Share

Terpaksa Menikahi Janda
Terpaksa Menikahi Janda
Penulis: Niken_en

1. Mr. Perfect

  Namaku Alan Prayoga Sanders, seorang pria dalam kategori ‘Mr. Perfect’, bukan karena narsis, tetapi  siapa saja orang yang bertemu denganku pasti akan terpesona dengan kesempurnaan yang aku miliki, terutama kaum hawa. Mereka tidak akan pernah lepas dari daya pikat yang ada pada diriku.

 Selain  tampan, tentunya aku memiliki  harta yang berlimpah dan juga anak semata wayang dari salah satu pengusaha sukses di Jakarta yang bernama Sanders Corporation.

 Gaya cuek dan cool memang telah melekat dalam diriku. Kehidupan sehari-hari aku lalui dengan sangat menyenangkan. Hidup tanpa beban, berfoya-foya tanpa harus memikirkan mencari uang bahkan kekurangan uang. Kekayaan yang dimiliki keluargaku tidak akan habis sekalipun walau sampai tujuh turunan.

   Begitulah sepenggal kisah tentang diriku , seorang pria dewasa  berusia tiga puluh empat tahun yang  memiliki segalanya tetapi buta akan cinta.

 Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak bisa aku dapatkan,  semua yang aku inginkan tidak pernah sekalipun terlewatkan. Sejak kecil diriku biasa dimanja oleh mama dan papa. Hanya satu kekurangan yang tidak bisa aku dapatkan yakni, kasih sayang.

  Dibalik kehidupanku yang terlihat glamor, sebenarnya  aku termasuk lelaki kesepian. Karena kesibukan papa dan mama menjadikanku  anak yang kurang perhatian, saat dewasa sikapku berubah menjadi  egois dan arogan. Tetapi ada sisi lain dalam diri ini yang tidak bisa aku tolak. Aku sangat menyukai anak kecil. Karena diriku anak satu-satunya yang mereka miliki, membuatku berharap mempunyai saudara kandung. Misalkan seorang adik laki-laki yang bisa diajak  bermain setiap waktu dan itu sangat kudambakan.

 Sayangnya hal itu tidak pernah terwujud hingga saat ini, kesibukan papa membuat mama harus selalu siap sedia dalam keadaan apa pun. Mama harus setia di samping papa bahkan hingga kunjungan bisnisnya ke luar negara. Karena itulah mungkin mama tidak ingin memiliki keturunan lagi. Cukup aku yang merasa kesepian jangan sampai ada Alan  yang lain dikemudian hari. Sungguh hidup dengan materi yang berlimpah nyatanya tidak bisa membeli kebahagiaan walau hanya sederhana. Karena rasa kesepian yang aku alami sepanjang masa kecil hingga usia remaja membuat diriku menjadi salah pergaulan dan tidak peduli dengan dunia sekitar. Jadilah aku seorang lelaki bebas tanpa batasan dalam pergaulan mencari hiburan  untuk membunuh rasa sepi yang selalu datang di setiap menit dan waktu.

Hingga suatu ketika papa menghentikan kegilaanku di usia yang telah dewasa dan matang. Dengan berbagai alasan pekerjaan papa mulai mengatur hidupku yang awalnya penuh kebahagiaan.

 Ketika papa akan mengurus bisnisnya ke Luar Negri, saat itulah papa melakukan aksinya dengan menyuruhku untuk kembali ke Jakarta.

 Sebenarnya aku lebih suka di Bali.

 Bali merupakan surganya dunia , di sana aku lebih bebas bersenang-senang tanpa takut ada yang mengawasi atau mengekspos semua hal yang aku lakukan. Karena desakan papa akhirnya aku kembali ke Jakarta untuk menggantikan pekerjaan yang telah ditinggalkan tiba-tiba.

 Disinilah aku sekarang menjadi orang sibuk, bekerja dari pagi hingga petang. Tidak ada sex, apalagi minuman beralkohol pun dengan wanita cantik. Hidupku sudah tidak menyenangkan lagi, bagai terkurung dalam penjara. Papa dengan seenak hati mengancamku untuk menghentikan semua fasilitas dan ATM yang telah diberikannya, sehingga aku tidak bisa menolak kemauan papa itu, tidak ada pilihan lain kecuali menuruti saja kemauannya.

 Sebenarnya papa hanya ingin aku lebih serius menjalani kehidupan ini karena usiaku yang memang sudah cukup umur bahkan lebih dari cukup untuk ukuran bujangan, semua sahabatku sudah memiliki keluarga dan anak. Itulah yang membuat papa selalu mendesakku supaya segera melepas masa lajang. Tetapi aku lebih suka kebebasan.

