Share

Tujuh Dewi Dan Pusaka Iblis Pemikat
Tujuh Dewi Dan Pusaka Iblis Pemikat
Author: Panda-merah

Bab 1: Secarik Kertas

Sakti terkejut saat menyadari bahwa ia hampir saja tertidur, tergugah merasakan tubuhnya terhempas ke sandaran kursi secara tiba-tiba, rasa kantuknya itu sungguh tak tertahankan.

Terlihat jam dinding menunjukan pukul tiga sore, sudah hampir sejam Sakti menunggu ayahnya keluar dari kamar. Mengetuk pintu tidak akan mengusik ayahnya karena beliau tuli serta bisu akibat dari suatu penyakit yang sulit didiagnosa.

Hampir lima tahun sudah, Sakti merawat ayahnya yang penyakitan dengan sepenuh hati. Keadaan tersebut sungguh membuatnya terguncang, entah apa penyebab penyakit aneh tersebut, yang jelas semua itu tidak menghalanginya untuk berbakti pada ayahnya.

Sakti merogoh saku celananya, dari dalam saku itu ia meraih banyak sobekan kertas berisi tulisan tangan ayahnya. Sobekan kertas tersebut berisi tulisan atas ucapan ayahnya sendiri.

Begitulah cara mereka berdua berkomunikasi semenjak ayahnya kehilangan kemampuan bicara, dan beberapa lama kemudian pendengarannya pun ikut hilang. Sang ayah akan menuliskan semua hal yang hendak dikatakan di secarik kertas, dan Sakti akan melakukan hal yang sama untuk menjawab tulisan itu jika diperlukan.

Banyak hal dilakukan untuk mengurangi kesulitan ayahnya, dari mulai berobat ke dokter, membeli alat-alat bantu pendengaran, dan lain sebagainya, tapi pendengaran sang ayah tetap tidak berfungsi dengan normal.

Sampai akhirnya, ayahnya hanya mau diobati oleh seorang dukun tua langganan kakek semasa hidup. Tapi tak ada perkembangan apa pun mengenai kesembuhan ayahnya itu.

Suara gemersik kertas terdengar, Sakti sedang memilah-milah kertas itu dengan seksama, kemudian meremas-remasnya sampai membentuk bola kertas lalu melemparnya ke tempat sampah.

''Ini kan yang kemarin semua." Gumam Sakti pada dirinya sendiri. Kumpulan kertas itu berisi tulisan tempo hari tentang apa pun yang hendak disampaikan sang ayah. Karena sudah tidak diperlukan, maka ia membuangnya.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar terbuka. Dari dalamnya keluarlah seorang pria berumur sekitar lima puluhan sedang memegang beberapa sobekan kertas di tangannya.

Ia adalah Pak Guruh, orang tua Sakti yang menderita penyakit aneh. Namun penyakitnya itu tidak serta merta memakan habis tubuhnya, kondisi fisik Pak Guruh masih cukup prima bila dibandingkan dengan orang-orang seusianya.

Badannya masih segar dan terlihat tegap, urat-urat menonjol dari balik tangannya, postur tubuh yang kokoh membuat siapa pun yang melihat tidak akan menduga bahwa lelaki ini penyakitan. Walaupun seluruh rambutnya sudah memutih dan keriputnya mulai terlihat, daya tariknya masih ada.

Pak Guruh berjalan perlahan untuk mendekati anaknya, ia kemudian duduk di sebelah Sakti seraya memberikan sobekan kertas itu.

Sakti meraih setiap helai kertas tersebut lalu meletakkannya di meja tanpa melihatnya. Ayahnya hanya menepuk-nepuk pundak Sakti sambil memandang dengan tatapan nanar yang menyedihkan.

Wajah Pak Guruh terlihat lelah, sekeliling matanya berwarna hitam samar pertanda kurangnya kualitas tidur. Kemudian Pak Guruh kembali menuju kamarnya, meninggalkan Sakti sendirian di ruang tamu.

Sakti melihat setiap kertas yang diberikan ayahnya itu, kata demi kata yang tertulis dibacanya dengan seksama. Secarik kertas menarik perhatiannya.

"Semangat buat hari ini!" Tulisan ayahnya itu adalah salah satu dari beberapa hal yang membuatnya bersemangat menjalani hari.

Suara ketukan pintu membuyarkan perhatian Sakti, kertas-kertas yang sedang dibacanya ia letakkan kembali di meja lalu buru-buru beranjak untuk membuka pintu.

Setelah pintu dibuka, terlihatlah seorang lelaki renta berpakaian serba hitam, termasuk belangkon yang dikenakannya. Wajahnya yang ramah kemudian tersenyum.

"Sore, Cah Bagus. Bapak udah siap?" Tanya lelaki renta itu. Dia adalah Abah Karsa, dukun langganan kakek semasa hidup. Ia masih rutin datang ke rumah untuk mengobati penyakit Pak Guruh.

"Ee ... Abah ada janji ya hari ini?" Dengan nada canggung, Sakti menjawab pertanyaan Abah Karsa, Ia merasa tidak enak hati.

Nada keraguan terdengar hingga membuat Abah Karsa bertanya kembali, "Emang Bapak enggak ngasih tahu, Cah?"

Sakti memang belum tahu Pak guruh punya agenda apa saja hari ini, karena kertas-kertas yang berisi pesan ayahnya itu belum selesai dibaca sepenuhnya.

