Sakti terkejut saat menyadari bahwa ia hampir saja tertidur, tergugah merasakan tubuhnya terhempas ke sandaran kursi secara tiba-tiba, rasa kantuknya itu sungguh tak tertahankan.
Terlihat jam dinding menunjukan pukul tiga sore, sudah hampir sejam Sakti menunggu ayahnya keluar dari kamar. Mengetuk pintu tidak akan mengusik ayahnya karena beliau tuli serta bisu akibat dari suatu penyakit yang sulit didiagnosa.Hampir lima tahun sudah, Sakti merawat ayahnya yang penyakitan dengan sepenuh hati. Keadaan tersebut sungguh membuatnya terguncang, entah apa penyebab penyakit aneh tersebut, yang jelas semua itu tidak menghalanginya untuk berbakti pada ayahnya.Sakti merogoh saku celananya, dari dalam saku itu ia meraih banyak sobekan kertas berisi tulisan tangan ayahnya. Sobekan kertas tersebut berisi tulisan atas ucapan ayahnya sendiri.Begitulah cara mereka berdua berkomunikasi semenjak ayahnya kehilangan kemampuan bicara, dan beberapa lama kemudian pendengarannya pun ikut hilang. Sang ayah akan menuliskan semua hal yang hendak dikatakan di secarik kertas, dan Sakti akan melakukan hal yang sama untuk menjawab tulisan itu jika diperlukan.Banyak hal dilakukan untuk mengurangi kesulitan ayahnya, dari mulai berobat ke dokter, membeli alat-alat bantu pendengaran, dan lain sebagainya, tapi pendengaran sang ayah tetap tidak berfungsi dengan normal.Sampai akhirnya, ayahnya hanya mau diobati oleh seorang dukun tua langganan kakek semasa hidup. Tapi tak ada perkembangan apa pun mengenai kesembuhan ayahnya itu.Suara gemersik kertas terdengar, Sakti sedang memilah-milah kertas itu dengan seksama, kemudian meremas-remasnya sampai membentuk bola kertas lalu melemparnya ke tempat sampah.''Ini kan yang kemarin semua." Gumam Sakti pada dirinya sendiri. Kumpulan kertas itu berisi tulisan tempo hari tentang apa pun yang hendak disampaikan sang ayah. Karena sudah tidak diperlukan, maka ia membuangnya.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar terbuka. Dari dalamnya keluarlah seorang pria berumur sekitar lima puluhan sedang memegang beberapa sobekan kertas di tangannya.Ia adalah Pak Guruh, orang tua Sakti yang menderita penyakit aneh. Namun penyakitnya itu tidak serta merta memakan habis tubuhnya, kondisi fisik Pak Guruh masih cukup prima bila dibandingkan dengan orang-orang seusianya.Badannya masih segar dan terlihat tegap, urat-urat menonjol dari balik tangannya, postur tubuh yang kokoh membuat siapa pun yang melihat tidak akan menduga bahwa lelaki ini penyakitan. Walaupun seluruh rambutnya sudah memutih dan keriputnya mulai terlihat, daya tariknya masih ada.Pak Guruh berjalan perlahan untuk mendekati anaknya, ia kemudian duduk di sebelah Sakti seraya memberikan sobekan kertas itu.Sakti meraih setiap helai kertas tersebut lalu meletakkannya di meja tanpa melihatnya. Ayahnya hanya menepuk-nepuk pundak Sakti sambil memandang dengan tatapan nanar yang menyedihkan.Wajah Pak Guruh terlihat lelah, sekeliling matanya berwarna hitam samar pertanda kurangnya kualitas tidur. Kemudian Pak Guruh kembali menuju kamarnya, meninggalkan Sakti sendirian di ruang tamu.Sakti melihat setiap kertas yang diberikan ayahnya itu, kata demi kata yang tertulis dibacanya dengan seksama. Secarik kertas menarik perhatiannya."Semangat buat hari ini!" Tulisan ayahnya itu adalah salah satu dari beberapa hal yang membuatnya bersemangat menjalani hari.Suara ketukan pintu membuyarkan perhatian Sakti, kertas-kertas yang sedang dibacanya ia letakkan kembali di meja lalu buru-buru beranjak untuk membuka pintu.Setelah pintu dibuka, terlihatlah seorang lelaki renta berpakaian serba hitam, termasuk belangkon yang dikenakannya. Wajahnya yang ramah kemudian tersenyum."Sore, Cah Bagus. Bapak udah siap?" Tanya lelaki renta itu. Dia adalah Abah Karsa, dukun langganan kakek semasa hidup. Ia masih rutin datang ke rumah untuk mengobati penyakit Pak Guruh."Ee ... Abah ada janji ya