“Sakit sekali kepalaku, “ membuka mata, mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan, sesosok wanita tengah tidur memunggungiku, “eh, ini sungguh aneh, aku bahkan tidak merasakan apa pun selain tertidur pulas, atau aku yang terlalu mabuk? “ pertanyaan itu berkecamuk dalam hati, sekilas menatap tubuhku yang tanpa sehelai benang membuat pemikiran yang baru saja terbersit di otak tiba-tiba sirna.
Saat akan turun dari ranjang, terlihat pintu di buka paksa oleh seseorang, “siapa mereka? “ terdengar suara keributan di balik pintu kamar hotel.
“Alan...! “teriak seorang wanita paruh baya di depan pintu yang sukses membuatku terpaku di tempat.
“Ma... “ suara ini tercekat di tenggorokan, buru- buru menutupi tubuh polosku dengan selimut.
“Alan...! mama enggak menyangka kamu bisa berbuat seperti itu, hu hu hu,“
“Sabar Ma, “ ucap papa sambil mengelus bahu mama dengan lembut.
“Apa yang kau lakukan pada perempuan itu Alan! “ suara lengkingan mama membuat wanita yang tertidur di sampingku seketika menggeliat bangun.
“Ma, Alan bisa jelaskan ini semua, Alan juga tidak tahu siapa wanita itu, “ sangkalku, kemudian memutar badan menatap ke samping dan ternyata, “ GOD...” bola mataku membulat sempurna mendapati kenyataan yang terjadi.
“Eh, aku di mana ini? “ Jamilah merasa bingung menatap ke sekeliling ruang kamar. Tatapannya terhenti saat melihat aku diam terpaku di sampingnya berbaring. “Tuan, mengapa Anda berada di kamarku? “
Belum sempat aku menjawab pertanyaan bodoh Jamilah yang belum sadar sepenuhnya, mama sudah menyerangku dengan brutal.
“Dasar anak nakal...! beraninya meniduri anak gadis orang, “ mama berjalan dengan tergesa-gesa menghampiriku, menjewer telinga dan memukuli tubuh ini dengan bantal.
“Ma, sudah Ma! “ cegah papa sambil menatapku tajam, sejak dulu aku memang lumayan takut dengan ketegasan papa, walau terlihat diam tapi papa lebih kejam saat menghukumku ketika berbuat kesalahan dan kali ini aku pasti bakalan mati.
“Tuan, mereka siapa? “ tanya Jamilah bodoh. Aku menatap tajam Jamilah tanpa memberikan jawaban. Jamilah menundukkan wajahnya menyembunyikan rasa takut.
“Sayang, kamu jangan khawatir, anak mama pasti akan bertanggung jawab, “Tiba-tiba saja mama menghampiri Jamilah dan memeluknya erat.
“What, maksud mama apa? “
“Jangan pura-pura bodoh Alan! “ ucap mama lagi sambil menimpuk kepalaku dengan tangan kanannya.
“Ma...! “
“Alan...! “ papa melihatku dengan tatapan membunuh.
“Tapi Pa, “ ingin rasanya menyangkal tapi...
“Papa tidak mau tahu, hari ini juga kamu harus menikahi gadis itu, titik. “
“Bagus itu Pa, “ imbuh mama dengan mantap. Kalau seperti ini aku serasa menjadi anak tiri bagi mereka, bukankah seharusnya mama dan papa membelaku, bukan perempuan itu, bahkan aku merasa tidak menyentuhnya, oh dasar bodoh...! wanita ini mengapa hanya diam saja.
“Eh, menikah tante, maksudnya bagaimana? “ ucap Jamilah dengan muka sok polosnya. Membuatku semakin muak melihat perempuan kampungan ini, seandainya bukan karena Farhan, sudah pasti aku tendang jauh dia sejak kemarin.
“Iya, menikah sayang, jadi mantu mama, “
“Tapi Alan enggak mau Ma, menikahi Janda! “ umpatku membuat mama melotot seketika, “YES, “ sorakku dalam hati, pasti mama akan membatalkan rencana konyol ini.
“Memangnya kenapa kalau dia janda? “ ucap papa, seketika membuyarkan rencana licikku.
