji memelukku erat. "Apa pun yang akan dilakukan Mama dan Mawar setelah ini, kamu harus menceritakannya padaku. Semuanya tanpa terkecuali." Mas Aji memegang kedua pundakku. "Jika mereka menyakitimu lagi, jangan pernah berpikir untuk menutupinya dariku."
"Tentu saja. Tapi ...."
"Kenapa?"
"Aku pikir akan lebih baik jika kita memasang kamera pengintai di rumah ini, terutama di tempat-tempat yang sering digunakan Mama dan Mawar untuk menghabiskan waktu bersama."
Kening Mas Aji berkerut. "Apa ... itu perlu, Sayang? Maksudku, bukan aku tidak mau, tapi aku ingin kamu tahu, dengan atau tanpa video apa pun, aku akan percaya dengan ceritamu, Sayang. Aku sungguh menyesal karena dulu terlalu sibuk bekerja dan tidak terlalu mengurus hal-hal yang terjadi di rumah. Aku bahkan sering tertidur saat kamu menceritakan apa saja yang terjadi di rumah selama aku bekerja. Maaf ya."
Rupa-rupanya suamiku masih saja merasa bersalah. Aku mencium pipi Mas Aji. "Berhentilah meminta maaf. Aku bisa mati karena bosan mendengarmu mengatakannya terus."
Seperti dugaanku, Mas Aji tertawa kecil, membuatnya terlihat semakin tampan.
"Mas, CCTV itu bukan untuk mendapatkan bukti atas hal buruk yang mungkin akan dilakukan Mama dan Mawar."
"Lalu?"
"Supaya kita tahu, apa yang mereka rencanakan. Jujur saja, sejak pertama kali aku menjadi menantu di rumah ini, aku merasa ... kehadiranku tidak diinginkan. Kamu pasti bisa menilai sendiri kalau Mama dan Mawar sampai detik ini sepertinya belum bisa menerimaku seutuhnya. Aku khawatir, mereka akan berusaha untuk memisahkan kita, Mas, sebab Mama dan Mawar menginginkan perempuan yang lebih baik dariku untuk menjadi istrimu."
Mas Aji langsung merengkuhku. Dia memelukku erat sembari mengusap lembut rambutku. "Jangan berbicara seperti itu. Kamu yang terbaik. Aku tidak mau dan tidak akan berpisah darimu. Berjanjilah untuk tetap menjadi istriku sampai aku mati."
Aku berusaha keras untuk menahan tawa karena khawatir akan menyinggung suamiku, tetapi tampaknya Mas Aji mendengar gelakku juga.
"Kamu kok malah ketawa?"
"Ya kamu lucu sekali, Mas, berlebihan banget. Kayak aku ini mau ke mana saja. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Mas. Sampai kapan pun aku tetap akan menjadi istrimu. Bahkan setelah mati, aku mau menjadi istrimu di surga nanti."
Mas Aji tersenyum sebelum menempelkan bibirnya ke pipiku. "Jadi, kapan CCTV akan dipasang di rumah kita?"
"Besok bagaimana?"
"Setuju. Nanti aku akan memberikan uang pada Mama dan Mawar supaya mereka pergi jalan-jalan besok. Ya sebagai bentuk permintaan maafku karena tadi sudah berteriak dan membentak mereka. Selain itu, tentu saja agar CCTV bisa dipasang tanpa sepengetahuan mereka."
"Sangat cerdas!" pujiku sambil mencubit lembut pipi Mas Aji.
"Sayang, sebenarnya ... ada satu hal lagi yang ingin aku lakukan supaya Mama dan Mawar berpikir ulang jika hendak bersikap buruk padamu."
Aku mengernyitkan dahi. "Apa, Mas?"
"Jika kamu tidak keberatan, aku akan memberikan uang bulanan dan uang jajan Mama, juga Mawar padamu. Akan lebih baik jika kamu memberikan uang itu pada mereka setiap hari. Harapannya, karena mereka tahu uang yang biasa aku berikan ada padamu, mereka akan bersikap lebih baik. Ya mungkin awalnya kebaikan mereka hanya pura-pura, tapi ... siapa tahu, karena terbiasa berpura-pura baik, mereka akan menjadi baik sungguhan."
Aku bergeming, tetapi mataku mulai membendung air. Aku terharu karena Mas Aji memikirkanku sampai seperti itu.
"Sayang, kamu ... tidak setuju?"
Aku menggeleng pelan.
"Kalau kamu tidak setuju, tidak apa-apa, aku akan memberikannya seperti biasanya saja."
"Tidak, aku sangat setuju. Terima kasih sudah sangat percaya padaku, Mas." Aku memeluk Mas Aji dan dibalas dengan pelukan erat pula.
Aku tahu saat bangun tidur besok, semua akan menjadi berbeda. Telah tercium aroma peperangan yang sebenarnya.
Aku yakin, sebagaimana yang aku lakukan bersama Mas Aji, saat ini, Mama dan Mawar pun pasti tengah berkonspirasi untuk memberikan perlawanan sengit padaku.