"Abah masuk dulu aja, Bah." Sakti membuka pintunya semakin lebar, mempersilakan Abah Karsa masuk ke dalam rumahnya.

Abah Karsa segera masuk ke dalam rumah, "Permisi ya, Cah Bagus."

Sakti hanya tersenyum canggung, kedatangan Abah Karsa selalu membuatnya merasa kurang nyaman. Tetapi, demi kesembuhan ayahnya, ia rela seisi rumah dipenuhi semerbak aroma dupa karena ritual penyembuhan yang dilakukan dukun itu.

"Abah mau dibuatkan kopi?" Tanya Sakti.

Abah Karsa yang sudah siap masuk ke dalam kamar Pak Guruh, menghentikan langkahnya untuk menjawab pertanyaan Sakti, "Seperti biasa saja Cah Bagus, cukup buatkan teh tawar panas untuk bapakmu."

Sakti hanya mengangguk seraya melihat Abah Karsa membuka pintu kemudian masuk ke dalam kamar ayahnya, ekspresi datar sang dukun memaksanya untuk tetap diam. Terdengar suara Pak Guruh kegirangan tak jelas karena kemampuan bicaranya yang hilang itu, ekspresinya tidak mampu terucap sempurna. Sayup-sayup Abah Karsa bergumam untuk menenangkan Pak Guruh.

Tak sanggup mendengar semua hal itu, Sakti berjalan menuju dapur untuk membuat teh pesanan Abah Karsa. Sembari membaca sobekan kertas ayahnya yang belum selesai ia baca. Ia memang menemukan agenda kedatangan Abah Karsa di lembaran kertas yang paling akhir.

Sementara itu, di dalam kamar Pak Guruh ...

"Sudah hampir lima tahun, Ruh. Kamu harus bilang ke anakmu tentang semuanya," ujar Abah Karsa pada Pak Guruh. Tentu saja Pak Guruh tidak akan bisa menjawab segera, ia segera menuliskan sesuatu di secarik kertas sebagai jawabannya.

"Makasih sudah mau datang."

Abah Karsa segera menuliskan lagi kata-kata yang baru saja ia ucapkan sambil mengernyitkan dahi: "Kamu harus kasih tahu anakmu tentang semuanya. Ini sudah hampir lima tahun."

Pak Guruh kembali menulis: "Apa yang harus saya lakukan?"

Abah Karsa tidak menghiraukan pertanyaan itu, ia fokus dengan ritualnya sambil sesekali menatap wajah Pak Guruh, menunggu reaksi tertentu.

Sambil mempersiapkan dupa dan alat perdukunan lainnya, Abah Karsa mulai komat-kamit sembari menggerakan kedua tangannya. Ia memejamkan mata, berkonsentrasi, menunggu dupa terbakar dengan sempurna.

Asap dupa mulai terlihat memenuhi ruangan, setelah selesai komat-kamit, hembusan angin menerpa, menghilangkan asap yang telah mengepul.

Ritual dimulai dan terus berlanjut. Pak Guruh mengerang tak jelas di sela-sela ritual penyembuhan itu. Asap dupa bergerak memasuki tiap lubang di wajahnya.

Setelah asap dupa berhasil masuk melalui lubang telinga, hidung, dan mulut. Pak Guruh kemudian tumbang sambil menggelepar tak karuan. Kedua tangannya menutup telinganya dengan erat.

Abah Karsa berusaha untuk melepas tangan Pak Guruh yang melindungi telinganya, saat tangan berhasil dilepaskan, keluarlah seekor kelabang dari dalam telinga itu.

Kelabang tersebut bergerak di sekitar wajah Pak Guruh, sebelum akhirnya berhasil ditangkap Abah Karsa dan memasukannya ke sebuah toples bening.

Pak Guruh akhirnya berhasil duduk tegap seperti sedia kala setelah kejadian misterius itu, tak lama kemudian ia merasakan tenggorokannya hendak memuntahkan sesuatu.

Toples lain segera disodorkan oleh Abah Karsa. Muntahan Pak Guruh ditadahkan ke toples tersebut, bersamaan dengan cairan putih yang keluar pula dari hidungnya.

Proses penyembuhan itu benar-benar membuat Pak Guruh menderita. Entah apa yang melatarbelakangi hal tersebut bisa terjadi. Tetapi sudah jelas bahwa Pak Guruh tak sanggup lagi menjalaninya. Ia hendak memberitahu setiap detail rahasia kepada anaknya, Sakti. Karena hal tersebut adalah harapan terakhirnya.

Lewat sebuah buku harian yang selama ini ia tulis sebagai bentuk pengakuannya yang kotor itu, Pak Guruh memberikan mandat pada Abah Karsa agar mau menyerahkannya kepada Sakti.

Abah Karsa yang sudah melihat keteguhan Pak Guruh selama lima tahun belakangan ini, akhirnya merasakan lega. Karena Pak Guruh sudah mau menuruti keinginannya untuk melakukan ikhtiar lain demi kesembuhan penyakit anehnya sebelum penderitaan semakin bertambah.

Sambil meraih buku harian milik Pak Guruh, Abah Karsa melangkah perlahan kemudian pergi meninggalkan kamar. Kini tersisa kecemasan Pak Guruh yang menanti reaksi anaknya saat mengetahui isi buku harian tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status