"Itu urusanku, sepertinya aku tidak perlu menjelaskan padamu," ucap Ren, namun Amor segera menarikku ke sisinya.
"Urusanmu memang bukan urusanku, tetapi Geana adalah orangku, urasan dia adalah urusanku," ucap Amor. "Cepatlah cari kembali kekuatanmu dan buka segel Geana atau tidak aku akan menghancurkan alammu."
"Aku menyadari kau, Amor Ashilie, calon raja dewa kematian begitu suka mengancam," sindir Ren
Amor tersenyum kembali, aku menyadari setiap senyuman dia begitu mematikan, seperti tidak akan memberikan musuhnya kesempatan untuk hidup. "Aku tidak bercanda denganmu, jika kau tidak bisa membuka segel Geana, aku akan..,"
"Ren," panggil seorang perempuan mengalihkan pembicaraan kami. Wajah perempuan itu begitu asing, dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ren, sepertinya mereka satu sekolah, namun untuk apa mereka datang ke sini. "Ren, kepala sekolah memanggil kita untuk menemuinya."
"Baiklah," balas Ren sambil menyingkirkan tangan Amor darinya, dia pun segera berjalan pergi meninggalkan kami.
Aku terdiam cukup lama, jujur dalam hatiku masih belum bisa menerima apa yang baru terjadi, Ren dia adalah orang yang aku sukai, ternyata menyembunyikan hal sebesar ini selama ini.
"Aku harus pergi mencarinya," gumam Amor, namun aku menahannya.
"Nanti dia akan datang sendiri mencari kita," ucapku meyakinkannya.
"Kamu kenal dekat dengannya?" pertanyaan Amor membuatku terdiam, tanpa basa-basi Amor menarik tanganku. "Sepupu jauh?" Sebuah senyuman meledek mengembang di bibirnya. "Kamu menyukainya."
Aku segera menarik tanganku kembali, lagi-lagi dia membacaku. "Kau keterlaluan!" Aku pun segera berjalan pergi meninggalkannya.
"Dia tidak pantas untukmu, Geana,"
"Diam kau!"
"Kau akan menyesalinya setelah mengingat semuanya," ledek Amor tersenyum senang, dia telihat puas saat mengolokku.
"Itu juga tidak ada urusan denganmu," gumamku kesal.
***
Setelah mengakhiri pelajaran hari ini, aku pun menunggu Ren di lapangan tadi, aku begitu yakin dia akan mencariku.
"Mila," panggil Ren membuatku menoleh.
"Aku Geana," jelasku.
"Bagaimana Amor dapat menemukanmu?"
Ren seperti berubah menjadi seseorang yang tidak kukenal, dia bahkan tidak memerhatikan keadaanku sekarang, dia tidak menanyakan soal kematianku bahkan kenapa aku dapat muncul di sini, yang dia ingin tahu hanyalah soal Amor.
"Kamu masih belum menjelaskan padaku," sela-ku. Aku sungguh ingin tahu bagaimana dia melakukan ini semua, dari menjadi sepupuku, memberikan seluruh perhatiannya di masa kecil, membuatku suka padanya, hingga sebuah rahasia besar di balik itu semua.
"Mila," panggil Ren lagi.
"Geana!" tekanku.
"Baik, kamu tidak boleh berada di sisi Amor, kamu harus mengikutiku kembali ke alam kita." Alam kita? Bumi tempat kita pijak? Atau alam kebahagiaan?
"Alam kita?" tanyaku.
"Iya, alam kebahagiaan, aku ditugaskan ratu untuk menjemputmu pulang." Sebuah penjelasan yang lebih membuatku bingung, ratu katanya, ratu kebahagiaan? Apa hubungan dia denganku?
"Bagaimana caranya? Jika perkataanmu benar, kita juga tidak akan di sini," gumamku mengamparnya dengan kenyataan.
Ren terdiam tidak menjawab. "Seseorang menyegel kekuatanku ketika kita jatuh ke bumi."
"Lalu kenapa kau tidak kehilangan ingatan?" Ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat aku ingin tanyakan sejak tadi, kenapa kami sama-sama disegel dan aku tidak bisa mengingat sedikitpun, sedangkan dia masih mengingat segalanya.
"Segel ini berbeda.."
"Jika begitu, kenapa kamu menyegelku?!" tanyaku lagi.
"Melupakan indetitasmu di alam kematian lebih baik, aku ingin kamu memulai hidup baru dan menjadi bahagia."
Penjelasan Ren kali ini cukup membuatku ingin tertawa. "Bahagia katamu? Menurutmu selama tujuh belas tahun ini aku bahagia?!"
