Share

4. Awal Tragedi

 Usai melakukan ritual mandi pagi, aku bergegas berangkat ke kantor, saat melewati halaman rumah netraku mencari dua makhluk aneh yang baru saja mengacaukan pagiku.

“Em... ke mana mereka? “

“Ayah...! “ teriak Abian kencang. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara.

“Ayah, sini...! “teriak Abian lagi.  Aku membalikkan badan ke samping dan melihat Abian sedang memetik bunga kesayangan mama, “astaga, Abian...! “ aku berlari kencang kearah Abian yang tengah asyik memetik bunga dan daunnya.

 Bocah itu hanya tersenyum melihat aku menghampirinya dengan panik, saat melihat senyum manisnya membuat kemarahanku menghilang seketika, “Abi, kenapa merusak tanaman ini? Tanaman bunga  ini kesukaan oma, “ ucapku sambil mengelus kepala Abian lembut, rambut ikal dan halus selalu membuat tangan ini ingin membelainya tanpa henti, aku merasa bodoh jatuh cinta dengan anak kecil, tapi sungguh jika kalian tahu Abian ini sangat menggemaskan, mungkin dia di ciptakan untuk membuatku menjadi orang yang sabar dan tidak arogan lagi suatu hari nanti.

“Ayah, “ panggil Abian lagi.

“Iya, sayang, “jawabku sambil berjongkok menatap kedua mata polosnya.

“Tuan, maaf, “ Jamilah datang tergopoh menghampiri aku dan Abian. Aku menatapnya jengah.

“Itu tuan, tadi saya meninggalkan Abian ke kamar mandi. “ ucapnya lagi, kali ini aku melihat penampilannya yang masih berantakan dengan rambut basah yang belum di sisir, aku tertegun sesaat menatap kulit putih Jamilah terpapar sinar matahari pagi, “oh sungguh wanita ini bagai bidadari dari surga. “ Pujiku dalam hati.

“Ehem... “suara deheman membuyarkan lamunan indahku, “Paman, sejak kapan berada di situ? “ tanyaku gugup, aku menggendong Abian dan berdiri menghampiri paman Sam yang sudah siap dengan pakaian rapinya.

“Baru saja tuan muda, “ jawabnya, membuatku bernafas dengan lega.

“Ayo berangkat paman! “ ajakku kemudian.

“Tapi tuan,” sangkal Jamilah.

“Apa? “ jawabku ketus.

“Itu... “ jawab Jamilah sambil menunjuk ke arah dadaku. Mataku mengikuti arah jari telunjuk Jamilah.

“Ya Tuhan, Abian... “pekikku terkejut, “sejak kapan dasi dan bajuku berantakan seperti ini? “ bukannya takut, Abian malah tertawa kegirangan dalam gendonganku, “dasar nakal! “ aku mencubit hidungnya gemas. “Ayah... ayah, “ ucap Abian sambil mencium pipi kananku.

“Bian, ayo turun sayang, biar Ayah bekerja. “ Tutur Jamilah kemudian.

Abian menggeleng, “endak, endak mau! “

“Bian,“ ucap Jamilah kembali, sambil berusaha memindahkan tubuh Abian dari gendonganku.

“Eh, tidak boleh begitu, Abian kan anak pintar, jadi harus menurut kata mama, oh ya, tadi burung Abian belum dikasih makan loh. “ Bujuk Jamilah lagi. “Oh ya Ma, Burung Bian mana? “celoteh Abian sambil memintaku untuk menurunkannya. Jamilah mengedipkan matanya kearahku, aku yang tidak paham dengan kode yang di berikan Jamilah hanya terpaku menatapnya saja.

“Tuan muda, mari berangkat! “  paman Sam memutar tubuhnya beranjak pergi, “emm, tunggu dulu tuan, “ ucap Jamilah mencegahku. “Itu tuan, biar saya rapikan dasinya, “ Jamilah berjalan mendekat dan mengulurkan tangannya merapikan kemeja yang tadi berantakan oleh ulah Abian, tanpa sengaja kedua mata kami saling bertemu untuk sesaat, tanpa di sadari ada debaran aneh terasa dalam dadaku, Jamilah tampak malu kemudian menundukkan wajahnya menyembunyikan rona merah, membuat Jamilah semakin rupawan dan mempesona.

