“Tuan, tuan Alan, tuan...! “ seseorang mengguncang lenganku dan berteriak.
Mata ini sulit di buka, rasanya baru beberapa menit aku tertidur pulas. Saat membuka mata, Jamilah sudah berada di sampingku dengan pakaian yang sama.
“Dasar wanita bodoh! kenapa harus berteriak, aku tidak tuli, “
“Itu tuan, “ jawab Jamilah tergagap.
“Apa? Cepat katakan! “
“Bian, menangis mencari kita berdua, “ jawab Jamilah sambil menunduk menatap ponsel dalam genggamannya.
“Tadi tuan dan nyonya menelepon. Maaf saya sudah lancang, mengangkat panggilan masuk di HP Anda tuan, “
“Hem... “
“Kalau begitu ayo kembali tuan, saya takut Bian tidak berhenti menangis nanti. “
“Jangan memerintahku, ingat itu! “ kutunjuk muka Jamilah dengan amarah meluap di ubun-ubun.
“I... I... Ya tuan, maaf. “ Seperti biasa Jamilah langsung menundukkan wajahnya ketakutan, tetapi aku tidak pernah merasa kasihan sedikit pun, perasaan benci terlalu mendominasi.
Kami berdua akhirnya meninggalkan kamar hotel terkutuk itu, aku sudah menelepon Heri untuk menjemputku. Sampai di halaman parkir aku menoleh ke belakang mencari keberadaan Jamilah dan betapa terkejutnya saat mendapati Jamilah menenteng sepatu high hillnya itu , “dasar wanita kampung !“ Umpatku, yang tidak dapat di dengar Jamilah karena jarak kami masih cukup jauh.
Beberapa menit kemudian Heri sudah sampai di halaman parkir. Semua mata tertuju pada kami berdua, mungkin mereka mengira kami adalah pasangan pengantin yang sedang berbulan madu. Begitu juga dengan Heri yang tidak berhenti tersenyum menatapku dan Jamilah yang telah duduk di bangku belakang.
“Heri, hentikan tingkah konyolmu itu sebelum aku pecat sekarang juga! “ ancamku kasar.
“Iya, tuan, sebenarnya, saya sangat berbahagia melihat Anda sudah menikah, “ jawab Heri dengan berani. Maklum saja dia juga salah satu sahabatku sejak remaja, Heri anak jalanan yang di ambil papa. Heri dan aku terkadang bisa menjadi teman saat tidak bekerja.
“Kampret lu, tersenyum di atas penderitaan orang lain, “
“Bos, percayalah, setelah malam pertama kalian, saya pastikan bos tidak akan marah-marah lagi dengan saya, “ucap Heri ambigu.
Blushh...
Rona merah terpancar pada wajah Jamilah, aku melirik sekilas kemudian membuang muka kembali ke luar jendela sambil bergumam dalam hati, “dasar janda kampung, seperti gadis belia saja mendengar kata malam pertama wajahnya sudah seperti kepiting rebus, huh... dasar katrok, siapa juga yang minat dengan janda. “ Aku tersenyum sinis menatap Jamilah sekilas.
“Heri, setelah sampai di rumah aku menunggumu di ruang kerja. “
“Assiappp bos, “
“Jangan terlalu bersemangat, bisa jadi ini adalah hari terakhirmu bisa tersenyum. Heri! “ ucapku penuh penekanan.
Heri mendelik, raut mukanya berubah tegang seketika, “rasakan lu Heri, gua akan ngerjain lo balik. “ gumamku dalam hati.
Sampai di halaman rumah, Jamilah bergegas lari dengan kaki tanpa alas, entah di buang ke mana sepatu yang tadi di tentengnya saat keluar hotel.
“Mama...! “teriak Abian dari depan pintu. Abian menangis dalam pelukan mama. Rupanya mama dan papa sejak tadi sudah kembali ke rumah. Ini sungguh mengejutkan setelah sekian lama, papa dan mama ada waktu bersantai di rumah utama kami.
“Bian, “ teriak Jamilah terus berlari menuju ke arah Abian.
Mereka berdua berpelukan bagai ibu dan anak yang tidak berjumpa puluhan tahun. Aku menatap Abian dan Jamilah dengan perasaan entah, antara iba dan juga benci menjadi satu.
