Guruh menyaksikan kegilaan yang sedang terjadi di dapur, ayahnya sedang melakukan hal kotor terhadap Safiah. Sesaat tatapannya membeku.
Terlihatlah aura sayap misterius yang berada di belakang Safiah, mulai tersedot ke arah Pak Bahja. Jelaslah Guruh paham dengan situasi yang terjadi.
Guruh memalingkan wajahnya kepada sosok lain yang tersandar lemah di pojokan, Kemala, ia terlihat rapuh, pelan-pelan wajahnya berpaling ke arah di mana Guruh sedang terpaku menatapnya, matanya berkedip perlahan, sebagai ganti permintaan tolong yang tak bisa terucapkan.
Reaksi wajah Pak Bahja yang kaget melihat Guruh memergokinya, justru tetap bergerak santai seolah tak terjadi apa pun. Tapi matanya menggambarkan kekhawatiran yang sangat. Menelisik respon anaknya dengan hati-hati.
Ia pikir, untunglah hasratnya telah tersalurkan. Ia merelakan tubuh Safiah dan membiarkannya tergeletak begitu saja, walaupun sebenarnya hasrat terlarangnya masih ingin ia lampiaskan lagi, tapi kini ada urusan yang lebih mendesak, memberi alasan masuk akal atas apa yang sedang terjadi di situ, kepada anaknya.
Sayangnya Guruh bukan orang bodoh. Ia jelas paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi setelah melihat fenomena aura sayap itu.
Suara Kemala yang terengah-engah membuyarkan suasana canggung nan tragis yang sedang terjadi.
Pak Bahja menghampiri Kemala dengan terburu-buru bak orang kesetanan, lalu ia meraih pakaian Safiah yang ada di dekatnya, meremasnya hingga berukuran kecil dan menyumpalkannya ke mulut Kemala agar tidak bisa bicara.
Guruh segera bertindak. Ia menerjang ayahnya dengan kekuatan penuh, menghempaskan tubuh mereka berdua ke arah kabinet dapur hingga menggoncangkan benda-benda yang ada di dalamnya. Suara ribut tersebar ke segala arah. Perkelahian terjadi.
Heningnya malam terpecah akibat keributan itu.
“Dasar berengsek!!!” Suara Guruh memaki, sambil memukul wajah ayahnya, tubuhnya bergetar hebat karena perasaan terguncang.
Pak Bahja hanya bergeming menerima pukulan dan makian itu. Tapi pandangannya tidak tersirat rasa penyesalan sama sekali. Seperti lelaki bejat lainnya. Ia sudah paham resiko.
Sambil meludahkan air liurnya yang disertai darah akibat pukulan Guruh, Pak Bahja tersenyum kecut. Ia kemudian bicara ngelantur.
“Pantas saja Ruh, gimana bisa tahan sama perempuan-perempuan ini!” Suara Pak Bahja menyeringai, semakin membuat Guruh jijik dengannya.
Tak bisa dipungkiri, situasi di sana cukup membingungkan. Entah bagaimana caranya, mereka harus bisa membereskan situasi itu sebelum Asih dan saudarinya yang lain datang.
*
Di tempat lain, Asih dan saudari termudanya, Nafika, memang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah mereka berdua datang ke rumah Abah Karsa dan mendapati bahwa katanya Guruh baru saja pulang, namun sepertinya mereka berdua mengambil jalan yang berbeda untuk dilewati, sehingga tidak saling berpapasan.
Abah Karsa menawarkan diri untuk ikut mengantarkan mereka berdua, walaupun Asih sudah menolak dengan halus, tetap saja tidak membuat Abah Karsa serta merta menurutinya. Mereka bertiga akhirnya berjalan bersama, menuju ke arah kediaman Guruh.
Dalam perjalanan yang canggung itu, Asih merasa santai-santai saja berdampingan dengan Abah Karsa. Berbeda dengan saudarinya, Nafika, ia tampak setegang besi, kewaspadaannya meningkat drastis. Meskipun ini bukan pertama kalinya mereka bertemu, tapi kali ini suasananya terasa berbeda.
Insting Nafika memang lebih tajam jika dibandingkan dengan Asih atau saudari lainnya, sepertinya jika memang ia sedang mewaspadai sesuatu, berarti memang ada sesuatu yang perlu diwaspadai.
Singkat cerita, rombongan Asih sudah sampai di rumah. Cahaya redup terpancar dari tempat singgah itu. Tak ada hal janggal yang disadari oleh mereka bertiga.
Asih dan Nafika segera masuk ke dalam rumah, sedangkan Abah Karsa masih terdiam di depan pintu, menunggu izin empunya rumah.
Asih mempersilakan Abah Karsa untuk masuk ke dalam rumah, menawarkan kopi, dan langsung menuju ke dapur.
