Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pak Guruh terjaga sesaat dalam lelap tidurnya setelah ia merasakan sekelilingnya bergetar pelan, kelopak matanya terangkat seketika.
Getaran itu mampu ia rasakan akibat suara azan yang menggema di mana-mana dari segala penjuru walaupun pendengarannya tidak berfungsi. Nampaknya Tuhan masih menyayanginya.Suasana hari menjelang petang mampu merasuk ke dalam relung jiwanya, sepi dan misterius, seolah hal itu memang sudah biasa terjadi, perasaan itu membuat hatinya campur aduk. Namun, kini ada hal aneh dan baru kali ini dirasakannya.Pengelihatannya gelap seolah tak ada cahaya apa pun yang bisa ditangkap matanya, jikalau memang mati lampu, harusnya ia masih bisa melihat cahaya dari luar kamar tidurnya. Tapi hal itu tidak terjadi, pandangannya benar-benar gelap.Lisannya berusaha memanggil-manggil sang anak, Sakti. Tapi tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan karena kemampuannya untuk bicara pun sudah hilang.Air mata perlahan menetes dari sudut mata Pak Guruh, ia menangis, dengan panik berusaha meraba-raba sekelilingnya, ia tak mampu merasakan apa pun.Tangannya berkali-kali menyeka kelopak matanya, namun tak ada perubahan apa pun. Semuanya hitam.Dalam kegelapan itu Pak Guruh merasa sangat tersiksa, ketakutan yang dahsyat menjalar dalam tubuhnya dan mengacaukan pikirannya. Mulai terbayangkan masa-masa buruk yang akan terjadi di kemudian hari jikalau keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus. Kenangannya mulai berkelebat tak menentu di balik kelopak matanya itu.Perlahan, pengelihatan Pak Guruh pun sirna.Sementara itu, Sakti sedang dalam perjalanan pulang sehabis bercinta dengan Rosa. Ia pergi begitu saja setelah merasa jika hasratnya sudah terpenuhi, meninggalkan Rosa yang sedang tidur pulas di kamarnya sendirian dalam keadaan tak berbusana.Dalam perjalanan pulang itu, Sakti membeli beberapa makanan untuk makan malam. Waktunya tidak cukup jika harus meladeni setiap permintaan ayahnya. Ia hanya menuruti beberapa keinginan ayahnya yang paling pokok. Hari ini, waktunya habis untuk mengencani Rosa.Dalam benaknya, Sakti berpikir bahwa hari-harinya pasti akan sangat berwarna jika bisa melakukan 'hal itu' setiap hari. Membendung birahinya membuat pikiran Sakti terbelenggu, tapi ia tidak berminat untuk menikahi perempuan rusak seperti Rosa.Walaupun jauh dalam hatinya, ada kemungkinan Sakti memang mencintai Rosa, karena tiap kali ia habis bercinta dengannya, mood Sakti membaik dengan sangat drastis, sensasi ini tidak pernah ia rasakan dengan perempuan manapun.Terlebih lagi untuk hari ini, mood-nya benar-benar serasa didongkrak melebihi ekspektasinya, perasaan bahagia itu seperti memang datang akibat dirinya bercinta dengan Rosa, beban pikirannya mengenai sang ayah seketika mereda akibat belaian Rosa yang penuh gairah itu.Saat memikirkannya, Sakti sempat berpikir untuk kembali menuju kediaman Rosa. Hanya saja, jarak menuju rumahnya sudah lebih dekat daripada kediaman Rosa.Sakti segera mempercepat laju motornya, memantapkan hatinya untuk kembali ke rumah. Toh perempuan seperti Rosa pasti akan selalu ada waktu untuk meladeninya kapan pun saat ia mau.Akhirnya, Sakti sudah sampai di rumah.Saat memasuki kamar ayahnya, Sakti