"Bersiaplah, Kakek meminta kita untuk menemuinya!" bisik Ardhan.Bisikan kalimat singkat yang membuat Nara berhenti berpikir kotor. Ia sedikit merasa lega karena ternyata pikirannya salah. Walaupun di samping itu ia merasa malu karena telah berpikir hal semacam itu."Kenapa aku bisa berpikir ke sana, sekarang aku merasa malu," batinnya sembari memejamkan mata saat ucapannya beberapa menit yang lalu semakin terngiang-ngiang di kepala. Ketika itu, mukanya sampai memerah. Ia terus menahan malu di depan suami sekaligus atasannya tersebut."Bersiap-siaplah!" Ardhan berjalan menuju walk in closet dan segera mengenakan piyama hitam di depan kaca besar. Nara hanya diam tak bergeming. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dengan hati yang terus menggerutu. "Harusnya aku tidak mengatakan hal memalukan begitu. Sekarang aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya."Namun, kemudian ia teringat pada ucapan Ardhan yang mengatakan bahwa mereka akan bertemu Kakek Heraldo. Sontak, ingatan itu m
Keduanya terperangah kaget, bahkan Ardhan sendiri pun ternyata tidak mengetahui rencana Kakeknya ini. Sengaja, Kakek Heraldo menyiapkan tiket ini untuk cucunya agar harapannya memiliki cicit dapat segera terwujud. Itu karena berpikir bahwa di masa depan membutuhkan seorang penerus yang meneruskan usaha keluarga itu."Maksudnya?" tanya Nara dan Ardhan serentak.Baru kali ini mereka berbicara kompak begitu. Padahal, keduanya tidak dekat sama sekali.Kakek Heraldo melihat kepada mereka secara bergantian. Lalu, Kakek Heraldo menyodorkan sebuah tiket liburan.Mata Nara langsung tertuju pada tiket yang ada di meja itu. "Itu tiket apa? Apa jangan-jangan ...!" Ia begitu kaget sekaligus penasaran dengan apa yang dilihatnya saat itu."Kakek mau kalian berlibur ke pulau dewata. Tiketnya sudah Kakek siapkan, jadi bersiaplah untuk hari esok!" Dan benar saja dugaan Nara, Kakek Heraldo memang menginginkan agar keduanya pergi berbulan madu."Kenapa harus sampai bulan madu? Pasti tidak akan menyenangk
Malam semakin larut dan mata seakan membawa Ardhan untuk memasuki alam mimpi. Ardhan yang sudah membaringkan tubuhnya di atas sofa pun sudah memejamkan kedua matanya. Pemandangan ini membuat Nara terpancing untuk menoleh ke arah suaminya. Terlebih, melihatnya tidur tanpa selimut."Kenapa dia bisa tidur tanpa selimut begitu?" batin Nara. Bahkan, bantal yang digunakan pun hanya bantal sofa saja. Tak satupun bantal yang ada di tempat tidur itu diambilnya."Sekarang, setelah tinggal serumah bahkan sekamar, aku baru tahu bahwa dia tidak secuek kelihatannya," batin Nara.Selama ini, Nara berpikir bahwa dirinya akan mendapatkan perlakuan yang buruk karena melihat sikap Ardhan yang memang terkesan dingin seolah tidak peduli. Pria itu pun dikenal dengan keras kepala yang membuat siapapun tidak berani membantah terhadap apa yang diinginkannya tersebut.Namun, itu pikiran Nara dulu sebelum mereka tinggal serumah dan memiliki hubungan yang lebih dekat."Sepertinya dia memang tidur," gumam Nara pe
Mimpi buruknya semalam membuatnya ingin membersihkan dirinya dengan shower. Sampai tangannya keriput, ia baru menyadari bahwa dirinya telah begitu lama di kamar mandi.Nara segera menyelesaikan mandinya, lalu memakai baju handuk secara perlahan pada tubuhnya. Ia juga tidak lupa mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.Cklek! Pintu kamar mandi pun terbuka.Nara mengangkat wajahnya, tetapi di sana rupanya Ardhan pun sudah berpakaian rapi. Di tangannya ada sebuah majalah dengan secangkir kopi yang ia seruput perlahan."Mas, kamu sudah mandi?" tanya Nara.Ardhan pun menaruh kopi itu kembali dan menjawab pertanyaan Nara. "Kamu habis ngapain di kamar mandi selama itu?" tanya Ardhan dengan wajah serius. "Saya mandi sekaligus keramas, Mas. Maaf, tadi saya tidak sadar kalau ternyata selama itu."Mata Ardhan pun seolah langsung membidik rambut Nara yang memang tampak basah. "Ya sudah, sana ganti baju!"Nara pun kemudian pergi dari hadapan Ardhan dan langsung bergegas menuju walk in closet ya
