Share

Bab 5: Malam Tragedi

Rasa penasaran Guruh terhadap para saudari istrinya semakin menjadi, ia merasakan dorongan itu semakin kuat dan sulit sekali ditahan-tahan lagi. Entah kenapa perasaan terhadap istrinya, Asih, malah kian hambar.

Dimulailah akal-akalan Guruh demi mendekati salah satu saudari sang istri yang paling disukainya, yaitu Safiah. Dengan meletakkan sejumlah uang yang diikat lalu dimasukkan ke dalam tas milik Safiah, Guruh mengaku kalau ia kehilangan uang itu.

Seisi rumah gempar dengan berita hilangnya uang yang dimaksud, apalagi jumlahnya tidaklah kecil. Guruh membujuk Asih untuk menggeledah setiap barang bawaan para saudarinya itu.

Merasa tersinggung, Asih merasa perlu untuk membela para saudarinya. Ia hendak mengganti setiap lembar uang yang hilang itu.

"Beraninya! Biar kuganti uangmu!" Ucap Asih sambil menahan emosi.

Walaupun Guruh merasa tak lagi cinta dengan istrinya, tapi kemarahan Asih membuatnya khawatir. Untungnya para saudari Asih mengerti situasi itu dan mengizinkan Guruh untuk menggeledah tiap barang bawaan mereka.

"Sudahlah, Kak. Biarkan suamimu itu melakukan keinginannya. Kami tak apa, kok." Safiah menenangkan Asih yang sedang tersulut emosi.

Dalam hati, Asih membatin jika semua hal yang ia lakukan demi kebahagiaan Guruh sudah sepenuh hati dikerahkan tanpa mengharap balasan. Guruh memang tidak menyadari hal itu karena tidak tahu bahwa istri yang dinikahinya adalah seorang dewi. Dan Guruh sudah menerima lebih dari yang seharusnya atas pernikahan ini.

Tak heran jika urusan rumah tangganya selalu baik-baik saja walaupun tanpa kehadiran sang buah hati.

Akhirnya Guruh menggeledah tiap barang milik saudari istrinya tersebut, namun dirinya tak menyangka jika apa yang dicarinya itu benar-benar tidak ada. Padahal ia sangat yakin bahwa sudah meletakkan gulungan uang itu di tas milik Safiah.

Merasa malu, akhirnya Guruh meminta maaf kepada saudari-saudari Asih, terutama Safiah.

Namun, saudari Asih yang lain, Kemala, menyarankan Guruh untuk mencari uang yang hilang tersebut di kamarnya sendiri.

Saat Guruh memeriksa kamarnya, ia terperangah begitu mengetahui bahwa uang tersebut ada di saku celana yang ia gantungkan di hanger baju.

"Tuh ketemu juga..." Kata Kemala yang memerhatikan dari pintu kamar Guruh yang terbuka. Tak sadar jika Kemala mengikuti Guruh sampai sebegitunya.

Guruh merasa heran, kenapa uang itu bisa ada di saku celananya yang digantung dalam kamar. Satu-satunya orang yang dilihatnya memasuki kamar itu adalah istrinya sendiri, namun tidak pernah ia lihat bahwa uang itu dipindahkan dari dalam tas milik Safiah, karena tas tersebut tak pernah luput dari pandangannya.

Trik murahannya itu gagal total.

Singkat cerita, beberapa kali Guruh berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap saudari-saudari Asih, pendekatan itu lambat laun dipengaruhi oleh unsur paksaan. Tapi semuanya gagal. Sudah beberapa hari berlalu semenjak kedatangan saudari istrinya itu. Kegelisahan dan rasa penasarannya semakin menggebu-gebu. Memang dasar sifat lelaki. Masih sempat-sempatnya punya pikiran untuk 'memakan' saudara ipar sendiri.

Guruh akhirnya kembali menemui Abah Karsa untuk meminta tolong, nafsunya itu benar-benar sulit ia kendalikan dan keberadaan saudari-saudari istrinya sungguh membuatnya kalut.

Saat Abah Karsa melihat kondisi Guruh, ia terkejut karena melihat tubuh Guruh berlimpahkan Aura Dewi. Aura aneh itu terpancar dari dalam jiwa Guruh dan membuatnya terlihat semakin berkarisma.

Entahlah apa arti itu semua, tapi sepengetahuan Abah Karsa, hal tersebut adalah temuan langka. Guruh adalah salah satu orang yang beruntung.

Guruh segera menceritakan pengalaman pernikahannya dengan Asih, ia bahkan sempat bertanya siapakah sebenarnya wanita yang sudah dinikahinya tersebut.

Tapi Abah Karsa sendiri tidak menjawab tiap pertanyaan Guruh. Ia hanya menyarankan agar mensyukuri apa yang ada dan jangan sampai terpancing dengan tuntutan nafsunya.