“Ayah, “ Bian berjalan mendekat, kontan aku meraih tubuh mungil itu, mencium pipi gembulnya dengan gemas.
“Ayah, napa nggak puyang? “ pertanyaan Bian membuat bingung.
“Em... ayah... itu, “ jawabku dengan ragu, mencari alasan yang tepat agar bisa di mengerti olehnya.
“Sayang, ayah sangat lelah, biarkan ayah beristirahat ya? “ tutur Jamilah, membuatku bernafas lega.
Abian mengangguk kemudian meminta turun dari gendongan dan menghambur ke arah mama.
“Eh... cucu oma memang paling pintar, apa kata oma, kalau Bian pengen punya temen, Bian harus membiarkan Ayah sama Mama Jamilah tidur berdua dan Bian tidur sama oma, “ ucap mama tanpa beban, membuat aku dan Jamilah saling tatap. Tidak berlangsung lama karena Jamilah mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan rona di pipinya, “dasar janda katrok! “ umpatku dalam hati. Tingkah Jamilah terlihat seperti remaja belasan tahun, tidak sadarkah dirinya itu hanya seorang janda.
Tidak ingin berlarut dalam situasi tidak mengenakkan, aku berlalu meninggalkan mereka berdua ke ruang kerja dan Heri tentunya mengikuti dari belakang.
“Heri, kamu tahu apa kesalahanmu? “ sesaat setelah kami tiba di ruang kerja.
“Tidak bos, “jawab Heri mantap.
“Benarkah? “
“Iya bos. “
“Bagaimana dengan pernikahanku, apa kau punya penjelasan? “
“Oh, tentang itu bos. “ jawab Heri santai.
“Sial, lu Heri! “ umpatku.
“Lu mau gua pecat karena tidak becus menjaga janda itu? “
“Sabar dulu bos, biar saya jelaskan. “Jawab Heri dengan nada formal.
“Apa? cepat katakan. “
“Saat kami hendak pulang, Tiba-tiba Jamilah pamit ke kamar kecil. Saya menunggunya bersama Den Abian dalam mobil tetapi beberapa waktu kemudian nona Jamilah tidak kunjung kembali. Saya berinisiatif mencarinya ke dalam, tetapi... “ kalimat Heri terjeda.
“Apa? “
“Itu bos, saya... bagaimana mengatakannya ya? “
“He... jangan membuatku penasaran dodol, “ umpatku sambil melempari Heri dengan bolpoin. Seketika Heri mengelak.
“Bos, Anda yakin akan mendengar jawaban ini? “
“Heri...! “
“Baiklah bos kalau Anda memaksa. Tetapi setelah ini Anda jangan menyesal! “ tutur Heri dengan berani.
“Lu tahu kan Heri, Alan Prayoga Sanders itu siapa? “
“Ya, baiklah kalau Anda memaksa bos. “
Heri menyerahkan ponselnya kepadaku, mencari sesuatu dilayar biru tersebut, “nah, baca bos! “
[ Heri, lu enggak usah mencari Jamilah, dia bersama gua, bermalam di sini. ]
“Astaga, “rasanya kedua mata ini hampir keluar dari tempatnya. Heri segera merebut ponselnya dengan cepat. Takut jika aku menghancurkan ponselnya saat itu juga.
“Bos, Anda baik-baik saja kan? “
Aku tidak menjawab, pesan yang tertulis di dalam ponsel Heri benar-benar membuatku terkejut setengah mati, “jadi sebenarnya ada yang merencanakan semua ini Heri? “
“Apa maksud Anda, bos? “
“Apa lu percaya gua yang menulis pesan itu di HP lu? “ tanyaku membuat Heri semakin kebingungan.
“Jadi bos? “
“Heem.”
“Wah, ini tidak bisa di biarkan bos, biar saya yang mengurus semuanya. “
“Memang itu sudah menjadi tugasmu, bodoh! “
“Ya, ya, ya, bos tenang saja, saya akan melaksanakannya dengan cepat bos, “ ucap Heri sambil pamit undur diri.