Tidak masalah. Selama Mas Aji menggenggam tanganku erat, serangan seberat apa pun yang akan mereka luncurkan, aku siap melawan dan bahkan memberikan serangan balasan yang lebih ampuh.
Tanpa sadar aku mengembuskan napas panjang dan berkata, "Rasanya sudah tidak sabar untuk memulai peperangan esok hari."
"Apa, Sayang? Perang?"
"Em ... itu ... anu ... maksudku-"
Belum sampai aku menuntaskan kalimat gagapku, Mas Aji sudah mendorong tubuhku hingga rebah di atas ranjang.
Suamiku tersenyum genit sembari membuka kancing bajunya. "Tenang saja, aku sudah mengunci pintunya. Perang kita mulai sekarang!"
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai bersih-bersih rumah dan masak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut hari baru hingga saat subuh belum datang, kedua mataku sudah tidak bisa terpejam.Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika menata hidangan di atas meja makan. Terlebih saat membayangkan reaksi yang diberikan mertua dan iparku saat melihat makanan yang telah kupersiapkan dengan apik.Aku tahu, ini akan menjadi kejutan yang sangat menyenangkan. Maka, sebagai rasa sayangku pada Mama dan Mawar, sengaja pagi ini melengkapi semua dengan seduhan teh hijau. Sementara untuk Mas Aji, seperti biasa, secangkir kopi pahit telah siap untuknya. Pernah sekali aku bertanya pada suamiku perihal apa yang membuatnya lebih suka kopi pahit. Dan jawaban yang diberikan sangatlah klise, tapi tetap membuatku senang. Kata Mas Aji, itu karena rasa manisnya sudah cukup dengan melihat wajahku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu semua orang turun untuk sarapan bersama. Beberapa saat b
Ruangan menjadi hening atas sisa-sisa gema dari teriakan Mama. Apakah Mama akan membuka topengnya secepat ini? Apa Mama akan kembali menunjukkan sisi buruk yang mendominasi keseluruhan dari tabiatnya selama ini?"Maksud Mama, Aji ... Retno pasti lelah menyiapkan ini semua. Dia sudah bekerja keras sejak tadi. Jadi, kamu beli makan saja seperti biasanya ya. Jangan menyusahkan istrimu. Lagipula, tidak baik juga kalau nanti kamu berbicara dengan klien. Mereka akan ... terganggu dengan bau mulut akibat masakan menji-, em ... makanan lezat tapi beraroma sedikit menyengat ini."Aku tidak mengira kalau efek peperangan kecil tadi malam begitu besar, hingga Mama merasa sungkan untuk berbicara kasar padaku. Tidak mau mengendorkan serangan, aku pun membalas, "Tidak apa-apa, Ma, aku tidak capek. Aku akan mengambil rantang untuk bekal makan siang Mas Aji. Kalau untuk napas tidak sedap, aku sudah menyiapkan ini! Permen pengusir bau mulut. Jika masih belum cukup, aku akan membawakan sikat dan pasta
"Sumpah ya Ma, nyebelin banget wanita soal*n itu. Masa kita disuruh makan petai, jengkol, ih ...! Ikan teri, ikan asin, sama apa tadi sayur kolor?""Kelor.""Ya itu, namanya aja aneh apalagi rasanya coba? Semua itu 'kan makanan orang miskin Mama! Enggak banget pokoknya kalau lidahku harus turun kasta! Nyium baunya saja aku pengen muntah, nggak kebayang deh kalau sampe harus makan! Langsung pingsan mungkin aku!" Mawar menutup mulutnya seperti orang yang mau muntah.Tidak mau kalah sang ibu pun meluapkan amarahnya."Iya, kurang ajar emang itu si janda burik! Bisa-bisanya ngerjain kita sampai seperti ini! Pagi-pagi perut lapar, bukannya masak yang bener, malah menyajikan makanan kampungan begitu. Apa dia nggak mikir, pantes nggak menyajikan makanan seperti itu? Jelas-jelas sama sekali nggak layak. Dia nggak tahu apa kalau meja tempat naruh makanan itu harganya sangat mahal? Dia benar-benar menghancurkam nilai kemewahan meja makan kita, rumah kita, harga diri kita!""Belum lagi itu Ma, ju
Sekitar pukul 13.00 Mama dan Mawar pulang. Jika biasanya saat mereka pulang dengan segala cacian yang diberikan padaku; rumah baulah, kotorlah, apalah, kali ini mereka pulang membawa senyum. Bahkan, Mama membelikan roti bakar untukku."Mawar sakit apa, Ma? Lalu, apa ... ini semua obat Mawar?" tanyaku pura-pura tidak tahu kalau iparku itu tidak sakit. Dan untuk tas-tas kertas yang mereka bawa, tentu saja itu bukan obat melainkan belanjaan mereka. Entah berapa banyak uang yang sudah mereka habiskan sepanjang pagi sampai siang ini saja."Aduh!" Mawar langsung melenguh sambil memegangi perutnya."Em, paperbag ini hadiah untuk Tante Mita."Hadiah? Tante Mita ulang tahun? Memang harus sebanyak itu? Alasan!"Dan ... untuk Mawar, kata dokter, adikmu tidak boleh makan makanan yang berbau menyengat. Perutnya menjadi sakit karena mencium bau petai dan jengkol, Nak."Apa? Sungguh aku ingin sekali tertawa mendengar dalih Mama. Jadi yang bermasalah itu perut atau hidung Mawar? Jelas-jelas Mawar bel