Ren terdiam tidak meresponku, mungkin dia tahu menyegel ingatan dan kekuatanku saja tidak ada guna, karena jiwa kesedihan di dalam diriku tidak akan semudah itu ikut tersegel.
"Boleh beritahuku bagaimana membuka segel ini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan, aku tidak ingin bergelut soal bahagia dan tidak bahagia dengannya, sejak tahu Ren bukan manusia juga, aku jadi semakin ingin mencari kembali ingatanku, memecahkan misteri-misteri yang semakin membuatku penasaran.
"Aku.. aku harus menemukan siapa yang menyegel kekuatanku dulu."
"Siapa?"
"Tidak tahu, tetapi.., orang..itu tidak mudah," gumam Ren.
Amor tiba-tiba muncul dan memegang kening Ren. "Siapa dia?" Dia mulai membaca ingatan Ren, sepertinya kebiasaan buruk dia yang seperti ini memang sulit diubah.
"Kenapa aura orang itu begitu aneh.., seperti dari alam kematian namun juga bukan," gumam Amor melepaskan tangannya. Dia seperti sudah melihat siapa pelaku yang telah menyegel kekuatan Ren.
"Apa kamu melihat jelas?" tanyaku menghampirinya.
Amor mengeleng pelan. "Aku hanya merasakan auranya."
"Ternyata kekuatan seorang dewa kematian juga sebatas itu?" sindir Ren.
Amor pun tertawa meledek. "Lucukah? Jika kau memiliki kemampuan yang hebat, kau juga tidak akan di sini selama ini," sindir Amor kembali.
Dua laki-laki di depan hadapanku bagaikan musuh berbuyutan yang selalu adu mulut jika bertemu, apakah mereka seperti ini dulunya? Aku pun mengalihkan pembicaraan. "Selain cara menemukan siapa yang menyegelmu masih ada cara lain?" tanyaku, namun Ren hanya terdiam, aku dapat merasakan dari matanya jika dia tahu cara lain.
"Apakah dengan cara membunuhmu baru dapat membuka segel Geana?" Pertanyaan Amor begitu mengejutkan, dia bahkan sudah bersiap membuka pedangnya, aku segera berlari ke depan Ren dan menahan Amor.
"Dia punya," sela-ku cepat sebelum Amor melakukan hal yang tidak kuinginkan.
"Oh yakah?"
"Ren cepat katakan!" ucapku di tengah menahan Amor. Aku tentu berharap Amor tidak benaran ingin membunuh Ren.
"Aku tidak akan mengatakannya!" bentak Ren. Dia begitu keras kepala.
"Sangat baik." Amor memakai kekuatannya meminggirkanku, dia bahkan mengunciku di tempat, dia mengeluarkan pedangnya dan ingin membunuh Ren.
"Tidak!" teriakku. Tubuhku seperti membatu di tempat, aku bahkan tidak dapat bergerak sedikitpun.
Sebuah sayatan berhasil mengenai lengan Ren.
Aku sungguh terkejut ketika melihat Amor benar-benar ingin membunuh Ren, selama beberapa hari ini aku bahkan sudah melupakan indetitas dewa kematiannya. "Tidak! Aku mohon Amor jangan!" teriakku lagi ketika Amor mulai melayangkan pedangnya.
Pedang itu melayang ke depan leher Ren. "Aku berikan satu kali kesempatan, katakan atau aku akan benar-benar membunuhmu di sini."
"Aku tidak akan mengatakannya kalaupun akan mati di tanganmu."
"Benar-benar tidak tahu diri!"
"Amor! Jangan Amor, aku mohon!" teriakku lagi. Aku terjatuh di tempat seketika, tubuhku kembali bisa bergerak di tengah pemberontakanku, akupun segera bangun dan berlari ke arah Ren, aku memeluknya dengan erat, tidak membiarkan Amor melukainya lagi. "Amor, aku mohon padamu..," gelengku. Aku begitu berharap dia tidak melakukannya.
"Mila," panggil Ren ingin menyingkirkanku, aku tahu dia tidak ingin aku menjadi tamengnya, namun hanya cara ini yang dapat menghentikan Amor.
Wajah mematikan Amor pun menghilang disusul dengan pedangnya yang ikut menghilang juga. "Kita bawa dia pulang ke alam kita," gumamnya berjalan pergi.
Aku segera mengangguk setuju sambil menopang Ren berdiri.
