Kini aku membawa Ren ke dalam kamarku, lebih tepatnya kamar Geana dewi kesedihan.
“Kamu baik-baik saja?” Aku menopang Ren duduk di sofa kamarku.
Ren tersenyum padaku. “Ini hal yang biasa.”
“Biar aku obatin lenganmu,” gumamku mulai membuka tasku. Aku mempunyai obat merah dan juga pembalut luka, aku kira selamanya aku tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya, ternyata kesempatan itu datang bukan untukku, melainkan Ren. Di tengah pengobatan ini mengingatkanku pada waktu terakhir aku bertemu dengan Ren, dia juga mengobatiku seperti ini. “Sudah.” Aku pun kembali duduk di tempatku.
“Mila, percayalah padaku, aku akan mengembalikan kekuatanku dan membawamu kembali ke alam di mana seharusnya kamu berada.”
Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkannya, aku pun tersenyum kecil membalasnya.
“Sebaiknya kamu beritahu pada Amor bagaimana cara membuka segelku, sebelum kamu mati dibunuhnya,” gumamku. Rasa takut menyelimutiku ketika Amor benar-benar ingin membunuh Ren, dia dapat dengan mudah mengambil nyawa seseorang, jika Ren masih tidak mengatakannya, aku takut akan terjadi hal yang tidak kuinginkan.
Ren mengeleng. “Aku tidak akan mengatakannya, itu akan membahayakanmu.”
“Menurutmu aku yang sekarang tidak berbahaya?”
“Setidaknya sekarang kamu aman di bumi.”
Aku menatap Ren dengan lekat, sepertinya dia masih belum mengerti, atau dia tidak pernah benar-benar memerhatikanku? “Ren, mau aku katakan berapa kali? Bumi bukanlah tempatku, aku tidak bahagia di sana, aku bahkan lebih menyedihkan dari seekor binatang, apakah kau tahu bagaimana aku harus melewati setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik di bumi? Setiap selesai dibully anak lain, aku harus berpura-pura bahagia di depanmu, aku lelah.. aku bahkan sudah mencoba beberapa kali bunuh diri, tetapi aku tidak bisa, aku tidak memiliki kekuatan itu! Kau mengerti?!”
“Maaf,” ucap Ren.
Aku pun mencoba mengendalikan emosiku. “Maaf aku tidak seharusnya berkata seperti itu padamu.”
Ren mengeleng pelan.
“Sebaiknya kamu beritahu aku bagaimana cara membuka segelku, sebelum Amor benar-benar membunuhmu, aku tidak akan selamanya bisa melindungimu seperti ini.”
“Aku tidak akan mengatakannya,” ulang Ren. Dia begitu keras kepala.
Aku pun menghela napas lelah. “Baiklah, aku berharap kamu segera mengubah pemikiranmu itu, malam ini kamu tidur di kasurku saja.”
“Kamu tidur di mana?”
Aku melihat kembali kasur yang membuatku tidak bisa tidur itu. “Aku tidur sofa saja.”
“Tidak boleh, aku yang tidur sofa saja.”
“Tanganmu terluka, sebaiknya kau cepat sembuhkan tanganmu sebelum menambah luka di bagian lain, aku sudah lelah, aku tidur dulu. Aku pun segera membalingkan tubuhku dan membelakanginya.
“Cepatlah tidur,” gumamku setelah menyadari dia masih belum pergi.
Aku berusaha untuk tidur, tetapi tidak bisa. Aku pun berjalan pergi melihat Ren yang sudah tertidur. Aku sungguh merindukannya, sejak meranjak dewasa, kami jadi jarang bertemu, sekolah kami juga sangat jauh, dan lagi.. jika teman-teman perempuan Ren mengetahui dia bertemu denganku, mereka akan datang ke sekolahku dan bersekongkol dengan kakak-kakak kelasku untuk mebullyku. “Ren, kamu yang sekarang sudah berubah, kamu menjadi begitu dingin dan asing,” gumamku.
“Sungguh menakjubkan bukan?” bisik Amor mengejutkanku, dia tiba-tiba muncul di belakangku, tidak heran, dia pasti sedang mendengar suara hatiku lagi. Aku pun langsung menariknya keluar balkon.
“Kenapa kau datang?”
“Melihat keadaanmu, membiarkanmu dengan dia di dalam satu kamar bukan hal yang baik,” gumamnya sambil menatap masuk ke arah Ren tidur.
Saat ini tatapan Amor sungguh berbeda, dia tidak lagi memakai tatapan membunuhnya. “Kau.. tidak akan benar-benar membunuhnyakan?” tanyaku memastikan.