“Bos, tapi menurut saya, sebaiknya Anda nikmati saja pernikahan ini, toh kalian sudah sah, walau janda Jamilah tetap menggoda bos, “kalimat Heri keluar begitu saja sebelum menutup pintu untuk melarikan diri.
“Heri...! “teriakku kencang, Heri sudah hilang di balik pintu ruang kerjaku. “Shitt... ada yang menjebakku rupanya, apa mungkin janda itu yang melakukannya? Dasar Janda sialan! “ makiku sambil mengobrak-abrik isi ruangan dengan brutal. Emosi yang sudah aku pendam sejak kejadian tadi siang.
Setelah emosi mereda, kulangkahkan kaki ini keluar menuju ruang makan, waktu sudah menunjukkan jam makan malam. Ini benar-benar tidak bisa di biarkan, bisa-bisanya mereka tertawa bercanda gurau di atas penderitaanku, sungguh pemandangan yang luar biasa, di depan meja makan yang sudah tertata rapi.
“Alan, sayang ayo makan! “ sapa mama di sela aktivitas mama menyuapi Abian, bocah itu memang mudah akrab dengan siapa saja.
“Ayah, ayo mamam, ini enak, ayam goleng upin ipin, “ ucap Abian dengan polos.
Saat melihat Abian amarah yang tadinya membuncah seketika teredam bagai bom waktu yang telah di jinakkan. Tetapi saat mata ini tak sengaja menatap Jamilah, emosi itu seketika memanas kembali bagai gunung berapi yang siap memuntahkan isi perutnya.
Aku hendak melangkahkan kaki ini, menuju kamar pribadiku, tiba-tiba suara papa menghentikanku.
“Alan, papa tidak pernah mengajarkan kamu menjadi seorang pengecut! “ kalimat papa bagai godam yang menghantam dada ini, papa memang selalu berhasil melukai harga diriku dan aku terlihat bodoh di hadapannya.
“Pa, sudahlah, biarkan Alan beristirahat, mungkin dia lelah, sayang pergilah ke kamar, biar nanti makanannya di antar saja. “
Perkataan mama dan papa sudah tidak aku pedulikan, persetan dengan lapar, sebenarnya perut ini sudah berteriak minta di isi, tetapi melihat pemandangan di meja makan membuat selera makanku menghilang seketika.
Sampai di kamar, kurebahkan tubuh ini di ranjang, kedua mataku langsung terpejam, rasanya lelah sekali, hari yang tidak pernah aku harapkan hadir dalam hidupku.
Mengapa perjalanan kehidupanku bisa hancur seperti ini, kenapa seorang pria sempurna sepertiku bisa berakhir di pelukan janda kampung. Bahkan aku bisa mendapatkan ratusan wanita yang lebih baik dari dirinya.
“Farhan, maafkan aku, “ gumamku lirih, tiba-tiba saja aku mengingat sahabatku itu yang baru beberapa hari meninggal dunia, “Farhan, jangan membenciku, aku tidak menghianatimu, mungkin ada orang yang sengaja menjebakku malam itu. “ Tidak terasa bulir air menetes dari sudut mata ini, untuk pertama kalinya diriku menangis. Rasanya aku telah mengkhianati Farhan dengan jalan menikahi mantan istrinya.
“Farhan, maafkan aku. “ Gumam bibir ini kembali.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku, tanpa ingin menyahut, kubiarkan saja suara orang memanggil-manggil dari balik pintu.
Beberapa menit kemudian terdengar derap langkah kaki menuju pembaringanku.
“Tuan, “ suara lembut itu bagaikan bisikan setan yang senantiasa menghantuiku, bukan karena takut, wanita ini bagaikan iblis, menyesatkan takdir hidupku yang sudah sempurna. Karena kedatangannya telah menghancurkan masa depanku.
