"Jangan!" Wajah Mawar pucat ketika Mas Aji meraih ponselku. "Ma-maksudku, Mas Aji nggak usah lihat video itu. Nggak penting juga, itu hanya ...."
"Nggak papa, Mawar. Aku juga ingin lihat kehebohan yang terjadi di rumah Tante Santi. Sayang sekali aku tidak bisa hadir di acara itu tadi. Terima kasih ya kamu sudah merekam dan membagikannya di grup."Rasakan! Petiklah buah dari apa yang kau tanam.Kugeser pandanganku ke Mama. Wajahnya tidak kalah pucat dari Mawar. Meski mungkin dia tidak tahu video apa yang hendak disaksikan putranya, kecemasan di wajah Mawar sudah cukup membuatnya turut was-was juga."Lihat baik-baik Mas. Jangan lewatkan satu detik pun." Aku tersenyum sebelum duduk dan menyesap air putih. Entah sejak kapan air jernih menjadi semanis ini.Mas Aji menekan layar ponselku. Seketika itu pula kedua alisnya bertaut hingga hampir menyatu melihat dan mendengar sang ibu mengolok-olok istrinya seperti ... sampah di hadapan banyak orang, di depan keluarga besarnya.Sementara itu, Mama dan Mawar menjadi semakin panik mendengar suara perempuan yang seperti sedang berteriak-teriak dari ponselku yang sebelumnya sengaja kusetel maksimal volumenya. Mereka jelas mengenal suara yang sangat familier itu."Ma-mas Aji, i-ini tidak seperti yang Mas lihat." Mawar mendadak gagap karena takut.Meski kau sudah menghapus video itu dari grup, rasa sakitnya telah membekas di hatiku. Tidak akan kubiarkan kau dan Mama lepas kali ini! Aku telah memberikan terlalu banyak kesabaran pada kalian. Batinku.Rahang suamiku mengeras. Dia meletakkan ponselku di meja sebelum memberikan tatapan mengintimidasi pada adiknya. "Apa ini Mawar?"Sementara pada ibunya, Mas Aji tidak menoleh sama sekali. Aku mengenal Mas Aji dengan sangat baik. Jika dia sampai tidak menatap seseorang yang membuatnya kesal, artinya itu bukan kesal biasa. Bisa dikatakan, saat ini Mas Aji menyimpan murka pada ibunya."Mas, aku bisa menjelaskan semuanya.""Kenapa kamu membiarkan Mama menggosipkan kakak iparmu di depan keluarga besar?" desis Mas Aji sebelum ...Brak!Suamiku memukul meja untuk pertama kalinya. Dua tahun bersama lelaki itu, belum pernah aku melihatnya semurka ini."Bukannya mengingatkan, kamu justru merekam dan membagikannya di grup keluarga?! Keterlaluan!" Mas Aji membentak hingga urat-urat lehernya mencuat."Tidak Mas. Itu tidak benar.""Apa?! Kamu mau bilang Mbak Retno sengaja melakukan ini untuk memfitnah kalian?""Ya! Kalau Mas tidak percaya, coba Mas buka grup WA sekarang. Aku tidak membagikan video apa pun. I-itu artinya, video yang Mas lihat itu hanya rekayasa. Pasti Mbak Retno sengaja mengeditnya dengan wajah Mama.""Untuk?!""Ya untuk membuatmu memarahi Mama dan adikmu sendiri! Kamu tidak tahu Aji, betapa istrimu itu sangat membenci kami." Mama mulai membela diri dengan memfitnahku lagi."Cukup Ma!""Bahkan sekarang kamu sudah berani membentak Mama." Mama mengeluarkan air mata buaya. Lantas mengalihkan pandangannya padaku. "Puas kamu membuat putraku satu-satunya menjadi durhaka padaku?!""Cukup. Aku tidak mau membahas hal yang lain. Masalah ini harus diselesaikan sekarang. Mawar, katakan mengapa kamu melakukan hal hina seperti itu?"Mawar bergeming atas tatapan tajam Mas Aji. Dia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Pandangannya tertunduk melihat lantai seolah ada sekoper uang di sana.Lima detik.Enam detik.Tujuh detik.Brak!Mas Aji kembali menggebrak meja, tetapi kali ini sambil berdiri dengan kedua mata memelotot nyaris keluar dari soketnya."MAWAR! Jawab!""Aji, sudah. Kamu menakuti adikmu." Mertuaku memeluk putrinya yang sudah berlinang air mata."Tidak Ma! Aku tidak akan berhenti sebelum masalah ini selesai. Apa yang dilakukan Mawar sudah melampaui batas. Sekarang katakan padaku, apa maksudmu mengunggah video itu ke grup keluarga? Kamu sengaja ingin mempermalukanku, mempermalukan Mbak Retno, Mama, juga dirimu sendiri?!""Ti-tidak Mas. A-aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya-""Apa?! Ingin memojokkan Mbak Retno? Ingin membuat keluarga kita menilai buruk istriku? Keterlaluan!"Mas Aji menyisir rambutnya dengan frustrasi sebelum memegang meja dengan kedua tangan."Sekarang, minta maaf