Share

6. Kecurigaan Alan

“Tuan, tuan Alan, tuan...! “ seseorang mengguncang lenganku dan berteriak.

Mata ini sulit di buka, rasanya baru beberapa menit aku tertidur pulas. Saat membuka mata, Jamilah sudah berada di sampingku dengan pakaian yang sama.

“Dasar wanita bodoh! kenapa harus berteriak, aku tidak tuli, “

“Itu tuan, “ jawab Jamilah tergagap.

“Apa? Cepat katakan! “

“Bian, menangis mencari kita berdua, “ jawab Jamilah sambil menunduk menatap ponsel dalam genggamannya.

“Tadi tuan dan nyonya menelepon. Maaf saya sudah lancang, mengangkat panggilan masuk di HP Anda tuan, “

“Hem... “

“Kalau begitu ayo kembali tuan, saya takut Bian tidak berhenti menangis nanti. “

“Jangan memerintahku, ingat itu! “ kutunjuk muka Jamilah dengan amarah meluap di ubun-ubun.

“I... I... Ya tuan, maaf. “ Seperti biasa Jamilah langsung menundukkan wajahnya ketakutan, tetapi aku tidak pernah merasa kasihan sedikit pun, perasaan benci terlalu mendominasi.

Kami berdua akhirnya meninggalkan kamar hotel terkutuk itu, aku sudah menelepon Heri untuk menjemputku. Sampai di halaman parkir aku menoleh ke belakang mencari keberadaan Jamilah dan betapa terkejutnya saat mendapati Jamilah menenteng sepatu high hillnya itu , “dasar wanita kampung !“ Umpatku, yang tidak dapat di dengar Jamilah karena jarak kami masih cukup jauh.

Beberapa menit kemudian Heri sudah sampai di halaman parkir. Semua mata tertuju pada kami berdua, mungkin mereka mengira kami adalah pasangan pengantin yang sedang berbulan madu. Begitu juga dengan Heri yang tidak berhenti tersenyum menatapku dan Jamilah yang telah duduk di bangku belakang.

“Heri, hentikan tingkah konyolmu itu sebelum aku pecat sekarang juga! “ ancamku kasar.

“Iya, tuan, sebenarnya, saya sangat berbahagia melihat Anda sudah menikah, “ jawab Heri dengan berani. Maklum saja dia juga salah satu sahabatku sejak remaja, Heri anak jalanan yang di ambil papa. Heri dan aku terkadang bisa menjadi teman saat tidak bekerja.

“Kampret lu, tersenyum di atas penderitaan orang lain, “

“Bos, percayalah, setelah malam pertama kalian, saya pastikan bos tidak akan marah-marah lagi dengan saya, “ucap Heri ambigu.

Blushh...

Rona merah terpancar pada wajah Jamilah, aku melirik sekilas kemudian membuang muka kembali ke luar jendela sambil bergumam dalam hati, “dasar janda kampung, seperti gadis belia saja mendengar kata malam pertama wajahnya sudah seperti kepiting rebus, huh... dasar katrok, siapa juga yang minat dengan janda. “ Aku tersenyum sinis menatap Jamilah sekilas.

“Heri, setelah sampai di rumah aku menunggumu di ruang kerja. “

“Assiappp bos, “

“Jangan terlalu bersemangat, bisa jadi ini adalah hari terakhirmu bisa tersenyum. Heri! “ ucapku penuh penekanan.

Heri mendelik, raut mukanya berubah tegang seketika, “rasakan lu Heri, gua akan ngerjain lo balik. “ gumamku dalam hati.

 Sampai di halaman rumah, Jamilah bergegas lari dengan kaki tanpa alas, entah di buang ke mana sepatu yang tadi di tentengnya saat keluar hotel.

“Mama...! “teriak Abian dari depan pintu. Abian menangis dalam pelukan mama. Rupanya mama dan papa sejak tadi sudah kembali ke rumah. Ini sungguh mengejutkan setelah sekian lama, papa dan mama ada waktu bersantai di rumah utama kami.

“Bian, “ teriak Jamilah terus berlari menuju ke arah Abian.

