Share

The Sad Angel Geana
The Sad Angel Geana
Author: Crazytata24

BAB 1 Tujuh Belas Tahunku

Aku Mila, kini menginjak SMA dua yang berarti aku sudah menginjak tujuh belas tahun di hidupku. Kata orang tujuh belas tahun merupakan tahun terindah, aku tidak merasakannya. Aku terlahir di keluarga berkecukupan, mempunyai orang tua dan dua adik, James dan Jennie, mereka kembar fraternal. Dulu, aku sangat menyayangi keluargaku, tetapi mungkin mereka tidak berpikir begitu. Ayahku bekerja di luar kota, dia sangat jarang pulang, kalaupun pulang dia juga memilih untuk jarang di rumah, ya aku bisa mengerti perasaan ayah, mungkin dia muak dengan istrinya, tidak salah, ibuku. Ibuku seorang pengusaha, segala sesuatu harus diatur olehnya, tentu tidak hanya karyawan-karyawannya. Keluarganya juga menjadi sasaran untuk diaturnya. Kami harus turut dengan segala aturannya, begitu juga dengan ayah.

Hari ini tepat di hari ulang tahunku yang ketujuh belas. Aku lagi-lagi dibully oleh kakak kelasku, ya bukan karena aku ulang tahun, mereka bahkan tidak tahu hari ini ulang tahunku. "Monyong!" Panggilan mereka untukku, mereka suka memalakku seenak jidat. Terkadang aku membentak mereka, tetapi yang ada aku malah diseret ke kamar mandi dan disiram air. Aku sungguh takut dengan mereka. Aku selalu mengatakan pada diriku untuk bertahan, karena sisa beberapa bulan lagi mereka akan lulus.

Kini aku berdiri di depan pintu rumah, aku merapikan rambutku yang hampir kering terkena hembusan angin, aku juga tidak lupa menarik napas sedalam-dalamnya, karena setelah membuka pintu ini aku tidak tahu apa yang akan terjadi. "Aku pulang," gumamku sambil melepaskan sepatu sekolahku. Suara berisik di ruang tamu membuat moodku yang sudah hancur bertambah hancur. Lagi-lagi ayah dan ibu bertengkar. Aku pun berjalan menuju kamarku dan mengunakan earphoneku. Teriakkan adikku James membuatku terkejut.

"Sudah diam!" Begitulah teriak dia di ruang tamu, aku dapat merasakan jika dia juga sudah muak dengan pertengkaran itu.

Aku mengintip dari sela pintu kamar. Ayah memilih keluar rumah dan ibu hanya menangis. James juga dengan kesal kembali ke kamarnya. Terkadang aku merasa kasihan dengannya, di umurnya yang sekarang seharusnya dia memiliki masa kecil yang indah, tetapi dia harus sepertiku merasakan tekanan seperti ini.

"Kalian semua durhaka!" teriak ibu di tengah tangisnya.

Akupun menghela napas dan menutup pintuku. Durhaka kata ibu, dia sungguh membuatku sesak. Selama ini aku selalu mendengar kata-katanya, jika aku mengelak, dia akan memarahiku dengan kata-kata itu. Dia sering membuatku berpikir apakah karena dia orang tua yang melahirkanku, maka setiap kata dia selalu benar? Walaupun sesungguhnya itu adalah sebuah kesalahan tetapi kita harus menurutinya dan setuju padanya? Apakah dengan kata tidak atau memberikan pendapat kita disebut durhaka? Setiap orang pasti akan mengatakan bagaimanapun dia adalah orang tuamu. Apakah tidak ada masukkan lain selain itu? Apakah aku benar-benar durhaka?

Aku memutuskan untuk pergi dari rumah, terlalu muak memikirkan hal itu setiap hari. Aku menaiki motorku mengelilingi daerah rumahku, selain sini, aku tidak dapat pergi jauh karena aku belum memiliki sim berkendaraan. Aku melihat berbagai kehidupan di sekitarku, tertawa, bahagia, sedih dan dingin, begitu banyak ekspresi yang orang-orang utarakan, tetapi mengapa aku hanya memiliki kesedihan dihidupku? Aku begitu mengharapkan kasih sayang dari keluargaku, teman-teman sekolahku, namun kenapa mereka tidak dapat memberikanku, walaupun hanya setitik saja, mungkin aku sudah bahagia, aku juga ingin seperti mereka dapat tertawa lepas, dapat tersenyum bahagia ketika mendapatkan hadiah di waktu ulang tahun, makan bersama keluarga dan meniup lilin bersama, namun itu semua hanyalah harapan semu-ku. Aku tahu harapan ini tidak akan pernah terkabulkan, tetapi setidaknya ini adalah alasan untuk diriku terus melanjutkan hidupku.