terkejut karena melihat ayahnya dalam posisi tidur yang tidak lazim, lebih lagi ayahnya itu seperti habis terjatuh dari ranjang tidurnya.Sakti segera menghampiri ayahnya itu, membopongnya dengan sigap, membaringkannya di atas ranjang dan menghamparkan selimut di atas tubuh sang ayah.Keadaan ayahnya itu membuat Sakti kebingungan, pandangannya tertuju pada mata Pak Guruh yang terbelalak melotot tapi seperti tidak menyadari kehadirannya."Pah!!" Sakti berteriak seraya mengayunkan tangannya di depan mata Pak Guruh, dan benar saja, tidak ada reaksi apa pun. Tatapannya kosong.Ayahnya bagaikan seonggok gedebong pisang, diam terpaku tanpa adanya reaksi.Hal itu membuat Sakti panik, ia mengguncang tubuh ayahnya itu sambil memanggil-manggil ayahnya, "Pah!! Papah!!"Perlahan namun pasti, isak tangis mulai terdengar, tapi itu adalah suara tangisan Sakti yang sedang putus asa. Terbersit niatnya untuk memanggil Abah Karsa yang sepertinya lebih tahu masalah ini.Saat hendak melangkah untuk pergi ke rumah Abah Karsa, kaki Sakti terantuk sesuatu. Sebuah buku tertendang pelan hingga menarik perhatiannya.Sakti mengambil buku itu dan mulai membuka-buka tiap halaman yang terkandung di dalamnya. Itu adalah tulisan ayahnya sendiri mengenai masa lalunya.Beberapa halaman awal ia baca dengan seksama, benaknya terbawa menuju imajinasi yang digambarkan oleh tulisan ayahnya tersebut. Seraya pikirannya melayang hanyut dalam kisah ayahnya yang terkandung dalam buku itu, Sakti memandang tubuh ayahnya yang terbaring di atas kasur dengan tatapan penuh rasa penasaran.Tak percaya jika ayahnya dulu sebobrok ini.Di rumah Rosa, seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan memasuki kamar Rosa dengan brutal. Ia menendang pintu kamar, membuat keributan, hingga menggugah Rosa yang sedang lelap tertidur."Dasar perempuan murahan!" Hardik perempuan brutal itu.Rosa langsung terkesiap, terbangun disertai rasa kaget. Ia beberapa kali mengusap muka untuk memberikan pengelihatan lebih jelas akan siapa yang datang mengganggu.Belum sempat Rosa mengumpulkan konsentrasinya, perempuan brutal itu melempar-lemparkan pakaian Rosa ke arah wajah sambil membentak."G*blok! Dibilangin masih gak ngerti juga, hah!" Hardikan perempuan brutal itu semakin menjadi.Rosa menanggapinya dengan santai, "Ah, kamu lagi, kamu lagi.""Harus gimana lagi sih biar ngerti kalo kamu gak boleh ng*we!! Yang terancam bukan cuma kamu entar!" Teriak perempuan brutal itu sambil terus saja melempar-lempar pakaian Rosa yang tercecer, setelah pakaian itu sudah habis ia lempar semua, kini sepatu hak tinggi miliknya yang dilemparkan.Sepatu itu berhasil mengenai muka Rosa, ia memekik kesakitan, "Aw!""Bilang aja kalo iri!" Lanjut Rosa lagi.Kemarahan perempuan brutal itu kembali tersulut, ia berjalan dengan buru-buru mendekat ke arah Rosa yang masih berada di atas kasurnya sambil berusaha sembunyi di balik selimut.Tanpa keraguan apa pun, perempuan galak itu mengangkat ranjang tidur Rosa dan membalikkannya dengan kasar. Seketika itu juga Rosa ikut jatuh ke samping dan tertimpa ranjang miliknya sendiri.Rosa memekik kesakitan, "Aduh!"Masih belum puas, perempuan itu melompat ke atas ranjang yang sudah dalam posisi terbalik, ia menginjak-nginjak kasur yang menimpa