Suasana dapur tidak begitu berbeda, masih seperti saat ia meninggalkannya. Tidak ada tanda-tanda apa pun yang mencurigakan.
Kekacauan yang terjadi sebelumnya masih belum disadari oleh Asih dan lainnya yang baru datang.
Berbeda dengan Nafika, sepertinya ada yang aneh dengan rumah ini, ia segera mengelilingi rumah untuk menemukan keanehan itu.
Abah Karsa pun memperhatikan gelagat tidak biasa Nafika, walaupun Abah Karsa kurang mengenal Nafika, tapi ia bisa tahu tentang perilaku aneh seseorang.
Nafika mulai berkonsentrasi, mengosongkan pikirannya, memusatkan kewaspadaan diri dan juga melepas sebagian kecil Aura Dewi miliknya untuk menelusuri tiap sudut rumah.
Abah Karsa nampak tercengang dengan kejadian itu, ia mengalihkan perhatiannya bolak-balik ke arah Nafika dan juga Asih, menelaah situasi apakah dirinya sedang berada dalam bahaya.
Asih masih sibuk membuat kopi, Abah Karsa langsung saja berjalan menyusul ke mana Nafika pergi.
Dari sudut pandang Nafika, Aura Dewi miliknya tertarik cepat ke suatu arah, menjauh dari rumah Guruh, secepat itu pula Nafika langsung mengejar Aura Dewinya tanpa pikir panjang.
Abah Karsa pun ikut mengejar Nafika dengan hati-hati tanpa menimbulkan keributan, agar Asih tidak merasakan kepergiannya.
Aura Dewi milik Nafika membawanya ke sebuah ladang rerumputan tak jauh dari tempat tinggal Guruh. Suasana gelap menyelimuti tempat itu, sesekali terdengar suara gesekan rumput terbawa angin.
Warna Aura Dewi milik Nafika mampu memberikan sedikit cahaya melewati kegelapan itu, dari sudut pandang Nafika, begitulah yang terlihat. Seiring waktu, Nafika berjalan semakin jauh. Tanpa menyadari bahwa Abah Karsa mengikutinya dari belakang.
Nafika semakin waspada terhadap fenomena itu, energi Aura Dewi tersebut serasa diserap oleh sesuatu di kejauhan. Nafika berjalan menuju ke rerumputan yang semakin tinggi, ia menyibak-nyibakkan rerumputan itu demi mengikuti Aura Dewi miliknya.
Saat Nafika menyibakkan rumput tinggi di depannya, terlihatlah sesosok lelaki yang tak ia sadari keberadaannya, Aura Dewi itu juga masuk ke dalam tubuh lelaki itu.
Seketika itu juga, Nafika terkejut bukan main, ia langsung melemparkan pandangannya ke atas, demi mengetahui wajah lelaki itu, namun, sebuah tamparan keras mendarat ke wajahnya, Nafika langsung terjerembab ke samping, di atas rerumputan tinggi yang mengeluarkan aroma dedaunan yang tergesek.
Nafika merintih kesakitan sambil memegangi wajahnya, dari balik rerumputan tinggi itu, keluarlah Pak Bahja, kini sosok itu sudah terlihat dengan jelas. Pak Bahja segera menghampiri Nafika yang masih terguncang.
Abah Karsa melihat kejadian itu dari jarak cukup jauh, kemudian ia melangkah menghampiri keduanya.
Lengan Pak Bahja langsung membekap mulut Nafika agar tidak berteriak minta tolong, kemudian ia menyeretnya ke arah rerumputan yang tinggi, di mana akhirnya Nafika melihat dua kakaknya yang lain, beserta dengan Guruh, tak sadarkan diri. Ketiganya terkapar berdampingan, kondisi Safiah membuat Nafika semakin takut akan keadaan itu.
Abah Karsa mengikuti Pak Bahja ke rerumputan yang tinggi tersebut, ia kaget saat melihat keadaan yang ada di balik rerumputan itu.
Abah Karsa memaki, “Edan kamu, Ja!! Edan!”
“Halah!! Diam!” Pak Bahja balik membentak Abah Karsa, dengan disertai suara yang terengah-engah kelelahan.
“Kau ini mikir apa toh?? Mau diapakan mereka? Guruh itu anakmu!” Abah Karsa berusaha menembus sisi nurani Pak Bahja yang sedang kesetanan itu, tapi tidak ada gunanya.
Sesaat, Abah Karsa bingung dengan situasi yang sedang dihadapi. Ini sudah di luar kendalinya. Ia merasa tidak enak dengan Asih, dan juga seluruh keluarga itu.
Sayangnya, Pak Bahja seperti sudah dibutakan oleh sesuatu. Ia terus saja berusaha menutupi kekejiannya.
