Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
"Aku sudah menjadi seorang istri ...."Nara terlihat begitu terpukul sekali atas perjodohan yang terjadi, dirinya tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi jaminan dari hutang yang dimiliki keluarganya. "Apa yang harus aku lakukan setelah menjadi istrinya nanti? Aku takut ...." Mengingat sikap Ardhan yang dingin, Nara merasa ketakutan jika dirinya tidak mendapatkan perlakuan yang baik sebagai seorang istri.Siang ini mentari sedang panas-panasnya. Pesta pernikahan pun di gelar, walau tidak begitu mewah dan hanya dihadiri beberapa tamu undangan yang berasal dari keluarga saja. Tetapi, jamuan di meja begitu banyak.Kala itu, Nara mengenakan gaun putih yang menjuntai dengan bagian dada yang agak terbuka. Sedangkan Ardhan, ia hanya mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi pita. Mereka duduk berdampingan dengan perasaan terpaksa."Saya tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi, saya harap sikapmu tidak mengecewakan Kakek. Jadi, tersenyumlah. Kalau tidak, saya akan membat
"Tuan memanggil Anda ke ruang kerjanya, Nyonya!" ujar Rico dengan tubuh agak membungkuk sopan."Baiklah!" sahutnya.Saat itu, Nara tampak kebingungan. Entah harus kemana ia melangkah, sedangkan dirinya baru tinggal di sana beberapa jam lamanya. Ia belum begitu mengetahui setiap tempat di rumah itu.Untungnya, Rico dengan sigap langsung paham dengan kondisi Nara. Ia menunjukkan ruang kerja Ardhan yang letaknya memang agak jauh dari arah sana."Biar saya tunjukkan tempatnya kepada Anda, Nyonya!" kata Rico dengan tangan mempersilakan. Nadanya agak berat dan tegas, hingga membuat dirinya tersentak kaget saat tengah melamun."Baiklah."Pria muda dengan rambut cepak itu berjalan dengan tegap di depan Nara, sedangkan Nara hanya mengikuti.Sampai pada akhirnya langkah kaki itu terhenti di samping sebuah pintu besar dan kokoh yang masih dalam keadaan tertutup rapat."Kita sudah sampai, Nyonya. Silakan!" Rico membukakan pintu ruang kerja Ardhan sedikit. Dengan perasaan ragu, Nara memasuki ruang
Dengan tubuh sempoyongan, Nara menyelesaikan langkah kakinya untuk menuju kamar. Nafasnya tersengkal-sengkal membuat salah satu tangannya bertumpu di pintu kamar dengan badan agak condong ke depan. Perlahan, ia mengatur nafasnya sebentar sebelum memasuki kamar."Tatapannya membuatku sulit bernafas, apalagi saat membayangkan tubuhnya yang ....""Apakah aku akan kuat jika nanti dia memintanya?"Nara kembali dihantui bayangan menakutkan saat dirinya nanti harus meladeni birahi pria itu demi memenuhi kontrak pernikahan yang sudah tertulis yang menyatakan bahwa dirinya harus melahirkan seorang bayi yang sehat.Kriieett! Pintu dibuka perlahan.Setelah sekiranya nafas kembali normal, ia pun mengayunkan kakinya memasuki kamar, lalu pintu itu ditutupnya kembali. Namun, setibanya di sana ia malah dikagetkan dengan sosok pria bertubuh tegap dengan rambut ikal yang perlahan berbalik badan sembari melontarkan sebuah senyuman kepadanya."Reyhan ...!" seru Nara dengan kaki terhenti seketika.Pria it
Nara memandangi punggung Reyhan dari belakang. Jari jemari tangannya saling meremas karena perasaan gugup sekaligus bingung yang kian menguasai pikiran."Apa pilihan aku ini benar? Apa dia memang mau membantuku?"Namun, dibalik semua itu, tanpa sepengetahuan Nara. Rupanya, saat ini Reyhan sedang tersenyum jahat karena merasa sesuatu telah berjalan sesuai rencananya."Bagus! Teruslah begini dan percayalah padaku, yakinlah bahwa aku akan membantumu. Lalu, setelah itu masuklah ke dalam perangkapku yang lebih dalam!" batin Reyhan sebelum dirinya berbalik."Baik, aku akan mendengarkan kamu, tapi ... Aku mohon ... Kembalilah untuk mengatakan semua yang kamu ketahui itu!" seru Nara.Perlahan, Reyhan memutar tubuhnya lalu menghadapkan dirinya ke arah Nara. Dengan posisi kedua tangannya masih sama, di dalam saku celana.Reyhan tersenyum. Sementara, Nara hanya terdiam bingung sembari menatap wajah mantan kekasihnya itu."Aku tidak punya waktu lagi," batin Nara."Mari duduk!" ajak Nara ke sepasan
"Bersiaplah, Kakek meminta kita untuk menemuinya!" bisik Ardhan.Bisikan kalimat singkat yang membuat Nara berhenti berpikir kotor. Ia sedikit merasa lega karena ternyata pikirannya salah. Walaupun di samping itu ia merasa malu karena telah berpikir hal semacam itu."Kenapa aku bisa berpikir ke sana, sekarang aku merasa malu," batinnya sembari memejamkan mata saat ucapannya beberapa menit yang lalu semakin terngiang-ngiang di kepala. Ketika itu, mukanya sampai memerah. Ia terus menahan malu di depan suami sekaligus atasannya tersebut."Bersiap-siaplah!" Ardhan berjalan menuju walk in closet dan segera mengenakan piyama hitam di depan kaca besar. Nara hanya diam tak bergeming. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dengan hati yang terus menggerutu. "Harusnya aku tidak mengatakan hal memalukan begitu. Sekarang aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya."Namun, kemudian ia teringat pada ucapan Ardhan yang mengatakan bahwa mereka akan bertemu Kakek Heraldo. Sontak, ingatan itu m
Keduanya terperangah kaget, bahkan Ardhan sendiri pun ternyata tidak mengetahui rencana Kakeknya ini. Sengaja, Kakek Heraldo menyiapkan tiket ini untuk cucunya agar harapannya memiliki cicit dapat segera terwujud. Itu karena berpikir bahwa di masa depan membutuhkan seorang penerus yang meneruskan usaha keluarga itu."Maksudnya?" tanya Nara dan Ardhan serentak.Baru kali ini mereka berbicara kompak begitu. Padahal, keduanya tidak dekat sama sekali.Kakek Heraldo melihat kepada mereka secara bergantian. Lalu, Kakek Heraldo menyodorkan sebuah tiket liburan.Mata Nara langsung tertuju pada tiket yang ada di meja itu. "Itu tiket apa? Apa jangan-jangan ...!" Ia begitu kaget sekaligus penasaran dengan apa yang dilihatnya saat itu."Kakek mau kalian berlibur ke pulau dewata. Tiketnya sudah Kakek siapkan, jadi bersiaplah untuk hari esok!" Dan benar saja dugaan Nara, Kakek Heraldo memang menginginkan agar keduanya pergi berbulan madu."Kenapa harus sampai bulan madu? Pasti tidak akan menyenangk