hari ini?" Dengan nada canggung, Sakti menjawab pertanyaan Abah Karsa, Ia merasa tidak enak hati.Nada keraguan terdengar hingga membuat Abah Karsa bertanya kembali, "Emang Bapak enggak ngasih tahu, Cah?"Sakti memang belum tahu Pak guruh punya agenda apa saja hari ini, karena kertas-kertas yang berisi pesan ayahnya itu belum selesai dibaca sepenuhnya."Abah masuk dulu aja, Bah." Sakti membuka pintunya semakin lebar, mempersilakan Abah Karsa masuk ke dalam rumahnya.Abah Karsa segera masuk ke dalam rumah, "Permisi ya, Cah Bagus."Sakti hanya tersenyum canggung, kedatangan Abah Karsa selalu membuatnya merasa kurang nyaman. Tetapi, demi kesembuhan ayahnya, ia rela seisi rumah dipenuhi semerbak aroma dupa karena ritual penyembuhan yang dilakukan dukun itu."Abah mau dibuatkan kopi?" Tanya Sakti.Abah Karsa yang sudah siap masuk ke dalam kamar Pak Guruh, menghentikan langkahnya untuk menjawab pertanyaan Sakti, "Seperti biasa saja Cah Bagus, cukup buatkan teh tawar panas untuk bapakmu."Sakti hanya mengangguk seraya melihat Abah Karsa membuka pintu kemudian masuk ke dalam kamar ayahnya, ekspresi datar sang dukun memaksanya untuk tetap diam. Terdengar suara Pak Guruh kegirangan tak jelas karena kemampuan bicaranya yang hilang itu, ekspresinya tidak mampu terucap sempurna. Sayup-sayup Abah Karsa bergumam untuk menenangkan Pak Guruh.Tak sanggup mendengar semua hal itu, Sakti berjalan menuju dapur untuk membuat teh pesanan Abah Karsa. Sembari membaca sobekan kertas ayahnya yang belum selesai ia baca. Ia memang menemukan agenda kedatangan Abah Karsa di lembaran kertas yang paling akhir.Sementara itu, di dalam kamar Pak Guruh ..."Sudah hampir lima tahun, Ruh. Kamu harus bilang ke anakmu tentang semuanya," ujar Abah Karsa pada Pak Guruh. Tentu saja Pak Guruh tidak akan bisa menjawab segera, ia segera menuliskan sesuatu di secarik kertas sebagai jawabannya."Makasih sudah mau datang."Abah Karsa segera menuliskan lagi kata-kata yang baru saja ia ucapkan sambil mengernyitkan dahi: "Kamu harus kasih tahu anakmu tentang semuanya. Ini sudah hampir lima tahun."Pak Guruh kembali menulis: "Apa yang harus saya lakukan?"Abah Karsa tidak menghiraukan pertanyaan itu, ia fokus dengan ritualnya sambil sesekali menatap wajah Pak Guruh, menunggu reaksi tertentu.Sambil mempersiapkan dupa dan alat perdukunan lainnya, Abah Karsa mulai komat-kamit sembari menggerakan kedua tangannya. Ia memejamkan mata, berkonsentrasi, menunggu dupa terbakar dengan sempurna.Asap dupa mulai terlihat memenuhi ruangan, setelah selesai komat-kamit, hembusan angin menerpa, menghilangkan asap yang telah mengepul.Ritual dimulai dan terus berlanjut. Pak Guruh mengerang tak jelas di sela-sela ritual penyembuhan itu. Asap dupa bergerak memasuki tiap lubang di wajahnya.Setelah asap dupa berhasil masuk melalui lubang telinga, hidung, dan mulut. Pak Guruh kemudian tumbang sambil menggelepar tak karuan. Kedua tangannya menutup telinganya dengan erat.Abah Karsa berusaha untuk melepas tangan Pak Guruh yang melindungi telinganya, saat tangan berhasil dilepaskan, keluarlah seekor kelabang dari dalam telinga itu.Kelabang tersebut bergerak di sekitar wajah Pak Guruh, sebelum akhirnya berhasil ditangkap Abah Karsa dan memasukannya ke sebuah toples bening.Pak Guruh akhirnya berhasil duduk tegap seperti sedia kala setelah kejadian misterius itu, tak lama kemudian ia merasakan tenggorokannya hendak memuntahkan sesuatu.Toples lain segera disodorkan oleh Abah Karsa. Muntahan Pak Guruh ditadahkan ke toples tersebut, bersamaan dengan cairan putih yang keluar pula dari hidungnya.Proses penyembuhan itu benar-benar membuat Pak Guruh menderita. Entah apa yang melatarbelakangi hal tersebut bisa terjadi. Tetapi sudah jelas bahwa Pak Guruh tak sanggup lagi menjalaninya. Ia hendak memberitahu setiap detail rahasia kepada anaknya, Sakti. Karena hal tersebut adalah harapan terakhirnya.Lewat sebuah buku harian yang