pada Mbak Retno," desis Mas Aji dengan napas memburu."Tidak!" Mawar mengusap kasar air matanya, lalu berjalan mendekati suamiku. "Mas Aji, setidaknya Mas periksa dulu grup keluarga kita. Apakah aku membagikan video seperti tuduhan Mbak Retno? Nggak sama sekali!""Tidak!" Mas Aji menepis tangan Mawar dari pundaknya. Dia mengacungkan telunjuk di depan wajah adiknya. Jelas sekali suamiku tengah menahan amarahnya terlihat dari tangannya yang sampai bergetar. "Aku percaya pada istriku. Dia tidak akan melakukan hal pic*k seperti yang kamu tuduhkan. Sekarang juga aku minta kamu minta maaf pada istriku.""Tapi Mas-""MINTA MAAF cepat!"Mawar mendengkus kesal saat melirik ke arahku. Aku tahu, dia pasti tidak sudi meminta maaf padaku. Namun, siapa yang akan berani membantah Mas Aji sekarang?Sesungguhnya, seseorang yang biasanya tampak ramah, lembut, dan sabar, akan menjadi sosok yang sangat menakutkan jika sudah marah.Dan benar.Mawar berjalan mendekat. Masih dengan wajah dongkol dia berkata, "Aku minta maaf.""Apa Mawar?" Sengaja aku pura-pura tidak mendengar supaya gadis kurang ajar itu mengatakan maaf lagi dengan suara lebih lantang."Aku minta maaf!"Orang bod*h pun tahu jika ucapan Mawar lebih pantas disebut membentak daripada memohon ampun."Mawar! Lakukan dengan benar. Ulurkan tanganmu dan cium tangan istriku!""Apa?! Aji, jangan keterlaluan." Mertuaku protes tak terima dengan perintah putranya."Mama jangan ikut campur. Selama ini aku terlalu memanjakannya hingga tumbuh menjadi gadis tidak tahu sopan santun."Terlihat Mawar mengepalkan kedua tangannya. Jika tidak ada Mas Aji, tangan itu mungkin akan lancang diayunkan ke wajahku."Mawar, apa kamu mau aku berhenti memberikan uang jajan padamu?"Aku benar-benar seperti melihat sisi lain suamiku. Di balik sikapnya yang selalu ramah, lembut, dan penyayang, ternyata Mas Aji bisa menjadi sesangar ini. Dan semuanya demi ... aku."Aku minta maaf Mbak Retno.""Uhuk! Uhuk!" Aku sampai tersedak ludahku sendiri melihat Mawar mengulurkan tangannya padaku. Dia benar-benar menuruti perintah Mas Aji.Tentu saja Mawar takut suamiku tidak memberikan uang padanya. Secara, selama ini dia selalu meminta ini dan itu pada Mas Aji. Dan, nyaris selalu dituruti.Aku menyambut tangan adik iparku sambil mengingatkan, "Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan burukmu itu. Selain merugikan aku secara pribadi, tindakanmu itu juga mencoreng nama keluarga kita."Hening.Mungkin di balik bungkamnya Mawar dan Mama saat ini, mereka tengah menghujatku dalam hati. Terserah! Aku tidak peduli. Yang jelas, mereka harus diberi pelajaran berharga agar tidak seenaknya sendiri."Mawar, dengar apa yang dikatakan kakak iparmu?""Aku mengerti.""Bagus. Sekarang c
Mama berbalik dan menuruni tangga. Dia menghampiri Mas Aji masih dengan wajah merah padam. Dia pasti tidak terima atas ancaman suamiku. Terlihat sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan penuh dengan kebencian."Jadi ... kamu tega meninggalkan Mama dan Mawar demi janda ini?" Mama menunjuk diriku. Aku tahu, mertuaku tidak akan pernah merasa kalau semua kekacauan ini terjadi karena apa yang dia lakukan. Sebaliknya, dia pasti berpikir akulah biang masalahnya."Dia bukan janda, Ma. Aku suami sah Retno.""Terserah apa katamu. Bagi Mama dia tetap sama, wanita tidak tahu diri yang telah mengubahmu menjadi seperti ini! Kamu berani melawan bahkan berbicara dengan nada tinggi pada Mama karena wanita s*alan ini."Mas Aji tersenyum kecut. "Aku sangat menyesal. Dua tahun sudah aku meminta istriku bertahan di rumah ini, rumah di mana dia sama sekali tidak dihargai sebagai seorang menantu, sebagai kakak ipar, dan sebagai manusia."Kini Mas Aji menatap ibunya dengan mata menahan air. Jika seseora
Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat."Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku. Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya."Mas ...."Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu."Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu
Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari. "Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas.""Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum."Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti j
