Share

Bab 4

"Jangan!" Wajah Mawar pucat ketika Mas Aji meraih ponselku. "Ma-maksudku, Mas Aji nggak usah lihat video itu. Nggak penting juga, itu hanya ...."

"Nggak papa, Mawar. Aku juga ingin lihat kehebohan yang terjadi di rumah Tante Santi. Sayang sekali aku tidak bisa hadir di acara itu tadi. Terima kasih ya kamu sudah merekam dan membagikannya di grup."

Rasakan! Petiklah buah dari apa yang kau tanam.

Kugeser pandanganku ke Mama. Wajahnya tidak kalah pucat dari Mawar. Meski mungkin dia tidak tahu video apa yang hendak disaksikan putranya, kecemasan di wajah Mawar sudah cukup membuatnya turut was-was juga.

"Lihat baik-baik Mas. Jangan lewatkan satu detik pun." Aku tersenyum sebelum duduk dan menyesap air putih. Entah sejak kapan air jernih menjadi semanis ini.

Mas Aji menekan layar ponselku. Seketika itu pula kedua alisnya bertaut hingga hampir menyatu melihat dan mendengar sang ibu mengolok-olok istrinya seperti ... sampah di hadapan banyak orang, di depan keluarga besarnya.

Sementara itu, Mama dan Mawar menjadi semakin panik mendengar suara perempuan yang seperti sedang berteriak-teriak dari ponselku yang sebelumnya sengaja kusetel maksimal volumenya. Mereka jelas mengenal suara yang sangat familier itu.

"Ma-mas Aji, i-ini tidak seperti yang Mas lihat." Mawar mendadak gagap karena takut.

Meski kau sudah menghapus video itu dari grup, rasa sakitnya telah membekas di hatiku. Tidak akan kubiarkan kau dan Mama lepas kali ini! Aku telah memberikan terlalu banyak kesabaran pada kalian. Batinku.

Rahang suamiku mengeras. Dia meletakkan ponselku di meja sebelum memberikan tatapan mengintimidasi pada adiknya. "Apa ini Mawar?"

Sementara pada ibunya, Mas Aji tidak menoleh sama sekali. Aku mengenal Mas Aji dengan sangat baik. Jika dia sampai tidak menatap seseorang yang membuatnya kesal, artinya itu bukan kesal biasa. Bisa dikatakan, saat ini Mas Aji menyimpan murka pada ibunya.

"Mas, aku bisa menjelaskan semuanya."

"Kenapa kamu membiarkan Mama menggosipkan kakak iparmu di depan keluarga besar?" desis Mas Aji sebelum ...

Brak!

Suamiku memukul meja untuk pertama kalinya. Dua tahun bersama lelaki itu, belum pernah aku melihatnya semurka ini.

"Bukannya mengingatkan, kamu justru merekam dan membagikannya di grup keluarga?! Keterlaluan!" Mas Aji membentak hingga urat-urat lehernya mencuat.

"Tidak Mas. Itu tidak benar."

"Apa?! Kamu mau bilang Mbak Retno sengaja melakukan ini untuk memfitnah kalian?"

"Ya! Kalau Mas tidak percaya, coba Mas buka grup WA sekarang. Aku tidak membagikan video apa pun. I-itu artinya, video yang Mas lihat itu hanya rekayasa. Pasti Mbak Retno sengaja mengeditnya dengan wajah Mama."

"Untuk?!"

"Ya untuk membuatmu memarahi Mama dan adikmu sendiri! Kamu tidak tahu Aji, betapa istrimu itu sangat membenci kami." Mama mulai membela diri dengan memfitnahku lagi.

"Cukup Ma!"

"Bahkan sekarang kamu sudah berani membentak Mama." Mama mengeluarkan air mata buaya. Lantas mengalihkan pandangannya padaku. "Puas kamu membuat putraku satu-satunya menjadi durhaka padaku?!"

"Cukup. Aku tidak mau membahas hal yang lain. Masalah ini harus diselesaikan sekarang. Mawar, katakan mengapa kamu melakukan hal hina seperti itu?"

Mawar bergeming atas tatapan tajam Mas Aji. Dia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Pandangannya tertunduk melihat lantai seolah ada sekoper uang di sana.

Lima detik.

Enam detik.

Tujuh detik.

Brak!

Mas Aji kembali menggebrak meja, tetapi kali ini sambil berdiri dengan kedua mata memelotot nyaris keluar dari soketnya.

"MAWAR! Jawab!"

"Aji, sudah. Kamu menakuti adikmu." Mertuaku memeluk putrinya yang sudah berlinang air mata.

"Tidak Ma! Aku tidak akan berhenti sebelum masalah ini selesai. Apa yang dilakukan Mawar sudah melampaui batas. Sekarang katakan padaku, apa maksudmu mengunggah video itu ke grup keluarga? Kamu sengaja ingin mempermalukanku, mempermalukan Mbak Retno, Mama, juga dirimu sendiri?!"

"Ti-tidak Mas. A-aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya-"

"Apa?! Ingin memojokkan Mbak Retno? Ingin membuat keluarga kita menilai buruk istriku? Keterlaluan!"

Mas Aji menyisir rambutnya dengan frustrasi sebelum memegang meja dengan kedua tangan.

"Sekarang, minta maaf pada Mbak Retno," desis Mas Aji dengan napas memburu.

"Tidak!" Mawar mengusap kasar air matanya, lalu berjalan mendekati suamiku. "Mas Aji, setidaknya Mas periksa dulu grup keluarga kita. Apakah aku membagikan video seperti tuduhan Mbak Retno? Nggak sama sekali!"

"Tidak!" Mas Aji menepis tangan Mawar dari pundaknya. Dia mengacungkan telunjuk di depan wajah adiknya. Jelas sekali suamiku tengah menahan amarahnya terlihat dari tangannya yang sampai bergetar. "Aku percaya pada istriku. Dia tidak akan melakukan hal pic*k seperti yang kamu tuduhkan. Sekarang juga aku minta kamu minta maaf pada istriku."

"Tapi Mas-"

"MINTA MAAF cepat!"

Mawar mendengkus kesal saat melirik ke arahku. Aku tahu, dia pasti tidak sudi meminta maaf padaku. Namun, siapa yang akan berani membantah Mas Aji sekarang?

Sesungguhnya, seseorang yang biasanya tampak ramah, lembut, dan sabar, akan menjadi sosok yang sangat menakutkan jika sudah marah.

Dan benar.

Mawar berjalan mendekat. Masih dengan wajah dongkol dia berkata, "Aku minta maaf."

"Apa Mawar?" Sengaja aku pura-pura tidak mendengar supaya gadis kurang ajar itu mengatakan maaf lagi dengan suara lebih lantang.

"Aku minta maaf!"

Orang bod*h pun tahu jika ucapan Mawar lebih pantas disebut membentak daripada memohon ampun.

"Mawar! Lakukan dengan benar. Ulurkan tanganmu dan cium tangan istriku!"

"Apa?! Aji, jangan keterlaluan." Mertuaku protes tak terima dengan perintah putranya.

"Mama jangan ikut campur. Selama ini aku terlalu memanjakannya hingga tumbuh menjadi gadis tidak tahu sopan santun."

Terlihat Mawar mengepalkan kedua tangannya. Jika tidak ada Mas Aji, tangan itu mungkin akan lancang diayunkan ke wajahku.

"Mawar, apa kamu mau aku berhenti memberikan uang jajan padamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status