Jamilah datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi makanan. Aku melirik sekilas, kemudian menutup mata kembali dengan posisi tengkurap di ranjang, itu memang kebiasaanku saat tidur.“Tuan, nyonya berpesan agar Anda harus makan. “Hening...Aku tidak ingin menjawab, jangankan untuk makan memandang makanan yang Jamilah bawa saja membuatku ingin mutah dan meludahi wajahnya.“Ayah...! “ suara bocah itu membuat bingung, antara ingin bangun atau melanjutkan sikap acuhku.“Ayah, ayo mamam, “ ucap Abian lagi, kali ini dia naik ke atas ranjang dan menarik-narik lenganku.“Alan, mama tahu kamu masih marah, tapi jangan menyiksa dirimu seperti ini sayang, “ mama tiba-tiba menyahut, entah sejak kapan mama sudah berada di kamar ini , mungkin mama sengaja mengajak Abian untuk meluluhkan hatiku.“Sayang apa kamu tidak kasihan sama Abian, setidaknya kamu pikirkan perasaan bocah itu! Ma
Hari kedua status sebagai suami telah aku lalui dengan menyenangkan, eh... tunggu, menyenangkan dalam versi seorang Alan.Jangan berpikiran manis dulu kawan, tentu saja pagi ini aku sangat puas karena bisa membuat janda itu kesal bercampur malu atau lebih tepatnya menahan hasrat. Siapa juga yang mampu menolak pesona seorang Alan Prayoga Sanders, pewaris tunggal Perusahaan Sanders Corporation.Sejak sarapan pagi hingga sampai di dalam mobil rasanya mulut ini tidak bisa berhenti tertawa, hingga mama menegurku di meja makan, tapi teguran mama lagi-lagi membuatku diam seketika, saat mama menganggap aku tengah berbahagia mereguk indahnya masa pengantin baru, aku hanya diam dan mengiyakan saja, tidak ingin mama menaruh curiga dengan aksi balas dendamku kepada Jamilah.Heri yang merasa aneh melihat kelakuanku di dalam perjalanan serasa tak kuasa menahan rasa penasarannya. Mulut embernya itu sudah gatal sejak tadi, “ap
Saat sedang membaca chat dari mama suara ponsel bergetar menampilkan panggilan masuk, siapa lagi kalau bukan mama pelakunya.“Alan, kamu itu benar-benar suami durhaka! “ Teriak mama di seberang telepon.“Ma, mama kok begitu ngomongnya, mana ada suami durhaka Ma? “ jawabku kesal.“Mama enggak peduli, yang terpenting cepat bawa menantu mama kembali ke rumah ! ““Tapi Ma, Alan sibuk sekarang ini. “ Jawabku beralasan.“Enggak usah bohong Alan, mama tahu semua jadwalmu hari ini, enggak usah mencari alasan, atau kamu mau mama memberi tahu papa tentang kegiatan yang kamu lakukan barusan? ““Ti---dak Ma, tidak perlu. ““Bagus. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik, mama menunggumu di rumah bersama Abian. “Seketika mama menutup panggilan teleponnya sepihak. Sekarang tinggal aku yang merasa kebingungan saat harus mencari Jamilah yang katanya p
“Kamu, kenapa masih pakai baju itu !? “ ucapku geram.“Em, tuan, tadi saya mau mandi di kamar belakang ketahuan Mama, jadi mama marahi saya terus---. ““Ah, sudah-sudah, dasar janda menyebalkan. Sana mandi, badan kaya papan penggilasan saja bangga di pamerkan uh,! ““Apa tuan, maksud Anda apa? “Aku diam terpaku seketika saat Jamilah tiba-tiba mendekat, sungguh badanku sudah gerah rasanya melihat pemandangan di depanku dan bodohnya janda kampung ini tidak menyadari kegelisahanku, uh, rasanya panas sekali.“Tuan, Anda melamun? “Tanpa jawaban aku segera berlalu meninggalkan Jamilah yang masih diam terpaku di depan kamar mandi.“Janda...! sampai kapan kamu di situ? “ seruku pada Jamilah, tanpa melihat ke arahnya aku sudah tahu Jamilah belum masuk ke kamar mandi.Bruk, suara pintu ditutup dengan keras, “dasar janda! “ Aku berteriak meng