"Terima saja kondisi yang ada, Ruh. Coba temui bapakmu, ceritalah, siapa tahu dia punya wejangan khusus untukmu." Abah Karsa tidak terlalu mengerti tentang konflik-konflik yang timbul dalam pernikahan, hingga akhirnya ia merasa bahwa ayah Guruh adalah orang yang cocok untuk dimintai nasihat mengenai gejolak batin anaknya. Karena ayah Guruh adalah lelaki beristri empat, pengalamannya tentang pernikahan pastilah sangat beragam.

Akhirnya Guruh menuruti perkataan Abah Karsa, ia pergi menemui ayahnya, Bahja. Walaupun sebenarnya tak sudi.

Guruh adalah anak semata wayang dari istri pertama ayahnya. Dari istrinya yang lain, ayahnya itu tidak memiliki anak lagi.

Singkat cerita, obrolan Guruh dengan ayahnya tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Ia beranjak pergi dengan keadaan tangan kosong dan tidak mendapatkan jawaban atas masalahnya itu. Ayah Guruh hanya berkoar-koar tentang superioritas lelaki yang boleh menikahi perempuan sebanyak mungkin sekalipun yang dinikahi itu kakak-adik. Dan hal-hal sejenis lainnya.

"Dasar sinting!" Maki Guruh dalam hati.

Guruh kembali ke rumah Abah Karsa untuk mencurahkan rasa kesal terhadap ayahnya itu. Ia tak menyangka kalau ayahnya berpola pikir jauh di luar nalar.

Sementara itu di suatu tempat...

Pak Bahja terbayang-bayang dengan cerita Guruh mengenai para saudari menantunya itu, ia memang paham jika kecantikan dan daya tarik Asih sungguh memikat, tapi ia tidak tergoda.

Namun berdasarkan penjabaran anaknya, sepertinya saudari-saudari Asih memiliki daya tarik serupa dan bahkan sepertinya melebihi Asih. Pak Bahja pun kini penasaran.

Akhirnya ia pergi menuju rumah anaknya, hanya untuk mengobati rasa penasaran tentang bagaimana rupa saudari-saudari Asih yang diceritakan oleh Guruh. Sungguh sifat yang kekanakan sekali.

Ketika sudah sampai di depan rumah anaknya itu, Pak Bahja segera mengetuk pintu dengan tempo cepat saking tak sabarnya.

"Tok, tok, tok!"

Saat pintu terbuka, dari balik pintu terlihatlah seorang wanita yang tak dikenali oleh Pak Bahja. Mungkin itu adalah saudari Asih yang dibicarakan Guruh, pikir Pak Bahja dalam hati.

"Guruh mana?" Tanya Pak Bahja, pandangannya terpaku pada kecantikan dan daya pikat wanita itu. Pantas saja anaknya merasa gelisah siang malam, bagaimana mungkin ia tahan serumah dengan ipar secantik ini.

"Mas Guruh belum pulang, Pak." Suara lembut Safiah langsung menggelitik kelelakian Pak Bahja, memang ia pun gampang sekali tergoda wanita.

"Kalau Asih?" Tanya Pak Bahja lagi.

"Kakak baru saja keluar cari Mas Guruh." Terlihat wajah Safiah semakin menunduk, merasa tak nyaman dengan pandangan Pak Bahja.

Tampaknya Pak Bahja menyadari kalau wanita di hadapannya itu merasa kurang nyaman, "Tenang, panggil saya Pak Bahja. Saya bapaknya Guruh, mertuanya Asih."

"Oh, salam ya pak, saya Safiah adiknya Asih, Pak Bahja masuk dulu saja." Ajak Safiah sambil menyampingkan badannya ke pinggir pintu, mempersilakan Pak Bahja untuk masuk ke dalam.

Tentu saja Pak Bahja segera beranjak masuk ke dalam rumah, ia segera duduk di ruang tamu. Walaupun sebenarnya ia bisa leluasa di rumah anaknya sendiri, tapi ia ingin menjaga sikap karena anaknya ternyata belum pulang setelah mengunjunginya tadi.

"Bikin kopi, Pak?" Safiah menawarkan diri untuk membuatkan Pak Bahja minuman.

Walaupun sebenarnya Pak Bahja bisa saja membuat minuman itu sendiri, tapi berhubung Guruh belum datang, ia harus tetap berlagak seperti tamu untuk sementara.

"Boleh." Pak Bahja mengangguk.

Sambil memerhatikan Safiah berjalan menuju dapur, Pak Bahja tertegun melihat bagian bawah tubuh Safiah yang menurutnya sangat menggairahkan, dadanya terasa berdesir, aliran darahnya semakin cepat melihat pemandangan itu. Birahinya mulai bangkit.

Sementara itu di dapur, Safiah beberapa kali bingung dengan tata letak bahan minuman yang hendak dibuatnya, sambil menunggu air mendidih, ia sibuk bergerak kesana-kemari.

Setelah bahan-bahan yang dicarinya terkumpul, Safiah mulai meracik kopi untuk Pak Bahja. Ia berdiri di depan undakan dapur sambil sibuk mengaduk-aduk kopinya.

