Hari ini aku kembali masuk sekolah setelah menghilang berhari-hari. Kali ini aku menggunakan tubuh yang sama, nama yang berbeda begitupun dengan indetitasku untuk menemui teman-teman sekelasku lagi. "Aku murid baru Geana, senang bertemu dengan kalian." Begitu banyak murid yang tersenyum melihatku, ini tidak seperti biasanya mereka melihatku sebagai Mila, aku pun menoleh ke arah Amor.
"Aku menutup aura kesedihanmu," gumamnya. Dia seperti tahu apa yang kupikirkan, apakah dia mulai membaca pikiranku lagi?
"Baiklah, kalian cari bangku kosong dan duduklah," ucap bapak guru yang akhirnya mempersilakan kami duduk, aku melamun cukup lama hingga akhirnya memutuskan untuk duduk di tempat biasanya aku duduk. Tempat dekat tong sampah, ya aku tidak menyukai tempat ini, tetapi begitulah mereka mengucilkanku dulu, dan kini aku kembali duduk di sini merasakan kembali kenangan yang sudah lenyap itu.
"Di sana tempat duduk.." Teman sekelasku yang duduk tepat di depanku terhenti ketika ingin mengatakan sesuatu. Aku tentu tahu apa yang ingin dia katakan, tempat ini adalah tempat duduk Mila, anak menyedihkan yang sudah mati itu.
"Kenapa?" tanyaku, tetapi dia hanya mengeleng pelan.
"Tidak apa-apa," gumamnya kembali menghadap depan.
Aku pun tersenyum kecil menanggapinya, bukan karena senang seseorang berbicara denganku, namun menertawakan bertapa menyedihkannya Mila.
***
Jam istirahat berkunjung, sesuatu yang tidak kuduga juga berkunjung, begitu banyak orang mengelilingiku, sepertinya mereka begitu tertarik denganku, bukan lebih tepatnya Amor. Banyak di antara mereka yang berpura-pura baik padaku, tetapi matanya selalu menoleh ke Amor yang berada di sampingku.
"Maaf, aku harus pergi makan siang," gumamku. Aku pun segera berdiri dan pergi meninggalkan kelas.
"Kenapa pergi begitu saja?" tanya Amor yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Maaf, aku hanya tidak terbiasa."
Amor pun tersenyum kecil, jika dilihat-lihat, dia memang sangat tampan. Aku segera memalingkan wajahku. "Apa dengan masuk sekolah akan berguna untuk mencari dewa kebahagian?" Jika tidak, aku tidak ingin berada di sini semenitpun.
"Setidaknya ini adalah salah satu kesempatan."
Jika dewa kebahagiaan ada di sisiku kenapa dia tidak muncul dari dulu? Selama ini aku tidak pernah merasakan kedekatan dengan siapapun, siapa dia? Apakah dapat cepat-cepat menemukannya? Aku ingin segera memecahkan misteri-misteri ini, mengetahui siapa diriku sebenarnya.
Di saat kami ingin berjalan ke arah kantin, seorang gadis menangis melewatiku, tubuhnya sedikit basah, aku pun menoleh kembali ke arah toilet yang tidak jauh dari tempatku berdiri, ini semua pasti ulah kakak-kakak kelas yang sering membully-ku itu. Aku pun terdiam menunggu mereka keluar dari kamar mandi dan ternyata benar, mereka membully gadis lain. Tanpaku, mereka masih bisa melanjutkan aksi jahat mereka kepada korban lain.
Mereka berjalan melewatiku dan menabrakku, dengan tatapan menyeramkan salah satu di antara mereka menarik kerah bajuku. "Wah, wah, wah, wajah yang asing, kamu murid baru pindahan itukan?"
"Jaga sikapmu." Amor yang berada di sebelahku langsung menangkis tangannya. "Ayo pergi," ajaknya memapahku pergi.
"Apakah orang jahat seperti mereka tidak dapat menghilang dari muka bumi ini?" gumamku geram.
"Jika kamu menginginkannya, aku dapat membantumu,"
Ini terlalu mengejutkanku, apakah dia akan membantuku untuk membunuh orang-orang itu?
Amor tertawa kecil. "Walaupun kami adalah dewa kematian, namun kami tidak boleh sembarangan membunuh manusia," jelasnya.
"Bagaimana kamu membantuku?"
"Membuka segelmu, kamu dapat memberikan mereka kesedihan seumur hidup, itu jauh lebih menyedihkan daripada mati bukan?"
