Share

Bab 4 Rencana Licik Mantan

Nara memandangi punggung Reyhan dari belakang. Jari jemari tangannya saling meremas karena perasaan gugup sekaligus bingung yang kian menguasai pikiran.

"Apa pilihan aku ini benar? Apa dia memang mau membantuku?"

Namun, dibalik semua itu, tanpa sepengetahuan Nara. Rupanya, saat ini Reyhan sedang tersenyum jahat karena merasa sesuatu telah berjalan sesuai rencananya.

"Bagus! Teruslah begini dan percayalah padaku, yakinlah bahwa aku akan membantumu. Lalu, setelah itu masuklah ke dalam perangkapku yang lebih dalam!" batin Reyhan sebelum dirinya berbalik.

"Baik, aku akan mendengarkan kamu, tapi ... Aku mohon ... Kembalilah untuk mengatakan semua yang kamu ketahui itu!" seru Nara.

Perlahan, Reyhan memutar tubuhnya lalu menghadapkan dirinya ke arah Nara. Dengan posisi kedua tangannya masih sama, di dalam saku celana.

Reyhan tersenyum. Sementara, Nara hanya terdiam bingung sembari menatap wajah mantan kekasihnya itu.

"Aku tidak punya waktu lagi," batin Nara.

"Mari duduk!" ajak Nara ke sepasang kursi terdekat.

Tentu saja. Dengan senang hati Reyhan menerimanya. Mereka duduk berdua di sana. Walau awalnya tampak ragu, tetapi Nara mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Reyhan akan menolongnya.

"Katakan sekarang. Aku mau dengar sedikit mengenai suamiku!"

Dengan posisi terbuka, Reyhan menaruh kedua tangannya di meja. Ia pun agak mencondongkan tubuhnya ke arah Nara. Tatapan melekat kuat dan sedikit menggoda Nara.

"Sebelum mengatakannya. Aku ada satu permintaan sama kamu yang harus kamu penuhi."

Mendengar hal itu, Nara langsung dibuat salah paham. Ia berdiri sembari mendengus kesal.

Nara langsung berdiri. "Sama saja. Rupanya kamu tidak tulus menolongku. Kenapa tidak kamu bilang saja langsung kalau kamu ingin mencari keuntungan dariku!"

"Jangan salah paham dulu. Aku 'kan belum selesai mengatakannya sama kamu. Kamu juga belum mendengar permintaan aku, 'kan?" Dengan buru-buru Reyhan langsung menyergah opini Nara mengenai dirinya.

"Memang benar, sih." Nara menoleh ke arah Reyhan. "Lantas, permintaan apa yang dia inginkan itu?" batinnya.

Reyhan tidak mau jika apa yang diimpikannya sejak lama kandas begitu saja hanya karena kesalahpahaman.

"Rupanya dia memang masih menaruh curiga. Tidak masalah. Ini tidak akan berlangsung lama, karena aku tahu kelemahanmu," batin Reyhan menatap Nara dengan tatapan tajam.

"Maksudku, kau jangan katakan hal ini kepada suamimu. Kalau tidak, nanti dia bisa membunuhku. Aku tidak mau hubungan keluarga kami juga rusak. Padahal, niatku baik, hanya karena ingin membantumu mengetahui kebenarannya saja," bisik Reyhan dengan mata sesekali melirik ke pintu.

Saat itu, Nara hanya mengerutkan dahi. Antara harus percaya atau curiga dengan ucapannya yang terkesan merayu itu.

"Lalu, apa yang mau kamu katakan itu! Cepatlah, sebelum ada yang datang ke kamar ini, ditambah lagi ini sudah malam!"

Reyhan melihat ke arah jam tangannya. Lalu, perlahan ia beranjak dari duduknya. "Ah benar, hampir saja aku terlambat. Aku tidak bisa lama-lama. Lain kali aku akan menghubungimu lagi. Katakan saja kalau perlu bantuan ...," ucapnya sebelum meninggalkan kamar itu.

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagi Reyhan, selain menarik ulur waktu, agar Nara semakin penasaran dengan informasi yang masih ada dalam genggamannya.

"Aku pergi dulu!" ucap Reyhan sembari melangkah pergi dari kamar itu.

