Share

2. Bertemu Sahabat Lama

 Hari ini aku menerima balasan pesan dari Farhan untuk menemuinya di kantin sekolah. Kebetulan sekarang tepat di hari minggu, tentunya dia ataupun aku sedang tidak bekerja.

 Aku memarkirkan mobil di halaman sekolah yang luas dan rindang, Farhan melambaikan tangannya. Kami akhirnya berjalan bersama menuju tempat yang dulu selalu menjadi favorit siswa ataupun siswi saat ingin menghindar dari mata pelajaran yang tidak disukai. Kantin adalah tempat ternyaman untuk kabur dari kelas.

“Halo bos?“ sapa Farhan, dia tampak gagah memakai pakaian santai. Didalam gendongannya seorang bocah laki-laki berumur sekitar tiga tahunan. Wajahnya sangat mirip dengan Farhan Dinata, “apa mungkin dia itu, “aku berpikir sejenak. Menatap dua sosok beda usia di hadapanku ini.

“Mari bos, silakan duduk! “

“Iya,” jawabku singkat.

Kami pun duduk saling berhadapan, bocah itu duduk di samping Farhan tanpa berhenti menatapku. Rasanya gemas sekali saat melihatnya dari awal bertemu tadi. Anganku tiba-tiba berkelana membayangkan sesuatu yang selama ini sangat diharapkan kedua orang tuaku. Iya, seorang keturunan penerus keluarga kami kelak. Mama dan papa sudah sangat menginginkan cucu. Saat melihat Farhan membawa putranya terbesit keinginan dalam hati untuk memiliki seorang anak, apalagi setampan anaknya Farhan ini. Tapi bagaimana cara mendapatkan buah hati, bahkan kekasih saja belum pernah ada hingga saat ini. Aku jadi tersenyum geli memikirkan sesuatu yang tidak mungkin aku dapatkan dalam waktu dekat. Karena semuanya butuh proses. Butuh calon istri tentunya.

“Hai bos, apa Anda baik-baik saja? “ pertanyaan Farhan membuyarkan lamunanku sesaat.

“Em... iya, aku baik-baik saja, oh ya, dia sangat tampan dan menggemaskan, “ ujarku mengalihkan pembicaraan. Memang sejak melihat bocah ini, aku sudah merasa terpikat oleh wajah lucu dan menggemaskan itu. Pipi tembam dan bibirnya yang mungil sangat cocok dengan kulitnya yang putih.

“Tentu saja bos, siapa dulu ayahnya? “ jawab Farhan sombong.

“Ya... ya... aku percaya padamu Han.“  Jawabku singkat.

“Hay... Boy? siapa namamu? “ aku berdiri setengah membungkuk, mencubit pipi gembul di depanku ini. Bocah itu tersenyum manis sekali, “uh... rasanya ingin aku bawa pulang saja bocah ini, seandainya Farhan mengizinkan. “

“Sayang, di tanya om itu? “ kata Farhan sambil mengelus pipi putranya.

Aku kembali duduk  setelah puas menggoda anak Farhan.

“Abian, om. “Dengan suara khas anak kecil.

“Siapa...? “ tanyaku lagi berpura-pura tidak mendengarkan.

“Abian... Om, “jawabnya lagi dengan muka cemberut.

Farhan menatapku, memberi isyarat untuk berhenti menggoda Abian.

“Baiklah... baiklah, om sudah dengar sekarang. Abian, iyakan? “

Abian mengacungkan kedua ibu jarinya ke arahku. Aku pun mengikuti gerakan Abian. Anak laki-laki Farhan sungguh membuat aku gemas dan tertawa berkali-kali dengan semua tingkah lucunya. “Oh... seindah inikah memiliki buah hati, “ aku tersenyum sendiri seperti orang gila. Tiba-tiba saja, teringat perkataan papa yang selalu mendesakku agar segera menikah. Tetapi hingga saat ini aku belum pernah merasakan jatuh cinta, sejak usiaku telah dewasa aku hanya melakukan kegiatan 'Happy Fun atau biasa  kami menyebutnya making Love' aktivitas panas tanpa ikatan dan rasa cinta di dalamnya,  kepada setiap wanita pemuas nafsu. Hingga belum terpikirkan olehku untuk menjalin hubungan serius.

Farhan dan aku mulai berbincang hangat sambil sesekali mendengar celoteh Abian. Aku memang lelaki angkuh kepada setiap orang dewasa, akan tetapi perangaiku akan berubah hangat saat  bersama anak kecil, karena sejak dulu hingga sekarang diriku memang menyukai sosok lucu dan menggemaskan itu. Farhan memang sudah paham dengan karakterku, makanya dia sengaja membawa  Abian saat bertemu.  