Di balik rerumputan itu, Pak Bahja menghabisi ketiga saudari Asih dengan caranya sendiri, bahkan Pak Bahja hendak membunuh Guruh sekalian, namun insting seorang ayah masih tersisa dalam sanubarinya.
Guruh sempat tersadar sebentar sebelum mengetahui kalau ayahnya hendak membunuhnya, rasa takutnya tak sengaja melepaskan sebagian kecil Aura Dewi yang selama ini ia serap dari istrinya itu.
Aura Dewi tersebut kembali ke pemiliknya, yaitu Asih, bersamaan dengan memori berdarah malam ini yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu di dapur, Asih kembali mendapatkan sejumlah kecil Aura Dewi miliknya, pikirannya diperlihatkan oleh kejadian naas yang dialami oleh Guruh dan ketiga saudarinya.
Sembari memegang gelas kopi yang telah dibuatnya untuk Abah Karsa, tangannya bergetar, suara gelas di atas nampan berderak tak menentu. Air matanya mengalir. Beserta dengan dendam yang tumbuh dengan cepat dan tiba-tiba, kepada mertua dan suaminya itu.
Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali. Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh. Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang. Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dil
Isak tangis Asih terdengar hilang perlahan-lahan, kepanikannya sudah sedikit mereda. Walaupun begitu, ia masih tetap berusaha mencerna kejadian itu dengan susah payah.“Aku akan membalas lelaki jahat itu, sampai akhir hayatnya tiba.” Suara Nafika bergetar penuh kemarahan.Asih melepaskan tubuh Nafika dari dekapannya, ia hanya bisa mengangguk pelan, tak bisa lagi mengelak atas kesalahan mertuanya. Bahkan kalau perlu, suaminya pun pantas dihukum juga. Dari sudut pandangnya, Guruh pun memiliki itikad yang sama buruk dengan Pak Bahja. Lewat Aura Dewi yang kembali kepada Asih, semuanya terlihat bak memori yang tak akan bisa dihapus.Nafika terbangun dari posisi duduknya, memulihkan diri dari setiap goresan lukanya yang tersisa, lalu ia menjulurkan tangannya ke arah gundukan-gundukan tanah yang ada di hadapannya.Seketika itu juga tanah merekah, terbuka lebar, jasad yang ada di dalamnya terbangun. Safiah dan Kemala terlihat bangkit dari dalam tanah
Sakti baru saja membaca beberapa bagian isi buku harian milik ayahnya, sesekali ia bertanya pada Abah Karsa tentang kejadian yang menurutnya di luar nalar tersebut.Terutama di bagian saat kakek yang ia kenal ternyata tidak seperti yang diduganya. Pertanyaan lainnya yang dilontarkan oleh Sakti adalah kenapa rahasia besar seperti ini tidak ada yang cerita.Walaupun Sakti tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tapi ia sangat prihatin dengan keadaan kakeknya yang juga menderita karena penyakit tertentu. Apalagi saat di mana istri-istri kakek mulai meninggalkannya dengan menggasak harta benda yang jumlahnya tak sedikit. Kecuali istri pertamanya yang senantiasa menemani.Sudah jatuh tertimpa tangga pula.Pada saat itu, Abah Karsa sering mendatangi kediaman kakeknya Sakti, yaitu Pak Bahja, untuk memberikan pengobatan tertentu. Sampai akhirnya Pak Bahja tidak tertolong lagi, ia meninggal saat Sakti berusia lima tahun. Dalam kondisi yang membuat siapa pun ber
Berubahnya suasana yang dialami Rosa terjadi begitu cepat, walaupun Rosa tahu bahwa ia sedang berada dalam ilusi saudarinya, tapi suasana di sekitarnya begitu terasa sangat nyata, seolah benar terjadi.Cahaya matahari memancar ke arah mata Rosa, silau, matanya tak bisa ia biarkan lama-lama menatap langit.Jiwa Rosa sedang terjebak di dalam dewi yang hendak dihukum mati.Di depannya, algojo sedang menunggu perintah. Sepertinya orang tampan di sebelahnya itulah yang memegang kendali.“Oh..,” gumam lelaki tampan itu. “…katanya kau perlu bicara sesuatu?” Lanjutnya lagi. Pandangan lelaki itu seolah sedang menunggu Rosa bicara.“Bukan a…” belum selesai Rosa bicara, lelaki itu menyelanya.“Baiklah, hukum dia!” Ucap lelaki itu, diikuti dengan algojo yang seketika itu juga bersiap mengayunkan pedang.Suasana penonton semakin riuh, “Hukum! Hukum! Hukum dia!”&ldquo