“Alan, berhenti bermain-main, ingat umur ! “ begitulah papa yang selalu mengingatkan  lewat perbincangan di telepon. Dan aku seperti biasa tetap acuh dan masa bodoh. Toh semua yang aku jalani saat ini membuatku sangat nyaman.

“Ingat Alan, ikuti semua perkataan pamanmu! beliau akan mengajarimu caranya bekerja, agar satu hari nanti kamu bisa meneruskan semua bisnis yang telah papa bangun dari dulu dengan susah payah. Jangan hanya menghabiskan uang saja bisamu. “

“Iya Pa, “ jawabku singkat. Dengan muka sok acuh.

 Kalimat itu diucapkan papa tanpa henti, saat kami pergi menuju bandara untuk mengantar kepergian papa dan mama. Mama tersenyum sambil mengusap kepalaku lembut. Saat seperti inilah sebenarnya yang aku inginkan, aku merindukan kasih sayang mereka berdua terutama mama. Papaku memang tergolong suami yang BUCIN dan posesif, bahkan dia tidak ingin mama lebih menyayangi diriku dari pada papa. Hal itulah yang membuat mama tidak bisa mendekat denganku, sejak aku kecil mama harus mengikuti papa saat bekerja bahkan sampai ke Luar Negri, sehingga aku dibesarkan oleh ART. Mungkin hanya satu pria seperti papa didunia ini dan jujur saja aku sangat membenci sikap papa. Itulah yang membuat diriku menjauh dari kehidupan mereka berdua. Karena aku tidak suka melihat papa yang selalu bermanja dengan mama tanpa membagi kasih sayang kepadaku yang jelas putra semata wayang mereka.

Setelah pesawat lepas landas, aku kembali ke rumah dengan paman Sam, orang kepercayaan papa sekaligus sekretaris pribadinya.

 Pagi- pagi sekali paman Sam sudah menghubungiku. Aku masih bergelung dengan selimut merasa enggan mengangkat panggilan masuk. Suara ponselku tidak mau berhenti serasa memekakkan telinga, semalam aku lupa mengubah ke mode diam. Dengan terpaksa aku menggeser ikon berwarna hijau itu. Karena merasa tidak tahan mendengarkan bunyinya.

“Ya... halo. “ Jawabku malas.

[Jangan lupa tuan muda, pagi ini harus menghadiri rapat tahunan ke salah satu sekolah, segera bersiap tuan, tiga puluh menit lagi saya akan sampai. ]

Aku tidak menjawab, karena mata ini sangat susah untuk di buka. Kulemparkan HP ke sisi tempat tidur sehingga aku terlelap kembali.

Suara gedoran pintu kembali mengusik tidur nyenyakku.

Aku berusaha menutup kedua telingaku dengan bantal, agar suara berisik itu tidak mengiang masuk ke indra pendengaranku. Sayangnya usahaku sia-sia, suara gedoran pintu semakin kencang sampai terasa merobohkan seisi kamar. Aku berjalan malas menuju pintu, niat hati akan memarahi orang yang berani mengganggu tidur nyenyakku, “siapa yang tengah bermain denganku, ada yang sudah bosan hidup rupanya. “ Gumamku sambil berjalan menuju pintu, “dasar kampret...! “

Aku terpaku, paman Sam berdiri di depan pintu kamar dengan pakaian rapi. Aku membalikkan badan malas.

“Paman, kenapa pagi-pagi sekali sudah berada di sini? “ tanyaku kesal.

“Tuan muda, tiga puluh menit lagi saya tunggu Anda di bawah. “ Jawab paman Sam singkat sambil berlalu pergi meninggalkan kamarku.

Seperti biasa perintah paman selalu saja berhasil memaksaku untuk menuruti semua ucapannya, paman Sam adalah orang kedua yang aku hormati selain orang tuaku, karena beliaulah yang selalu menemaniku tumbuh dari kecil hingga usia dewasa.

Aku bergegas membersihkan diri secepat kilat, paman Sam adalah orang yang sangat disiplin. Karena itulah papa sangat menyukai kinerjanya, Diam-diam aku juga mengagumi cara kerja paman Sam, mungkin itu salah satu alasan papa menyuruhku mengikuti semua perintah paman Sam. Agar aku belajar lebih banyak dari beliau dalam hal berbisnis.

