Bayang-bayang sinar telah menyadarkanku, aku pelan-pelan membuka mataku, matahari sudah terbit, sebuah tempat yang empuk, aku melihat sekitar dan mendapatkan diriku tertidur di atas kasur.
"Jika sudah sadar, ayo pergi," ucap Amor. Dia masih duduk di sofa kemarin, apakah seorang dewa kematian tidak perlu tidur?
Aku kembali menatap bantal yang kutiduri, ini bukan bantal yang membuatku teringat hal-hal aneh itu? Kenapa aku dapat tidur dengan tenang? Aku berusaha untuk mengingat-ngingat, Amor kemarin membuatku tidak sadarkan diri. Apakah dia yang melakukannya? Membuatku tidak teringat dengan mimpi-mimpi buruk itu?
"Ayo," ajaknya namun langkahnya terhenti. "Aku lupa kau hanya seorang manusia biasa," gumamnya menarikku melewati sebuah ruang waktu.
Kini aku dan dia berdiri di depan sebuah restoran, aku melihat sekitar tempat ini. Ini merupakan duniaku, aku menoleh lagi ke plang nama restoran tersebut, 'Miracle' nama restoran terkenal itu.
Aku segera mengikutinya masuk ke dalam restoran, namun begitu banyak mata terfokus padaku, apa ada yang aneh denganku? Aku segera menoleh ke arah Amor untuk memastikannya, namun dia terlihat biasa saja. "Jangan peduli dengan pandangan orang lain," bisiknya membawaku pergi ke sudut restoran.
"Kamu ingin makan apa?"
Aku mengeleng pelan setelah melihat seisi ruangan ini. Tidak heran mereka menatapku dengan aneh, ini terlalu mewah, sedangkan aku hanya memakai kaos polos putih berserta sandal slop.
"Ada yang dapat saya bantu," ucap seorang pelayan datang menghampiri kami. Tanpa bas- basi Amor membuka menu makanan dan mengatakan pada pelayan. "Aku mau dua porsi makanan terekomendasi di sini."
"Baik, ada lagi tuan?"
"Tidak." Amor pun mengembalikan buku menu tersebut kepada pelayan.
Setelah pelayan pergi, dia kembali melirikku, matanya naik sebelah seperti mengejekku. "Sungguh tidak biasa melihatmu seperti ini Geana."
"Aku bukan Geana, namaku Mila," gumamku menundukkan kepala.
"Mila.. orang yang dicintai, menurutmu kamu cocok dengan nama ini?" Apakah itu sebuah sindiran? Tetapi itu memang kenyataan yang aku alami. Tidak ada yang mencintaiku, Mila.. nama ini memang tidak pantas untukku.
"Sekarang yang paling penting adalah menemukan dewa kebahagiaan dan membuka segelmu," lanjutnya menyadarkanku.
"Jika aku tidak mau?"
"Kamu tidak punya pilihan Geana,"
Lagi-lagi kata-kata itu, apakah aku benar-benar tidak punya pilihan? Apakah aku tidak dapat kembali menjadi.. diriku?
"Geana? Atau Mila?" Senyuman dia begitu menyebalkan. "Mila sudah mati." Kata yang baru diucapkannya membuatku tidak mengerti. "Aku hanya dapat menemukanmu di detik-detik menjelang kematianmu."
Aku mengingat kembali detik-detik di mana ibu melemparkan kursi ke arahku, jadi saat itu juga kehidupanku sudah berakhir? Aku benar-benar sudah mati?
"Belum, sebelum aku membuka segelmu, tubuhmu ini masih akan seperti manusia biasa, tetapi raut wajahmu akan abadi seperti ini," jelas Amor sambil memegang daguku.
Lagi-lagi dia membaca pikiranku, apakah seluruh dewa kematian akan membaca pikiran manusia?
Amor kembali tersenyum dan melepaskan tangannya. "Hanya partner kerja yang dapat mendengar suara hati sesama, aku dan kamu memiliki ikatan, jadi kita dapat saling mendengarkan satu sama lain, sayangnya kamu sekarang hanyalah manusia, jadi kamu tidak akan bisa mendengarkan suara hatiku, Geana."
"Boleh kau tidak mendengarkan suara hatiku? Aku ingin memiliki privasi."
Kami pun saling menatap dengan serius.
"Baiklah," angguknya yang membuatku lega, ternyata dewa kematian juga tidak sepenuhnya keras kepala, tetapi dalam sekilas aku kembali merasakan sebuah senyuman menyeramkan darinya.
"Apa kamu masih mendengarkan?" tanyaku.