“Tuan, mari berangkat! “ ucap paman Sam kembali.

“eh... iya, iya, paman, “jawabku gugup seperti maling tertangkap basah. “Ini, sungguh memalukan, jangan sampai paman Sam melihat tingkah anehku dan mengadukan semuanya pada papa.” Gerutuku dalam hati.

Dalam perjalanan ke kantor, aku mungkin sudah seperti orang gila, tersenyum sendiri, mengingat kejadian pagi ini sungguh membuatku merasa senang, “seindah itukah memiliki keluarga? “ sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul dalam pikiranku.

“Tuan Muda, “sudah sampai.

Aku tidak menjawabnya, Paman Sam keluar terlebih dahulu kemudian membuka pintu mobil seperti biasa. Semua karyawan sudah mulai bekerja di tempatnya masing-masing saat aku memasuki kantor, semua menegur dan memberi hormat, aku hanya mengangguk sambil meneruskan langkahku menuju ruang kerja.

Saat tengah memeriksa lembar dokumen tiba-tiba saja suara ponselku berbunyi, tertera nomor rumah memanggil.

“halo, ada apa bik? “

[Itu, tuan muda, eh... Nona Jamilah berpamitan pulang, tetapi, Den Abian menangis sedari tadi mencari Anda tuan, ]

Kudengar suara Abian menangis kencang dengan memanggil nama ayah, bocah itu rupanya benar- benar mengira aku ini Farhan Dinata ayahnya. “Bik Surti, tolong berikan telepon ini kepada Abian, “ tuturku kemudian.

[Baik tuan muda, ] sambungan telepon terhenti  sejenak,  aku mendengar langkah kaki bik Surti menjauh, “halo, Abian, ini ayah, “ ucapku dengan tidak sabar, Abian masih terisak. Membuat hatiku serasa di remas, ngilu, jujur aku sudah tidak kuasa menahan rasa iba kepada putra Farhan ini.

[Ayah, ]

“Ya, “

[Bian, mau itut Ayah, bolehkan? Mama ajak Bian puyang! “  ungkap Abian Mengadu. ]

“Bian boleh kesini biar nanti di jemput sama Om Heri, “ jawabku.

[Hore, ]

Teriakan Abian membuatku tersenyum senang, “baiklah Bian, ayah tutup teleponnya, Bian siap-siap ya! “ lanjutku kemudian.

[Iya, ayah] jawab Abian dari sebrang telepon.

Aku akhirnya menelepon Heri untuk menjemput Abian ke rumah.

 Tepat waktu istirahat makan siang Abian sampai di kantor bersama Heri, ada perasaan kecewa saat aku tidak melihat Jamilah mengikuti putranya ke mari, “huh, apa yang kupikirkan.“  

“Ayah, “ Abian turun dari gendongan Heri dan menghambur ke pangkuanku, “Abi, “panggilan kesayanganku untuk Abian, walau semua orang terdekatnya memanggil Bian tapi aku lebih suka memanggilnya Abi.

“Abi sudah makan? “ tanyaku sambil memeluk tubuh mungilnya dalam dekapanku, kalau sudah begini rasanya kebahagian tengah menyelimuti hatiku, sebuah kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan selama ini. “Terima kasih Tuhan telah mengirimkan malaikat kecil ini dalam kehidupanku, walau dengan cara kehilangan terlebih dahulu. “ Aku bermonolog dalam hati.

Abian menggeleng dan tersenyum kearahku, “Bian enggak mau makan Ayah. “

“ Kenapa? “

“Bian dimarahi  Mama,? “

“Benarkah? “

“heeh, “

“Pasti Bian nakal? “

“Enggak. “

“Terus, “lanjutku  penasaran.