Setelah tiga puluh menit berlalu akhirnya aku dan paman Sam menuju sekolah yang akan mengadakan rapat tahunan. Aku tertegun menatap bangunan di depanku yang belum banyak berubah sejak dulu. Sekolah tempatku menimba ilmu sewaktu SMA.  Di sekolah ini juga untuk pertama kalinya aku memiliki seorang sahabat karib yang selalu ingin aku jumpai hingga saat ini. Tidak terasa sudah tujuh belas tahun berlalu hingga saat ini. Entah di mana dia sekarang.

Suasana gedung sekolah masih terasa sepi, semua murid rupanya masih mengikuti pelajaran di kelasnya masing-masing. Paman Sam mengajakku menuju ruang rapat yang sudah disediakan. Hari ini pihak sekolah akan memberikan laporan dan pengajuan pembangunan yang akan dilaksanakan  di sekolah tersebut. Banyak bangunan dan fasilitas lain yang harus di perbaiki. Aku juga merasa sedikit cemas melihat keadaan sekolah ini seakan kurang diperhatikan, beberapa tahun ini, entah apa penyebabnya aku juga tidak tahu.

Setelah rapat selesai, aku bergegas keluar dari ruangan dan berjalan menuju tempat parkir mobil.

Pandanganku berhenti saat menatap lapangan basket yang berada di depan kelas,  ruangan yang dulu pernah aku tempati. Bayangan  masa lalu tiba-tiba melintas dalam pikiranku. Memori itu terbayang bagaikan rekaman yang siap di putar ulang kembali. Ada sebuah kenangan buruk yang pernah aku alami di lapangan basket ini. Sebuah kenangan yang tidak pernah terlupakan hingga detik ini. Aku menghela nafas sebentar, kemudian berjalan menuju pintu gerbang.

 Paman Sam tampak sedang berbincang dengan seorang lelaki sebaya denganku. Dari punggung belakangnya  aku merasa pernah mengenali. Sesosok yang baru saja aku pikirkan beberapa menit lalu.

“Apa mungkin itu dia? “ aku bergumam dan mulai menerka dalam hati.

 Mempercepat langkah ini bahkan setengah berlari. Sesampainya di sana aku benar-benar terkejut sekaligus bahagia.

“Culun, “  aku memeluk lelaki di hadapanku ini yang juga terlihat terkejut dan bingung.

“Bos, benarkah ini Anda? “ jawabnya  sambil menatapku intens.

“Iya, culun, “ aku tepuk kedua bahu sahabatku yang sekarang tampak kokoh.

“Bos, aku sudah tidak culun lagi sekarang. “ Sanggahnya tidak terima.

“Iya, mungkin dimata orang lain seperti itu, tapi dalam pandanganku kamu tetaplah sahabat culunku, Farhan Dinata. “ Jawabku sambil melempar senyum mengejek.

“Ya... ya... ya, bos memang selalu benar, “ timpal Farhan kemudian. Aku tertawa lebar dan Farhan tersenyum menanggapi kekonyolanku.

 Paman Sam memandang kami berdua dengan raut wajah biasa. Pria paruh baya ini memang bermuka tanpa ekspresi. Lebih dingin bahkan melebihi aku yang terkenal arogan.

 “Tuan muda, waktunya kembali ke kantor, “ ucap paman Sam, sambil melirik arloji yang melingkar di tangannya.

“Harus sekarangkah paman? “ tanyaku yang dibalas anggukan oleh paman Sam.

“Mari tuan, “

“Tunggu sebentar paman, “ sangkalku. “Biar aku bertukar nomor ponsel dulu. “ Pintaku pada paman Sam.

“Baiklah, “jawabnya singkat.

 Aku merogoh saku celanaku dan memberikan benda pipih itu kepada Farhan yang sejak tadi hanya diam menatapku.

“Tulis nomor ponselmu disini, “ pintaku.

Farhan segera menerimanya dan mulai mengetik dilayar HP.

“Sudah bos, “ ucapnya sambil menyerahkan ponselku kembali.

“Baiklah culun, aku akan meneleponmu nanti  ! “ Teriakku sambil berlari mengikuti paman Sam yang sudah meninggalkanku. Paman Sam memang seperti itu, dia tidak akan membuang waktu sia-sia hanya untuk hal yang tidak penting.

“Uh.“ Aku mendengus kesal saat kami sudah berada di dalam mobil.

“Tuan muda, fokuslah dalam bekerja, jangan pernah mementingkan hal lain di luar pekerjaan, karena itu hanya akan memecah konsentrasimu saja. “

“Hem.“ Aku bergumam tanpa ingin menjawab perkataan paman Sam. Rasanya sia-sia berdebat, pada akhirnya itu semua membuatku akan dilaporkan kepada papa. “Dasar tukang mengadu.“ Gerutuku lirih. Tentu saja tidak sampai terdengar oleh paman Sam.