*brakk

Sebuah benturan mengejutkanku, aku terhempas jauh setelah sebuah truk berbelok menabrakku, aku tahu bukan salah truk tersebut, aku yang tidak melihatnya. Kini aku masih merasakan kesakitan yang luar biasa di sekujur tubuhku, aku ingin berdiri dan membawa kendaraanku pergi.

"Kamu tidak apa-apa?" Beberapa laki-laki segera berlari menghampiriku.

Ren, salah satu laki-laki yang masih berlari kecil di sana, laki-laki itu merupakan sepupuh jauhku, ya dia merupakan orang yang aku sukai sejak kecil. Setelah seseorang membangunkanku, aku pun berterima kasih padanya dan segera menundukkan kepala untuk pergi, namun kakiku menolak, terlalu perih.

"Kamu berdarah." Begitulah ujar salah satu laki-laki tersebut.

"Aku pergi belikan obat." Ren segera berlari pergi, aku berharap dia tidak melihatku dalam keadaan memalukan seperti ini.

"Aku sudah tidak kenapa-napa, aku ingin pulang," gumamku ingin melepaskan tangan teman Ren, tetapi dia menolak, dia membawaku duduk di bangku depan super market. "Sepertinya kamu harus ke rumah sakit," ujar salah satu di antara mereka setelah melihat lukaku.

Aku mengeleng kecil. "Tidak, aku baik-baik saja."

Ren berlari kecil kembali, dia sedikit terkejut ketika menyadari orang yang terluka itu adalah aku.

"Sini biar aku obati," ucap teman Ren, tetapi Ren menolaknya. "Biar aku saja," ucapnya mendekatiku. Dia terjongkok di depanku, sepata katapun tidak keluar dari mulutnya, wajahnya terlihat tidak senang. Lama tidak berjumpa, dia sudah berubah, dulu jika melihatku terluka mungkin dia akan mengoceh sepanjang jalan, tetapi sekarang dia hanya diam-diam membersihkan luka kakiku. Apakah dia sudah melupakanku?

"Aku ingin pulang," gumamku setelah Ren membalut lukaku.

"Aku antarkan." Dia menarik tanganku, aku segera menghindarnya.

"Tidak perlu," tolakku segera. Aku berusaha bangun dan berjalan pergi menuju motorku, aku yakin jika diriku masih kuat untuk mengendarainya pulang.

***

"Aku pulang." Aku berhasil sampai di rumah, tenangaku sudah terkuras habis, yang ingin aku lalukan adalah segera tidur di ranjangku, namun ibu muncul di depanku, dia melihatku dari atas hingga bawah, ya aku dapat menyadari bertapa lusuhnya diriku, melihat luka di kaki dan juga tanganku, dia terlihat marah.

"Kenapa terluka?" tanyanya dengan penuh nada emosi, aku tidak ingin menjawabnya, jika dia tahu aku ketabrak truk, mungkin bukan perhatian yang muncul dari mulutnya, melainkan sebuah amukkan yang mendatangiku.

"Aku tidak sengaja.. jatuh dari motor."

"Sudah kubilang naik motor harus hati-hati, kenapa kau tidak bisa mendengarnya?!" Sesuai dugaanku ibu begitu marah, aku hanya ingin segera masuk kamar, tetapi dia mencegatku.

Aku pun menatap ibu dengan lekat. "Aku tidak apa-apa, hanya luka kecil," jelasku memastikan.

"Luka kecil katamu?!" teriak ibu kesel.

"Aku sudah dewasa ibu! Aku dapat menjaga diriku!"

Ibu terlihat lebih marah setelah aku membentaknya, dia segera mengambil bangku besi di sampingnya dan ingin melempariku, seketika dunia ini terhenti, aku merasakan sesak, bangku juga membatu di tengah udara, sebuah angin berhembus membawaku pergi, di detik inilah aku kembali merasakan kehidupan, tetapi ini bukan rumahku, aku berada di sebuah atap bangunan tinggi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status