Amor tersenyum meledek. “Dia hanyalah manusia biasa sekarang, aku sudah pernah bilang, jika dewa kematian tidak boleh sembarangan membunuh manusia.”
Aku pun menghela napas lega. “Jadi tadi kamu hanya mempermainkan kami?”
Amor pun terdiam, wajahnya seketika menjadi serius menatap langit. “Lain kali sebaiknya kamu jangan memeluk laki-laki lain, atau tidak aku akan benar-benar membunuhnya.. walaupun dia seorang manusia.”
Apakah Amor marah? Tetapi kenapa dia marah? Aku pun segera mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana? Kamu sudah menemukan orang yang menyegel kekuatan Ren?”
Amor menyandarkan tubuhnya di perbatasan. “Mir bilang, hanya ada satu cara.”
Sebuah harapan kembali menemuiku. “Apa?”
“Pintu dimensi, kita bisa menggunakan pintu dimensi untuk melakukan transposisi ke waktu di mana bocah itu disegel.”
“Pintu dimensi? Ke mana kita menemukannya?”
“Mir memilikinya, besok kita akan pergi menemuinya.”
“Baiklah,” anggukku mengerti. “Apakah..” Aku dikejutkan oleh seekor binatang buas putih yang terbang menghampiri kami, aku segera mengumpat di belakang Amor. Seekor panther putih bersayap melandas di balkon, wajahnya begitu galak. “Amor,” panggilku memegang bajunya dengan erat.
Amor tersenyum melihat tingkahku. “Dia peliharanmu, Geana,” jelasnya. Aku pun mengintip sedikit, ternyata aku yang dulu sudah gila, memelihara binatang sebesar ini.
“Mera,” panggil Amor mengusap-usap kepala panther itu, wajah panther bernama Mera itu seketika berubah menjadi manja.
“Dia tidak akan melukaimu,” gumam Amor.
Jika dilihat-lihat lagi, dia memang mengemaskan, aku pun mengulurkan tangan kananku untuk ikut mengusapnya, tidak disangka dia begitu manja, aku pelan-pelan melepaskan tangan kiriku dari baju Amor dan mulai mendekati Mera.
“Kamu lucu sekali.” Dia sangat mengemaskan, ketika aku mengelus-ngelusnya, dia langsung berbaring membiarkanku bermain dengannya.
“Mila,” panggil Ren berlari keluar, dia mungkin terkejut melihat Mera.
Melihat Ren, wajah Mera kembali menjadi galak, dia bahkan megeluarkan suara yang mengemparkan. “Mera, dia temanku,” ucapku menenangkannya.
“Mila ke sini, dia akan melukaimu.” Ren begitu panik.
Amor hanya tertawa meledek menontoni kami.
“Ren, dia Mera, peliharaanku, dia tidak akan melukaiku,” jelasku.
“Sudah, Mera, sana pulang istirahat,” ucap Amor.
Mera dengan senang mengelilingku dan ingin masuk ke kamar, tetapi ketika melihat Ren, dia pun terhenti dan mengaum di depan Ren, setelah itu dia lanjut berjalan masuk ke dekat kasur dan tidur di sana.
Aku pun mengerti kenapa ruang kamarku begitu luas, ternyata hewan bongsor itu juga tidur di dalam.
“Ren, kamu baik-baik saja?” tanyaku menghampirinya.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kamu kembali tidur dulu, besok kita akan pergi mencari pintu dimensi.”
“Pintu dimensi?”
Aku mengangguk-angguk sambil menoleh ke arah Amor. “Amor bilang setelah masuk ke pintu dimensi kita akan menemukan siapa pelaku yang menyegelmu.”
“Tetapi pintu itu sudah hilang ratusan tahun lalu,”
“Mir memilikinya,” ucapku membuat Ren terkejut juga tidak begitu mengerti.
“Ternyata kalian dewa kematian juga hobi menjadi pencuri,” ucap Ren tersenyum meledek.
Amor pun menatap Ren dengan ketus, “Jika memiliki kemampuan, maka tidak akan dengan mudah diambil orang bukan,” sindir Amor kembali.
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan mereka, namun setiap kali bertemu mereka selalu seperti itu.
“Aku tidur dulu,” gumamku berjalan pergi meninggalkan mereka.
Melihat Mera tertidur pulas di samping kasurku, aku pun menghentikan langkahku, aku sedang membayangkan bagaimana kehidupanku dulu dengan hewan bongsor nan imut itu, mungkin sangat bahagia.
