Share

Bab 7: Pusaka Iblis

Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali.

Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh.

Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang.

Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dilakukannya barusan.

Terhipnotis, antara sadar dan tidak, mental Guruh mulai goyah, ia memang sempat mengincar saudari Asih selama ini. Namun, ia tak segila itu, konflik batin mulai menguasainya.

Sementara itu, Kemala yang masih setengah sadar mulai putus asa dengan gerak-gerik kedua orang di hadapannya itu. Kepercayaannya terhadap Guruh, lenyap begitu saja saat melihat Guruh perlahan mulai mendekati tubuh Safiah.

Untungnya, selangkah lagi saat Guruh hendak melakukan kesalahan besar seperti ayahnya, kekuatan Aura Dewi yang berada dalam tubuh Guruh memberikan efek yang mampu menyelamatkannya. Kesadaran Guruh mulai pulih, lepas dari pengaruh buruk Pusaka Iblis milik Pak Bahja yang hendak menguasainya.

Melihat Guruh berhasil berpaling dari pengaruh itu, Pak Bahja menyerang Guruh, memukulnya dari belakang sekeras mungkin hingga pingsan.

Merasa tanggung, Pak Bahja melakukan hal yang sama pada Kemala, kini sudah ada tiga tubuh tergeletak di dapur yang kacau itu.

Pak Bahja bukan orang yang suka bersih-bersih, tapi kali ini ia harus melakukan itu, demi menyembunyikan perbuatannya.

Sambil memaki dalam hati karena kelakuan Guruh yang tidak sepemikiran dengannya, Pak Bahja mengangkat satu per satu tubuh orang-orang yang pingsan itu ke rerumputan yang tak jauh dari tempatnya.

Ia menemukan lokasi strategis untuk menyembunyikan badan Guruh dan kedua dewi yang salah satunya sudah disetubuhi olehnya.

Setelah ketiganya berhasil disembunyikan, Pak Bahja mulai membereskan dapur dengan hati-hati, membayangkan apa yang dilakukan oleh istri-istrinya jika situasi tersebut terjadi di kediamannya, lalu perlahan ia mulai bergerak sesuai dengan insting tersebut.

Walaupun terasa aneh, akhirnya kekacauan itu berhasil dibereskan. Walaupun tidak sepenuhnya beebas dari bukti-bukti, Pak Bahja percaya diri kalau usahanya sudah cukup, ia melenggang keluar dari dapur, menuju rerumputan tinggi di mana ketiga korbannya tergeletak.

*

Dari sudut pandang Asih yang melihat ingatan Guruh lewat Aura Dewi yang kembali padanya, ia melihat kelakuan suaminya luar dalam, tak ada yang disembunyikan, termasuk rasa cinta Guruh yang telah pudar, ditambah lagi, Guruh tertarik pada hampir seluruh saudarinya.

Dibakar cemburu dan amarah, kekecewaan Asih semakin memuncak, hanya saja ia masih berpikir jernih, bagaimanapun Guruh adalah suaminya sendiri. Apalagi, Asih hendak memberikan kabar pada suaminya itu bahwa ia sedang mengandung beberapa bulan.

Guruh akan punya anak.

Asih merasa telat memberitahu Guruh atas kabar baik itu, kekecewaan dan perasaan negatif lainnya ia abaikan. Secepat kilat, Asih berlari ke arah di mana Guruh memerlukan bantuannya, di padang rerumputan yang sudah sangat ia kenali, tangannya dengan cepat meraih lampu senter berdebu yang tergantung dekat pintu keluar saat melewatinya.

Gelapnya malam tak menghalangi Asih menerobos rerumputan yang menggelitik kakinya, angin sesekali berhembus, menusuk tulang, sesekali ia arahkan senternya ke beberapa arah yang ia yakini menyembunyikan sesuatu.

Masih nihil, Asih menyibakkan rerumputan tinggi di depannya secara serampangan saking paniknya. Ia merasakan bahwa suaminya itu perlahan meninggalkannya.

Helai demi helai rumput di depannya ia singkirkan sampai akhirnya Asih berhadapan dengan sepetak tanah yang membuatnya curiga.

Terlihatlah gundukan tanah yang sepertinya masih hangat, jelas saja Asih panik tak menentu. Dengan kekalutan di luar nalar, ia mulai menggaruk-garuk tanah di bawahnya secepat mungkin. Berusaha untuk mencari tahu apakah kekhawatirannya itu nyata atau tidak.

Senter yang ia pegang tergeletak begitu saja, menyinari gundukan tanah yang ada di depan. Tentu saja Asih tidak berhenti menggali tanah dengan tangannya yang gemetaran itu.

Cahaya menerangi satu gundukan tanah yang secara tiba-tiba muncul segenggam tangan dari dalamnya, pelan tapi pasti, tangan itu berusaha meraih-raih sesuatu agar bisa menarik badannya keluar.

Tanah merekah seraya mengeluarkan seonggok jasad yang kotor, beberapa luka terlihat di sekujur jasad tersebut, darah bercampur dengan tanah yang menimbun luka-luka itu.

Sambil mengeluarkan teriakan yang memekik, jasad itu berteriak: “Kurang ajaaar!!”

Asih sontak saja kaget mendengar teriakan itu, kepalanya menoleh ke arah jasad yang baru saja bangkit, remang cahaya masih cukup menerangi Nafika yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah.

Terlihatlah dari sudut pandang Asih, luka-luka yang ada pada tubuh Nafika perlahan mulai pulih, menyembuhkan dirinya sendiri.