Rosa."Rasain, nih!!" Teriak perempuan itu dengan sekuat tenaga menginjak-nginjak kasur tersebut, berharap Rosa kapok.Terdengar suara Rosa mengerang, memohon ampun agar perempuan gila itu berhenti menyiksanya. Namun suara Rosa teredam oleh tebalnya busa kasur yang menekannya.Tak lama kemudian, Rosa mulai jengah dengan perilaku perempuan gila tersebut. Ia segera berusaha untuk bangkit memberikan perlawanan.Rosa berhasil menembus kasur busanya, tenaganya itu mampu merobek kasurnya hingga ia terbebas. Bahkan kayu dipan yang menghalangi kasur tersebut berhasil dipatahkan dengan mudahnya.Kemudian, Rosa segera menjambak rambut perempuan brutal yang menyiksanya itu, lalu membantingkan tubuh mereka berdua ke lantai. Busa kasur yang tersobek berhamburan ke segala arah.Mereka berdua sama-sama memekik histeris."Aduh!" Jerit perempuan brutal itu kesakitan, ia pun segera menjambak rambut Rosa dan mengguncang-guncangnya tanpa ampun, sambil menendang-nendangakan kakinya sembarangan seraya bergelimpangan di lantai.Tendangan itu beberapa kali mengenai perut Rosa, segera saja dibalas kembali dengan tendangan pula.Tapi perempuan itu lebih gesit, ia menggulingkan badannya sambil menghempaskan tubuh Rosa ke belakang, Rosa terbanting, kepalanya membentur tembok."Aw! ..." Rosa memekik kesakitan, sambil memegang kepalanya, ia kembali meledek perempuan gila itu. "... Bilang aja kamu iri karena gak bisa bebas nge*e, kan!""B*ngsat! Harusnya kamu bisa jaga kehormatan, kita ini dewi! Harusnya kita jadi jodoh keturunan para raja terdahulu!!" Teriak perempuan itu, kini sudah tak ada lagi nada kemarahan di setiap ucapannya."Cih! Kelamaan! Mending sama Sakti aja, enak punya dia lebih gede." Rosa kembali menyerocos tak menentu, membuat perempuan brutal itu kembali emosi.Dengan disertai kemarahan, perempuan itu berjalan ke arah Rosa, suara kakinya terdengar ganas siap menerkam Rosa yang sudah terpojok."Gara-gara kelakuan kamu, lihat tuh aura dewi punyamu berkurang!" Perempuan itu dengan cepat menampar pipi kanan Rosa sekuat tenaga."Gak peduli sama yang kayak gitu lagi! Aw!" Rosa berusaha bertahan terhadap tamparan yang mendarat di wajahnya.Tamparan lain segera menyusul, terdengar suara antara tangan perempuan itu dan pipi Rosa."Plaak!" Kali ini tamparan itu berhasil membuat Rosa tak sadarkan diri. Perkelahian telah berakhir."Hufft!" Perempuan itu menghela napas lega setelah berhasil membuat Rosa pingsan.Tak lama, beberapa perempuan lain datang memasuki kamar Rosa yang berantakan itu. Salah satu di antara mereka bergumam, "Loh, katanya janji gak maen kasar lagi."Perempuan brutal yang membuat Rosa pingsan hanya tersenyum kecut mendengar hal itu. Sambil menyerahkan ponsel milik Rosa, perempuan itu berkata, "Lihat, Kak! Orang ini nih biang keroknya!"Terlihatlah foto Sakti di layar ponsel itu. Bahaya kini mengintainya.Pak Karsa sedang sibuk mencari-cari buku yang dibawa dari rumah Pak Guruh, ia bahkan kelupaan bahwa buku itu sebenarnya justru tertinggal."Ditaruh di mana ya, asem tenan!" Gerutunya tanpa henti.Sementara tangannya masih bergerak sibuk untuk memeriksa keberadaan buku tersebut, suara pintu terdengar diketuk dari luar."Abah, punten...!" Abah Karsa terkejut mendengar suara yang sudah ia kenal, yaitu Sakti."Ada apa gelap-gelap