Share

Bab 5

Aku benar-benar seperti melihat sisi lain suamiku. Di balik sikapnya yang selalu ramah, lembut, dan penyayang, ternyata Mas Aji bisa menjadi sesangar ini. Dan semuanya demi ... aku.

"Aku minta maaf Mbak Retno."

"Uhuk! Uhuk!" Aku sampai tersedak ludahku sendiri melihat Mawar mengulurkan tangannya padaku. Dia benar-benar menuruti perintah Mas Aji.

Tentu saja Mawar takut suamiku tidak memberikan uang padanya. Secara, selama ini dia selalu meminta ini dan itu pada Mas Aji. Dan, nyaris selalu dituruti.

Aku menyambut tangan adik iparku sambil mengingatkan, "Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan burukmu itu. Selain merugikan aku secara pribadi, tindakanmu itu juga mencoreng nama keluarga kita."

Hening.

Mungkin di balik bungkamnya Mawar dan Mama saat ini, mereka tengah menghujatku dalam hati. Terserah! Aku tidak peduli. Yang jelas, mereka harus diberi pelajaran berharga agar tidak seenaknya sendiri.

"Mawar, dengar apa yang dikatakan kakak iparmu?"

"Aku mengerti."

"Bagus. Sekarang cium tangan Mbak Retno."

Mawar menoleh sesaat ke arah ibunya. Jelas masih ada penolakan dari diri gadis itu. Namun, kemudian dia mencium tanganku juga.

"Puas Mbak?"

"Puas banget," balasku dengan senyum lebar, membuat Mawar semakin kesal hingga beranjak dari ruang makan.

"Mawar! Mawar!" Mertuaku memanggil-manggil putrinya, tetapi tidak dihiraukan sama sekali.

Dengan wajah merah padam Mama kemudian berkata, "Lihat Aji, malam ini kamu sudah menyakiti adik kandungmu sendiri, menyakiti Mama. Mama nggak nyangka kamu bisa berbuat sejahat ini pada kami."

"Mama tahu benar siapa yang jahat di sini," balas Mas Aji tanpa melihat ibunya.

"Keterlaluan! Mama menyesal merestuimu menikah dengan janda d*rjana itu!"

"Namanya Retno, Ma. Dan dia istriku. Menantu Mama. Jadi tolong berbicaralah selayaknya seorang ibu pada anaknya."

Mertuaku menggeleng. "Tidak sudi!"

Perempuan paruh baya itu hendak pergi dari ruang makan, mungkin untuk menyusul putrinya. Namun, suara Mas Aji menghentikannya. "Tunggu, Ma."

"Ada apa lagi? Masih belum cukup kamu memaki keluargamu sendiri dan memuji-muji janda itu?!"

"Mawar sudah meminta maaf pada Retno. Sekarang giliran Mama."

"Apa katamu?!" ujar Mama setengah berteriak. Dia pasti terkejut mendengar perkataan Mas Aji, begitu pun denganku.

Aku tidak menyangka Mas Aji akan meminta ibunya untuk meminta maaf padaku. Selama ini, dia selalu memintaku bersabar atas sikap Mama yang kurang baik padaku.

"Minta maaflah Ma. Dengan melakukannya, tidak akan membuat Mama menjadi lebih rendah. Justru itu bisa membuat segala kesalahan Mama pada Retno selama ini terampuni."

"TIDAK! Sampai kapan pun Mama tidak akan pernah meminta maaf pada istrimu! Terserah jika kamu tidak akan memberikan uang bulanan lagi pada Mama. Lebih baik Mama kelaparan daripada harus kalah dari janda s*alan itu!"

Kalah?

Jadi mertuaku menganggap meminta maaf padaku adalah bentu kekalahan? Lalu, apa yang sebenarnya terjadi selama ini di rumah ini? Perang?

Aku mengembuskan napas panjang.

Mama pun kembali melangkahkan kakinya. Dia sungguh tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukan. Mama bahkan mendahului Mas Aji yang mungkin akan mengancamnya seperti yang dilakukan pada Mawar.

Aku tahu, Mama berani seperti itu lantaran dia tahu, Mas Aji tidak akan tega melihatnya hidup susah dan kekurangan, apalagi sampai kelaparan.

"Ma ..." panggil Mas Aji pelan saja sambil duduk kembali di tempatnya.

Mama yang telah sampai di atas tangga tampak terdiam sebelum menoleh. Pasti dia merasa senang karena mungkin Mas Aji akan menarik segala ucapannya dan bahkan meminta maaf pada mertuaku itu, mungkin juga memintaku untuk meminta maaf.

Aku sempat merasa khawatir Mas Aji akan melemah melihat ibunya pergi dengan kemarahan dan kekecewaan atas sikapnya. Namun ternyata aku keliru.

"Jika Mama tidak mau meminta maaf pada Retno, aku akan pergi dari rumah ini."

Jeder!

Sumpah demi apa pun, aku sangat terkejut atas perkataan Mas Aji barusan. Selama dua tahun menikah, sudah beberapa kali aku mengajaknya untuk tinggal di tempat lain. Meskipun harus mengontrak atau menyewa apartemen karena belum memiliki cukup uang untuk membeli atau membangun rumah sendiri, aku rela. Tidak masalah bagiku meninggalkan rumah mewah ini asalkan bisa hidup damai dan bahagia.

Tidak dipungkiri, tinggal bersama mertua dan ipar julid terkadang membuat kewarasanku terganggu. Dan karena tidak bisa melampiaskannya, yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan berdoa supaya diberi kekuatan, ketabahan, dan keikhlasan.

Namun Mas Aji selalu menolak permintaanku lantaran dia tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya. Setelah ayahnya meninggal, Mas Aji merasa bertanggung jawab penuh atas dua manusia menyebalkan itu. Bukan hanya menafkahi, melainkan juga menjaga dan membersamai.

Maka, saat mendengar Mas Aji akan angkat kaki dari rumah ini jika ibunya tidak mau meminta maaf padaku, mulutku sampai menganga tak percaya.

Dan orang yang jauh lebih terkejut dariku, tentu saja, mertuaku. Ancaman suamiku itu pasti seperti petir di siang bolong untuknya.

"Aku sungguh menyesal meminta Retno bersabar selama ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status