Apa yang dikatakan Amor sangat masuk akal, tetapi apakah aku boleh menggunakan kekuatan itu? Dewa kematian saja tidak boleh sembarangan membunuh mereka, berarti dewi kesedihan juga tidak boleh sembarangan menggunakan kesedihannya?
Amon pun tersenyum, aku kembali menatapnya. "Kamu mendengar suara hatiku lagi?" tanyaku.
"Tidak," gelengnya cepat.
"Tetapi kamu tersenyum."
"Kamu salah lihat," bantah Amor segera melanjutkan langkahnya.
"Aku jelas-jelas melihatnya, baiklah, tetapi bagaimana aku membuat mereka sedih seumur hidup, sedangkan kamu tidak boleh asal menggunakan kekuatanmu?"
"Kamu tidak perlu menggunakan kekuatanmu, karena siapa yang mendekatimu, orang itu akan menjadi sedih."
Benar kata Amor, di dunia ini, siapa yang mendekatiku, orang itu akan hidup dengan penuh kesedihan." Tetapi aku tidak ingin selamanya hidup di sisi orang-orang itu."
Amor menatapku dan tersenyum kecil. "Tunggu ingatanmu kembali, kamu akan tahu cara untuk melakukannya."
Aku pun mengangguk-angguk mengerti.
"Dewa kebahagiaan." Amor seperti merasakan kehadiran dewa kebahagiaan, dia berlari pergi begitu saja meninggalkanku. Aku ingin mengejarnya namun dari arah yang berlawanan seseorang membuatku terdiam dan memilih bersembunyi di belakang pohon besar. Kenapa Ren ada di sini? Di waktu belajar seperti ini seharusnya dia berada di sekolahnya yang jauh dari sekolahku.
"Keluarlah." Suara Ren begitu mengejutkanku, kenapa dia tahu aku bersembunyi di belakang pohon? Apakah dia tahu jika aku adalah Mila? Aku pun terdiam tidak bergerak, aku takut dia mengenaliku, tetapi dia tidak bergerak dari tempatnya, seperti menunggu aku keluar.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya sedang beristirahat di sini," ucapku menjelaskan.
"Yoo? Dewa kebahagiaan?" Suara Amor lebih mengejutkanku, dewa kebahagiaan kata dia? Apakah dia sudah menemukan dewa kebahagiaan? Aku pun segera melirik ke arahnya, namun yang aku dapatkan dia sedang berdiri berhadapan dengan Ren.
"Tidak kusangka kau begitu cepat menemukan kami," ucap Ren.
"Kami?" Senyuman meledek Amor kembali muncul. "Seharusnya kau pisahkan kata itu. kau tidak pantas dijadikan satu dengan orangku."
Ren tersenyum kecil menarikku keluar. "Dewi kesedihan sudah tidak ada, yang ada hanyalah Mila."
Amor ikut tersenyum. "Oh yakah? Apakah kamu lupa jika Mila sudah mati? Kini yang berdiri di sampingmu adalah Geana dewi kesedihan.
"Ren," panggilku. Aku ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi? Ren dewa kebahagiaan yang membawaku kabur dan menyegelku? Kenapa dia melakukannya? Dan lagi.. kenapa dia.., dia adalah Ren sepupuku yang.. yang aku suka? "Dapatkah kamu menjelaskan padaku?" tanyaku ketika Ren menatapku.
"Mila, kamu tidak seharusnya bertemu dengannya. Ayo ikut aku pergi." Ren terlihat serius, wajahnya selama bersamaku selalu seperti itu, dia ingin menarikku pergi namun aku menghentikannya.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Mereka telah menculikmu, sudah seharusnya kamu kembali ke alam kebahagiaan."
Amor tertawa setelah mendengar ucapan Ren. "Apa kau sedang bercanda? Jiwa Geana adalah dewi kesedihan, dia tidak akan pernah bisa mengikuti kau masuk ke dalam alammu, lepaskan segelnya, atau aku akan membunuhmu sekarang."
Dalam sekejab Amor telah berdiri di depan Ren dan mencekiknya, raut wajahnya berubah menjadi menyeramkan.
"Amor," panggilku. Aku segera menarik tangan Amor, berharap dia segera melepaskan Ren.
"Kau kehilangan kekuatanmu?" Amor tersenyum meledek, dia langsung melepaskan tangannya ketika menyadari kekosongan di dalam tubuh Ren.