“Iya, mama setuju, Pa, memangnya penting dengan status, oma kamu dulu, menikahi opa dalam keadaan duda, itu artinya sekarang kamu menuruni nasib dari oma, “ jawab mama dengan tegas, membuatku mati kutu rasanya.
“Tapi tante, saya... “
“Sudahlah sayang, sebagai sesama wanita mama mengerti perasaan kamu, maafkan anak tante ya sayang, semoga kamu bisa menuntunnya ke jalan benar nanti setelah kalian menikah, “ mama tersenyum manis sambil mengusap pucuk kepala Jamilah, pemandangan itu membuatku sebal ribuan kali.
“Ma, Alan mohon...! jangan menikahkan Alan dengan wanita ini, apalagi dia janda bekas sahabat Alan Ma, apa kata teman-teman Alan nanti, mau ditaruh di mana muka Alan Ma, “ kata permohonan terlontar dari bibir ini dengan memasang mimik muka nelangsa setidaknya aku harus berusaha keluar dari tragedi mengenaskan tersebut.
Mama dan papa sepakat tidak menjawab permintaanku. Papa kemudian menghubungi Paman Sam untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan di gunakan untuk acara akad nikah dadakan ini. Jamilah hanya diam membisu tanpa sanggahan sedikit pun, “aku heran apa sebenarnya perempuan itu yang merencanakan semua kejadian yang menimpaku ini? “ pertanyaan itu berputar-putar mengelilingi otakku tanpa jawaban, “lihat saja, hai, janda, kamu akan menyesal menikah denganku, aku pastikan kamu tidak akan bertahan dengan seorang Alan sang pemain wanita dalam hitungan hari, “ seringai licik terbit dari sudut bibir ini, menatap tajam wanita dalam rengkuhan mama.
“Bagaimana Pa? “
“Semua sudah beres Ma, tinggal menunggu mereka datang dan mama siapkan calon pengantin wanitanya, Papa akan menjaga anak kita biar tidak kabur seperti pengecut! “ aku hanya melongo mendengar ucapan papa, “shit... “umpatku geram.
“Baiklah Pa, ayo sayang ikut mama, kita akan berganti pakaian. “ Ajak mama dengan lembut menuntun wanita yang sejak tadi hanya menundukkan wajahnya, entah apa yang ada dalam pikiran janda itu, sehingga dirinya tidak melakukan penolakan sedikit pun, “jangan-jangan dia memang menyukainya , mungkin bagi Jamilah kejadian ini seperti anugerah, tetapi bagiku ini adalah musibah yang tak pernah ter bayangkan sekalipun dalam konsep masa depanku. Hari ini adalah hari paling sial sepanjang perjalanan kehidupan yang aku lalui.
Tepat pukul sebelas siang acara akad nikah sudah selesai di laksanakan dengan lancar bahkan aku mengucapkan lafaz ijab kabul dengan sangat baik tanpa kendala apa pun, ini sungguh aneh, baru kemarin sore aku merasa kegirangan terlepas dari penjara paman Sam, pagi harinya dunia mendadak kiamat saat mendapati diri ini harus bertanggung jawab dengan sesuatu yang tidak kulakukan.
Jamilah duduk di sampingku memakai baju kebaya berwarna putih dengan rambut yang di sanggul bak pengantin sesungguhnya, wajahnya hanya menunduk, entah apa yang sedang di pikirkan wanita itu, tatapanku tajam menelisik penampilannya yang sesaat lalu menghipnotisku sesaat, bahkan diri ini sempat terpana melihat Jamilah dengan penampilan barunya, kalau bukan karena mama yang menepuk pundakku bisa-bisa air liur menetes dengan sendirinya dan itu akan membuat aku malu seumur hidup, pada kenyataannya otak dan tubuh ini saling bertentangan. Dalam alam bawah sadar aku merasakan kebahagiaan tetapi otak ini belum bisa menerima pernikahan dadakan ini, “Farhan, maafkan aku. “
“Alan, istrimu akan mencium tanganmu! “ teriak mama dan lagi membuatku terkejut untuk ke sekian kalinya.
“Eh... “ Jamilah mengulurkan tangannya ragu.