Pelayan membawakan makanan pesanan Amor dan berhasil membuat dia mengalihkan pertanyaanku.
"Makanlah, setelah ini aku akan membawamu kembali."
***
Setelah makan, Amor membawaku pulang ke rumah di mana aku besar, di sini terdapat berbagai kenangan yang menyedihkan, aku melihat fotoku dipajang di salah satu sisi dinding, untuk pertama kalinya aku melihat keluargaku begitu harmonis di atas meja makan. Wajah ibu juga tidak seseram biasanya, dia lebih melepaskan dirinya. Aku menatap Amor, apakah yang dikatakan dia benar? Tanpaku keluarga ini akan menjadi lebih baik.
"Apa masih mau kembali?" tanyanya menatapku dengan ketus.
"Tidak," gelengku pelan. Kenyataan memang lebih pahit daripada yang dipikirkan, ketika takdir mengatakan tidak, sebaiknya tidak perlu untuk memaksa kehendak. Aku tidak ingin merusak suasana ini, tanpaku mereka lebih bahagia. "Aku memang tidak pantas berada di sini."
"Baik." Dalam sekejab ruang kembali berganti, aku dan Amor kini berdiri di sebuah rumah yang terlihat besar dan rapi. "Sekarang kamu akan menggunakan indetitas baru, kita harus tinggal di sini hingga menemukan bocah itu.
"Bagaimana caranya?"
"Geana, namamu. Kamu tenang saja ketika kembali ke sekolah, mereka tidak akan mengenalimu."
Aku tetap tidak mengerti dengannya, hanya dengan menganti nama apakah mereka tidak akan mengenaliku? Bagaimana dengan wajahku? Di dunia ini tidak akan ada orang yang memiliki wajah sama, kecuali mereka adalah kembaran.
"Kamu tenanglah, aku akan mengaturnya." Dia Amor, dewa kematian yang begitu percaya diri.
"Apa kamu pernah melihat dewa kebahagiaan?" tanyaku berhasil menghilangkan kepercayaan dirinya dalam sekejab.
Amor mengeleng pelan. "Saat itu dia memakai topeng."
Apakah dia sedang melawak? Tidak pernah melihatnya tetapi ingin mencarinya? "Bagaimana kita mencarinya?"
"Aku mengenal auranya." Amor baru selesai bicara, tangannya langsung mengarah ke arah keningku, sebuah sinar kembali menyilaukan mataku. "Tidak ada," gumamnya kemudian melepaskan tangannya.
Dia sungguh membuatku terheran-heran, apa yang sedang dia lakukan?
"Aku tidak menemukan jejak auranya di ingatanmu."
"Aku?"
"Dia jatuh bersamamu ke dalam bumi, sudah seharusnya dia berada di dekatmu, namun kenapa aku tidak bisa merasakannya."
Aku hanya terdiam, aku tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
Amor kembali menatapku dengan lekat, wajahnya yang begitu tampan membuatku salah tingkah, bagaimana bisa ada seorang dewa kematian memiliki wajah sesempurna itu. "Kamu istirahat dulu," ucapnya.
Aku segera mengangguk dan menoleh sekelilingku.
"Pilih saja kamar yang kamu suka,"
"Baik," ucapku segera berjalan pergi meninggalkan Amor.
Tanpa berpikir panjang aku segera masuk ke salah satu kamar dekat ruang tamu. Aku berjalan ke pinggir kasur dan duduk di atasnya untuk menenangkan diriku sendiri. Setelah menghilangkan bayangan Amor, kejadian beberapa hari ini kembali muncul di benakku, dari ibu yang ingin melemparkanku bangku hingga melihat senyumannya tadi, sepertinya dunia ini menjadi baik tanpa kehadiranku. Seluruh orang membenciku, di mana aku berada, di situlah tempat diselimuti kesedihan. Apakah aku dapat merubah itu semua? Aku berjalan ke depan cermin, melihat wajahku dengan lekat, mengingat kembali tatapan kosong dewi kesedihan di dalam mimpiku itu lebih meyakinkanku jika aku adalah dewi kesedihan itu, aku memang pembawa kesedihan. Dewa kebahagiaan telah menyegelku, apakah dia dapat membantuku menghilangkan kesedihan yang melekat pada diriku? Aku juga ingin seperti dirinya menjadi dewi kebahagiaan. Mungkin aku dapat menanyakannya ketika menemukan dia.