“Mama... ajak Bian, pulang Ayah, Bian enggak mau mama marah, Hik hik hiks. “

“Sudah, sudah, biar nanti Ayah marahin mama, oke! “ Bian menatapku dengan wajah berbinar, bocah itu mengangguk, seketika aku cubit hidungnya dengan gemas, dia pun tertawa dengan riang, “Bian seandainya kamu tahu siapa aku, apa kamu akan membenci diri ini suatu saat nanti, “ aku memejamkan mata membayangkan sesuatu yang takut untuk menghadapinya.

 Tok tok tok

“Iya, masuk, “ jawabku tanpa melihat kearah pintu.

“Tuan, ini pesanan Anda. “ Rupanya Heri mengantarkan pesanan makan siang untuk kami berdua, “Hem... “ jawabku acuh, fokusku tetap dengan bocah menggemaskan di hadapanku ini.

“Tuan, saya permisi keluar? “

“Ya, “ jawabku sambil menatap Heri sekilas, Heri berlalu meninggalkan ruanganku, seulas senyum terbit dari bibirnya, aku bisa menangkap itu, ekspresi Heri mungkin merasa lucu melihatku yang biasa dingin dengan orang lain bisa berubah hangat dengan anak sekecil Abian, “ah, peduli amat dengan pikiran Heri. “

“Abi, ayo makan, buka mulutnya, aaa... “ aku spontan membuka mulutku sendiri yang diikuti Abian, selain menggemaskan anak ini juga penurut, sungguh manis sekali.

“Ayah, makan juga ! “ Ucapnya sambil menyuapiku ayam goreng dengan tangan mungilnya. Membuatku langsung membuka mulut.

“Emm... nyam... nyam, “ kukunyah ayam goreng itu dengan suara yang aku buat-buat, sehingga Bian tertawa lebar menatapku, dalam hati aku bersyukur, “Bian, aku akan membuatmu berbahagia, seakan kamu tidak pernah kehilangan orang tua kandungmu. “janjiku dalam hati.

 Seporsi makan siang telah kami habiskan berdua, Bian juga merasa kekenyangan sambil menepuk perutnya. Waktu istirahat sudah selesai, aku teringat siang ini usai istirahat aku harus melakukan pertemuan di luar dengan klien baruku.

Paman Sam datang menghampiri ruanganku, “tuan, apa Anda sudah siap, pertemuan akan berlangsung pukul tiga, “ucap paman sambil melongok melihat Abian di sampingku.

“Iya, paman, aku baru saja selesai makan. “ jawabku, sambil membersihkan sisa makanan yang menempel di sudut bibir Abian dengan tisu.

“Dan... bagaimana dengan den Abian tuan? “

“Hem, itu yang sedang aku pikirkan paman! “ ungkapku kemudian.

“Begini saja tuan, biar nanti Nyonya Jamilah menjemput den Abian di hotel tempat pertemuan kita, “ tutur paman Sam yang langsung aku angguki.

“Aku rasa itu ide baik paman, “

“Ayo Bian, anak ayah, lets go! “ Bian mengulurkan tangannya, kugendong tubuh mungil itu dalam dekapanku.

Keluar dari ruangan semua karyawan menatapku dengan penuh tanya, ekspresi mereka berbeda- beda, ada yang menyapa dengan senyum ada pula yang melongo dengan tatapan aneh. Aku berjalan dengan santai tanpa memedulikan mereka sedikit pun.

 Tepat pukul tiga kami sampai di hotel tempat pertemuan di adakan. Jamilah sudah sampai terlebih dahulu di halaman parkir, untuk menjemput Abian.

“Kamu, tunggu di sini dulu, sama mama, “ tunjukku pada Abian, setelah kami turun dari mobil.

Abian menggeleng,” ikut Ayah. “ Rengeknya dengan memasang wajah memelas.

“Bian, sama mama! “ ucap Jamilah sambil menyodorkan kedua tangannya, Abian menggeleng dan bersembunyi dalam pelukanku.

“Baiklah... tidak ada cara lain, biar kamu ikut ke dalam menunggu di sana hingga meeting usai, “ Jamilah  mengangguk pasrah.