“Cium keningnya juga, Alan! “ ucapan Mama membuat bola mata ini hendak melompat dari tempatnya, “iyakan Pa? “
“Hem... “ jawab papa singkat.
Setelah Jamilah mencium punggung tangan ini dengan khidmat, aku pun mencium keningnya perlahan, ada debaran yang tidak biasa saat melihat Jamilah memejamkan matanya, “oh... seandainya Jamilah bukan bekas janda sahabatku dan kami bertemu sebelum hari ini terjadi pasti aku akan sangat berbahagia menjalani pernikahan ini, jujur aku tidak menyangkal Jamilah perempuan yang sangat cantik apalagi saat dia memakai kebaya pengantin ini, menampakkan kesempurnaan dalam dirinya. “Monologku dalam hati.
“Ciee... cie, yang pengantin baru sudah enggak tahan rupanya? “ kejailan mama membuat aku dan Jamilah salah tingkah, mama benar-benar membuat hidupku kacau balau.
“Baiklah sayangnya mama, selamat ya, akhirnya status bujang lapuk sudah tidak tersemat lagi pada dirimu, “
“Mama, siapa yang lapuk, enak saja mama asal bicara. “ Jawabku tidak Terima.
“Eh, kalau tidak lapuk mana mungkin hingga usiamu segini belum mau menikah, untung saja Jamilah mau menikah denganmu, Terima kasih sayang, “ mama merengkuh tubuh Jamilah, membuatku iri hati saja.
Bapak penghulu dan beberapa saksi meninggalkan kami sekeluarga sementara paman Sam dan Heri sopirku pamit undur diri. Seandainya papa tidak menatapku dengan tatapan mengintimidasi sudah tentu aku akan kabur dari kamar hotel sialan ini yang telah menghancurkan masa depanku.
“Alan, papa harap pernikahan ini menjadi pernikahan pertama dan terakhir dalam hidupmu, setelah masa idah istrimu selesai papa akan mengadakan pesta dan menikahkanmu lagi secara resmi, papa hanya ingin kesalahanmu kali ini menuntunmu ke jalan yang benar. Walau awalnya terjadi karena kesalahan. “ Begitulah wejangan papa sebelum meninggalkan kami berdua dalam kamar hotel yang tampak mewah dengan hiasan khas pengantin.
Tiba-tiba bayangan Abian terlintas dalam pikiranku.
“He... Abian di mana? “ Jamilah seketika terkejut mendapati pertanyaanku dengan kaki yang aku tendang kan pada punggunya, “biar saja aku kasar, toh sudah tidak ada mama ini. “
“Itu, tuan, Bian...saya juga tidak tahu. Di mana dia sekarang, “ suara Jamilah serak sambil mengusap air matanya.
Aku melirik sekilas.
“Enggak usah drama, berhentilah menangis, karena sejak malam ini hidupmu akan di penuhi air mata dan satu lagi jangan pernah mengharap lebih dengan pernikahan bodoh ini, kalau bukan karena kau... istrinya Farhan sudah tentu aku akan membuangmu jauh dari hidupku. “
Jamilah tidak menjawab perkataanku.
“Kau, tidurlah di sofa, jangan pernah berani menyentuhku ataupun mengadu semua yang terjadi diantara kita. “
Ucapan terakhirku sukses membuat Jamilah menangis tersedu- sedu, aku tidak peduli, mau dia menangis hingga mengeluarkan darah sekalipun tidak akan membuat perasaan iba dalam hati ini. Kebencian terlalu mendominasi dalam jiwaku.
Jamilah beranjak dari ranjang berjalan dengan gontai menuju kamar mandi, setelah menatap punggungnya hingga hilang di balik pintu, aku merebahkan tubuh ini, lelah rasanya. Beberapa menit kemudian aku terlelap menuju alam mimpi.