begini, Cah, apa bapak kumat?" Teriak Abah Karsa dari dalam rumah.Tak ada jawaban, namun suara ketukan pintu semakin keras.Abah Karsa merasakan kepanikan terdengar dari suara ketukan pintu itu, sepertinya memang terjadi sesuatu hingga membutuhkan dirinya saat ini. Ia segera cepat-cepat menuju ke arah pintu lalu membukanya.Terlihat wajah Sakti menghitam terkena bayangan cahaya lampu, Sakti menyodorkan sebuah buku yang selama ini sedang dicari Abah Karsa."Asem!" Jerit Abah Karsa dalam hati, ternyata buku itu sudah ada di tangan Sakti."Ini apa toh, Bah!?" Suara
Rasa penasaran Guruh terhadap para saudari istrinya semakin menjadi, ia merasakan dorongan itu semakin kuat dan sulit sekali ditahan-tahan lagi. Entah kenapa perasaan terhadap istrinya, Asih, malah kian hambar.Dimulailah akal-akalan Guruh demi mendekati salah satu saudari sang istri yang paling disukainya, yaitu Safiah. Dengan meletakkan sejumlah uang yang diikat lalu dimasukkan ke dalam tas milik Safiah, Guruh mengaku kalau ia kehilangan uang itu.Seisi rumah gempar dengan berita hilangnya uang yang dimaksud, apalagi jumlahnya tidaklah kecil. Guruh membujuk Asih untuk menggeledah setiap barang bawaan para saudarinya itu.Merasa tersinggung, Asih merasa perlu untuk membela para saudarinya. Ia hendak mengganti setiap lembar uang yang hilang itu."Beraninya! Biar kuganti uangmu!" Ucap Asih sambil menahan emosi.Walaupun Guruh merasa tak lagi cinta dengan istrinya, tapi kemarahan Asih membuatnya khawatir. Untungnya para saudari Asih mengerti situasi itu dan mengizinkan Guruh untuk mengg
Guruh menyaksikan kegilaan yang sedang terjadi di dapur, ayahnya sedang melakukan hal kotor terhadap Safiah. Sesaat tatapannya membeku.Terlihatlah aura sayap misterius yang berada di belakang Safiah, mulai tersedot ke arah Pak Bahja. Jelaslah Guruh paham dengan situasi yang terjadi.Guruh memalingkan wajahnya kepada sosok lain yang tersandar lemah di pojokan, Kemala, ia terlihat rapuh, pelan-pelan wajahnya berpaling ke arah di mana Guruh sedang terpaku menatapnya, matanya berkedip perlahan, sebagai ganti permintaan tolong yang tak bisa terucapkan.Reaksi wajah Pak Bahja yang kaget melihat Guruh memergokinya, justru tetap bergerak santai seolah tak terjadi apa pun. Tapi matanya menggambarkan kekhawatiran yang sangat. Menelisik respon anaknya dengan hati-hati.Ia pikir, untunglah hasratnya telah tersalurkan. Ia merelakan tubuh Safiah dan membiarkannya tergeletak begitu saja, walaupun sebenarnya hasrat terlarangnya masih ingin ia lampiaskan lagi, tapi kini ada urusan yang lebih mendesak
Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali. Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh. Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang. Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dil