Sampai dikamar tidur, aku dan Abian tidak mendapati hal yang aneh, semua tampak rapi seperti tidak terjadi apa pun hingga mama ke luar dari kamar mandi dengan muka panik.“Alan, itu...! “ Mama berucap sambil menunjuk kamar mandi.“Ada apa Ma? “Tanyaku sambil menurunkan Abian ke atas ranjang tidur.“Jamilah Lan, tolonglah dia! “ Kepanikan mama semakin menjadi. Aku hanya diam dengan ekspresi bingung.Seketika mama menarik lenganku menuju ruangan kecil yang terletak tepat disisi kamar tidur. Hingga sampai di sana sebuah pemandangan erotis tampak di sebuah kamar mandiku, “Ma, apa-apaan ini Ma? “sanggahku sambil berbalik membelakangi pemandangan syur yang terpampang nyata tanpa sensor itu.“Eh, Alan kamu itu bagaimana sih, istri sedang pingsan begitu kok main kabur? “Ucap mama sambil menarik tubuhku menghadap kembali ke arah Jamilah.“Tapi Ma. ““Enggak ada
Jamilah dan aku tanpa sengaja mengucapkan kata yang sama, tentu saja kami sangat terkejut oleh perkataan Abian, “tidur seranjang bertiga. Uh, yang benar saja. “ Hati ini mendadak resah, gundah gulana.“He...! kalian ini kenapa? Seperti di ajak berperang melawan musuh saja, wajar kan kalau Bian ingin tidur bersama mama dan papanya? ““Tapi, Ma? “ ucap Jamilah dengan raut muka yang mendadak pucat, tangannya terlihat gemetar sambil terus memegangi selimut yang masih menempel di tubuhnya.“Mama! Bian mau tidur di sini sama kalian! “ tegas Abian dengan muka lucunya.“Papa, bolehkan Bian tidur di kamar ini? ““Eh, Em, tentu saja sayang. “Dengan raut muka penuh kebahagiaan Abian berlari menghambur dalam pelukanku. Tangan ini pun tanpa menunggu lama akhirnya mengangkat tubuh mungil itu dalam dekapan. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku bisa melihat Abian bisa tersenyum dan te
Pagi ini Kak Farhan memberitahuku, dia akan membawa Bian bertemu sahabat lamanya. Rona kebahagian sangat jelas terpancar pada wajahnya. Semenjak pernikahan kami tiga tahun lalu baru kali ini aku melihat Kak Farhan terlihat sangat bahagia. Mungkin sahabat Kak Farhan memang seseorang yang sangat istimewa baginya. Setelah mendandani Abian dengan rapi aku bergegas keluar kamar untuk memberitahu Kak Farhan bahwa putranya telah siap berangkat. Kak Farhan tampak duduk di teras rumah dengan penampilan yang sudah rapi. Suamiku itu sungguh terlihat tampan pagi ini. Dalam lamunanku terbesit sebuah keinginan yang konyol, “ah, seandainya pernikahan ini nyata. “ Seulas senyum tak dapat aku sembunyikan lagi hingga suara Kak Farhan mengejutkanku. “Dek, kakak pamit ya? Jaga diri baik-baik. Jangan lupa untuk mengunci pintu rumah kalau saja Kak Farhan pulang terlambat. “ “Em, iya, Kak. “ Ucapku malu sambil menyembunyikan rona merah di wajahku, takut-takut jikalau Kak Fa
“Hay, siapa pun kamu yang menghubungi nomor ini, saat ini Farhan sedang berada di rumah sakit. “ Ucap seorang lelaki yang tampak kesal karena aku diam saja tanpa bersuara.“I---ya, tuan, apa yang terjadi dengan suami saya? “ Ucapku sambil menahan air mata yang sudah mulai jatuh dari kedua mataku.Hening, tidak ada jawaban.“Tuan, tolong kirim alamat rumah sakit itu sekarang! “Seketika sambungan telepon terputus, rupanya lelaki itu memutuskan telepon kami secara sepihak.Beberapa menit kemudian tampak notifikasi di layar HP. Aku buru-buru membaca pesan yang telah dikirimkan lelaki asing yang aku kira dia adalah temannya Kak Farhan.Sampai di jalan raya aku menyetop taksi yang terlihat sedang bergerak ke arahku. Sudah tidak terpikir lagi soal biaya taksi yang mahal yang terpenting saat ini aku harus segera sampai ke rumah sakit itu dengan cepat.Dalam perjalanan aku terus berdoa semoga Kak Farh