“Tuan, tuan Alan, tuan...! “ seseorang mengguncang lenganku dan berteriak. Mata ini sulit di buka, rasanya baru beberapa menit aku tertidur pulas. Saat membuka mata, Jamilah sudah berada di sampingku dengan pakaian yang sama. “Dasar wanita bodoh! kenapa harus berteriak, aku tidak tuli, “ “Itu tuan, “ jawab Jamilah tergagap. “Apa? Cepat katakan! “ “Bian, menangis mencari kita berdua, “ jawab Jamilah sambil menunduk menatap ponsel dalam genggamannya. “Tadi tuan dan nyonya menelepon. Maaf saya sudah lancang, mengangkat panggilan masuk di HP Anda tuan, “ “Hem... “ “Kalau begitu ayo kembali tuan, saya takut Bian tidak berhenti menangis nanti. “ “Jangan memerintahku, ingat itu! “ kutunjuk muka Jamilah dengan amarah meluap di ubun-ubun. “I... I... Ya tuan, maaf. “ Seperti biasa Jamilah langsung menundukkan wajahnya ketakutan, tetapi aku tidak pernah merasa kasihan sedikit pun, perasaan benci terlalu mendominasi
Jamilah datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi makanan. Aku melirik sekilas, kemudian menutup mata kembali dengan posisi tengkurap di ranjang, itu memang kebiasaanku saat tidur.“Tuan, nyonya berpesan agar Anda harus makan. “Hening...Aku tidak ingin menjawab, jangankan untuk makan memandang makanan yang Jamilah bawa saja membuatku ingin mutah dan meludahi wajahnya.“Ayah...! “ suara bocah itu membuat bingung, antara ingin bangun atau melanjutkan sikap acuhku.“Ayah, ayo mamam, “ ucap Abian lagi, kali ini dia naik ke atas ranjang dan menarik-narik lenganku.“Alan, mama tahu kamu masih marah, tapi jangan menyiksa dirimu seperti ini sayang, “ mama tiba-tiba menyahut, entah sejak kapan mama sudah berada di kamar ini , mungkin mama sengaja mengajak Abian untuk meluluhkan hatiku.“Sayang apa kamu tidak kasihan sama Abian, setidaknya kamu pikirkan perasaan bocah itu! Ma
Hari kedua status sebagai suami telah aku lalui dengan menyenangkan, eh... tunggu, menyenangkan dalam versi seorang Alan.Jangan berpikiran manis dulu kawan, tentu saja pagi ini aku sangat puas karena bisa membuat janda itu kesal bercampur malu atau lebih tepatnya menahan hasrat. Siapa juga yang mampu menolak pesona seorang Alan Prayoga Sanders, pewaris tunggal Perusahaan Sanders Corporation.Sejak sarapan pagi hingga sampai di dalam mobil rasanya mulut ini tidak bisa berhenti tertawa, hingga mama menegurku di meja makan, tapi teguran mama lagi-lagi membuatku diam seketika, saat mama menganggap aku tengah berbahagia mereguk indahnya masa pengantin baru, aku hanya diam dan mengiyakan saja, tidak ingin mama menaruh curiga dengan aksi balas dendamku kepada Jamilah.Heri yang merasa aneh melihat kelakuanku di dalam perjalanan serasa tak kuasa menahan rasa penasarannya. Mulut embernya itu sudah gatal sejak tadi, “ap
Saat sedang membaca chat dari mama suara ponsel bergetar menampilkan panggilan masuk, siapa lagi kalau bukan mama pelakunya.“Alan, kamu itu benar-benar suami durhaka! “ Teriak mama di seberang telepon.“Ma, mama kok begitu ngomongnya, mana ada suami durhaka Ma? “ jawabku kesal.“Mama enggak peduli, yang terpenting cepat bawa menantu mama kembali ke rumah ! ““Tapi Ma, Alan sibuk sekarang ini. “ Jawabku beralasan.“Enggak usah bohong Alan, mama tahu semua jadwalmu hari ini, enggak usah mencari alasan, atau kamu mau mama memberi tahu papa tentang kegiatan yang kamu lakukan barusan? ““Ti---dak Ma, tidak perlu. ““Bagus. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik, mama menunggumu di rumah bersama Abian. “Seketika mama menutup panggilan teleponnya sepihak. Sekarang tinggal aku yang merasa kebingungan saat harus mencari Jamilah yang katanya p