Nafika masih kepayahan dengan tubuhnya yang baru saja dikubur oleh Pak Bahja, menyesuaikan diri, melakukan peregangan biasa namun justru menimbulkan suara gemertak hebat yang membuat Asih bergidik mendengarnya.

“Na… Nafika?” Gumam Asih dengan nada bergetar.

Nafika menolehkan pandangannya ke arah suara Asih yang sepertinya sedang ketakutan. Asih tidak melihat keberadaan Nafika di dalam kenangan Guruh yang disampaikan bersamaan dengan Aura Dewi miliknya.

Tatapan nanar Nafika terasa penuh dengan amarah, tentu saja ia berhak sakit hati akan hal itu. Sesekali ia melemparkan pandangannya ke arah perut Asih. Merasa kasihan dengan jabang bayi yang akan lahir di tengah-tengah keluarga problematik itu.

Seketika itu juga, Asih berteriak histeris sambil memeluk tubuh Nafika, rasa kehilangannya itu sedikit terobati melihat saudarinya bangkit dari kematian.

*

Sementara itu…

Di rumah Abah Karsa, Pak Bahja sedang sibuk membersihkan tangannya yang ia gunakan untuk menggali tanah. Rasa penyesalan perlahan terlihat di raut wajahnya yang sudah semakin terlihat menua itu.

Dengan perasaan tak menentu, Pak Bahja mulai merasa khawatir dengan perbuatannya. Ia tak mendengarkan ocehan Abah Karsa yang sedari tadi mengiringi kesibukannya.

“Sudah, saya tak bisa menolongmu lagi sekarang, tidak ikut-ikutan!” Abah Karsa masih mengomel.

Pak Bahja hanya terpaku, belum mengatakan apa pun sejak ia mengubur jasad Guruh, anaknya sendiri.

“I.. ini sepertinya pengaruh pusaka itu, Bah…” ucap Pak Bahja, lalu ia melanjutkan “…semenjak punya pusaka yang Abah berikan, saya melihat banyak hal aneh.”

Abah Karsa berusaha memahami perkataan Pak Bahja lebih mendalam, “Oh ya? Lalu mana pusaka itu sekarang? Kembalikan saja jika itu memberatkanmu.”

Pak Bahja terheran sejenak melihat Abah Karsa menodongkan tangannya hendak meminta sesuatu.

Pusaka yang dimaksud adalah sebuah Pusaka Iblis, memiliki kekuatan magis berbahaya yang bisa merugikan siapa pun yang berhubungan dengannya. Pusaka itu didapatkan oleh Abah Karsa sebagai warisan dari leluhurnya. Abah Karsa percaya bahwa pusaka-pusaka itu mampu berguna di kehidupan sehari-hari bagi siapa pun yang memegangnya dengan cara yang misterius

Dan Pak Bahja adalah salah satu pemegang pusaka itu, hal magis sudah menarik perhatiannya sejak lama. Ia mendapatkan pusaka itu awalnya demi memperlancar urusan rumah tangganya pada saat itu, di mana ia tidak percaya diri dengan kemampuannya sebagai suami.

Abah Karsa memberikan pusaka tersebut hanya sebagai sugesti, ia memberikan beberapa bulir mutiara yang dimasukkan ke kantung kecil dan selalu dibawa ke mana pun.

Kini Abah Karsa menagih pusaka tersebut, setelah sekian lama, urusan rumah tangga Pak Bahja bukan lagi masalah, harusnya pusaka itu sudah dikembalikannya sejak dulu.

Pak Bahja hanya menggeleng. Melangkah mundur ke belakang, sembari memegangi selangkangannya tiba-tiba.

Ada rasa sakit yang hebat sedang dirasakan oleh Pak Bahja pada daerah kemaluannya, Abah Karsa merasa khawatir dengan kondisi aneh Pak Bahja yang mendadak.

“Jangan!!!” Teriak Pak Bahja, “Jangan ambil! Ini sudah jadi milikku!”

Keheranan Abah Karsa semakin menjadi.

Situasi berubah ke arah tak terduga, Pak Bahja masih terus memegangi selangkangannya dengan gelagat panik yang sulit dijelaskan, ia terjerembab ke lantai sambil berteriak semakin keras.

“Aaaargh!” Pak Bahja merasakan sakitnya di bagian selangkangan sangat tak tertahankan, semakin menjadi-jadi.

Secepat kilat, Abah Karsa menghampiri Pak Bahja, “Ada apa ini, Ja!?”

Pak Bahja hanya mampu berteriak, beberapa saat kemudian, melesatlah keluar suatu benda kecil dari dalam selangkangan Pak Bahja. Celana tebalnya tak mampu menahan kekuatan benda itu, bahkan benda kecil misterius itu menembus tangan Pak Bahja yang masih memegangi selangkangannya itu. Darah mulai merembes dari dalam celana, membuat Abah Karsa semakin prihatin.

Abah Karsa terkejut. Fenomena aneh itu terjadi beberapa kali, teriakan Pak Bahja mengiringi tiap kali benda kecil itu mencelat keluar, sepertinya berasal dari kejantanannya yang terus saja ia pegangi.

Terkuaklah misteri baru, Abah Karsa menarik kesimpulan bahwa pusakanya itu justru disalahgunakan, Pak Bahja nekat menanamkan mutiara yang diberikannya di bagian tubuh paling rentan seorang lelaki.

Darah yang tercecer membuat Abah Karsa bergidik, ia memalingkan mukanya, memerhatikan mutiara-mutiara itu mencelat tak tentu kesana-kemari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status