"Itu urusanku, sepertinya aku tidak perlu menjelaskan padamu," ucap Ren, namun Amor segera menarikku ke sisinya. "Urusanmu memang bukan urusanku, tetapi Geana adalah orangku, urasan dia adalah urusanku," ucap Amor. "Cepatlah cari kembali kekuatanmu dan buka segel Geana atau tidak aku akan menghancurkan alammu." "Aku menyadari kau, Amor Ashilie, calon raja dewa kematian begitu suka mengancam," sindir Ren Amor tersenyum kembali, aku menyadari setiap senyuman dia begitu mematikan, seperti tidak akan memberikan musuhnya kesempatan untuk hidup. "Aku tidak bercanda denganmu, jika kau tidak bisa membuka segel Geana, aku akan..," "Ren," panggil seorang perempuan mengalihkan pembicaraan kami. Wajah perempuan itu begitu asing, dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ren, sepertinya mereka satu sekolah, namun untuk apa mereka datang ke sini. "Ren, kepala sekolah memanggil kita untuk menemuinya." "Baiklah," balas Ren sambil menyingkirkan tangan
Kini aku membawa Ren ke dalam kamarku, lebih tepatnya kamar Geana dewi kesedihan.“Kamu baik-baik saja?” Aku menopang Ren duduk di sofa kamarku.Ren tersenyum padaku. “Ini hal yang biasa.”“Biar aku obatin lenganmu,” gumamku mulai membuka tasku. Aku mempunyai obat merah dan juga pembalut luka, aku kira selamanya aku tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya, ternyata kesempatan itu datang bukan untukku, melainkan Ren. Di tengah pengobatan ini mengingatkanku pada waktu terakhir aku bertemu dengan Ren, dia juga mengobatiku seperti ini. “Sudah.” Aku pun kembali duduk di tempatku.“Mila, percayalah padaku, aku akan mengembalikan kekuatanku dan membawamu kembali ke alam di mana seharusnya kamu berada.”Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkannya, aku pun tersenyum kecil membalasnya.“Sebaiknya kamu beritahu pada Amor bagaimana cara membuka segelku, sebelum kamu mati dibunuhnya,
“Pintu dimensi ada di gunung kutub utara, aku akan membawa kalian pergi.” Mir orang yang disebut-sebut Amor kemarin ternyata adalah laki-laki dengan sehelai kain hitam. Dia begitu tampan dan lembut, benar-benar tidak seperti seorang dewa kematian. “Semua yang ada di dalam dunia dimensi tidak dapat berubah, kalian hanya dapat menonton, mencari jawaban yang kalian inginkan, dan lagi setelah setengah jam segeralah keluar, jika tidak, pintu akan tertutup.” Kami bertiga seperti wisatawan yang mendengarkan seorang pemandu wisata membicarakan suatu destinasi. Setelah bercerita lama tentang pintu dimensi, kami pun segera berangkat menuju tempat yang dituju,tidak di sangka gunung di kutub ini sangat dingin. Dalam detik di mana aku berpijak di sini, seluruh tubuhku seperti membeku. Amor segera menarik tanganku, seketika seluruh tubuhku menjadi hangat kembali. Aku pun menatapnya dengan lekat, apakah dia adalah penghangat berjalan? Aku pun mengandeng tanganya dengan erat. Mir segera memberikanny
Aku menyukai Amor? Aku begitu terkejut menoleh ke arah Amor, di benakku tidak pernah kepikiran dapat menyukai seorang dewa kematian. Amor pun tersenyum. “Ternyata selama ini kamu tidak pernah melupakanku, Geana.” Kata-kata itu membuatku merasa geli juga tidak mengerti. “Baiklah, sudah tidak ada waktu, daripada mati di sini, aku akan mengirim kalian pulang, setelah keluar dari pintu dimensi ini, menjauhlah dari Mir,” gumam Amor melepaskan tanganku. Dia sungguh membuatku syok, apa yang ingin dia lakukan? Mengantarkan nyawanya demi memulangkan kami? “Tidak Amor, tidak! Kamu tidak boleh mati di sini!” Amor pun tersenyum menatapku. “Setimpal,” sebuah kecupan darinya membuatku membatu, begitu banyak banyangan yang muncul di benakku, namun bukan kesedihan, aku merasakan kebahagian berada di sisi Amor, rasa yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah sinar menyilaukan memulangkan kami ke depan pintu dimensi. *** “Geana,” panggil Ren segera membangunkanku. “Amor! Amor!” teriakku menatap