Isak tangis Asih terdengar hilang perlahan-lahan, kepanikannya sudah sedikit mereda. Walaupun begitu, ia masih tetap berusaha mencerna kejadian itu dengan susah payah.“Aku akan membalas lelaki jahat itu, sampai akhir hayatnya tiba.” Suara Nafika bergetar penuh kemarahan.Asih melepaskan tubuh Nafika dari dekapannya, ia hanya bisa mengangguk pelan, tak bisa lagi mengelak atas kesalahan mertuanya. Bahkan kalau perlu, suaminya pun pantas dihukum juga. Dari sudut pandangnya, Guruh pun memiliki itikad yang sama buruk dengan Pak Bahja. Lewat Aura Dewi yang kembali kepada Asih, semuanya terlihat bak memori yang tak akan bisa dihapus.Nafika terbangun dari posisi duduknya, memulihkan diri dari setiap goresan lukanya yang tersisa, lalu ia menjulurkan tangannya ke arah gundukan-gundukan tanah yang ada di hadapannya.Seketika itu juga tanah merekah, terbuka lebar, jasad yang ada di dalamnya terbangun. Safiah dan Kemala terlihat bangkit dari dalam tanah
Sakti baru saja membaca beberapa bagian isi buku harian milik ayahnya, sesekali ia bertanya pada Abah Karsa tentang kejadian yang menurutnya di luar nalar tersebut.Terutama di bagian saat kakek yang ia kenal ternyata tidak seperti yang diduganya. Pertanyaan lainnya yang dilontarkan oleh Sakti adalah kenapa rahasia besar seperti ini tidak ada yang cerita.Walaupun Sakti tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tapi ia sangat prihatin dengan keadaan kakeknya yang juga menderita karena penyakit tertentu. Apalagi saat di mana istri-istri kakek mulai meninggalkannya dengan menggasak harta benda yang jumlahnya tak sedikit. Kecuali istri pertamanya yang senantiasa menemani.Sudah jatuh tertimpa tangga pula.Pada saat itu, Abah Karsa sering mendatangi kediaman kakeknya Sakti, yaitu Pak Bahja, untuk memberikan pengobatan tertentu. Sampai akhirnya Pak Bahja tidak tertolong lagi, ia meninggal saat Sakti berusia lima tahun. Dalam kondisi yang membuat siapa pun ber
Berubahnya suasana yang dialami Rosa terjadi begitu cepat, walaupun Rosa tahu bahwa ia sedang berada dalam ilusi saudarinya, tapi suasana di sekitarnya begitu terasa sangat nyata, seolah benar terjadi.Cahaya matahari memancar ke arah mata Rosa, silau, matanya tak bisa ia biarkan lama-lama menatap langit.Jiwa Rosa sedang terjebak di dalam dewi yang hendak dihukum mati.Di depannya, algojo sedang menunggu perintah. Sepertinya orang tampan di sebelahnya itulah yang memegang kendali.“Oh..,” gumam lelaki tampan itu. “…katanya kau perlu bicara sesuatu?” Lanjutnya lagi. Pandangan lelaki itu seolah sedang menunggu Rosa bicara.“Bukan a…” belum selesai Rosa bicara, lelaki itu menyelanya.“Baiklah, hukum dia!” Ucap lelaki itu, diikuti dengan algojo yang seketika itu juga bersiap mengayunkan pedang.Suasana penonton semakin riuh, “Hukum! Hukum! Hukum dia!”&ldquo
Rosa masih belum tersadar dari ilusi yang diberikan oleh saudarinya, yaitu Malea. Saudari Rosa yang lain, Anggi, mulai sedikit khawatir.Bahkan, Malea sendiri tidak menduga kalau Rosa tetap tak sadarkan diri, padahal kekuatannya sudah ia hentikan beberapa saat lalu.“Kenapa belum sadar juga?” Anggi bertanya.Dengan wajah khawatir, Malea sedikit gelagapan, “Ti, tidak tahu, terawanganku hanya sampai para dewi kembali ke Suarga. Ha, harusnya Rosa sudah sadar.”Anggi menghampiri tubuh Rosa yang masih belum terbangun, ia menepuk-nepuk pipi Rosa perlahan. “Rosa! Rosa! Sadarlah!”Rosa masih tetap tak sadarkan diri.Para saudari Rosa hanya bisa saling menatap, apakah mereka sudah melakukan hal buruk? Gumam masing-masing dari mereka dalam hati.Mungkin saja pertanyaan itu ada benarnya. Karena dalam bawah sadar Rosa yang masih merasuki tubuh Anggana, dan juga pengaruh ilusi milik Malea, menghasilkan kombinasi