selama ini ia tulis sebagai bentuk pengakuannya yang kotor itu, Pak Guruh memberikan mandat pada Abah Karsa agar mau menyerahkannya kepada Sakti.Abah Karsa yang sudah melihat keteguhan Pak Guruh selama lima tahun belakangan ini, akhirnya merasakan lega. Karena Pak Guruh sudah mau menuruti keinginannya untuk melakukan ikhtiar lain demi kesembuhan penyakit anehnya sebelum penderitaan semakin bertambah.Sambil meraih buku harian milik Pak Guruh, Abah Karsa melangkah perlahan kemudian pergi meninggalkan kamar. Kini tersisa kecemasan Pak Guruh yang menanti reaksi anaknya saat mengetahui isi buku harian tersebut.Sakti baru selesai merebus air untuk membuat teh pesanan Abah Karsa. Setelah selesai membuat teh itu, ia berjalan ke ruang tamu dan melihat Abah Karsa sudah selesai melakukan ritual rutinnya."Tumben cepet ya, Bah." Ujar Sakti seraya meletakkan cangkir ke permukaan meja, nada bicaranya penuh selidik.Abah Karsa mengangguk pelan, ia meraih cangkir teh tersebut untuk memeriksanya, "Makasih ya, Cah."Sakti langsung menanyakan perkembangan ritual penyembuhan ayahnya, "Perkembangan Bapak gimana, Bah?"Sambil bangkit dari tempat duduknya, Abah Karsa kembali menuju kamar Pak Guruh sambil membawa teh panas yang telah dibuat oleh Sakti."Bapakmu belum bisa sembuh, jujur saja." Ucap Abah Karsa singkat.Mendengar hal itu, Sakti hanya menghela napas pendek. Barusaha agar kejengahannya itu tidak terdengar. Saat melihat Abah Karsa kembali ke kamar ayahnya, Sakti langsung menduduki kursi di hadapannya, menunggu ritual penyembuhan sang ayah selesai.Abah Karsa tidak terlalu menggubris kekhawatiran Sa
Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pak Guruh terjaga sesaat dalam lelap tidurnya setelah ia merasakan sekelilingnya bergetar pelan, kelopak matanya terangkat seketika.Getaran itu mampu ia rasakan akibat suara azan yang menggema di mana-mana dari segala penjuru walaupun pendengarannya tidak berfungsi. Nampaknya Tuhan masih menyayanginya.Suasana hari menjelang petang mampu merasuk ke dalam relung jiwanya, sepi dan misterius, seolah hal itu memang sudah biasa terjadi, perasaan itu membuat hatinya campur aduk. Namun, kini ada hal aneh dan baru kali ini dirasakannya.Pengelihatannya gelap seolah tak ada cahaya apa pun yang bisa ditangkap matanya, jikalau memang mati lampu, harusnya ia masih bisa melihat cahaya dari luar kamar tidurnya. Tapi hal itu tidak terjadi, pandangannya benar-benar gelap.Lisannya berusaha memanggil-manggil sang anak, Sakti. Tapi tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan karena kemampuannya untuk bicara pun sudah hilang.Air mata perlahan menetes dari sudut mata Pak G
Pak Karsa sedang sibuk mencari-cari buku yang dibawa dari rumah Pak Guruh, ia bahkan kelupaan bahwa buku itu sebenarnya justru tertinggal."Ditaruh di mana ya, asem tenan!" Gerutunya tanpa henti.Sementara tangannya masih bergerak sibuk untuk memeriksa keberadaan buku tersebut, suara pintu terdengar diketuk dari luar."Abah, punten...!" Abah Karsa terkejut mendengar suara yang sudah ia kenal, yaitu Sakti."Ada apa gelap-gelap begini, Cah, apa bapak kumat?" Teriak Abah Karsa dari dalam rumah.Tak ada jawaban, namun suara ketukan pintu semakin keras.Abah Karsa merasakan kepanikan terdengar dari suara ketukan pintu itu, sepertinya memang terjadi sesuatu hingga membutuhkan dirinya saat ini. Ia segera cepat-cepat menuju ke arah pintu lalu membukanya.Terlihat wajah Sakti menghitam terkena bayangan cahaya lampu, Sakti menyodorkan sebuah buku yang selama ini sedang dicari Abah Karsa."Asem!" Jerit Abah Karsa dalam hati, ternyata buku itu sudah ada di tangan Sakti."Ini apa toh, Bah!?" Suara