Secara perlahan, Pak Bahja bergerak menghampiri Safiah diam-diam. Terasa hembusan napas pada tengkuk Safiah hingga membuat wanita cantik itu merinding.

Ketika hendak menengok ke belakang, wajah Safiah tertahan dengan tangan kasar yang dengan sigap segera membekap mulutnya.

Safiah meronta, ia hendak berteriak namun tangan Pak Bahja yang kekar menutup mulutnya hingga membuat rahangnya sulit digerakkan, untuk menggigit tangan Pak Bahja saja ia tak sanggup.

Tangan Pak Bahja yang lain memeluk tubuh Safiah untuk mengunci pergerakannya, Safiah hanya bisa merintih dan mengucapkan kata-kata tak jelas, mengutuk perbuatan itu.

Pak Bahja menghimpitkan tubuhnya ke badan Safiah yang molek itu dengan leluasa. Ia menggesek-gesek selangkangannya ke bagian bokong Safiah yang padat dan kenyal.

"Aahh..." Nafsu setan menguasai Pak Bahja, ia sudah lupa daratan.

Kepanikan Safiah bertambah, rontaannya semakin kencang dan tak terkendali untuk memberontak. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari Pak Bahja.

"Diam sayang, ini enak kok, aaaah..." Bisik Pak Bahja dengan lembut sambil terus menggoyangkan pinggulnya, berusaha mencari-cari kenikmatan atas gesekan tubuh Safiah yang masih dibalut rok tipis itu.

Safiah menangis, air mata mengalir deras hingga membasahi tangan Pak Bahja yang masih mendekap mulutnya. Tak disangka ia harus barada dalam situasi mencekam ini.

Gairah dan birahi sudah membanjiri otak Pak Bahja hingga membuatnya kesal terhadap Safiah yang terus saja berusaha melepaskan diri.

"Kenapa tidak pasrah saja menikmati keperkasaanku ini! Dasar wanita munafik!" Gumam Pak Bahja dalam hati.

Pak Bahja membenturkan kepala Safiah ke arah kabinet dapur berkali-kali, terdengar suara teriakan Safiah menyertainya, namun Pak Bahja tak menghiraukan hal itu. Hingga akhirnya Safiah pingsan lalu terjatuh ke lantai.

Dengan terburu-buru, Pak Bahja segera membalikkan tubuh Safiah dengan kasar. Ia menikmati pemandangan indah itu sambil terengah-engah, tatapannya penuh nafsu terlarang hingga membutakan nuraninya.

Ia sibakkan rok Safiah ke atas dan menarik celana dalamnya ke bawah. Tangan Pak Bahja segera membuka ritsleting celananya dengan gesit. Ia hendak menggauli Safiah secara paksa.

Saat selangkangannya ingin mendorong lembut bagian bokong Safiah, tiba-tiba kepala Pak Bahja dipukul sesuatu dari belakang oleh seseorang.

Pak Bahja menengok ke arah pukulan itu berasal sambil menahan sakit di kepalanya, ia melihat wanita lain yang tidak kalah cantiknya dengan Safiah. Kekagumannya terhenti saat wanita itu kembali mengayunkan seonggok kayu ke wajahnya hingga membuat dirinya terjerembab ke belakang.

Saat wanita itu hendak mengayunkan kayunya untuk yang ketiga kali, Pak Bahja berhasil menangkis serangan itu. Ia menendang perempuan itu dengan keras hingga terdorong ke belakang membentur tembok.

"Aw!" Perempuan itu memekik kesakitan, kayu besar yang dipegangnya terlepas.

Pak Bahja segera bangkit dan merebut kayu tersebut. Dengan cepat, ia memukulkan kayu yang dipegangnya ke arah kepala perempuan yang menyerangnya.

Perempuan itu kini sudah tidak berdaya, namun kesadarannya masih terjaga. Ia menggerakan tangannya ke atas, memberikan isyarat memohon ampun.

Pak Bahja akhirnya berhenti memukuli perempuan itu. Dengan napas terengah-engah, Ia kembali menghampiri Safiah untuk kembali menggaulinya.

Perempuan itu hanya bisa melihat Pak Bahja membalikkan badan Safiah dengan sadis, dirobek pakaian Safiah dengan mudahnya. Pak Bahja melepaskan pula bajunya lalu melemparkannya ke samping, kemudian membenamkan tubuhnya yang besar itu hingga menindih Safiah yang malang.

Dari sudut pandang sang wanita yang kian tak berdaya, terlihat Pak Bahja mulai bergerak menaik-turunkan pinggulnya, menggenjot tubuh sintal Safiah yang berada di bawahnya, diiringi dengan suara desahan khas lelaki yang terdengar pelan.

Membuat wanita tersebut merasa jijik sekaligus kasihan pada Safiah tapi tak ada yang bisa dilakukannya.

Perempuan itu hanya menangis seraya mengutuk perbuatan biadab yang terjadi di hadapannya. Sesaat kemudian seseorang membuka pintu, menyaksikan pemandangan tragis itu dengan tatapan matanya yang nanar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status