Rosa masih belum tersadar dari ilusi yang diberikan oleh saudarinya, yaitu Malea. Saudari Rosa yang lain, Anggi, mulai sedikit khawatir.Bahkan, Malea sendiri tidak menduga kalau Rosa tetap tak sadarkan diri, padahal kekuatannya sudah ia hentikan beberapa saat lalu.“Kenapa belum sadar juga?” Anggi bertanya.Dengan wajah khawatir, Malea sedikit gelagapan, “Ti, tidak tahu, terawanganku hanya sampai para dewi kembali ke Suarga. Ha, harusnya Rosa sudah sadar.”Anggi menghampiri tubuh Rosa yang masih belum terbangun, ia menepuk-nepuk pipi Rosa perlahan. “Rosa! Rosa! Sadarlah!”Rosa masih tetap tak sadarkan diri.Para saudari Rosa hanya bisa saling menatap, apakah mereka sudah melakukan hal buruk? Gumam masing-masing dari mereka dalam hati.Mungkin saja pertanyaan itu ada benarnya. Karena dalam bawah sadar Rosa yang masih merasuki tubuh Anggana, dan juga pengaruh ilusi milik Malea, menghasilkan kombinasi
Tiga saudari Rosa, yaitu Anggi, Rubi dan Ramona pergi menuju lokasi yang diberikan oleh Sakti. Mereka bergegas sembari terus mengingat wajah Sakti yang mereka lihat di ponsel Rosa. Sesekali Anggi menatap layar ponsel itu untuk memastikan seberapa jauh lagi jarak yang harus mereka tempuh. Anggi berharap agar Sakti tiba di tempat perjanjian terlebih dahulu, karena jika mereka yang lebih dulu sampai, bisa jadi Sakti akan menghindari pertemuan itu karena bukan Rosa yang datang. Ketika hampir sampai di tempat pertemuan, Anggi memerintahkan kedua saudarinya untuk berjaga-jaga dari jarak yang tidak terlalu jauh. Akhirnya Ramona dan Rubi menunggu di sebuah halte bus, berbaur bersama calon penumpang yang sedang menunggu. Lain halnya dengan Anggi, ia menunggu dengan sabar akan kehadiran Sakti. Mereka berjanji akan bertemu di sebuah minimarket yang menyediakan sebagian kecil areanya untuk bersantai dan menyesap kopi. Anggi belum bisa duduk-duduk di tempat pertemuan itu, ia menunggu Sakti yang
Suara mesin mobil menderu semakin cepat, membuat Sakti cukup yakin kalau dirinya dalam bahaya, walaupun ia tidak bisa melihat keadaan sekitar akibat rok yang menutup kepalanya. Ia mencoba berontak, menendangkan kakinya sembarangan ke berbagai arah, badannya ia guncang-guncangkan agar bisa lepas dari cengkeraman wanita-wanita gila itu.Semerbak aroma pengharum mobil menyeruak karena terjatuh akibat tendangan Sakti, aroma jeruk murahan sontak membuat siapa pun yang ada di dalamnya merasa mual.Rubi, yang sedang menyetir, akhirnya membuka kaca jendela mobil agar aroma pengharum tersebut tidak terlalu mengganggu.Ramona dan Anggi masih terus berusaha menjegal Sakti, Ramona kini setengah telanjang karena roknya ia lepaskan demi menutup paksa wajah Sakti.“Gila kamu, ya!” Bentak Anggi kepada Ramona yang setengah telanjang itu.“Ya, liat di tv emang begini caranya biar dia enggak tahu ke mana kita pergi.” Ucap Ramona sambil terengah-engah karena kewalahan menjegal Sakti yang terus berontak.
Rosa sedang menanti hukuman yang dijanjikan ayahnya, jiwanya yang terjebak di dalam tubuh Anggana terus saja merasakan hubungan antara jiwanya dan tubuh Anggana kian menyatu, ditambah lagi, ia bisa merasakan kalau jiwa milik Anggana juga masih ada bersamanya. Terkadang tubuh Anggana dengan leluasa dikendalikan Rosa, namun beberapa saat kemudian Anggana akan mengambil alih.Fenomena langka itu membuat Rosa tidak yakin bahwa ia sedang mengalami hal yang nyata atau sekedar ilusi.Ketujuh dewi dikumpulkan di dalam sebuah kamar luas penuh warna, dekorasinya yang mewah, aroma wewangian semerbak disertai dengan cahaya lembut yang menembus jendela kamar itu.Beberapa saat kemudian, seseorang memasuki kamar itu, ia mendorong meja beroda yang di atasnya tersedia banyak makanan dan buah. Sepertinya ia adalah pelayan di kerajaan ini, mungkinkah Rosa sedang berada di sebuah kerajaan? Rosa membatin.“Ya, ini adalah kerajaan, di Suarga ini ada beberapa kerajaan yang hebat.” Anggana mengucap dalam ha