“Amor!” teriakku. Aku tersadar dari mimpi panjangku. Amor menatapku dengan dingin, dia duduk di pinggir kasurku. “Amor,” panggilku segera bangun dan memeluknya dengan erat. Aku berharap seluruh itu hanyalah mimpi dan tidak akan menjadi kenyataan. “Bodoh, kenapa sembarangan mengambil tindakan?” tanyanya. Dia mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus kepalaku. “Aku.. aku ingin pergi mencarimu.” Amor langsung mengetuk kepalaku pelan. “Kamu lupa jika kita saling terhubung, hanya kamu yang dapat mengumpulkan jiwaku, jika kamu datang mencariku, aku tidak akan kembali lagi bodoh.” Kata-katanya membuatku tersadar bertapa bodohnya diriku, kenapa aku tidak mengingatnya. Kami saling terikat, hanya aku yang dapat membangunkannya. “Amor,” panggilku lagi. Aku melepaskan pelukkanku dan menatapnya. “Bagaimana dengan kakak?” “Bajingan itu.., maksudku Mir, dia kabur.” “Ren, bagaimana dengan Ren? Apakah dia baik-baik saja.” “Kau.., sangat memerhatikannya,” gumam Amor terdengar dingin. Aku pun m
“Mama, aku ingin beli itu.” Seorang gadis dengan senang menujuk boneka di dalam toko dekat sekolah. Boneka tersebut merupakan keluaran terbaru minggu ini, anak-anak yang melewatinya selalu terhenti hanya untuk melihatnya, begitupun denganku. Setiap pulang pergi sekolah aku selalu terhenti di depan toko, melihat tembus ke dalam estalase mewah. Boneka teddy bear tersebut duduk manis di dalam sana. “Ayo kita masuk beli.” Sang ibu tersenyum manis mengandeng gadis munggil itu masuk. “Mama, aku lelah,” keluh seorang anak kecil yang melewatiku. “Sini mama gendong.” Tanpa basa-basi ibunya langsung mengendong putri munggilnya. Pemandangan di depanku sungguh membuat orang iri. Anak-anak itu memiliki umur yang sama sepertiku, enam tahun, tetapi.., hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan daerah sekolah. Aku sungguh iri dengan mereka, kenapa mereka memiliki ibu yang begitu menyayangi mereka, tetapi aku hanya dapat pulang ke rumah seorang diri. “Mila,” pan
Pagi telah tiba, kemarin malam adalah malam pertama aku dapat tidur dengan tenang setelah sejumlah kejadian menimpaku. Aku mengantarkan Ren ke gerbang perbatasan alam kami. “Sampai jumpa, jika bertemu masalah datanglah mencariku,” ucap Ren. Aku pun memeluknya, tidak disangka dari awal pertemuan kami hingga pelukan kali ini, dari musuh hingga menjadi teman, aku tidak pernah memikirkan dapat memiliki teman dari alam yang berbeda. “Kau juga, jika bertemu masalah jangan sungkan-sungkan, aku akan membantumu,” ucapku menatapnya dengan lekat. Seorang dewa kebahagian tertampan sejagat, Ren kini memakai kembali topengnya. Dia menyunggingkan senyuman di bibirnya yang tipis. “Jika begitu ikutlah aku pulang.” “Jangan bercanda lagi,” gumamku ikut tersenyum. “Baik-baik, sampai jumpa.” Aku melihat sosok Ren yang pelan-pelan menjauh. Jika aku tidak pulang untuk menjadi ratu kebahagian, Ren pasti akan menjadi raja, aku mengharapkan hari itu segera tiba. Setelah mengantarkan Ren, aku pun kemba
Kami sampai di taman bermain. Waktu menjadi Mila, hal yang begitu aku inginkan adalah datang ke taman bermain, bermain roller coaster, komedi putar, bianglala, bagaikan cerita dongeng. “Ayo kita main itu!” tunjukku ketika melihat wahana tornado, tetapi Amor langsung menarikku, membuat langkahku terhenti. “Tidak, tidak, permainan itu terlalu berbahaya,” cegatnya. Aku pun mengangguk-angguk menyetujui, kematian karena permainan itu tidaklah sedikit. “Baiklah, kalau gitu kita main yang itu,” tunjukku ke arah lain, di saat aku ingin berjalan pergi, Amor kembali menarikku. “Tidak, itu juga berbahaya,” cegatnya lagi. Aku pun menatap Amor dengan kesal. “Amor, kamu lupa jika kamu adalah dewa kematian?” tanyaku mengingatkan. “Iya juga,” angguk Amor menyadari. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain roller coaster yang tidak jauh dari kami. Di bumi permaian ini adalah permainan yang paling terkenal, banyak orang yang akan mencoba menaikinya, aku tentu penasaran. Kini kami duduk bersebelah d