Hari ini aku kembali masuk sekolah setelah menghilang berhari-hari. Kali ini aku menggunakan tubuh yang sama, nama yang berbeda begitupun dengan indetitasku untuk menemui teman-teman sekelasku lagi. "Aku murid baru Geana, senang bertemu dengan kalian." Begitu banyak murid yang tersenyum melihatku, ini tidak seperti biasanya mereka melihatku sebagai Mila, aku pun menoleh ke arah Amor. "Aku menutup aura kesedihanmu," gumamnya. Dia seperti tahu apa yang kupikirkan, apakah dia mulai membaca pikiranku lagi? "Baiklah, kalian cari bangku kosong dan duduklah," ucap bapak guru yang akhirnya mempersilakan kami duduk, aku melamun cukup lama hingga akhirnya memutuskan untuk duduk di tempat biasanya aku duduk. Tempat dekat tong sampah, ya aku tidak menyukai tempat ini, tetapi begitulah mereka mengucilkanku dulu, dan kini aku kembali duduk di sini merasakan kembali kenangan yang sudah lenyap itu. "Di sana tempat duduk.." Teman sekelasku yang duduk tepat di depanku te
"Itu urusanku, sepertinya aku tidak perlu menjelaskan padamu," ucap Ren, namun Amor segera menarikku ke sisinya. "Urusanmu memang bukan urusanku, tetapi Geana adalah orangku, urasan dia adalah urusanku," ucap Amor. "Cepatlah cari kembali kekuatanmu dan buka segel Geana atau tidak aku akan menghancurkan alammu." "Aku menyadari kau, Amor Ashilie, calon raja dewa kematian begitu suka mengancam," sindir Ren Amor tersenyum kembali, aku menyadari setiap senyuman dia begitu mematikan, seperti tidak akan memberikan musuhnya kesempatan untuk hidup. "Aku tidak bercanda denganmu, jika kau tidak bisa membuka segel Geana, aku akan..," "Ren," panggil seorang perempuan mengalihkan pembicaraan kami. Wajah perempuan itu begitu asing, dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ren, sepertinya mereka satu sekolah, namun untuk apa mereka datang ke sini. "Ren, kepala sekolah memanggil kita untuk menemuinya." "Baiklah," balas Ren sambil menyingkirkan tangan
Kini aku membawa Ren ke dalam kamarku, lebih tepatnya kamar Geana dewi kesedihan.“Kamu baik-baik saja?” Aku menopang Ren duduk di sofa kamarku.Ren tersenyum padaku. “Ini hal yang biasa.”“Biar aku obatin lenganmu,” gumamku mulai membuka tasku. Aku mempunyai obat merah dan juga pembalut luka, aku kira selamanya aku tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya, ternyata kesempatan itu datang bukan untukku, melainkan Ren. Di tengah pengobatan ini mengingatkanku pada waktu terakhir aku bertemu dengan Ren, dia juga mengobatiku seperti ini. “Sudah.” Aku pun kembali duduk di tempatku.“Mila, percayalah padaku, aku akan mengembalikan kekuatanku dan membawamu kembali ke alam di mana seharusnya kamu berada.”Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkannya, aku pun tersenyum kecil membalasnya.“Sebaiknya kamu beritahu pada Amor bagaimana cara membuka segelku, sebelum kamu mati dibunuhnya,
“Pintu dimensi ada di gunung kutub utara, aku akan membawa kalian pergi.” Mir orang yang disebut-sebut Amor kemarin ternyata adalah laki-laki dengan sehelai kain hitam. Dia begitu tampan dan lembut, benar-benar tidak seperti seorang dewa kematian. “Semua yang ada di dalam dunia dimensi tidak dapat berubah, kalian hanya dapat menonton, mencari jawaban yang kalian inginkan, dan lagi setelah setengah jam segeralah keluar, jika tidak, pintu akan tertutup.” Kami bertiga seperti wisatawan yang mendengarkan seorang pemandu wisata membicarakan suatu destinasi. Setelah bercerita lama tentang pintu dimensi, kami pun segera berangkat menuju tempat yang dituju,tidak di sangka gunung di kutub ini sangat dingin. Dalam detik di mana aku berpijak di sini, seluruh tubuhku seperti membeku. Amor segera menarik tanganku, seketika seluruh tubuhku menjadi hangat kembali. Aku pun menatapnya dengan lekat, apakah dia adalah penghangat berjalan? Aku pun mengandeng tanganya dengan erat. Mir segera memberikanny