Mereka berdua berpelukan bagai ibu dan anak yang tidak berjumpa puluhan tahun. Aku menatap Abian dan Jamilah dengan perasaan entah, antara iba dan juga benci menjadi satu.

“Ayah, “ Bian berjalan mendekat, kontan aku meraih tubuh mungil itu, mencium pipi gembulnya dengan gemas.

“Ayah, napa nggak puyang? “ pertanyaan Bian membuat bingung.

“Em... ayah... itu, “ jawabku dengan ragu, mencari alasan yang tepat agar bisa di mengerti olehnya.

“Sayang, ayah sangat lelah, biarkan ayah beristirahat ya? “ tutur Jamilah, membuatku bernafas lega.

Abian mengangguk kemudian meminta turun dari gendongan dan menghambur ke arah mama.

“Eh... cucu oma memang paling pintar, apa kata oma, kalau Bian pengen punya temen, Bian harus membiarkan Ayah sama Mama Jamilah tidur berdua dan Bian tidur sama oma, “ ucap mama tanpa beban, membuat aku dan Jamilah saling tatap. Tidak berlangsung lama karena Jamilah mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan rona di pipinya, “dasar janda katrok! “ umpatku dalam hati. Tingkah Jamilah terlihat seperti remaja belasan tahun, tidak sadarkah dirinya itu hanya seorang janda.

Tidak ingin berlarut dalam situasi tidak mengenakkan, aku berlalu meninggalkan mereka berdua ke ruang kerja dan Heri tentunya mengikuti dari belakang.

“Heri, kamu tahu apa kesalahanmu? “ sesaat setelah kami tiba di ruang kerja.

“Tidak bos, “jawab Heri mantap.

“Benarkah? “

“Iya bos. “

“Bagaimana dengan pernikahanku, apa kau punya penjelasan? “

“Oh, tentang itu bos. “ jawab Heri santai.

“Sial, lu Heri! “ umpatku.

“Lu mau gua pecat karena tidak becus menjaga janda itu? “

“Sabar dulu bos, biar saya jelaskan. “Jawab Heri dengan nada formal.

“Apa? cepat katakan. “

“Saat kami hendak pulang, Tiba-tiba Jamilah pamit ke kamar kecil. Saya menunggunya bersama Den Abian dalam mobil tetapi beberapa waktu kemudian nona Jamilah tidak kunjung kembali. Saya berinisiatif mencarinya ke dalam, tetapi... “ kalimat Heri terjeda.

“Apa? “

“Itu bos, saya... bagaimana mengatakannya ya? “

“He... jangan membuatku penasaran dodol, “ umpatku sambil melempari  Heri dengan bolpoin. Seketika Heri mengelak.

“Bos, Anda yakin akan mendengar jawaban ini? “

“Heri...! “

“Baiklah bos kalau Anda memaksa. Tetapi setelah ini Anda jangan menyesal! “ tutur Heri dengan berani.

“Lu tahu kan Heri, Alan Prayoga Sanders itu siapa? “

“Ya, baiklah kalau Anda memaksa bos. “

Heri menyerahkan ponselnya kepadaku, mencari sesuatu dilayar biru tersebut, “nah, baca bos! “

[ Heri, lu enggak usah mencari Jamilah, dia bersama gua, bermalam di sini. ]

“Astaga, “rasanya kedua mata ini hampir keluar dari tempatnya. Heri segera merebut ponselnya dengan cepat. Takut jika aku menghancurkan ponselnya saat itu juga.

“Bos, Anda baik-baik saja kan? “

Aku tidak menjawab, pesan yang tertulis di dalam ponsel Heri benar-benar membuatku terkejut setengah mati, “jadi sebenarnya ada yang merencanakan semua ini Heri? “

“Apa maksud Anda, bos? “

“Apa lu percaya gua yang menulis pesan itu di HP lu? “ tanyaku membuat Heri semakin kebingungan.

“Jadi bos? “

“Heem.”

“Wah, ini tidak bisa di biarkan bos, biar saya yang mengurus semuanya. “

“Memang itu sudah menjadi tugasmu, bodoh! “

“Ya, ya, ya, bos tenang saja, saya akan melaksanakannya dengan cepat bos, “ ucap Heri sambil pamit undur diri.