Kini aku membawa Ren ke dalam kamarku, lebih tepatnya kamar Geana dewi kesedihan.“Kamu baik-baik saja?” Aku menopang Ren duduk di sofa kamarku.Ren tersenyum padaku. “Ini hal yang biasa.”“Biar aku obatin lenganmu,” gumamku mulai membuka tasku. Aku mempunyai obat merah dan juga pembalut luka, aku kira selamanya aku tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya, ternyata kesempatan itu datang bukan untukku, melainkan Ren. Di tengah pengobatan ini mengingatkanku pada waktu terakhir aku bertemu dengan Ren, dia juga mengobatiku seperti ini. “Sudah.” Aku pun kembali duduk di tempatku.“Mila, percayalah padaku, aku akan mengembalikan kekuatanku dan membawamu kembali ke alam di mana seharusnya kamu berada.”Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkannya, aku pun tersenyum kecil membalasnya.“Sebaiknya kamu beritahu pada Amor bagaimana cara membuka segelku, sebelum kamu mati dibunuhnya,
“Pintu dimensi ada di gunung kutub utara, aku akan membawa kalian pergi.” Mir orang yang disebut-sebut Amor kemarin ternyata adalah laki-laki dengan sehelai kain hitam. Dia begitu tampan dan lembut, benar-benar tidak seperti seorang dewa kematian. “Semua yang ada di dalam dunia dimensi tidak dapat berubah, kalian hanya dapat menonton, mencari jawaban yang kalian inginkan, dan lagi setelah setengah jam segeralah keluar, jika tidak, pintu akan tertutup.” Kami bertiga seperti wisatawan yang mendengarkan seorang pemandu wisata membicarakan suatu destinasi. Setelah bercerita lama tentang pintu dimensi, kami pun segera berangkat menuju tempat yang dituju,tidak di sangka gunung di kutub ini sangat dingin. Dalam detik di mana aku berpijak di sini, seluruh tubuhku seperti membeku. Amor segera menarik tanganku, seketika seluruh tubuhku menjadi hangat kembali. Aku pun menatapnya dengan lekat, apakah dia adalah penghangat berjalan? Aku pun mengandeng tanganya dengan erat. Mir segera memberikanny
Aku menyukai Amor? Aku begitu terkejut menoleh ke arah Amor, di benakku tidak pernah kepikiran dapat menyukai seorang dewa kematian. Amor pun tersenyum. “Ternyata selama ini kamu tidak pernah melupakanku, Geana.” Kata-kata itu membuatku merasa geli juga tidak mengerti. “Baiklah, sudah tidak ada waktu, daripada mati di sini, aku akan mengirim kalian pulang, setelah keluar dari pintu dimensi ini, menjauhlah dari Mir,” gumam Amor melepaskan tanganku. Dia sungguh membuatku syok, apa yang ingin dia lakukan? Mengantarkan nyawanya demi memulangkan kami? “Tidak Amor, tidak! Kamu tidak boleh mati di sini!” Amor pun tersenyum menatapku. “Setimpal,” sebuah kecupan darinya membuatku membatu, begitu banyak banyangan yang muncul di benakku, namun bukan kesedihan, aku merasakan kebahagian berada di sisi Amor, rasa yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah sinar menyilaukan memulangkan kami ke depan pintu dimensi. *** “Geana,” panggil Ren segera membangunkanku. “Amor! Amor!” teriakku menatap
“Amor!” teriakku. Aku tersadar dari mimpi panjangku. Amor menatapku dengan dingin, dia duduk di pinggir kasurku. “Amor,” panggilku segera bangun dan memeluknya dengan erat. Aku berharap seluruh itu hanyalah mimpi dan tidak akan menjadi kenyataan. “Bodoh, kenapa sembarangan mengambil tindakan?” tanyanya. Dia mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus kepalaku. “Aku.. aku ingin pergi mencarimu.” Amor langsung mengetuk kepalaku pelan. “Kamu lupa jika kita saling terhubung, hanya kamu yang dapat mengumpulkan jiwaku, jika kamu datang mencariku, aku tidak akan kembali lagi bodoh.” Kata-katanya membuatku tersadar bertapa bodohnya diriku, kenapa aku tidak mengingatnya. Kami saling terikat, hanya aku yang dapat membangunkannya. “Amor,” panggilku lagi. Aku melepaskan pelukkanku dan menatapnya. “Bagaimana dengan kakak?” “Bajingan itu.., maksudku Mir, dia kabur.” “Ren, bagaimana dengan Ren? Apakah dia baik-baik saja.” “Kau.., sangat memerhatikannya,” gumam Amor terdengar dingin. Aku pun m
