Share

Tujuh Tahun Yang Suram
Tujuh Tahun Yang Suram
Penulis: Leend Syahidah

Bab. 1

“Aku melihatnya mas, dia memelukmu di ruang kerjamu dan kamu nggak nolak, beberapa kali kulihat kalian bertukar pesan dengan panggilan sayang namun masih berusaha kuacuhkan. Tapi kemarin aku melihat dengan mata kepalaku sendiri mas.” Seketika pecah tangisku menyibak semua kelakuan suamiku selama ini.

Bertahun sudah kabar itu kudengar, namun hatiku berusaha menolak sebelum mata kepalaku sendiri yang melihat.

Dan lagi pula kehamilanku yang selalu disertai keguguran membuatku lebih banyak menghabisakan waktuku di kamar.

Mengistirahatkan ragaku dan....menangisi takdirku.

“Ra...nggak seperti itu,” mas Sakha berusaha menyentuh lenganku namun kutepis. Selama tujuh tahun ini, baru kali ini aku menepis dirinya.

“Aku berusaha menepis rasa kecewaku saat keguguran berulang – ulang namun kamu pergi meninggalkanku mas. tak sekalipun mas menghiburku apalagi menemaniku, yang kutahu suamiku meluapkan kesedihannya dengan bekerja dan berhari – hari tak pulang.”

Mungkin tangis piluku laksana belati yang menancap di hati mas Sakha, hari ini hari dimana aku menyaksikan sendiri perselingkuhan suamiku di depan mataku.

“Bila mas merasa aku tak sedih, mas sudah salah. Akulah yang paling terluka atas kehilangan bayi kita, aku yang mengandung, mereka hidup di rahimku dua sampai tiga bulan lalu kehilangan mereka setiap kali kamu tak pulang berminggu – minggu.”

Kembali emosi kesedihan membuncah di dadaku disertai deraian air mata dari mata bening beriris coklat milikku.

Sakha Abimanyu lelaki yang bergelar suami, lelaki yang telah menorehkan cinta dan luka di hatiku. Pria yang menemuiku di panti asuhan tenpatku dibesarkan delapan tahun lalu sebelum melamarku menjadi istrinya.

Sikap santun dan bahasa yang ramah dariku yang memikat hati Sakha kala itu, begitu katanya.

Hati yang baru saja porak – poranda atas putusnya hubungan singkat dengan wanita incarannya sejak kuliah namun tak mendapat restu dari orang tua sang wanita karna kemapanan ekonomi yang belum diraih mas Sakha saat itu. Kulihat Sakha menyugar rambutnya dengan kasar.

Aku berjalan kearah kamar mandi, meninggalkan mas Sakha sendiri lalu selanjutnya hanya suara muntahku yang terdengar. Kupikir ini akibat asam lambungku yang naik akibat stres dan banyak menangis memikirkan kondisi pernikahanku.

__

Ristia, wanita masa lalu Sakha yang kembali hadir memberikan debaran yang masih sama seperti dulu.

Brengsek memang, tapi itulah yang dirasakan Sakha saat mereka bertemu kembali lima tahun lalu di rapat tahunan kantor mereka.

Kantor tempat Sakha dan Ristia bekerja akan berkolaborasi membangun mega proyek telekomunikasi untuk beberapa desa tertinggal.

Beberapa kali mereka ikut rombangan kerja untuk survey di desa menjadikan mereka semakin dekat.

Jalinan kasih di masa lalu yang sempat berserak di tengah jalan, perlahan terjalin kembali.

Sampai tiba suatu malam, di rumah warga yang mereka sewa meninggalkan Sakha dan Ristia berdua, sebab yang lain menempati rumah yang lebih dekat dengan lokasi proyek. Sementara Sakha dan Ristia harus ke kota esok pagi untuk mengurus administrasi dan keuangan para pekerja.

Entah mengapa malam itu tubuh Sakha terasa panas dan butuh sentuhan.

Walaupun begitu Sakha tetap menahan diri, namun dia merasa beberapa kali Ristia terlihat berusaha menerjang pertahanannya.

Mulai dari menyiapkan makan minumnya semalam sampai berusaha menyentuh bagian tubuh Sakha.

“kenapa tidur disini?” setengah sadar Sakha menahan Ristia saat wanita itu menerobos masuk ke dalam kamar ukuran 4 x 5 meter tempat Sakha tidur.

“Dingin mas, Cuma kita berdua.”

Setelah itu yang Sakha ingat dia langsung tertidur.

Namun keesokan paginya Sakha terbangun karna mendengar suara tangisan Ristia di sebelahnya dan yang lebih membuat Sakha kaget mereka berdua terbangun tanpa busana.

🍃

“Sudah kamu pikirin baik – baik Ra?,” Nafia sahabat Andira mencoba memastikan keputusan kawannya ini.

Semalam Andira menelfon ingin bertemu Nafia, ingin curhat katanya.

Biasanya mereka akan bertemu di mall sekalian cuci mata.

Namun karna Nafia sedang hamil tujuh bulan, diputuskanlah mereka bertemu di rumah Nafia saja. Lagian mungkin Nafia lelah juga. Dua hari yang lalu mereka mengadakan do’a tujuh bulanan di rumah besar mama mertua Nafia. Mama Syamira.

Kadang Andira berfikir, betapa beruntungnya Nafia mendapat suami setia dan mama mertua yang baik. Cantik pula mertua Nafia ini.

Beberapa kali Andira berjumpa dengan mama mertua Nafia, saat dirinya berkunjung dan kebetulan mama mertua Nafia datang membawakannya makanan atau buah – buahan. Kadang mama mertuanya datang sendiri masih dengan seragam dinasnya, kadang datang berdua bersama papa mertuanya. Mereka berdua terlihat sama baiknya dan berwibawa, jelas terlihat cinta yang mendalam di antara mereka.

“Apa yang harus kupertahankan lagi Fia, mas Sakha terlihat mencintai wanita itu. Jangan – jangan akulah sebenarnya yang menjadi penghalang mereka bersatu.” Sesak Andira mengucapkan itu.

“Cobalah dengarkan dulu penjelasan suamimu Ra, mungkin ada yang ingin dijelaskan.” Kembali Nafia berusaha menenangkan sahabatnya itu.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, harus selama apalagi sabar dipertahankan.

Andira telah sampai batasnya. Menangis di sendiri dibawah selimut atau menangis di atas sajadah setelah sujud panjangnya di sepertiga malam.

Hanya satu tahun rumah tangga mereka terasa hangat. Selanjutnya nyaris kesuraman yang mewarnai.

Bukankah semua ada batas dan masanya. Bahkan waktu sholat pun ada batas waktunya.

Dan Andira merasa dia pun telah sampai pada batas sabarnya.

__

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status