“Pintu dimensi ada di gunung kutub utara, aku akan membawa kalian pergi.” Mir orang yang disebut-sebut Amor kemarin ternyata adalah laki-laki dengan sehelai kain hitam. Dia begitu tampan dan lembut, benar-benar tidak seperti seorang dewa kematian. “Semua yang ada di dalam dunia dimensi tidak dapat berubah, kalian hanya dapat menonton, mencari jawaban yang kalian inginkan, dan lagi setelah setengah jam segeralah keluar, jika tidak, pintu akan tertutup.” Kami bertiga seperti wisatawan yang mendengarkan seorang pemandu wisata membicarakan suatu destinasi. Setelah bercerita lama tentang pintu dimensi, kami pun segera berangkat menuju tempat yang dituju,tidak di sangka gunung di kutub ini sangat dingin. Dalam detik di mana aku berpijak di sini, seluruh tubuhku seperti membeku. Amor segera menarik tanganku, seketika seluruh tubuhku menjadi hangat kembali. Aku pun menatapnya dengan lekat, apakah dia adalah penghangat berjalan? Aku pun mengandeng tanganya dengan erat. Mir segera memberikanny
Aku menyukai Amor? Aku begitu terkejut menoleh ke arah Amor, di benakku tidak pernah kepikiran dapat menyukai seorang dewa kematian. Amor pun tersenyum. “Ternyata selama ini kamu tidak pernah melupakanku, Geana.” Kata-kata itu membuatku merasa geli juga tidak mengerti. “Baiklah, sudah tidak ada waktu, daripada mati di sini, aku akan mengirim kalian pulang, setelah keluar dari pintu dimensi ini, menjauhlah dari Mir,” gumam Amor melepaskan tanganku. Dia sungguh membuatku syok, apa yang ingin dia lakukan? Mengantarkan nyawanya demi memulangkan kami? “Tidak Amor, tidak! Kamu tidak boleh mati di sini!” Amor pun tersenyum menatapku. “Setimpal,” sebuah kecupan darinya membuatku membatu, begitu banyak banyangan yang muncul di benakku, namun bukan kesedihan, aku merasakan kebahagian berada di sisi Amor, rasa yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah sinar menyilaukan memulangkan kami ke depan pintu dimensi. *** “Geana,” panggil Ren segera membangunkanku. “Amor! Amor!” teriakku menatap
“Amor!” teriakku. Aku tersadar dari mimpi panjangku. Amor menatapku dengan dingin, dia duduk di pinggir kasurku. “Amor,” panggilku segera bangun dan memeluknya dengan erat. Aku berharap seluruh itu hanyalah mimpi dan tidak akan menjadi kenyataan. “Bodoh, kenapa sembarangan mengambil tindakan?” tanyanya. Dia mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus kepalaku. “Aku.. aku ingin pergi mencarimu.” Amor langsung mengetuk kepalaku pelan. “Kamu lupa jika kita saling terhubung, hanya kamu yang dapat mengumpulkan jiwaku, jika kamu datang mencariku, aku tidak akan kembali lagi bodoh.” Kata-katanya membuatku tersadar bertapa bodohnya diriku, kenapa aku tidak mengingatnya. Kami saling terikat, hanya aku yang dapat membangunkannya. “Amor,” panggilku lagi. Aku melepaskan pelukkanku dan menatapnya. “Bagaimana dengan kakak?” “Bajingan itu.., maksudku Mir, dia kabur.” “Ren, bagaimana dengan Ren? Apakah dia baik-baik saja.” “Kau.., sangat memerhatikannya,” gumam Amor terdengar dingin. Aku pun m
“Mama, aku ingin beli itu.” Seorang gadis dengan senang menujuk boneka di dalam toko dekat sekolah. Boneka tersebut merupakan keluaran terbaru minggu ini, anak-anak yang melewatinya selalu terhenti hanya untuk melihatnya, begitupun denganku. Setiap pulang pergi sekolah aku selalu terhenti di depan toko, melihat tembus ke dalam estalase mewah. Boneka teddy bear tersebut duduk manis di dalam sana. “Ayo kita masuk beli.” Sang ibu tersenyum manis mengandeng gadis munggil itu masuk. “Mama, aku lelah,” keluh seorang anak kecil yang melewatiku. “Sini mama gendong.” Tanpa basa-basi ibunya langsung mengendong putri munggilnya. Pemandangan di depanku sungguh membuat orang iri. Anak-anak itu memiliki umur yang sama sepertiku, enam tahun, tetapi.., hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan daerah sekolah. Aku sungguh iri dengan mereka, kenapa mereka memiliki ibu yang begitu menyayangi mereka, tetapi aku hanya dapat pulang ke rumah seorang diri. “Mila,” pan