Aku menyukai Amor? Aku begitu terkejut menoleh ke arah Amor, di benakku tidak pernah kepikiran dapat menyukai seorang dewa kematian. Amor pun tersenyum. “Ternyata selama ini kamu tidak pernah melupakanku, Geana.” Kata-kata itu membuatku merasa geli juga tidak mengerti. “Baiklah, sudah tidak ada waktu, daripada mati di sini, aku akan mengirim kalian pulang, setelah keluar dari pintu dimensi ini, menjauhlah dari Mir,” gumam Amor melepaskan tanganku. Dia sungguh membuatku syok, apa yang ingin dia lakukan? Mengantarkan nyawanya demi memulangkan kami? “Tidak Amor, tidak! Kamu tidak boleh mati di sini!” Amor pun tersenyum menatapku. “Setimpal,” sebuah kecupan darinya membuatku membatu, begitu banyak banyangan yang muncul di benakku, namun bukan kesedihan, aku merasakan kebahagian berada di sisi Amor, rasa yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah sinar menyilaukan memulangkan kami ke depan pintu dimensi. *** “Geana,” panggil Ren segera membangunkanku. “Amor! Amor!” teriakku menatap
“Amor!” teriakku. Aku tersadar dari mimpi panjangku. Amor menatapku dengan dingin, dia duduk di pinggir kasurku. “Amor,” panggilku segera bangun dan memeluknya dengan erat. Aku berharap seluruh itu hanyalah mimpi dan tidak akan menjadi kenyataan. “Bodoh, kenapa sembarangan mengambil tindakan?” tanyanya. Dia mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus kepalaku. “Aku.. aku ingin pergi mencarimu.” Amor langsung mengetuk kepalaku pelan. “Kamu lupa jika kita saling terhubung, hanya kamu yang dapat mengumpulkan jiwaku, jika kamu datang mencariku, aku tidak akan kembali lagi bodoh.” Kata-katanya membuatku tersadar bertapa bodohnya diriku, kenapa aku tidak mengingatnya. Kami saling terikat, hanya aku yang dapat membangunkannya. “Amor,” panggilku lagi. Aku melepaskan pelukkanku dan menatapnya. “Bagaimana dengan kakak?” “Bajingan itu.., maksudku Mir, dia kabur.” “Ren, bagaimana dengan Ren? Apakah dia baik-baik saja.” “Kau.., sangat memerhatikannya,” gumam Amor terdengar dingin. Aku pun m
“Mama, aku ingin beli itu.” Seorang gadis dengan senang menujuk boneka di dalam toko dekat sekolah. Boneka tersebut merupakan keluaran terbaru minggu ini, anak-anak yang melewatinya selalu terhenti hanya untuk melihatnya, begitupun denganku. Setiap pulang pergi sekolah aku selalu terhenti di depan toko, melihat tembus ke dalam estalase mewah. Boneka teddy bear tersebut duduk manis di dalam sana. “Ayo kita masuk beli.” Sang ibu tersenyum manis mengandeng gadis munggil itu masuk. “Mama, aku lelah,” keluh seorang anak kecil yang melewatiku. “Sini mama gendong.” Tanpa basa-basi ibunya langsung mengendong putri munggilnya. Pemandangan di depanku sungguh membuat orang iri. Anak-anak itu memiliki umur yang sama sepertiku, enam tahun, tetapi.., hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan daerah sekolah. Aku sungguh iri dengan mereka, kenapa mereka memiliki ibu yang begitu menyayangi mereka, tetapi aku hanya dapat pulang ke rumah seorang diri. “Mila,” pan
Pagi telah tiba, kemarin malam adalah malam pertama aku dapat tidur dengan tenang setelah sejumlah kejadian menimpaku. Aku mengantarkan Ren ke gerbang perbatasan alam kami. “Sampai jumpa, jika bertemu masalah datanglah mencariku,” ucap Ren. Aku pun memeluknya, tidak disangka dari awal pertemuan kami hingga pelukan kali ini, dari musuh hingga menjadi teman, aku tidak pernah memikirkan dapat memiliki teman dari alam yang berbeda. “Kau juga, jika bertemu masalah jangan sungkan-sungkan, aku akan membantumu,” ucapku menatapnya dengan lekat. Seorang dewa kebahagian tertampan sejagat, Ren kini memakai kembali topengnya. Dia menyunggingkan senyuman di bibirnya yang tipis. “Jika begitu ikutlah aku pulang.” “Jangan bercanda lagi,” gumamku ikut tersenyum. “Baik-baik, sampai jumpa.” Aku melihat sosok Ren yang pelan-pelan menjauh. Jika aku tidak pulang untuk menjadi ratu kebahagian, Ren pasti akan menjadi raja, aku mengharapkan hari itu segera tiba. Setelah mengantarkan Ren, aku pun kemba