Share

Bab 8

Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari. 

"Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.

Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas."

"Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum.

"Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."

Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."

Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti jika dia juga merasa berat meninggalkan rumah ini. Maka, yang keluar dari mulutku adalah ... 

"Mas tenang saja. Jika dipikir-pikir, kita juga memiliki kewajiban untuk menyadarkan Mama dan Mawar. Jika kita pergi begitu saja, aku pasti akan mencemaskan mereka juga." Aku menghela napas panjang. Dengan kepala tertunduk aku melanjutkan, "Meski tidak dipungkiri aku marah dan kesal pada mereka, bahkan sangat-sangat marah, mereka adalah ibu dan adikmu, ibu dan adikku juga."

Mas Aji memegang kedua pipiku sebelum menatapku lekat-lekat dengan binar matanya yang penuh keresahan. "Sayang, jika kamu mau, kita masih bisa pergi sekarang. Jika kamu memang merasa sudah tidak nyaman di sini, aku akan mengemasi barang-barang kita lagi. Untuk Mama dan Mawar ...." Mas Aji mengambil jeda. 

Lantas melanjutkan dengan tatapan menerawang. "Kita pasrahkan pada Tuhan saja." Suara Mas Aji terdengar frustrasi. Dia pasti dilema. 

Memilih tinggal atau pergi sama-sama diikuti konsekuensi masing-masing.

Tapi aku sudah membulatkan niat. Melihat bagaimana Mas Aji bersikeras membelaku tadi, menyadarkanku akan sesuatu, bahwa aku harus berusaha lebih keras untuk menyadarkan mertua dan iparku dengan cara yang BERBEDA. 

Orang-orang julid seperti mereka tidak akan mempan jika dinasihati baik-baik secara langsung, juga tidak akan iba atau peduli jika disuguhi air mata. Sebaliknya, air mataku pasti akan membuat mereka semakin ingin berbuat buruk lagi dan lagi.

Jadi, dengan senyum lebar aku berkata, "Tidak Mas, kita di sini saja. Aku akan membantumu membuat Mama dan Mawar bertaubat."

Mas Aji tersenyum geli melihat ekspresi wajahku. "Caranya?"

"Kita pikirkan bersama. Pokoknya, kita harus terus berusaha untuk menyadarkan mereka, hingga kita mencapai titik lelah. Semoga saja sebelum kelelahan itu datang, Mama dan Mawar sudah benar-benar berubah."

"Kamu tahu, Sayang? Aku sangat mencintaimu." Mas Aji memelukku erat. "Apa pun yang akan dilakukan Mama dan Mawar setelah ini, kamu harus menceritakannya padaku. Semuanya tanpa terkecuali." Mas Aji memegang kedua pundakku. "Jika mereka menyakitimu lagi, jangan pernah berpikir untuk menutupinya dariku."

"Tentu saja. Tapi ...."

"Kenapa?"

"Aku pikir akan lebih baik jika kita memasang kamera pengintai di rumah ini, terutama di tempat-tempat yang sering digunakan Mama dan Mawar untuk menghabiskan waktu bersama."

Kening Mas Aji berkerut. "Apa ... itu perlu, Sayang? Maksudku, bukan aku tidak mau, tapi aku ingin kamu tahu, dengan atau tanpa video apa pun, aku akan percaya dengan ceritamu, Sayang. Aku sungguh menyesal karena dulu terlalu sibuk bekerja dan tidak terlalu mengurus hal-hal yang terjadi di rumah. Aku bahkan sering tertidur saat kamu menceritakan apa saja yang terjadi di rumah selama aku bekerja. Maaf ya."

Rupa-rupanya suamiku masih saja merasa bersalah. Aku mencium pipi Mas Aji. "Berhentilah meminta maaf. Aku bisa mati karena bosan mendengarmu mengatakannya terus."

Seperti dugaanku, Mas Aji tertawa kecil, membuatnya terlihat semakin tampan. 

"Mas, CCTV itu bukan untuk mendapatkan bukti atas hal buruk yang mungkin akan dilakukan Mama dan Mawar."

"Lalu?"