“Kamu, kenapa masih pakai baju itu !? “ ucapku geram.“Em, tuan, tadi saya mau mandi di kamar belakang ketahuan Mama, jadi mama marahi saya terus---. ““Ah, sudah-sudah, dasar janda menyebalkan. Sana mandi, badan kaya papan penggilasan saja bangga di pamerkan uh,! ““Apa tuan, maksud Anda apa? “Aku diam terpaku seketika saat Jamilah tiba-tiba mendekat, sungguh badanku sudah gerah rasanya melihat pemandangan di depanku dan bodohnya janda kampung ini tidak menyadari kegelisahanku, uh, rasanya panas sekali.“Tuan, Anda melamun? “Tanpa jawaban aku segera berlalu meninggalkan Jamilah yang masih diam terpaku di depan kamar mandi.“Janda...! sampai kapan kamu di situ? “ seruku pada Jamilah, tanpa melihat ke arahnya aku sudah tahu Jamilah belum masuk ke kamar mandi.Bruk, suara pintu ditutup dengan keras, “dasar janda! “ Aku berteriak meng
Sampai dikamar tidur, aku dan Abian tidak mendapati hal yang aneh, semua tampak rapi seperti tidak terjadi apa pun hingga mama ke luar dari kamar mandi dengan muka panik.“Alan, itu...! “ Mama berucap sambil menunjuk kamar mandi.“Ada apa Ma? “Tanyaku sambil menurunkan Abian ke atas ranjang tidur.“Jamilah Lan, tolonglah dia! “ Kepanikan mama semakin menjadi. Aku hanya diam dengan ekspresi bingung.Seketika mama menarik lenganku menuju ruangan kecil yang terletak tepat disisi kamar tidur. Hingga sampai di sana sebuah pemandangan erotis tampak di sebuah kamar mandiku, “Ma, apa-apaan ini Ma? “sanggahku sambil berbalik membelakangi pemandangan syur yang terpampang nyata tanpa sensor itu.“Eh, Alan kamu itu bagaimana sih, istri sedang pingsan begitu kok main kabur? “Ucap mama sambil menarik tubuhku menghadap kembali ke arah Jamilah.“Tapi Ma. ““Enggak ada
Jamilah dan aku tanpa sengaja mengucapkan kata yang sama, tentu saja kami sangat terkejut oleh perkataan Abian, “tidur seranjang bertiga. Uh, yang benar saja. “ Hati ini mendadak resah, gundah gulana.“He...! kalian ini kenapa? Seperti di ajak berperang melawan musuh saja, wajar kan kalau Bian ingin tidur bersama mama dan papanya? ““Tapi, Ma? “ ucap Jamilah dengan raut muka yang mendadak pucat, tangannya terlihat gemetar sambil terus memegangi selimut yang masih menempel di tubuhnya.“Mama! Bian mau tidur di sini sama kalian! “ tegas Abian dengan muka lucunya.“Papa, bolehkan Bian tidur di kamar ini? ““Eh, Em, tentu saja sayang. “Dengan raut muka penuh kebahagiaan Abian berlari menghambur dalam pelukanku. Tangan ini pun tanpa menunggu lama akhirnya mengangkat tubuh mungil itu dalam dekapan. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku bisa melihat Abian bisa tersenyum dan te
Pagi ini Kak Farhan memberitahuku, dia akan membawa Bian bertemu sahabat lamanya. Rona kebahagian sangat jelas terpancar pada wajahnya. Semenjak pernikahan kami tiga tahun lalu baru kali ini aku melihat Kak Farhan terlihat sangat bahagia. Mungkin sahabat Kak Farhan memang seseorang yang sangat istimewa baginya. Setelah mendandani Abian dengan rapi aku bergegas keluar kamar untuk memberitahu Kak Farhan bahwa putranya telah siap berangkat. Kak Farhan tampak duduk di teras rumah dengan penampilan yang sudah rapi. Suamiku itu sungguh terlihat tampan pagi ini. Dalam lamunanku terbesit sebuah keinginan yang konyol, “ah, seandainya pernikahan ini nyata. “ Seulas senyum tak dapat aku sembunyikan lagi hingga suara Kak Farhan mengejutkanku. “Dek, kakak pamit ya? Jaga diri baik-baik. Jangan lupa untuk mengunci pintu rumah kalau saja Kak Farhan pulang terlambat. “ “Em, iya, Kak. “ Ucapku malu sambil menyembunyikan rona merah di wajahku, takut-takut jikalau Kak Fa