Pagi telah tiba, kemarin malam adalah malam pertama aku dapat tidur dengan tenang setelah sejumlah kejadian menimpaku. Aku mengantarkan Ren ke gerbang perbatasan alam kami. “Sampai jumpa, jika bertemu masalah datanglah mencariku,” ucap Ren. Aku pun memeluknya, tidak disangka dari awal pertemuan kami hingga pelukan kali ini, dari musuh hingga menjadi teman, aku tidak pernah memikirkan dapat memiliki teman dari alam yang berbeda. “Kau juga, jika bertemu masalah jangan sungkan-sungkan, aku akan membantumu,” ucapku menatapnya dengan lekat. Seorang dewa kebahagian tertampan sejagat, Ren kini memakai kembali topengnya. Dia menyunggingkan senyuman di bibirnya yang tipis. “Jika begitu ikutlah aku pulang.” “Jangan bercanda lagi,” gumamku ikut tersenyum. “Baik-baik, sampai jumpa.” Aku melihat sosok Ren yang pelan-pelan menjauh. Jika aku tidak pulang untuk menjadi ratu kebahagian, Ren pasti akan menjadi raja, aku mengharapkan hari itu segera tiba. Setelah mengantarkan Ren, aku pun kemba
Kami sampai di taman bermain. Waktu menjadi Mila, hal yang begitu aku inginkan adalah datang ke taman bermain, bermain roller coaster, komedi putar, bianglala, bagaikan cerita dongeng. “Ayo kita main itu!” tunjukku ketika melihat wahana tornado, tetapi Amor langsung menarikku, membuat langkahku terhenti. “Tidak, tidak, permainan itu terlalu berbahaya,” cegatnya. Aku pun mengangguk-angguk menyetujui, kematian karena permainan itu tidaklah sedikit. “Baiklah, kalau gitu kita main yang itu,” tunjukku ke arah lain, di saat aku ingin berjalan pergi, Amor kembali menarikku. “Tidak, itu juga berbahaya,” cegatnya lagi. Aku pun menatap Amor dengan kesal. “Amor, kamu lupa jika kamu adalah dewa kematian?” tanyaku mengingatkan. “Iya juga,” angguk Amor menyadari. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain roller coaster yang tidak jauh dari kami. Di bumi permaian ini adalah permainan yang paling terkenal, banyak orang yang akan mencoba menaikinya, aku tentu penasaran. Kini kami duduk bersebelah d
Kini langit memancarkan cahaya matahari sebelum terbenam, warna langit menjadi begitu indah, pink jingga. Seiring matahari yang menghilang dari depan mataku, warna langit pelan-pelan mengelap, seperti kekosongan di hatiku sekarang. Aku dan Amor duduk di atas bianglala tertinggi di bumi ini. Aku memakai sihirku menghentikan bianglala, menikmati pemandangan luar dari ketinggian sini. “Tidak ada gunanya kamu memikirkan dia,” gumam Amor menghampiriku. Walau tidak membuka pintu hati, Amor tetap dapat mengerti diriku dengan baik. Dari mata Amor aku dapat merasakan jika dia sudah membuat keputusan. “Amor, apakah ada cara untuk tidak membunuhnya?” Amor tidak menjawabku, Mir kakakku telah melakukan kesalahan yang begitu besar, hukuman ringan saja tidak cukup untuknya, walau aku membencinya yang sekarang, namun dari dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin mengakhiri hidupnya. “Bagaimanapun dia adalah keluarga satu-satunya yang aku miliki sekarang,” lanjutku. Amor terdiam cukup lama menatap ke
Sebuah bar di tengah kota, aku dan Amor menelusuri tempat tersebut dengan kekuatan kami, sehingga tidak akan ada yang menyadari keberadaan kami. “Akhirnya ketemu.” Begitu puasnya diriku ketika melihat segerombolan manusia yang aku cari. “Manusia jahat seperti inilah yang harus di beri pelajaran olehku. “Amor hanya tersenyum meledek di sampingku. Dia mengerti diriku, jika ada dendam maka harus dibalas. “Lakukanlah,” gumamnya.Aku pun tersenyum melihat kakak-kakak kelasku yang menikmati bir dengan sejumlah lelaki, sungguh hancur hidup mereka. Aku mulai mengerakkan tanganku, memindahkan seluruh kesedihan berlebihan di jiwa orang-orang sekitar sini dan memasukan ke mereka, dengan ini mereka akan menanggung kesedihan berlebihan di hidup mereka. Aku ingin mereka merasakan bagaimana hidup orang-orang yang ditindas oleh mereka, Mereka telah memperburuk hidupku di bumi, balasan seperti ini tidaklah keji untuk mereka.Salah satu kakak