"Kenapa dia malah pergi saat aku sudah benar-benar siap untuk mendengarkannya." Nara merasa kecewa. "Tapi, harusnya aku juga sadar. Dia itu hanya mantanku. Mungkin saja dia pergi karena ada seseorang yang lebih penting di hidupnya."

Alih-alih rasa penasarannya terobati, Nara malah harus dibuat menunggu oleh pria yang merupakan mantan kekasihnya. Meskipun begitu, ia harus berurusan dengan Reyhan karena sebuah tujuan yang belum terselesaikan.

"Ah, sudahlah. Lebih baik aku ganti baju."

***

Di luar kamar, Ardhan dan Reyhan berpapasan. Keduanya langsung mematung. Reyhan gugup karena Ardhan tiba-tiba muncul di arah tangga, sedangkan Ardhan bingung karena sepupunya itu ada di sana dan ia sendiri pun sempat melihatnya keluar dari kamar miliknya.

"Habis ngapain kamu dari kamarku?" tanya Ardhan curiga.

Reyhan gelagapan. Ia terdiam sejenak lalu dengan ramah mendekat ke arah Ardhan, berusaha menyembunyikan kebohongannya.

"Kakak ini ke mana saja? Dari tadi aku mencarimu. Aku pikir kamu ada di kamar ...!"

"Tadi saya habis dari bawah. Kenapa kamu mencariku? Ada apa?" tanya Ardhan.

Bola matanya bergulir ke kanan, ia seolah tengah memikirkan ide untuk dikatakan kepada Ardhan.

"Aku mencarimu untuk meminta saran hadiah yang harus aku berikan kepadanya. Kak Ardhan, ayo kasih aku saran!"

"Pyuuuhh. Hampir saja," batinnya. "Untungnya aku punya alasan yang jitu." Reyhan berharap agar Ardhan percaya kepadanya. Tetapi, di sisi lain ia yakin bahwa alasan itu yang paling pas dan membuat Ardhan percaya.

"Besok saja! Saya masih ada urusan. Yang ada di pikiranmu selalu saja tentang wanita." Ardhan berjalan meninggalkan Reyhan di sana.

"Kakak tidak tahu betapa hampanya hidup ini jika tanpa adanya seorang wanita. Makanya, Kakak jangan terlalu sibuk dengan proyek di perusahaan, sesekali bersenang-senanglah!" serunya dari jarak agak jauh.

Tetapi, saat itu Ardhan mengabaikan ucapannya. Perkataan Reyhan sangat tidak penting. Sebab, perusahaan pun tidak kalah pentingnya.

Ia berbelok dan kemudian memasuki kamar yang mana di dalamnya sudah ada Nara yang mengenakan piyama merah terang yang begitu menggoda. Membuat Ardhan berdesir-desir ingin mendekat.

Cklek! Ardhan menutup pintu kamar itu.

Kakinya tertuju pada Nara. Ia berjalan perlahan ke arah wanita yang ada di depannya. Tangannya yang berurat melepas satu persatu kancing baju yang mengait pada tiap lubang pakaiannya. "Apa sekarang kamu sudah berubah pikiran dan siap melakukannya malam ini?"

Sebenarnya Nara tidak begitu nyaman dengan pakaian yang tampak seksi itu. Piyama merah yang sepaha itu memang menonjolkan bagian paha mulus dan putihnya yang agak berisi. Tak hanya itu saja, bagian dada pun menjadi tampak lebih menonjol. Mungkin karena ukurannya yang terlalu pas pada tubuh Nara.

"Apa dia sedang bernafsu padaku? Kenapa malah melepas satu persatu kancing bajunya? Aku tidak sanggup! Aku belum siap!" teriaknya dalam hati.

Nara segera membanting wajahnya dengan mata terpejam. Ia pun mundur selangkah demi selangkah saat Ardhan nyaris di dekat tubuhnya. Sampai kakinya tak dapat melangkah mundur lagi karena sudah mentok ke tembok, sedangkan Ardhan menghimpit tubuhnya pada dinding. Membuat dadanya agak membusung karena tegang.

"Pak, saya belum siap untuk malam ini. Bisa kita tunda dulu saja," pinta Nara dengan polosnya.

Sementara itu, Ardhan hanya tersenyum simpul mendengar ucapan yang keluar dari mulut Nara. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Nara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status