"Supaya kita tahu, apa yang mereka rencanakan. Jujur saja, sejak pertama kali aku menjadi menantu di rumah ini, aku merasa ... kehadiranku tidak diinginkan. Kamu pasti bisa menilai sendiri kalau Mama dan Mawar sampai detik ini sepertinya belum bisa menerimaku seutuhnya. Aku khawatir, mereka akan berusaha untuk memisahkan kita, Mas, sebab Mama dan Mawar menginginkan perempuan yang lebih baik dariku untuk menjadi istrimu."

Mas Aji langsung merengkuhku. Dia memelukku erat sembari mengusap lembut rambutku. "Jangan berbicara seperti itu. Kamu yang terbaik. Aku tidak mau dan tidak akan berpisah darimu. Berjanjilah untuk tetap menjadi istriku sampai aku mati."

Aku berusaha keras untuk menahan tawa karena khawatir akan menyinggung suamiku, tetapi tampaknya Mas Aji mendengar gelakku juga.

"Kamu kok malah ketawa?"

"Ya kamu lucu sekali, Mas, berlebihan banget. Kayak aku ini mau ke mana saja. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Mas. Sampai kapan pun aku tetap akan menjadi istrimu. Bahkan setelah mati, aku mau menjadi istrimu di surga nanti."

Mas Aji tersenyum sebelum menempelkan bibirnya ke pipiku. "Jadi, kapan CCTV akan dipasang di rumah kita?"

"Besok bagaimana?"

"Setuju. Nanti aku akan memberikan uang pada Mama dan Mawar supaya mereka pergi jalan-jalan besok. Ya sebagai bentuk permintaan maafku karena tadi sudah berteriak dan membentak mereka. Selain itu, tentu saja agar CCTV bisa dipasang tanpa sepengetahuan mereka."

"Sangat cerdas!" pujiku sambil mencubit lembut pipi Mas Aji.

"Sayang, sebenarnya ... ada satu hal lagi yang ingin aku lakukan supaya Mama dan Mawar berpikir ulang jika hendak bersikap buruk padamu."

Aku mengernyitkan dahi. "Apa, Mas?"

"Jika kamu tidak keberatan, aku akan memberikan uang bulanan dan uang jajan Mama, juga Mawar padamu. Akan lebih baik jika kamu memberikan uang itu pada mereka setiap hari. Harapannya, karena mereka tahu uang yang biasa aku berikan ada padamu, mereka akan bersikap lebih baik. Ya mungkin awalnya kebaikan mereka hanya pura-pura, tapi ... siapa tahu, karena terbiasa berpura-pura baik, mereka akan menjadi baik sungguhan."

Aku bergeming, tetapi mataku mulai membendung air. Aku terharu karena Mas Aji memikirkanku sampai seperti itu. 

"Sayang, kamu ... tidak setuju?"

Aku menggeleng pelan.

"Kalau kamu tidak setuju, tidak apa-apa, aku akan memberikannya seperti biasanya saja."

"Tidak, aku sangat setuju. Terima kasih sudah sangat percaya padaku, Mas." Aku memeluk Mas Aji dan dibalas dengan pelukan erat pula.

Aku tahu saat bangun tidur besok, semua akan menjadi berbeda. Telah tercium aroma peperangan yang sebenarnya.

Aku yakin, sebagaimana yang aku lakukan bersama Mas Aji, saat ini, Mama dan Mawar pun pasti tengah berkonspirasi untuk memberikan perlawanan sengit padaku.

Tidak masalah. Selama Mas Aji menggenggam tanganku erat, serangan seberat apa pun yang akan mereka luncurkan, aku siap melawan dan bahkan memberikan serangan balasan yang lebih ampuh.

Tanpa sadar aku mengembuskan napas panjang dan berkata, "Rasanya sudah tidak sabar untuk memulai peperangan esok hari."

"Apa, Sayang? Perang?" 

"Em ... itu ... anu ... maksudku-"

Belum sampai aku menuntaskan kalimat gagapku, Mas Aji sudah mendorong tubuhku hingga rebah di atas ranjang.

Suamiku tersenyum genit sembari membuka kancing bajunya. "Tenang saja, aku sudah mengunci pintunya. Perang kita mulai sekarang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status