“Bos, tapi menurut saya, sebaiknya Anda nikmati saja pernikahan ini, toh kalian sudah sah, walau janda Jamilah tetap menggoda bos, “kalimat Heri keluar begitu saja sebelum menutup pintu untuk melarikan diri.

“Heri...! “teriakku kencang, Heri sudah hilang di balik pintu ruang kerjaku. “Shitt... ada yang menjebakku rupanya, apa mungkin janda itu yang melakukannya? Dasar Janda sialan! “ makiku sambil mengobrak-abrik isi ruangan dengan brutal. Emosi yang sudah aku pendam sejak kejadian tadi siang.

Setelah emosi mereda, kulangkahkan kaki ini keluar menuju ruang makan, waktu sudah menunjukkan jam makan malam. Ini benar-benar tidak bisa di biarkan, bisa-bisanya mereka tertawa bercanda gurau di atas penderitaanku, sungguh pemandangan yang luar biasa, di depan meja makan yang sudah tertata rapi.

“Alan, sayang ayo makan! “ sapa mama di sela aktivitas mama menyuapi Abian, bocah itu memang mudah akrab dengan siapa saja.

“Ayah, ayo mamam, ini enak, ayam goleng upin ipin, “ ucap Abian dengan polos.

Saat melihat Abian amarah yang tadinya membuncah seketika teredam bagai bom waktu yang telah di jinakkan. Tetapi saat mata ini tak sengaja menatap Jamilah, emosi itu seketika memanas kembali bagai gunung berapi yang siap memuntahkan isi perutnya.

Aku hendak melangkahkan kaki ini, menuju kamar pribadiku, tiba-tiba  suara papa menghentikanku.

“Alan, papa tidak pernah mengajarkan kamu menjadi seorang pengecut! “ kalimat papa bagai godam yang menghantam dada ini, papa memang selalu berhasil melukai harga diriku dan aku terlihat bodoh di hadapannya.

“Pa, sudahlah, biarkan Alan beristirahat, mungkin dia lelah, sayang pergilah ke kamar, biar nanti makanannya di antar saja. “

Perkataan mama dan papa sudah tidak aku pedulikan, persetan dengan lapar, sebenarnya perut ini sudah berteriak minta di isi, tetapi melihat pemandangan di meja makan membuat selera makanku menghilang seketika.

Sampai di kamar, kurebahkan tubuh ini di ranjang, kedua mataku  langsung terpejam, rasanya lelah sekali, hari yang tidak pernah aku harapkan hadir dalam hidupku.

Mengapa perjalanan kehidupanku bisa hancur seperti ini, kenapa seorang pria sempurna sepertiku bisa berakhir di pelukan  janda kampung. Bahkan aku bisa mendapatkan ratusan wanita yang lebih baik dari dirinya.

“Farhan, maafkan aku, “ gumamku lirih, tiba-tiba saja aku mengingat sahabatku itu yang baru beberapa hari meninggal dunia, “Farhan, jangan membenciku, aku tidak menghianatimu, mungkin ada orang yang sengaja menjebakku malam itu. “ Tidak terasa bulir air menetes dari sudut mata ini, untuk pertama kalinya diriku menangis. Rasanya aku telah mengkhianati Farhan dengan jalan menikahi mantan istrinya.

“Farhan, maafkan aku. “ Gumam bibir ini kembali.

 Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku, tanpa ingin menyahut, kubiarkan saja suara orang memanggil-manggil dari balik pintu.

 Beberapa menit kemudian terdengar derap langkah kaki menuju pembaringanku.

“Tuan, “ suara lembut itu bagaikan bisikan setan yang senantiasa menghantuiku, bukan karena takut, wanita ini bagaikan iblis, menyesatkan takdir hidupku yang sudah sempurna. Karena kedatangannya telah menghancurkan masa depanku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rauldiaz Ngaga
sebaiknya tidak usah pake koin ataupun bonus supaya kita bisa membacanya sampe selesai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status