 Tanpa terasa hari sudah menjelang siang. Aku dan Farhan akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah.

Farhan menolak keinginanku untuk mengantarkannya pulang, tapi jangan panggil aku Alan kalau diri ini tidak bisa memaksanya.

 Aku rebut Abian, kami pun berlari menuju mobilku. Abian juga tidak menolak, bukannya menangis bocah itu malah tertawa sambil memanggil nama ayahnya.

“Ayo ayah, kejar    ! “seru Abian dengan suara cadelnya.

“Abian,  ayo turun ! “ perintah Farhan. Sambil melambaikan tangannya agar Abian mau berhenti.

 Aku berbisik ditelinga Abian, “ suruh ayah naik mobil, biar om Alan antarkan pulang ! “

“Ayah... cepatlah, kejar aku ! “ kata Abian lagi, sambil mengeratkan kedua tangannya pada leherku. Rupanya bocah itu merasa takut saat aku mengajaknya berlari.

Akhirnya terjadilah aksi kejar mengejar diantara kami bertiga.

 Aku membawa Abian masuk mobilku, Farhan tampak berlari terengah-engah. Hingga jarak kami tinggal satu meter tiba-tiba tubuh Farhan jatuh tersungkur ke tanah.

Bruk...

“Farhan... .“

“Ayah... .“

Teriakku dan Abian bersamaan. Kami pun berlari turun dari mobil dan menghampiri tubuh Farhan yang sudah tidak sadarkan diri.

“Ayah, “ tangis Abian sambil menarik lengan ayahnya.

“hai, culun, jangan bercanda kamu. “ Ucapku sambil menepuk kedua pipi Farhan bergantian.

“Om, ayah kenapa ? “ tanya Abian cemas. Bocah ini tampak begitu mengkhawatirkan ayahnya. Bahkan tangisnya tidak mau berhenti.

“Om juga tidak tahu Abi. “ jawabku bingung.

“Ayah, hu hu hu Hu. “ Abian menangis didada Farhan sambil menarik-narik bajunya.

“Tunggu Abi, biar om panggil mobil Ambulans. “Aku merogoh saku celana dan mendial nomor di sana.

Setelah tersambung segera kukirim alamat sekolah tempat kami bertemu saat ini.

 Abian tidak kunjung berhenti menangis, membuatku semakin cemas saja. Beberapa menit kemudian mobil pun datang. Farhan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kebetulan rumah sakit itu juga milik papa.

 Aku mengikuti Farhan masuk ke dalam mobil, Abian sudah mulai reda tangisannya. Bocah itu tidak berhenti menatap sang ayah yang sudah pucat pasi.

“Farhan, apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” aku bertanya pada tubuh tak sadarkan diri itu.

“Abian, jangan khawatir, ayahmu akan baik-baik saja, “ ucapku sambil mengusap kepala Abian lembut. Rasanya aku juga takut akan terjadi sesuatu buruk pada Farhan.

 Sampai di rumah sakit, Farhan segera di larikan ke unit gawat darurat.

“dokter, tolong selamatkan nyawa teman saya! “ kataku sambil mengikuti dokter yang hendak masuk ke ruang pemeriksaan.

“Saya akan berusaha melakukan yang terbaik, tuan. “ Jawab sang dokter sambil berlalu.

Abian duduk di pangkuanku dengan wajah yang lemas dan kusut. Sesaat kemudian bocah itu tertidur pulas, mungkin dia sudah lelah setelah menangisi ayahnya.

 Kuamati wajah Abian dalam tidurnya, rambut ikal dan hitam yang dimiliki  bocah ini membuatnya semakin terlihat manis, membuatku ingin selalu mengusap kepalanya dan mencium pipi gembul itu. Farhan sangat beruntung memiliki putra seperti Abian.

 Seorang perawat keluar menghampiriku dengan memegang ponsel di tangannya.

“Tuan, ini telepon pasien tadi berbunyi. Saya temukan di saku celananya. “ Ucap suster itu sambil menyerahkan ponsel milik Farhan.

“oh, ya, terima kasih Sus, “jawabku kemudian menerimanya.

 “Bagaimana keadaan sahabat saya Sus, “ tanyaku sebelum suster itu berlalu.

“Masih dilakukan pemeriksaan tuan, semoga pasien bisa tertolong, “ jawabnya singkat.

Tanpa menunggu lama, suster meninggalkan aku yang semakin di rundung kecemasan mendalam.

Suara ponsel berdering memecahkan kesunyian dalam hatiku. Tertera nama Jamilah di layar berwarna hijau. Tanpa berpikir panjang aku menerima panggilan masuk tersebut.