Selepas Aji berangkat ke kantor, Retno bersiap untuk pergi ke rumah Mita, adik kedua mertuanya. Dia mengenakan pakaian terbaiknya dengan riasan minimalis, tetapi berkelas. Meski dia tahu mertuanya memiliki maksud terselubung mengajak dirinya turut hadir dalam acara perayaan ulang tahun itu, setidaknya dia ingin tampak cantik dan elegan."Mas Aji, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi demi kamu, aku akan menghadapi semua ini." Retno menghela napas panjang sambil terus menatap bayangannya di dalam cermin. "Jangankan keluargamu, sarang harimau pun akan aku masuki jika itu perlu, demi kamu." Retno tertawa kecil, membayangkan sang suami yang pasti akan terkekeh jika mendengar ucapannya itu.Tok, tok, tok!Terdengar suara pintu dilketuk. Lantas diikuti oleh sebuah panggilan. "Mbak, sudah siap?""Sudah, Mawar.""Kami tunggu di bawah ya.""Oke!"Retno bersicepat memasukkan barang yang perlu dibawa ke dalam tas. Dia tersenyum melihat tasnya sendiri, membayangkan bagaimana orang-oran
Seperti tidak ingin sang adik terus-menerus memujiku, Mama kemudian mendekat dan merangkul Tante Santi. Tampak tangannya sedikit meremas lengan perempuan itu hingga menoleh ke arahnya."Ini Retno. Istrinya Aji. Sudah, apa kamu akan membiarkan kami berdiri terus di sini?""Te-tentu saja tidak. Ayo masuk! Semua orang sudah menunggu di dalam."Tante Santi menggandeng Mama dan Mawar untuk masuk bersama, tanpa melihatku sama sekali. Padahal, tadi matanya menempel erat padaku seperti tidak mau berpaling.Tidak masalah. Aku sudah siap dikeroyok!Aku menghela napas panjang sebelum tersenyum lebar, lantas berjalan mengikuti mereka.Ketika kakiku menginjak ruang tamu kediaman Tante Mita, tampak semua orang memang telah berkumpul, persis seperti yang dikatakan oleh Tante Santi. Aku berdiri cukup lama mengamati orang-orang yang mungkin tidak lama lagi akan mengejekku.Aku melihat tas berukuran cukup besar yang terkalung di bahuku. Aku tersenyum lagi menyadari bahwa sebenarnya tas ini kurang pas ji
"Sudah pasti nggak bawa kado! Orang yang dibawa cuman tas buluk segede lemari. Aku kira itu tadi karung goni, ternyata tas." Tante Santi menjawab pertanyaannya sendiri sembari tertawa.Tidak mengerti mengapa dia harus tertawa. Mungkin Tante Santi mendapat kebahagiaan dengan menghina orang lain. Biasanya, orang jadi seperti itu lantaran belum pernah merasa terhina oleh ucapan dan sikap orang lain. Menarik! Sepertinya aku bisa mencoba menjadi orang pertama yang memberikan pelajaran padanya."Siapa tahu dia menyimpan kado di dalamnya, Ma." Rico mulai mengimbangi ibunya. Aku tahu, meski ucapannya terkesan membela, dia hanya ingin membuatku tenggelam lebih dalam ke dasar kehinaan."Halah, nggak mungkin itu. Kalaupun bener dia bawa kado, kadonya pasti murahan. Wong tasnya aja murahan begitu. Heran aku, pelit banget jadi orang. Padahal dia pegang semua uang Aji. Bisa pake baju sebagus itu tapi nggak bisa beli kado yang bagusan. Kalau Aji tahu, pasti dia akan beli kado istimewa untuk tanteny
Orang-orang yang tadi mem-bully-ku kini menganga melihat kotak kado yang kuberikan. Jika saja mereka tahu isinya, sudah pasti rahang mereka akan jatuh ke lantai."Terima kasih, Retno. Sebenarnya kamu tidak perlu repot begini.""Sama-sama, Tante. Aku sama sekali tidak repot. Aku harap Tante tidak kecewa dengan isinya."Melihat Tante Mita memelukku, wajah Mama dan Mawar langsung masam. Begitu pula dengan Tante Santi beserta antek-anteknya. Mereka seperti tidak terima melihatku memberikan kado. Terutama tentu saja mertua dan iparku yang sejak awal telah berniat memojokkanku sebab mengira aku berangkat dengan tangan kosong.Mawar yang masih lebih labil pun protes, "Mbak Retno tadi katanya belum menyiapkan kado untuk Tante Mita?"Mama memejamkan mata cukup lama mendengar putrinya seperti tidak terima kalau aku membawa kado juga. "Em ... maksud adikmu, jika kamu membawa kado untuk dirimu sendiri itu sangat baik Nak, tapi akan lebih baik kalau kamu mengatakannya sejak tadi sehingga tidak aka