Mereka menikmati makanan yang tersaji itu dengan lahap. Hingga, suara langkah kaki mulai berayun memasuki ruang makan dari sepasang kaki seorang asisten rumah tangga. Ia diam, berdiri sopan dan menghadap ke arah Ardhan.. "Tuan, mohon maaf jika saya mengganggu waktu sarapan Anda, saya hanya ingin menyampaikan ... Tuan besar meminta Anda agar segera pergi ke bandara. Sekarang dia sudah menunggu Anda di teras!" ucapnya dengan tubuh membungkuk dan kedua tangan terlipat di depan perut.Ardhan menoleh ke arah Suminah. Garpu yang ada di tangan kiri dan sendok di tangan kananya segera ia taruh di atas piring putihnya."Ma, saya harus pergi dulu! Mama lanjutkan makannya sendiri saja!" ujar Ardhan sembari beranjak dari duduknya. Ia tidak mempedulikan sisa makanan yang masih tersisa di atas piringnya tersebut.Ardhan pun melangkahkan kakinya menuju Kakek Heraldo. Suminah yang tadi memberitahu pun ikut berjalan di belakang Ardhan."Tuan, katanya dia akan mengantarkan Anda dan Nyonya muda sampai k
Baru lima belas menit Suminah menutup pintu rumah, menyaksikan majikannya pergi dengan mobil limousine mereka. Suara bel rumah sudah kembali berbunyi, membuatnya bergegas melihat. "Siapa yang datang? Apa Tuan besar sudah kembali?" gumamnya sembari mengayunkan langkah kaki menuju pintu."Tuan Rey? Mau menemui siapa?" kata Suminah.Reyhan yang tidak tahu jika pemilik rumah itu tak ada di rumah, ia pun masuk ke dalam rumah dengan santainya tanpa menjawab apa yang ditanyakan oleh Suminah. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, sampai ia menyimpulkannya sendiri."Rumah ini sepi. Apa mereka sedang tidak ada di rumah?" tanya Reyhan, bicara pada dirinya sendiri.Tetapi, Suminah mendengarnya, ia pun lekas menjawab. "Benar, Pak Reyhan. Tuan dan Nyonya sedang pergi, mungkin untuk beberapa waktu mereka tidak akan tinggal di sini.Reyhan langsung tercengang kaget begitu mendengarnya. Ia memutar tubuhnya ke arah Suminah. "Kenapa? Memangnya mereka pergi ke mana?!""Saya dengar, Tuan
Perjalanan udara membuat Nara merasa lelah. Begitu sampai di hotel yang sudah dibooking tersebut, Nara pun segera merebahkan tubuhnya di sana. Tetapi ...."Aku harus mengabarkan pada Papa sekarang!" batinnya. Ia teringat sesuatu yang membuatnya mengambil ponsel warna putihnya.Nara pun segera mengirim pesan singkat kepada Rivanto mengenai keberadaannya saat ini. Ia juga meminta petunjuk mengenai apa yang harus dilakukannya kini."Nara, kamu ikut dengan saya! Jangan dulu tidur!" pinta Ardhan. Nara menoleh sejenak ke arah suaminya setelah mengirim pesannya tersebut.Lalu, ia pun bangkit dari baringnya, tetapi saat itu ia tampak tidak bersemangat. "Pak Ardhan, saya masih mengantuk. Kenapa saya jangan dulu tidur? Saya lelah, Pak," sergah Nara. Ia tidak setuju dengan cara Ardhan memerintah dirinya. Pria itu seolah tampak berbuat seenaknya.Ardhan mengangkat salah satu alisnya sembari berjalan mendekat ke arah Nara, lalu ia langsung menarik tangannya agar segera turun dari ranjang."Ini mas
"Tunggu saya, Pak Ardhan!" seru Nara. Ia berlari kecil ke arah Ardhan dan kemudian menyamakan langkah kakinya saat dirinya sudah berada di samping Ardhan.Di dalam hotel itu, Nara terduduk di sofa. Tetapi, Ardhan seolah tak membiarkannya terus diam."Saya mau kopi. Tolong kamu buatkan kopinya!" pinta Ardhan kepada Nara.Nara yang baru duduk pun langsung beranjak dari duduknya untuk melangkah menuju tempat pembuatan kopi. Tetapi, saat itu Nara baru ingat bahwa di sana ia tidak melihat ada air hangat yang bisa dirinya gunakan untuk membuat kopi."Padahal bisa memesan kopi langsung, kenapa malah menyuruhku yang membuatkan untuknya," gerutu Nara di dalam hatinya. Bibirnya cemberut, kesal.Nara pun akhirnya memilih bertanya saja kepada Ardhan. "Pak Ardhan, di mana saya membuat kopinya?" "Ada air panas, 'kan?""Saya tidak tahu, Pak." Nara menggelengkan kepalanya dengan muka masam. "Kita bahkan tidak membawa keperluan untuk membuat kopi.""Ya sudah, kalau begitu kamu pesankan kopi untuk say