 Segera kuambil  ponsel dicelanaku  dan mulai mengetik huruf menjadi kalimat.

[Culun, jangan lupa hari minggu aku tunggu kedatanganmu di kantin sekolah, oke. ]

 Segera kukirim pesan kepada Farhan dengan nomor yang telah diberikannya tadi.

Tidak ada balasan.

 Aku menyembunyikan kembali ponselku dan mulai memejamkan mata menghindari tatapan tajam dari paman Sam. Aku yakin beliau sedang menaruh curiga teradapku, “ah, masa bodoh. “ Gumamku dalam hati.

Sampai dikantor aku segera masuk  ke ruang kerjaku kembali. Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari esok tiba. Di mana aku dan Farhan alias si culun akan berjumpa kembali untuk mengenang masa lalu dan melepas rindu.

 Farhan adalah sahabatku satu-satunya. Aku masih mengingat itu, betapa aku selalu berbuat jahat kepadanya, hari-hari Farhan di sekolah selalu aku hiasi dengan penindasan. Ah, saat mengingat hal itu rasa menyesal masih menyelimuti hatiku hingga saat ini.

 Hingga suatu ketika datang sekelompok geng motor yang tidak aku kenal tiba-tiba menyerang  dengan membabi buta. Saat itu diri ini hampir meregang nyawa jika saja Farhan tidak menolongku. Dengan akal cerdiknya Farhan berteriak, “Polisi... Polisi ada Polisi...! “  membuat para preman itu lari tunggang langgan dengan sepeda motornya.

 Farhan menghampiriku yang sudah lunglai tak berdaya.

“Ayo bos, kita harus ke rumah sakit  !” Farhan mendekati tubuh ini yang tengah bersimbah darah, beberapa luka memar dan darah segar keluar dari hidung.

“Tidak, aku tidak butuh bantuanmu culun, “jawabku merasa gengsi. “Yang benar saja seorang bos Alan harus ditolong dengan orang yang selama ini telah ditindas,“ aku bermonolog dalam hati,  sambil menahan sakit sekujur tubuh. Rasanya semua tulangku sudah lepas dan remuk redam.

Farhan hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Sudahlah bos, apa kali ini Anda masih mempunyai pilihan lain, silakan menindas saya kemudian setelah Anda sembuh. Yang terpenting saat ini Anda harus selamat, “ucap Farhan, yang sialnya tidak dapat kusangkal lagi. Tubuh ini tidak sejalan dengan otak yang masih menahan malu.

 Sejak ketulusan yang diberikan Farhan saat itu, membuat diriku menyadari akan arti persahabatan sesungguhnya, bukan hanya materi saja yang dapat kita banggakan, uang yang berlimpah nyatanya juga tidak mampu menolong kita pada saat tertimpa musibah, kita tetap membutuhkan bantuan orang lain.

 Akhirnya aku dan Farhan menjadi teman baik sejak kejadian mengenaskan tempo dulu. Walau rasa terima kasih belum pernah terucap melalu bibir ini, tapi jauh dalam lubuk hati yang paling dalam aku telah berjanji akan membalas semua kebaikan Farhan suatu saat nanti.

 Setelah pertemuanku pagi tadi aku berpikir sejenak, mungkin sudah waktunya untuk membalas budi kepada Farhan Dinata. Muncul sebuah ide dalam otakku untuk memberikan pekerjaan yang layak di salah satu cabang kantor yang ada di Jakarta. Karena itulah esok hari aku akan menemuinya dan membicarakan niat dalam hatiku ini. Walaupun aku sendiri belum yakin apakah dia akan menerima bantuan dariku. Sahabatku satu ini terkenal keras kepala dan tidak mau menerima pemberian orang lain dengan mudah. Semoga saja aku bisa membujuknya nanti.

 Dalam benakku masih tidak bisa mengerti bagaimana seorang Farhan dengan predikat siswa terpandai di sekolah kami dulu bisa mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Apakah kepandaian seseorang tidak berarti saat tiada  dukungan materi, atau mungkin selama ini Farhan kekurangan biaya untuk melanjutkan pendidikannya?

 Dan rasanya sudah tidak sabar menanti hari esok agar segera  mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan yang sudah membuat aku penasaran. Farhan, apa sebenarnya yang telah terjadi padamu ?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Junaidi Nasution
cerita nya sangat menarik dia dan teman sekolah nya bertemu lagi dia menyesal sudah pernah membuli temanya yang culun itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status