Share

Bab. 4

Andira mengambil plastik martabak manis 88 kesukaannya di lantai depan kamar mereka, sepanik itu Sakha tadi hingga tak sadar meletakkan makanan kesukaan mereka berdua di lantai.

Biasanya Andira akan membuatkan teh hangat dan menyajikan dengan martabak manis yang dibeli Sakha sepulang kerja. mereka berdua akan  duduk sore dan bercerita sambil menikmati teh buatan Andira dan martabak manis kesukaan mereka berdua.

Andira tersenyum miris mengingat kenangan itu.

Hanya setahun mereka menikmati kebersamaan itu di sore hari, tahun selanjutnya dan selanjutnya Sakha paling cepat pulang di jam sepuluh malam bahkan terkadang tak pulang berhari – hari.

Tak ingin berlarut dengan persaan kecewanya, Andira memilih mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas, tadi dirinya sudah merajang bahan untuk dibuat sop lalu di masukkan kembali ke dalam kulkas.

Hatinya yang tak tenang membuatnya meninggalkan acara memasak itu dan menggantinya dengan mengepak baju – bajunya yang tak banyak dari dalam lemari kayu besar berwarna putih yang ada di kamar mereka.

Mengepak baju pun belum selesai, suami tercintanya sudah datang. Orang yang membuat dirinya mengepak baju tak selesai dan kembali melanjutkan masak yang tak selesai tadi.

Ternyata dirinya begitu sibuk tujuh tahun ini hanya karna mengurus seorang pria, pria yang dicintainya namun tega menancapkan belati di hatinya.

Setetes air mata jatuh mengenai pisau yang hampir mengiris jarinya kala bayangan kesakitan itu terlintas seolah menari di benak Andira.

Sakha yang baru selesai mandi dan berdiri tak jauh dari dapur melihat bagaimana air mata istrinya jatuh saat menyiapkan makanan untuk dirinya.

Hati Sakha terguris pilu, kali ini nyaris berdarah.

Saat Andira menghapus air matanya yang jatuh, Sakha tiba – tiba datang  memeluknya dengan erat. Sesaat mereka bersitatap, terlihat kesedihan yang mendalam di mata Andira, dan penyesalan yang besar di mata Sakha.

“maafin mas” Sakha melingkarkan tangan di tubuh mungil Andira.

“kamu duduk dulu mas, aku belum selesai.” Andira menggeliat melepaskan diri tanpa berniat menggubris ucapan Sakha.

Sakha manut dan duduk di kursi makan, memperhatikan Andira yang cekatan menyiapkan makanan untuknya.

___

Semangkuk sop, nasi putih, ayam goreng, tempe mendoan dan sambal tumis tersaji di depan Sakha.

Andira mengambil piring, mengisi nasi dan menyiapkan air putih lalu menggeser ke hadapan suaminya. Untuk lauk dan sayur Sakha yang mengisi sendiri.

“makanlah mas, hanya ini yang bisa kusediakan untuk kamu.”

Hanya ini. Sakha tahu ada maksud lain dari kalimat Andira.

“ayo temani mas makan.”

“belajarlah makan sendiri atau tak makan lagi denganku mas, seperti aku yang sering makan sendiri setelah masak banyak dan menunggu suamiku untuk makan bersama,” Andira berlalu dan naik ke kamar mereka meninggalkan Sakha yang tercekat mendengarkan  kata-kata yang dikeluarkan barusan untuk suaminya itu.

“ck...” berdecak jengkel Andira melihat isi koper yang tadi tak sempat selesai sudah tertata kembali di dalam lemari.

“Kenapa dikembalikan lagi sih,”Andira menggerutu dalam gumaman.

Lalu diputuskannya untuk mandi, membersihkan raganya dan mungkin sambil menangis dibawah guyuran air shower kamar mandi yang terbilang mewah itu.

---

Sakha menelan salivanya saat masuk kamar dan melihat Andira baru selesai Mandi, hanya menggunakan handuk sebatas paha sedang mengambil pakaian ganti.

“Ra, mas kangen...” Sakha mendekat, tentu sebagai pria normal dengan masalah yang menimpanya terkadang menimbulkan hasrat untuk menyelesaikannya dengan melampiaskan birahi yang tiba – tiba menuntut.

Andira menatap suaminya lekat, tujuh tahun bersama Andira tahu betul apa yang diinginkan suaminya saat ini.

Sakha mendekat dan mulai mengecup wajah teduh itu.

Andira tak menolak bahkan membalas dengan kecupan ringan lumatan yang diberikan Sakha pada bibir mungilnya.

Lalu dering ponsel di atas nakas dekat mereka bermesraan sekarang, mengalihkan perhatian Sakha dan Andira.

“dijawab dulu telfonnya mas,” Tenang Andira mengucapkan itu, namun menahan duri yang seakan mengoyak hatinya, tertera nama dan nomor perempuan simpanan suaminya itu.

“Sial*an.” Saka menggeram mengumpat, ingin rasanya dia buat perhitungan dengan perempuan laknat itu.

Moment yang harusnya mungkin bisa sedikit memulihkan hubungannya dengan Andira, semakin terlindas dengan telepon dari perempuan simpanannya itu.

Tuhan menunjukkan jalan mana yang harus ku ambil.’ Benak Andira.

Didengarnya suara suaminya mengamuk dan memaki perempuan itu.

Ah kenapa sekarang mengamuk? Bukankah enam tahun ini mereka saling menghangatkan.

Air mata Andira luruh. Segera dipakainya daster panjang bunga – bunga hitam yang tadi akan dipakai sebelum suaminya mengajaknya ‘berbaikan’.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Heldina Togatorop Dina
ok baru baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status