“Halo, assalamualaikum, kak, “suara seorang wanita terdengar dari seberang sana.

“Ya, halo, “jawabku singkat.

Tidak ada jawaban lagi di sana,

aku rasa wanita itu sedang kebingungan karena bukan pemiliknya yang menjawab telepon.

“Hai, siapa pun kamu, yang sedang menelepon nomor ini, saat ini Farhan berada di rumah sakit.“

“Apa...! “ teriak wanita itu memekakkan gendang pendengaranku. Aku segera menjauhkan ponsel dari telinga kiri.

“Apa yang terjadi dengan Kak Farhan, tuan? “ ucap wanita itu kemudian. Terdengar isak tangis bercampur khawatir dari nada bicaranya. Dugaan sementara mungkin wanita yang sedang menelepon ini adalah istrinya Farhan, sahabatku yang sedang terbaring sakit di dalam sana.

“Halo, tuan apa Anda masih di sana ? “ tanya wanita itu lagi.

“Iya.“

“Tolong kirim alamat rumah sakit itu kepada saya tuan ! “

“Hem... .” jawabku singkat. Segera menutup telepon, kemudian  mengirimkan alamat rumah sakit tempat Farhan dirawat saat ini.

 Dokter dan beberapa perawat keluar dari  ruang UGD, aku berjalan tergesa sambil menggendong tubuh mungil yang masih terlelap dalam pangkuanku saat ini.

“Bagaimana dokter? “tanyaku tidak sabar.

“Tuan, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi takdir rupanya berkata lain. “ Jawab sang dokter. Ucapannya itu bagaikan petir di siang hari.

“Apa maksud Anda dok? “ ucapku geram, bukan tidak tahu tapi aku belum bisa mencerna kata-kata dokter dengan baik. Jantungku berdegup kencang tidak beraturan.

“Tuan, sahabat Anda tidak bisa di selamatkan, pasien memiliki riwayat penyakit jantung koroner dan saya rasa itu sudah berlangsung lama, sehingga saat kambuh sudah terlambat untuk mengobatinya. “ Kalimat dokter Haris panjang lebar, beliau menepuk kedua bahuku.

“Ikhlaskan tuan, ini sudah menjadi kehendak Tuhan. “ Lanjut dokter Haris kemudian. Beliau berlalu meninggalkan tubuh ini yang masih terpaku di depan pintu ruang perawatan. Abian masih lelap dalam dekapanku. Rasa iba menyeruak dalam hati ini, “sungguh malang nasibmu Abian , masih sekecil ini harus menjadi yatim. “ Dada ini rasanya sesak, menahan perasaan sedih yang berkecamuk. Semakin lama menatap Abian semakin membuncah nelangsa, baru kali ini merasakan hati yang pilu dan menyayat, kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup ini. Bahkan aku belum sempat membalas budi kepada Farhan, “Tuhan secepat itu kau ambil dia dari sisiku. “ Aku memejamkan mata mencari kekuatan lewat doa, semoga Abian dan istri Farhan di beri kekuatan dan kesabaran.

“Tuan, apakah Anda tadi yang menerima panggilan saya? “tanya seorang wanita di hadapanku. Ekor matanya terlihat melirik Abian yang masih belum terbangun.

“Iya, “jawabku singkat, entah bagaimana caranya menyampaikan kabar duka yang baru saja kudengar.

“Bagaimana kondisi Kak Farhan saat ini? “ tanya wanita itu lagi.

Aku terdiam tidak bisa menjawab, lidah ini kelu tidak mampu berucap. Perempuan dengan rambut panjang dan bergelombang itu pun menatapku dengan raut wajah penuh tanya dan aku hanya tertunduk tidak dapat menatap iris matanya kembali.

“Tuan, tolong katakan, apa yang terjadi dengan suami saya? “ teriak wanita itu sambil menangis histeris, kedua tangannya mengguncangkan lenganku. Seketika Abian terbangun, “mama,” sapa Abian saat telah membuka kedua matanya.

“Abi, mana ayah? “ tanya istri Farhan kepada putranya.

 Sungguh mengejutkan apa yang dilakukan Abian, dengan mantapnya Abian menunjuk wajahku saat ibunya melontarkan pertanyaan. Istri Farhan terlihat bingung begitu juga denganku.

“Abian, mama tanya sama kamu, ayah Abi mana? “ pertanyaannya kali ini di ucapkan dengan lembut.

“Ayah, “ jawab Abian lagi seketika bocah mungil itu memeluk tubuhku erat.

“Tuan, siapa sebenarnya Anda?  Dan di mana Kak Farhan sekarang? “ teriak  wanita itu semakin emosi.