“Mama, aku ingin beli itu.” Seorang gadis dengan senang menujuk boneka di dalam toko dekat sekolah. Boneka tersebut merupakan keluaran terbaru minggu ini, anak-anak yang melewatinya selalu terhenti hanya untuk melihatnya, begitupun denganku. Setiap pulang pergi sekolah aku selalu terhenti di depan toko, melihat tembus ke dalam estalase mewah. Boneka teddy bear tersebut duduk manis di dalam sana. “Ayo kita masuk beli.” Sang ibu tersenyum manis mengandeng gadis munggil itu masuk. “Mama, aku lelah,” keluh seorang anak kecil yang melewatiku. “Sini mama gendong.” Tanpa basa-basi ibunya langsung mengendong putri munggilnya. Pemandangan di depanku sungguh membuat orang iri. Anak-anak itu memiliki umur yang sama sepertiku, enam tahun, tetapi.., hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan daerah sekolah. Aku sungguh iri dengan mereka, kenapa mereka memiliki ibu yang begitu menyayangi mereka, tetapi aku hanya dapat pulang ke rumah seorang diri. “Mila,” pan
Pagi telah tiba, kemarin malam adalah malam pertama aku dapat tidur dengan tenang setelah sejumlah kejadian menimpaku. Aku mengantarkan Ren ke gerbang perbatasan alam kami. “Sampai jumpa, jika bertemu masalah datanglah mencariku,” ucap Ren. Aku pun memeluknya, tidak disangka dari awal pertemuan kami hingga pelukan kali ini, dari musuh hingga menjadi teman, aku tidak pernah memikirkan dapat memiliki teman dari alam yang berbeda. “Kau juga, jika bertemu masalah jangan sungkan-sungkan, aku akan membantumu,” ucapku menatapnya dengan lekat. Seorang dewa kebahagian tertampan sejagat, Ren kini memakai kembali topengnya. Dia menyunggingkan senyuman di bibirnya yang tipis. “Jika begitu ikutlah aku pulang.” “Jangan bercanda lagi,” gumamku ikut tersenyum. “Baik-baik, sampai jumpa.” Aku melihat sosok Ren yang pelan-pelan menjauh. Jika aku tidak pulang untuk menjadi ratu kebahagian, Ren pasti akan menjadi raja, aku mengharapkan hari itu segera tiba. Setelah mengantarkan Ren, aku pun kemba
Kami sampai di taman bermain. Waktu menjadi Mila, hal yang begitu aku inginkan adalah datang ke taman bermain, bermain roller coaster, komedi putar, bianglala, bagaikan cerita dongeng. “Ayo kita main itu!” tunjukku ketika melihat wahana tornado, tetapi Amor langsung menarikku, membuat langkahku terhenti. “Tidak, tidak, permainan itu terlalu berbahaya,” cegatnya. Aku pun mengangguk-angguk menyetujui, kematian karena permainan itu tidaklah sedikit. “Baiklah, kalau gitu kita main yang itu,” tunjukku ke arah lain, di saat aku ingin berjalan pergi, Amor kembali menarikku. “Tidak, itu juga berbahaya,” cegatnya lagi. Aku pun menatap Amor dengan kesal. “Amor, kamu lupa jika kamu adalah dewa kematian?” tanyaku mengingatkan. “Iya juga,” angguk Amor menyadari. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain roller coaster yang tidak jauh dari kami. Di bumi permaian ini adalah permainan yang paling terkenal, banyak orang yang akan mencoba menaikinya, aku tentu penasaran. Kini kami duduk bersebelah d
Kini langit memancarkan cahaya matahari sebelum terbenam, warna langit menjadi begitu indah, pink jingga. Seiring matahari yang menghilang dari depan mataku, warna langit pelan-pelan mengelap, seperti kekosongan di hatiku sekarang. Aku dan Amor duduk di atas bianglala tertinggi di bumi ini. Aku memakai sihirku menghentikan bianglala, menikmati pemandangan luar dari ketinggian sini. “Tidak ada gunanya kamu memikirkan dia,” gumam Amor menghampiriku. Walau tidak membuka pintu hati, Amor tetap dapat mengerti diriku dengan baik. Dari mata Amor aku dapat merasakan jika dia sudah membuat keputusan. “Amor, apakah ada cara untuk tidak membunuhnya?” Amor tidak menjawabku, Mir kakakku telah melakukan kesalahan yang begitu besar, hukuman ringan saja tidak cukup untuknya, walau aku membencinya yang sekarang, namun dari dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin mengakhiri hidupnya. “Bagaimanapun dia adalah keluarga satu-satunya yang aku miliki sekarang,” lanjutku. Amor terdiam cukup lama menatap ke