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai bersih-bersih rumah dan masak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut hari baru hingga saat subuh belum datang, kedua mataku sudah tidak bisa terpejam.Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika menata hidangan di atas meja makan. Terlebih saat membayangkan reaksi yang diberikan mertua dan iparku saat melihat makanan yang telah kupersiapkan dengan apik.Aku tahu, ini akan menjadi kejutan yang sangat menyenangkan. Maka, sebagai rasa sayangku pada Mama dan Mawar, sengaja pagi ini melengkapi semua dengan seduhan teh hijau. Sementara untuk Mas Aji, seperti biasa, secangkir kopi pahit telah siap untuknya. Pernah sekali aku bertanya pada suamiku perihal apa yang membuatnya lebih suka kopi pahit. Dan jawaban yang diberikan sangatlah klise, tapi tetap membuatku senang. Kata Mas Aji, itu karena rasa manisnya sudah cukup dengan melihat wajahku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu semua orang turun untuk sarapan bersama. Beberapa saat b
Ruangan menjadi hening atas sisa-sisa gema dari teriakan Mama. Apakah Mama akan membuka topengnya secepat ini? Apa Mama akan kembali menunjukkan sisi buruk yang mendominasi keseluruhan dari tabiatnya selama ini?"Maksud Mama, Aji ... Retno pasti lelah menyiapkan ini semua. Dia sudah bekerja keras sejak tadi. Jadi, kamu beli makan saja seperti biasanya ya. Jangan menyusahkan istrimu. Lagipula, tidak baik juga kalau nanti kamu berbicara dengan klien. Mereka akan ... terganggu dengan bau mulut akibat masakan menji-, em ... makanan lezat tapi beraroma sedikit menyengat ini."Aku tidak mengira kalau efek peperangan kecil tadi malam begitu besar, hingga Mama merasa sungkan untuk berbicara kasar padaku. Tidak mau mengendorkan serangan, aku pun membalas, "Tidak apa-apa, Ma, aku tidak capek. Aku akan mengambil rantang untuk bekal makan siang Mas Aji. Kalau untuk napas tidak sedap, aku sudah menyiapkan ini! Permen pengusir bau mulut. Jika masih belum cukup, aku akan membawakan sikat dan pasta
"Sumpah ya Ma, nyebelin banget wanita soal*n itu. Masa kita disuruh makan petai, jengkol, ih ...! Ikan teri, ikan asin, sama apa tadi sayur kolor?""Kelor.""Ya itu, namanya aja aneh apalagi rasanya coba? Semua itu 'kan makanan orang miskin Mama! Enggak banget pokoknya kalau lidahku harus turun kasta! Nyium baunya saja aku pengen muntah, nggak kebayang deh kalau sampe harus makan! Langsung pingsan mungkin aku!" Mawar menutup mulutnya seperti orang yang mau muntah.Tidak mau kalah sang ibu pun meluapkan amarahnya."Iya, kurang ajar emang itu si janda burik! Bisa-bisanya ngerjain kita sampai seperti ini! Pagi-pagi perut lapar, bukannya masak yang bener, malah menyajikan makanan kampungan begitu. Apa dia nggak mikir, pantes nggak menyajikan makanan seperti itu? Jelas-jelas sama sekali nggak layak. Dia nggak tahu apa kalau meja tempat naruh makanan itu harganya sangat mahal? Dia benar-benar menghancurkam nilai kemewahan meja makan kita, rumah kita, harga diri kita!""Belum lagi itu Ma, ju
Sekitar pukul 13.00 Mama dan Mawar pulang. Jika biasanya saat mereka pulang dengan segala cacian yang diberikan padaku; rumah baulah, kotorlah, apalah, kali ini mereka pulang membawa senyum. Bahkan, Mama membelikan roti bakar untukku."Mawar sakit apa, Ma? Lalu, apa ... ini semua obat Mawar?" tanyaku pura-pura tidak tahu kalau iparku itu tidak sakit. Dan untuk tas-tas kertas yang mereka bawa, tentu saja itu bukan obat melainkan belanjaan mereka. Entah berapa banyak uang yang sudah mereka habiskan sepanjang pagi sampai siang ini saja."Aduh!" Mawar langsung melenguh sambil memegangi perutnya."Em, paperbag ini hadiah untuk Tante Mita."Hadiah? Tante Mita ulang tahun? Memang harus sebanyak itu? Alasan!"Dan ... untuk Mawar, kata dokter, adikmu tidak boleh makan makanan yang berbau menyengat. Perutnya menjadi sakit karena mencium bau petai dan jengkol, Nak."Apa? Sungguh aku ingin sekali tertawa mendengar dalih Mama. Jadi yang bermasalah itu perut atau hidung Mawar? Jelas-jelas Mawar bel