“Mari, tuan, saya khawatir mereka semua sudah menunggu. “

“Baiklah paman. “

 Kami berempat masuk ke dalam hotel, di sana sudah tampak klienku telah menunggu. Di sebuah ruangan VIP kami mengadakan pertemuan dengan lancar, Abian juga tidak rewel sedikit pun. Bocah itu tetap setia dalam pangkuanku, hingga terlelap, Jamilah tetap duduk di sampingku sambil sesekali melirik Abian dalam pangkuanku.

“Baiklah, mister, sesuai kesepakatan proyek kali ini akan di laksanakan bulan depan. “

“Saya setuju Tuan Alan, senang bekerja dengan pengusaha muda yang cinta keluarga seperti Anda. Saya sangat kagum melihat kedekatan Anda, dengan putra Anda, sungguh membuat saya iri. “ Ucapan Mister Jhon membuatku tersentak kaget, “ eh, anak, keluarga. “ Aku baru saja tersadar saat melirik di sampingku ada Jamilah yang rupanya menundukkan wajahnya dengan pipi merona semerah udang rebus.

“Iya, terima kasih Mister, kesepakatan kita sudah Deal, “ kami berdua berjabat tangan kemudian bergantian menandatangani surat perjanjian kerja.

Mister Jhon akhirnya pamit undur diri, tinggal kami berempat di ruangan ini.

“Jamilah, kau pulanglah terlebih dahulu dengan Heri, biar aku disini sebentar lagi. “

“Baik tuan, “jawabnya singkat.

Jamilah mengambil Abian dalam gendonganku dan berlalu keluar meninggalkan aku dan paman Sam.

“Paman, untuk merayakan hari ini tolong pesankan saya minuman.  Untuk kali ini paman tidak boleh melarangku, anggap saja ini kompensasi karena saya sudah memenangkan proyek besar paman, “ ungkapku bangga. Tanpa aku sangka paman mengangguk setuju.

“Wah... Terima kasih paman, “ucapku penuh kegembiraan, rasanya aku sangat merindukan bau alkohol yang dulu selalu menemani setiap hariku.

 “Baiklah tuan, apa tidak sebaiknya tuan menikmati minuman di kamar hotel yang nyaman, saya akan memesankan semuanya. “

“Wow, bolehkah paman? “ tanyaku tidak percaya, ini terasa aneh bagiku, tapi aku sangat menyukai saat Paman Sam berubah aneh seperti ini.

“Tentu saja tuan, anggap ini sebagai hadiah dari Tuan Prayoga dan nyonya. “ Jawab paman Sam sambil mengeluarkan ponselnya, menghubungi bagian hotel untuk memesan sebuah kamar.

“Nikmatilah tuan malam ini, mungkin hal ini tidak akan Anda dapatkan lagi, “ kalimat paman Sam di ucapkannya sambil tersenyum tipis, untuk pertama kalinya aku melihat paman Sam bisa berekspresi hangat seperti itu, menurutku malam ini paman Sam sangat berbeda.

“Baiklah paman, Terima kasih. “ ucapku sambil berlalu menuju kamar yang telah paman Sam pesankan.

Malam ini aku merasa sangat senang, rasanya bagai menemukan kebahagiaanku kembali, masa-masa kesenangan yang sudah sebulan ini tidak aku nikmati, senyumku sudah tidak dapat aku simpan lagi, berjalan dengan bersuka ria. Menuju kebahagian surga dunia tentunya.

Tidak lupa aku menelepon Heri untuk mencari satu wanita malam untuk menghangatkan ranjang, rasanya jagoan kecilku sudah lama tidak diadu, jangan sampai pejantan tangguh berubah jadi ayam sayur, membuat bulu kuduk berdiri, seandainya itu terjadi tamatlah masa depan keluarga Prayoga Sanders. Dan malam ini aku pastikan si jagoan akan mengeluarkan atraksi terbaiknya di medan pertempuran, atraksi laga yang sudah lumayan lama tidak kulakukan karena terlalu fokus bekerja. Semoga pejantan tangguhku masih bisa bertempur maksimal. Rasanya sudah tidak sabar lagi. Seringai licik tercetak jelas dari bibir sensualku.

 “Jaguar, ayo beraksi  ! “ langkah ini penuh semangat bak pahlawan perjuangan 45.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status