“Mama, “sapa Abian. Bocah mungil itu seketika meminta turun dan memeluk tubuh istri Farhan yang sudah lemah dan terduduk di lantai.

“Sayang, “ keduanya saling berpelukan membuat hatiku serasa di remas berkali-kali, sakit rasanya.

Aku ikut duduk di depan Abian dan ibunya. Menjelaskan peristiwa  yang baru saja menimpa Farhan.

“Tapi tuan, mengapa Abian menyebut Anda sebagai ayahnya? “ pertanyaan istri Farhan baru menyadarkanku tentang kelakuan Abian tadi.

“Saya juga tidak tahu, nona. “ Jawabku bingung.

“Nona, sebaiknya kita lihat jenazah Farhan sekarang. “ Ajakku sambil berdiri menuju  ruang penyimpanan jenazah. Beberapa saat yang lalu jenazah Farhan sudah di pindahkan keruangan khusus.

Saat aku hendak berjalan, Abian memanggilku, “ayah. “ kudapati Abian berlari dan memeluk kedua kakiku.

“Abian, “aku merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Istri Farhan diam terpaku menatapku dan Abian dengan pandangan sulit diartikan.

“Mari nona! “ ajakku kembali. Kami berdua berjalan beriringan menuju ruang penyimpanan jenazah.  

Sampai di sana suster keluar menemuiku dan istrinya Farhan.

“Maaf tuan, sebaiknya anak kecil tidak usah diajak masuk, “ ucap suster sambil menatap Abian dalam gendonganku.

Kami berdua saling berpandangan. Aku pun mengerti, “nona, sebaiknya Anda masuk terlebih dahulu, biar saya menjaga Abian di sini. “ wanita itu hanya mengangguk setuju. Perlahan dia masuk ke dalam.

 Aku mengajak Abian duduk di depan ruangan sambil sesekali menjawab pertanyaan lucu dari bocah itu, tentunya aku sangat bingung dengan ucapan Abian yang tiba-tiba memanggilku ayah, bukankah kami baru saja bertemu, bahkan Abian juga tahu bahwa ayahnya sedang tidak sadarkan diri beberapa saat yang lalu. Tuhan, bolehkah aku serakah dan berpikiran jahat, merasa senang di atas penderitaan orang lain. Dengan menipu bocah kecil tanpa dosa. Dilain sisi aku merasa senang setidaknya Abian tidak akan merasa kehilangan karena dia mengira aku adalah ayahnya. Akan tetapi bagaimana dengan ibunya, apakah dia akan setuju dengan pemikiranku saat ini. Setidaknya Abian tidak harus bersedih di tinggalkan ayah kandungnya. Kalaupun di perbolehkan aku ingin mengadopsi Abian menjadi putra angkatku. Begitulah pemikiranku. Abian masih memainkan ponsel yang aku berikan, bocah polos itu tentunya tidak sadar dengan hal yang tengah menimpanya saat ini. Dia sedang asyik melihat film kartun kesukaan anak-anak. Kembar kembara nakal.

Saat memperhatikan Abian aku terus berpikir, bagaimana pertemuanku dengan Farhan hari ini adalah pertemuan terakhir kami, rasa penyesalan kembali membayangi pikiranku bagaimana tadi bisa sampai melupakan tujuan awal pertemuan kami. Bukankah aku akan memberi pekerjaan untuknya, jangankan mengatakan hal itu semua pertanyaan yang sejak kemarin telah aku siapkan bahkan belum sempat mendapatkan jawabannya.

 Aku terlalu asyik bermain dengan Abian sampai melupakan tujuan awal pertemuan kami. Tuhan, entah apa rencanamu saat ini, aku hanya berharap semoga sahabatku bisa pergi dengan tenang  dan terimalah dia disisimu, karena Farhan adalah orang yang baik, bahkan terlalu baik.

 Sedangkan Abian bagaimana dengan bocah ini, haruskah aku membohonginya walau untuk kebaikan. Atau aku harus berterus terang?

Tiba-tiba kehidupanku berasa jungkir balik setelah bertemu dengan Farhan Dinata, rasanya seperti dilema. Ingin jujur takut menyakiti  bocah tak berdosa ini. Seandainya tidak jujur, aku jadi makin  bersalah bila suatu saat kebohongan ini bisa menyakiti Abian lebih dalam lagi dan saat hari itu tiba, alasan apa yang harus  kukatakan kepada Abian?

  Bukankah Sebaik-baiknya menyimpan kebohongan, suatu saat pasti akan terbongkar juga. Hal itu yang paling aku takutkan dari sekarang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jessica Glory
lanjut ceritanya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status