Rasa penasaran Guruh terhadap para saudari istrinya semakin menjadi, ia merasakan dorongan itu semakin kuat dan sulit sekali ditahan-tahan lagi. Entah kenapa perasaan terhadap istrinya, Asih, malah kian hambar.Dimulailah akal-akalan Guruh demi mendekati salah satu saudari sang istri yang paling disukainya, yaitu Safiah. Dengan meletakkan sejumlah uang yang diikat lalu dimasukkan ke dalam tas milik Safiah, Guruh mengaku kalau ia kehilangan uang itu.Seisi rumah gempar dengan berita hilangnya uang yang dimaksud, apalagi jumlahnya tidaklah kecil. Guruh membujuk Asih untuk menggeledah setiap barang bawaan para saudarinya itu.Merasa tersinggung, Asih merasa perlu untuk membela para saudarinya. Ia hendak mengganti setiap lembar uang yang hilang itu."Beraninya! Biar kuganti uangmu!" Ucap Asih sambil menahan emosi.Walaupun Guruh merasa tak lagi cinta dengan istrinya, tapi kemarahan Asih membuatnya khawatir. Untungnya para saudari Asih mengerti situasi itu dan mengizinkan Guruh untuk mengg
Guruh menyaksikan kegilaan yang sedang terjadi di dapur, ayahnya sedang melakukan hal kotor terhadap Safiah. Sesaat tatapannya membeku.Terlihatlah aura sayap misterius yang berada di belakang Safiah, mulai tersedot ke arah Pak Bahja. Jelaslah Guruh paham dengan situasi yang terjadi.Guruh memalingkan wajahnya kepada sosok lain yang tersandar lemah di pojokan, Kemala, ia terlihat rapuh, pelan-pelan wajahnya berpaling ke arah di mana Guruh sedang terpaku menatapnya, matanya berkedip perlahan, sebagai ganti permintaan tolong yang tak bisa terucapkan.Reaksi wajah Pak Bahja yang kaget melihat Guruh memergokinya, justru tetap bergerak santai seolah tak terjadi apa pun. Tapi matanya menggambarkan kekhawatiran yang sangat. Menelisik respon anaknya dengan hati-hati.Ia pikir, untunglah hasratnya telah tersalurkan. Ia merelakan tubuh Safiah dan membiarkannya tergeletak begitu saja, walaupun sebenarnya hasrat terlarangnya masih ingin ia lampiaskan lagi, tapi kini ada urusan yang lebih mendesak
Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali. Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh. Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang. Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dil
Isak tangis Asih terdengar hilang perlahan-lahan, kepanikannya sudah sedikit mereda. Walaupun begitu, ia masih tetap berusaha mencerna kejadian itu dengan susah payah.“Aku akan membalas lelaki jahat itu, sampai akhir hayatnya tiba.” Suara Nafika bergetar penuh kemarahan.Asih melepaskan tubuh Nafika dari dekapannya, ia hanya bisa mengangguk pelan, tak bisa lagi mengelak atas kesalahan mertuanya. Bahkan kalau perlu, suaminya pun pantas dihukum juga. Dari sudut pandangnya, Guruh pun memiliki itikad yang sama buruk dengan Pak Bahja. Lewat Aura Dewi yang kembali kepada Asih, semuanya terlihat bak memori yang tak akan bisa dihapus.Nafika terbangun dari posisi duduknya, memulihkan diri dari setiap goresan lukanya yang tersisa, lalu ia menjulurkan tangannya ke arah gundukan-gundukan tanah yang ada di hadapannya.Seketika itu juga tanah merekah, terbuka lebar, jasad yang ada di dalamnya terbangun. Safiah dan Kemala terlihat bangkit dari dalam tanah
Sakti baru saja membaca beberapa bagian isi buku harian milik ayahnya, sesekali ia bertanya pada Abah Karsa tentang kejadian yang menurutnya di luar nalar tersebut.Terutama di bagian saat kakek yang ia kenal ternyata tidak seperti yang diduganya. Pertanyaan lainnya yang dilontarkan oleh Sakti adalah kenapa rahasia besar seperti ini tidak ada yang cerita.Walaupun Sakti tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tapi ia sangat prihatin dengan keadaan kakeknya yang juga menderita karena penyakit tertentu. Apalagi saat di mana istri-istri kakek mulai meninggalkannya dengan menggasak harta benda yang jumlahnya tak sedikit. Kecuali istri pertamanya yang senantiasa menemani.Sudah jatuh tertimpa tangga pula.Pada saat itu, Abah Karsa sering mendatangi kediaman kakeknya Sakti, yaitu Pak Bahja, untuk memberikan pengobatan tertentu. Sampai akhirnya Pak Bahja tidak tertolong lagi, ia meninggal saat Sakti berusia lima tahun. Dalam kondisi yang membuat siapa pun ber